“Pergi kamu! Jangan pernah injak kakimu di rumah ini lagi!”
“Tapi, Yah. Aku ini anakmu,”
“Kau bukan anakku lagi! Bawa anak itu pergi dan jangan pernah kembali lagi!”
“Tapi ini cucumu, Yah. Dia darah dagingku sendiri mengapa ayah begitu membencinya?”
“Anak haram! Buat malu!”
“Hentikan, Yah!!!! dia bukan anak haram!”
“Plaakkk,,,,”
Lamunan ku terhenti setelah mengingat kejadian itu, sebuah tamparan yang ku ingat sampai saat ini. Namaku Yonna Azahra, biasa di panggil Yonna. Aku adalah anak satu-satunya di keluarga yang serba kekurangan, ku putuskan berhenti sekolah karena keterbatasan biaya. Ayahku hanya seorang penarik becak di kampung, pendapatan yang ia terima hanya cukup untuk makan sehari-hari sedangkan ibuku sendiri sudah meninggal dua tahun yang lalu, karena desakan ekonomi yang semakin sulit membuatku berpikir dewasa sebelum waktunya.
Pada tahun 2011 ku putuskan untuk merantau ke negeri Jerman, kehidupan yang aku jalani begitu bebas sehingga, membuatku terpengaruh dengan hal-hal yang negatif termasuk hubungan di luar nikah sehingga membuat aku hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki yang ku beri nama Daffa.
Saat ini Daffa berumur dua bulan, sedangkan ayahnya tidak mau bertanggung jawab dan pergi begitu saja, hidupku semakin hancur dan mau tidak mau aku harus menjadi orang tua tunggal untuk anakku. Karena merasa rindu dengan ayah, aku memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.
Saat aku kembali ke rumah, ayahku begitu murka ketika melihat anak yang aku bawa tanpa sosok seorang suami.
Dengan bercucuran air mata aku melangkahkan kakiku pergi, tidak tahu harus ke mana. Bahkan tetangga yang melihatku langsung mencibir tanpa memperdulikan perasaanku.
“Ih, pulang-pulang bawa anak, tanpa suami lagi.” Ucap seorang tetangga yang melintas tepat di depanku.
“Iya, tuh liat kasihan ayahnya sudah tua dirumah sendirian, sampai kerja banting tulang. Eh, anaknya malah buat malu, pulang dari luar negeri bukannya bawa uang yang banyak untuk ayahnya, ini malah bawa anak tanpa suami lagi.” Sambung seseorang yang berada di belakangku.
Aku hanya diam dan menunduk menahan malu, ku percepat langkah kakiku menghindari mereka yang berbisik menceritakan aibku.
“Nak, maafkan mama ya?” Ucapku pada anak yang saat ini berada dalam gendonganku.
Air mataku terus mengalir tidak dapat ku tahan lagi, entah sejauh mana kakiku sudah melangkah yang terpenting aku terhindar dari omongan-omongan yang membuat hatiku hancur. akhirnya aku berhenti tepat di depan gubuk tua yang hampir roboh namun, aku tidak ada pilihan lain yang terpenting anakku tidak kehujanan malam ini.
“Bangun-bangun! Ngapain kamu disini?”
Aku terkejut melihat seorang lelaki berbadan sangat kekar sudah berada di depanku, aku merasa sedikit ketakutan.
“Aa,,,, aku hanya ingin menumpang tidur disini,” jawabku terbata-bata, sambil terus melindungi Daffa anakku.
“Numpang tidur? Enak sekali kamu! Ini rumahku, Pergi!” Serunya dengan mata yang melotot ke arahku.
“Maa,,,, maaf, maaf aku tidak tau. Aku akan pergi sekarang,”
Ketika aku ingin menggendong anakku tiba-tiba lelaki tersebut merasa iba.
“Hey, tunggu! Itu anakmu?”
Aku melihat wajah anakku yang sedang tertidur.
“Iya, Ini anakku,”
Lelaki itu mengangguk.
“Kamu dan Anakmu mau ke mana?”
“Saya dari kampung sebelah, Mas. Saya dan anak saya mau pergi.”
Lelaki itu mendekatiku.
“Hari sudah hampir gelap, kamu dan anakmu boleh beristirahat disini.” Ucapnya.
“Kalau saya dan anak saya tidur di situ lalu, bagaimana dengan kamu?” Tanyaku dengan wajah bingung.
Lelaki itu terdiam sejenak, tak lama kemudian ia menyerngitkan dahinya dan berkata.
“Hmm,,,, tidak apa-apa, jangan pikirkan hal itu. Nanti aku diluar saja.”
Mendengar jawabannya aku merasa tidak yakin namun, setelah melihat langit hampir gelap seperti hendak turun hujan akhirnya aku menerima tawaran lelaki tersebut.
“Baiklah, kalau begitu terima kasih.” Ucapku padanya.
