Aku meletakkan tas tangan begitu saja di meja rias. Lalu menghempaskan diri di sofa. Capek. Ya tubuh. Ya pikiran. Gagal menguntit pemuda itu membuatku sedikit uring-uringan. “Duh, maaf ya. Gue kurang gesit,” ujar Asti merasa nggak enak. “Gimana caranya mau gesit dengan kendaraan sepadat ini?” ucapku. “Ya setidaknya kan kita gak perlu kehilangan jejak.”“Dahlah. Kecuali kita dan dia sama-sama mengendarai mobil, lo kehilangan jejak, baru itu lelet namanya. Ini dia bisa nyelip, kita kaga. Ya ketinggalan lah,” sahutku terkekeh. “Ya tapi gue niatnya bantu, malah bikin lo bete.”Aku terdiam. Dalam hal ini aku tak bisa pungkiri. Lagipula untuk apa membantah sesuatu yang kenyataannya memang demikian. Munafik namanya. “Etapi setidaknya kita sudah tau di mana dia bekerja. Kita bisa samperin ke sana.”Aku menoleh. Menatap wanita itu sesaat. Lalu kembali terbayang tulisan yang ia tinggalkan pada secarik kertas kemarin. Gaji pertama. Artinya ia orang baru di perusahaan tersebut. Bisa juga b
"K ... ka ... kamu?" ujarku demi melihat Bang Fajar berdiri terpancang hanya dalam jarak kurang lebih lima meter dari tempat mobilku terparkir. Lelaki itu melipat kedua tangan di depan dada. Ada sedikit perasaan tidak enak melihatnya seperti itu. Ia tak menggubris. "Katanya ketemuan di sana aja?" lanjutku. Masih bersikap sebiasa mungkin. Ia bergeming. Wajahnya yang kaku semakin mengeras dengan rahang menajam. Tampak bergerak-gerak karena emosi yang tertahan. Melihatnya seperti itu aku sedikit bergidik. "Bang?" tanyaku lagi karena tak kunjung mendapat jawaban. "Apa maksud ucapan tadi?" tanyanya dingin. Lalu mendekat dengan tatapan tajam. Bagus. Teruslah seperti itu. Jangan salahkan jika rasa ini kian memudar untukmu. Tentu saja kata ini hanya ada dalam pikiran. Realitanya aku menciut. Tanpa sadar aku melangkah mundur. "Jangan main-main, Hayat," gumamnya. Ia mencekal lenganku kuat. Lalu tanpa mengatakan apa pun Bang Fajar menariknya. Melangkah meninggalkan area parkir. Tubu
Semburat warna jingga di ufuk Barat mulai memudar seiring matahari yang kian tenggelam. Berganti dengan kilauan cahaya putih yang bermunculan dari gedung, rumah warga, dan lampu jalan. Juga cahaya temaram lampu taman yang terpasang pada tiang di pinggir kolam. Sudah setengah jam sejak diantar Bang Fajar tadi aku masih termangu di depan jendela kamar. Gemericik suara air pada kolam kecil itu sedikit membuat perasaan jadi tenang. Apa yang paling menggigit pada rasa sepi? Adalah saat kau merasa sendiri di tengah keramaian. Sepertinya kalimat ini paling cocok untuk menggambarkan suasana hatiku saat ini. Bagaimana tidak? Aku punya ibu. Punya anak. Juga masih punya suami. Namun aku merasa sendiri. Benar-benar sendiri. Statusku dengan Farhan yang masih ngambang, tidak berarti pernikahan siri kami berakhir.Dan gilanya aku sudah punya calon suami lagi yang akan segera hadir. Hanya menunggu waktu yang tepat. Itu yang ditekankan Bang Fajar tadi saat menurunkanku di depan pintu gerbang. “A
“Kok lo mau jadi muhallil gue?”Farhan tersedak. Ia meraih botol air mineral dan langsung meminumnya beberapa tegukan. “Kenapa?” Ia balik bertanya. “Hanya pen tau alasannya aja.”“Penting ya?” sahutnya kemudian. “Kalau gak keberatan.”Ia berdehem beberapa kali. “Selalu ada alasan untuk sebuah tindakan. Apa pun itu. Namun kadang ada yang lebih penting dari semuanya.”“Apa?” Pemuda itu menatap lekat. “Tujuan.” Fajar menekan kuat ujung batang rokok yang tersisa ke asbak. Belum satu jam duduk di teras rumah, ia nyaris menghabiskan setengah bungkus dari candu itu. Pikirannya kalut. Apalagi penyebabnya kalau bukan perubahan sikap Hayat. Disinyalir ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu. Tapi entah apa. Semakin ia pikirkan semakin panas rongga dadanya. Untuk pertama kali sepanjang perkenalan mereka, Hayat bersikap seperti tadi. “Sebaiknya rencana rujuk ini dipikirkan ulang.” Kata yang diucapkan Hayat tadi sore kembali terngiang di kepalanya. Apa yang harus ia pikirkan ul
Motor meluncur dengan kecepatan sedang saat meninggalkan kafe. Farhan menambah kecepatan saat kami telah berada di jalan raya. Dinginnya udara malam terasa kian menusuk hingga ke tulang sumsum. Reflek aku melingkarkan kedua tangan ke perut pemuda itu. Samar ia tersenyum sambil mengusap pelan pipi kiriku yang bertengger di pundaknya. Ada perasaan damai yang menyusup lembut di dalam sini. Dalam situasi seperti ini, aku mencoba tidak terlalu peduli akan perasaan Farhan. Mungkin memang ada kalanya cinta tidak perlu diucapkan. Karena yang lebih penting dari semua itu sikap dan perbuatan, bukan? Apa gunanya kata cinta digaungkan, jika pada kenyataannya malah menyakitkan. Seperti yang berkali-kali dilakukan Bang Fajar. Ingat laki-laki itu, pikiranku kembali menerawang pada banyaknya panggilan tak terjawab tadi. Sejujurnya perasaanku tidak enak. Mengingat sifatnya yang temperamen, mustahil ayah dari anakku itu tidak akan melakukan apa pun. Tanpa sadar aku menarik napas panjang. "Kenapa?
