Aku menatap nisan Mas Dwi dengan perasaan yang tidak bisa kulukiskan. “Kamu tetap yang bertakhta di hatiku. Meskipun ragamu tidak bersamaku, tapi kenangan dan cintamu selalu ada di sini.” Aku meletakkan tangan di dada. Tepat di hati. Setelah itu, aku mendekati makam Ibu. Aku duduk untuk mengusap nisan Ibu. “Bu, apa kata-kata Ibu yang sering memintaku menikah—karena Ibu takut meninggalkanku sendiri di dunia ini—adalah sebuah firasat? Mengapa Ibu tidak menitip pesan apa-apa padaku? Mengapa Ibu tidak tinggal lebih lama di dunia ini untuk menemaniku?” Aku mengusap sudut mata, lalu memejam, berusaha mengusir sesak yang terus berdesakan dalam dada. Aku harus ikhlas akan ketetapannya. Tidak boleh meratap, karena harus mengirimkan doa untuk ketenangan Ibu di sana.“Bismillah, ikhlas, ikhlas, ikhlas, “ ucapku lirih, lalu membuka kelopak mata. Aku berusaha tersenyum, supaya Ibu tahu aku adalah wanita yang kuat dan tegar. Aku baik-baik saja bersama Zaka. “Bu, aku berniat mengakhiri kesendiriank
Alhamdulillah, akhirnya aku bisa bekerja dengan tenang, meskipun tidak lama lagi akan berhenti dari sini. Sejak hari itu, sikap Pak Renaldi sangat berbeda. Dia jadi jarang menyapa, apalagi menggoda. Aku bersyukur, hanya saja ... kadang merasa tidak enak. ***“Saya terima nikah dan kawinnya Aida Syerli Yuliana binti Joko Santoso dengan Mas Kawin yang tersebut tunai!” “Sah?” “Sah!” jawab para saksi. Akhirnya, hari ini kami sah menjadi suami istri. Menikah di KUA dan akan mengadakan resepsi di kota. Kami menikah dihadiri keluarga dari Mas Dwi dan keluarga Ganang, sepupu Mas Ikbal. Mas Ikbal menikahiku dengan mas kawin seperangkat alat salat lengkap. Selesai menikah, kami langsung pulang ke rumah. “Alhamdulillah, akhirnya kalian sudah sah,” kata Ibu Mertua, saat kami semua duduk di ruang tamu.“Lagi hoki aja,” sahut Mbak Retno lirih, tapi aku masih bisa mendengar.“Kita lihat aja ke depannya bagaimana. Apa pria itu bisa tulus menyayangi Zaka?” bisik Mbak Husna pada Mbak Retno.Wajah
Makin membulat mata mereka, dan sekali lagi saling tatap. Tidak berapa lama, Mas Ikbal keluar menggandeng tangan Zaka. Anak itu langsung menghambur memeluk saat melihatku. “Bunda, kita di mana?” tanyanya bingung.“Kita main di rumah Om Ikbal, Sayang.”“Main di rumah Om Ikbal dulu, ya,” sahut Mas Ikbal.Suasana yang tadinya hangat, kini hening dan dingin. Karena merasa tidak enak, aku mengajak Zaka keluar. Pura-pura ingin mencari angin, padahal di dalam sudah dingin dengan adanya AC. Aku duduk di kursi teras bersama Zaka, kemudian terdengar sedikit keributan. Zaka kupinjami HP, sehingga dia bermain game, sementara aku hanya menatap halaman yang luas.“Ternyata dia janda?”“Mbak, apa yang salah kalau dia single parent?”“Oh, jangan-jangan ... kalian punya hubungan gelap, lalu kamu bawa kabur itu si Aida dari suaminya?”“Mbak! Aku tidak seburuk itu!” Aku menunduk, mendengar keributan di dalam. Sementara Mama hanya menangis.“Kenapa, sih, kamu menolak semua wanita hanya demi wanita masa
“Aku tahu, kamu mau sama Ikbal hanya karena uangnya. Coba kalau Ikbal melarat, belum tentu kamu mau jadi istrinya. Wanita seperti kamu sudah terbaca niatnya. Dasar janda mata duitan! Kalau nggak gatel, nggak makan!”“Astagfirullah, Mbak. Sejak kemarin aku diam, karena menghormati Mbak sebagai kakak ipar. Tapi kali ini Mbak udah kelewatan.”“Adik ipar seperti apa yang bisa membentak saudara dari pasangannya?” Kemudian dia melempar sebagian uang ke mukaku, hingga berhamburan di atas lantai.Prok! Prok! Prok!Dia bertepuk tangan. “Bagus sekali caramu menggoda adikku. Pura-pura jadi wanita sok suci, terus pelan-pelan kamu poroti uangnya. Iya?” Mbak Anis melotot menatapku.“Bisa bersikap lebih sopan di tempat orang? Meskipun tamu harus dimuliakan, tapi bukan salah penghuni rumah kalau mengusir tamu yang kurang ajar!” Aku berjongkok memunguti uang yang berserakan itu, membuat Mbak Anis tersenyum sinis dan membuang muka. Kudorong sedikit bahunya, lalu balik melempar lembaran uang itu ke tubu