Benar saja, malam ini turun hujan yang sangat deras, kulihat di beberapa bagian atap rumah banyak yang bocor, aku memakluminya karena kondisi rumah ini memang sudah sangat tidak layak huni lagi.
“apa kamu dan anakmu terkena tetesan air hujan?” Tanya lelaki tersebut mengejutkanku.
“Ah tidak, tidak. Disini tidak ada yang bocor.”
“Yakin?” Tanyanya sambil melihat ke atap memastikan benar-benar tidak ada yang bocor di tempat aku tidur.
Setelah memastikan benar-benar tidak ada yang bocor, tanpa berkata sepatah kata pun ia langsung pergi.
Aku memeluk Daffa dengan erat. “Maafkan mama ya, Nak. Belum bisa memberikan yang terbaik untukmu.” Bisikku di telinga Daffa sambil menangis.
Suasana dingin membuatku terlelap, sesekali aku terbangun untuk memastikan Daffa masih ada di pelukanku dan tidak lupa pula aku memperhatikan sekeliling tempat tidur, aku takut jika lelaki bertubuh kekar itu ingin berbuat jahat pada kami berdua.
Tidak seperti biasanya Daffa tidur begitu pulas, kesempatan ini tidak ku sia-siakan. Aku mengemas barang-barang dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. “Sudah mau pergi?” Tanya lelaki bertubuh kekar itu Aku sedikit terkejut ketika menoleh ia sudah berada di belakangku, aku mengangguk pelan. “Iya, aku sudah mau pergi, terima kasih sudah mengizinkan aku dan anakku untuk bermalam di sini.” “Hemm,,,, sama-sama. Oh iya, mana suamimu?” Seketika mataku melotot menatapnya. “Dia sudah mati!” Seruku, tanpa aku sadari air mataku mengalir deras, teringat akan kejadian beberapa bulan lalu ketika suamiku pergi begitu saja tanpa mau bertanggung jawab pada Daffa anakku. “Oo,,,, oh maaf, maaf aku tidak bermaksud,,,,” “Ah sudahlah, tidak apa-apa. “ Jawabku langsung memotong perkataannya. “Sungguh aku minta maaf,” Aku menyeka air mataku dan tersenyum. “Kalau begitu aku pergi dulu,” “Hey, nona! Siapa namamu?” Aku me
Aku berusaha menyetop setiap mobil yang melintas di depanku.Tiba-tiba. “Mau kemana, Buk?” Tanya seorang sopir angkot dengan ramah padaku.“Saya mau ke kota, Pak.”“Ohh, kalau begitu naik saja, Buk. Kebetulan saya mencari penumpang tujuan kota.”Aku melihat uang di genggaman tanganku.“Segini cukup, Pak?” Tanyaku sembari menunjukkan uang yang aku pegang.“Hmm,,, cukup, Buk cukup.”Tanpa berpikir panjang, aku langsung naik ke dalam angkot tersebut.“Tunggu sebentar lagi ya, Buk. Saya masih menunggu penumpang lain,”“Iya, Pak. Tidak apa-apa.”Ketika muatan angkot sudah cukup banyak, sopir langsung berangkat menuju kota. Desakan demi desakan aku alami bersama penumpang lain ketika angkot yang aku tumpangi menambah muatannya.“Pak, sudah dong. Jangan nampah penumpang lagi, disini sudah sempit sekali!” Seru seorang wa
Setelah menidurkan Daffa, aku langsung menemui pemuda itu di ruang tamu. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, semua berisi barang-barang mewah dan mahal.“Apa kamu sudah beristirahat?” Tanya lelaki itu mengejutkanku, aku langsung salah tingkah ketika melihatnya menatapku.“Emm,,, sudah, Tuan sudah.” jawabku terbata-bata.“Kemarilah.”Aku berdiri di sampingnya.“Loh, kok berdiri? Sini duduk.”“Baik, Tuan.”Setelah aku duduk, lelaki itu mengulurkan tangannya.“Namaku, Rey Affandi. Panggil saja, Rey.”“Baik, tuan Rey. Namaku Yonna.”“Sebuah nama yang indah.” Pujinya, aku tersipu malu.“Bisa saja, tuan Rey.”“Hehe, kamu ke kota hanya berdua?”“Iya, Tuan.”“Apa suamimu tidak marah? Atau bahkan mencarimu?”Mendengar perkataannya, aku terdiam sejen