“Alhamdulillah, akhirnya kamu telah bangun, Sayang.” Itu kata yang pertama aku dengar saat membuka mata. Kata yang membuat aku merasa sangat dicintaiAku mengedarkan pandang. Ruangan serba putih dan senyum semringah Farhan menyambut. Pemuda itu menggenggam jemari tanganku dan menciumnya berkali-kali. Untuk pertama kali aku melihat ia menitikkan air mata. Entah berapa lama aku tenggelam dalam pengaruh obat dan segala tetek bengek peralatan medis ini. “Han?” panggilku pelan. Berusaha untuk bangkit, namun laki-laki itu buru-buru menahan. “Jangan bangun dulu!”“Tapi pegal,” sahutku dengan mata berkaca-kaca. Entahlah. Saat ini rasanya aku ingin menangis. Berbagai perasaan berkecamuk mengingat apa yang terjadi. Kenapa harus seperti ini? Sejak dulu aku bukan seseorang yang suka mencari masalah. Sedapat mungkin, jika mengalah adalah solusi terbaik, maka akan aku lakukan. Tak peduli siapa yang benar dan siapa yang salah. Mungkin sifat yang terlalu pasrah itulah yang dimanfaatkan Bang
“Salah kamu sendiri membiarkan Farhan selalu datang. Coba kamu pikir, wajar gak Fajar marah? Bagaimana kalian bisa rujuk kalau kamu masih tetap bersama Farhan.”Aku menatap Ibu tak percaya, bagaimana bisa dia berpikir seperti itu? Salahkah jika aku merasa ada yang tidak beres dengan Ibu? Setelah segala hal yang aku alami dia bukannya prihatin malah menyalahkan. Bahkan menurut Farhan selama menjagaku di rumah sakit, Ibu terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya pada pemuda itu. “Justru Ibu yang aneh. Farhan itu suamiku yang sah. Ibu jangan lupa itu.”“Dan kamu jangan lupa juga apa alasan kalian menikah,” sahutnya tajam. Benar-benar tidak bisa dimengerti. “Harusnya Ibu bersyukur Farhan tidak mengikuti pernikahan rekayasa itu.”“Apa maksudnya?” “Dengan apa yang dilakukan Bang Fajar, Ibu masih nanya apa maksudnya? Aku hampir kehilangan nyawa, Bu!” pekikku frustrasi. Wanita itu malah membuang muka. “Ada apa dengan Ibu?” tanyaku pelan. Menatap wanita surgaku itu dengan pandan
“Memastikan anak istri merasa nyaman dalam suasana apa dan dimana pun itu juga salah satu bentuk tanggung jawab suami.” Farhan kembali meyakinkan sambil menatap mataku dalam. Ah so sweet banget kan dia? Dengan bersikap seperti itu, ia kelihatan lebih tampan berkali-kali lipat. Tapi kalau aku nurutin keinginan Farhan, apa nanti kami nggak akan kerepotan mengatur keuangan? “Aku tau ini nggak akan mudah,” ujarnya seperti membaca apa yang aku pikirkan. Setelah menarik napas, ia kembali melanjutkan, “Namun aku akan berupaya semaksimal mungkin.” Tatapan itu demikian meyakinkan. Boleh peluk nggak? Ah peluk aja lah. Toh saat ini aku memang butuh itu untuk menguatkan. Tanpa ba bu lagi aku memeluk pria itu erat. “Han, kalau memang kurang modal jual aja mobil gue.”“Haaah!” Pupilnya melebar. “Gue serius.”Huhuuu, jangan bilang aku bucin ya? Bukankah hakikat suami istri itu memang saling menguatkan? Saat ia berupaya mati-matian mewujudkan impian untuk kebahagianmu, kenapa kamu harus ber