Aku menggeleng.“Kalau Mbak Anis?”“Sedikit.” Mas Ikbal tertawa sambil menggelengkan kepala, sementara aku hanya tersenyum melihatnya. Dia melepas peci, lalu memakaikannya ke atas kepalaku. Sedikit menunduk, pria itu memperhatikan wajah ini. “Ya ampun, Ai. Ini yang membuat aku tergila-gila sama kamu. Kamu bahkan mengingatkan aku untuk berbakti pada Mama. Padahal, sikap Mama kurang adil sama kamu.” Dia menjawil ujung hidungku.“Seburuk apa pun orang tua, mereka tetap orang tua kita, Mas. Nggak akan ada kita, kalau nggak ada mereka. Karena itu, kita wajib berbakti sama mereka. Meskipun sering kali terjadi perbedaan pendapat antara kita dan mereka, tapi tetap saja ... tali silaturahmi antara anak dan orang tua jangan sampai putus. Mengapa? Karena kita juga calon orang tua. Eh, maksudnya kamu, karena aku emang sudah jadi orang tua saat ini.”“Aku, kan ayahnya Zaka. Kamu lupa? Jadi, kita sama-sama orang tua. Menurut kamu, bagaimana kalau para orang tua yang memutus hubungan dengan anaknya
Kemudian terdengar suara Zaka menangis. “Hahaha, bagus! Tapi tidak semudah itu. Akan datang orang ke kamarmu. Dia akan memberikan surat perjanjian. Tanda tangani surat itu, baru saya akan mengembalikan anakmu.”“Cepat kirim orang itu ke sini,” ucapku lemah, sampai telepon itu lepas begitu saja dari genggaman. Tubuhku kembali merosot dari dinding. Aku menahan tangis, meringkuk, memeluk diriku sendiri. Ya Allah, mengapa dunia sekejam ini?***Zaka tertidur pulas di pangkuanku. Lega sekali, sekarang dia sudah ada bersamaku. Tidak terbayang kalau sampai terjadi sesuatu padanya, aku pasti akan menjadi orang yang paling merasa bersalah. Aku menunduk, memperhatikan wajahnya, lalu mendekatkan wajah untuk mencium kepala Zaka. Di surat itu, aku diminta menjauhi Mas Ikbal secara perlahan. Jangan sampai dia tahu kalau aku melakukan ini karena paksaan. Karena jika sampai ketahuan, Mas Ikbal pasti akan membenci keluarganya dan akibatnya bisa fatal. Katanya, mereka akan terus mengincar nyawa Zaka.M
Niat Aida untuk membuat Ikbal membenci sia-sia jadinya. Pria itu bahkan membuatnya tersipu pagi ini. Niat awal supaya Ikbal benci, malah berbanding terbalik. Mereka malah melewati romantisme pagi hari karena sikap manis yang Ikbal ciptakan. Aida membereskan kamar dengan perasaan tidak menentu. Jika bayangan Papa Mertua tidak melintas di pelupuk mata, mungkin Aida menikmati hal manis yang suaminya lakukan. Sayang, baru seperkian detik, Aida langsung mendorong dada Ikbal yang membuat pria itu kebingungan.***HP Aida bergetar, saat dia hendak keluar kamar. Panggilan dari nomor yang tidak dikenal. “Assalamu’alaikum. Ya, halo?”“Wa’alaikumsalam. Ini bener sama Aida?”“Iya, saya sendiri.”“Maaf mengganggu. Saya menemukan nomor Mbak di dalam tas Zaka. Saat ini anak Mbak nangis di tengah jalan.”Kemudian terdengar suara anak kecil menangis pilu sekali. “Ya ampun, sekarang di mana anak saya?”“Masih nangis. Cari ibunya, Mbak.”“Lokasi di mana ini?”“Masih di sekitaran sekolah Zaka.”“Oke, sa
“Bunda!” teriak Zaka, saat pulang dari sekolah.“Halo, Sayang.” Aku merentangkan kedua tangan, dan buah hatiku menghambur dalam pelukan. “Gimana sekolahnya?” tanyaku sambil mengusap pelan pucuk kepalanya, setelah melerai pelukan.“Zaka udah ada temen, Bun, Namanya Riki.”“Em, nama yang bagus. Orangnya gimana?” Kini kami jalan beriringan bergandengan tangan menuju taman di mana Faaz sudah menunggu.“Baik, Bun.”“Alhamdulillah.”“Bun, kita mau ke mana?” tanyanya bingung, karena aku mengajak Zaka ke taman.“Kita temui temen Bunda dulu, ya!”“Oke.”Dengan riang, Zaka bercerita soal teman-teman, guru, dan apa saja yang ada di sekolahnya. Aku mendengarkannya dengan antusias, dan sesekali bertanya. Hingga sampailah kami di taman tempat Faaz sudah menunggu. Entah apa jadinya, kalau tidak ada pria itu saat kejadian tadi. Aku sungguh berhutang budi padanya.“Assalamu’alaikum,” sapaku, karena Faaz sedang asyik dengan HP.“Oh, hai!” sahutnya spontan, dan langsung menyimpan HP. “Wah, ini, ya, jago