Aku menuju meja dapur, terdapat banyak makanan yang sudah disediakan yang kelihatannya sangat lezat. Baru saja aku membuka mulut, tiba-tiba Daffa menangis. Aku segera berlari menuju kamar. Aku langsung mendekap Daffa. “Iya, Sayang. Jangan menangis lagi, ini ibu.” Setelah Daffa berhenti menangis, aku langsung membawanya menuju meja dapur. Di sana aku langsung melahap makanan itu, tiba-tiba. “Siapa kamu?” Tanya seorang lelaki yang sangat mirip dengan tuan Rey. Aku terkejut, dan langsung terperangah menatapnya. “Ak,,, aku pembantu baru disini, Tuan,” “Pembantu?” Lelaki itu menatapku tak percaya. Aku mengangguk, makanan yang ada di dalam mulut langsung ku telan tanpa mengunyahnya lagi. “I,,,, iya. Saya pembantu baru disini.” “Siapa yang membiarkan kamu menjadi pembantu disini?” Tanyanya ketika melihat Daffa di dalam gendonganku. “Tuan Rey.” “Si, Rey? Mengapa dia membiarkan kamu membawa anak?” A
Malam harinya, tuan Rey pulang ke rumah dan membawa sebuah kursi roda untuk anak kecil.“Yonna,” panggilnya.Aku yang sedang berada di dalam kamar langsung bergegas keluar. “Iya, Tuan.”“Kesini, sebentar.”“Ada apa, Tuan?”Dia menyodorkan sebuah kotak besar padaku. “Ini, ambil untuk anakmu.”Aku menatap kotak besar itu dan bertanya. “Apa ini?”“Buka saja.”Tanpa menunggu lama aku langsung membuka kotak besar itu, agak susah. Ketika melihat isinya aku langsung terkejut.“Ini untuk anak saya, Tuan?”“Iya, itu untuk anakmu, agar kamu lebih mudah untuk bekerja.”“Terima kasih, Tuan Rey.”“Sama-sama. Emmm,,,, apa Abang saya sudah pulang?”“Sudah, Tuan. Itu di dalam kamar.”“Ohh,,,, yasudah kamu boleh pergi. Saya mau menemui Abang saya dulu.&rdq
“Tok,,,, tok,,,, tok,”Aku mengetuk pintu kamar tuan Roy, mencoba untuk membangunkannya.“Krieeett,,,,”Suara pintu terbuka, hatiku berdegup kencang seakan belum siap melihat ketampanannya.“Iya, Yonna. Ada apa?” Tanyanya yang saat itu sudah berdiri di depanku.“Emm,,, Tuan saya sudah siapkan makanan untuk malam ini,”“Oh, ya? Kamu sudah memberi tahu, Rey?”“Sudah, Tuan. Sekarang tuan Rey sedang menunggu tuan di meja makan.”“Wah! Aku keduluan , nih,” ucapnya sambil bergegas menutup pintu kamar dan berlari ke meja makan.“Hati-hati, Tuan!” Seruku ketika melihatnya berlari.Sesampainya di meja makan.“Wah, sudah duluan aja, nih.” Ujar Roy.“Abang lama, sih. Aku dari tadi sudah nungguin disini,”Roy menyerngitkan dahinya. “Nungguin? Kok itu Abang lihat s
Ku pandangi wajah Daffa anakku yang sedang tertidur lelap, tampak jelas wajah yang sangat mirip dengan ayahnya. Sekilas aku benci namun, terpikir lagi olehku bahwa Daffa adalah hartaku satu-satunya.“Jadi anak pintar ya, Sayang. Ibu akan melakukan apapun demi membuatmu bahagia.” Bisikku di telinga Daffa yang sedang tertidur lelap.Aku tidak tau perjuanganku sampai dimana, yang aku tau hanya bekerja siang dan malam demi hidup kami berdua.Baru saja aku memejamkan mata tiba-tiba. “Tok,,, tok,,, tok,” suara ketukan pintu terdengar sangat nyaring dari luar.“Yonna, apa kamu sudah tidur?” Suara yang tidak asing di dengar.“Tuan Roy. Ada apa, Tuan?” Tanyaku ketika membuka pintu, mendapati tuan Roy yang sudah berada di depan pintu kamarku.“Eh, belum tidur? Emm,,,, maaf mengganggu, Yon. Bisa tolong buatkan saya kopi?”“Kopi? Bukankah ini sudah malam, Tuan? Setau saya
“Ada apa, Tuan? Sepertinya Tuan Rey bingung.”“Iya saya bingung, Soalnya Abang saya baru kali ini mau minum kopi.”Mataku langsung membulat. “Jadi selama ini Tuan Roy, tidak pernah minum kopi?”“Emm,,,, bukan, bukan itu maksud saya, Yon. Dia sedikit trauma dengan kopi.”Aku semakin bingung. “Maksud Tuan?”“Akh, sudah lupakan. Apa kopinya sudah siap?”“Sudah, Tuan.”“Biar saya saja yang mengantarnya.”“Tapi, Tuan,”“Sudah, tidak apa-apa. Kamu kembali saja ke kamar,”“Kalau begitu baiklah, Tuan.”“Sudah kamu beri gula?”Aku terkejut mendengar pertanyaan Tuan Rey yang terakhir.“Su,,,, sudah, Tuan.”“Oh, saya kira belum. Soalnya dia trauma Pahit.”Aku langsung terkejut seketika, teringat kesalahan yang baru saja aku l