Dia masih menyajikan wajah sinis tak setuju. Tidak ada yang pernah bisa menentang ucapannya, pendapatnya.
“Jujur Cit. Kadang aku berpikir, kok banyak orang yang begitu menyederhanakan pernikahan? Begitu menyederhanakan proses pengenalan, taaruf katanya. Sampai banyak yang larut, banyak yang tiba-tiba pengen nikah. Sesederhana itukah pernikahan? Aku juga seorang yang mendukung pernikahan tanpa pacaran! Tapi pernikahan dengan perkenalan yang sangat singkat, juga tidak bisa aku terima. Tidak mudah, bagi kami yang sudah kenyang dengan kegagalan!” ucapnya penuh emosi.
“Ya, semua bisa terjadi! Karena kata mereka, banyak yang berbahagia hanya dengan taaruf singkat! Ya, bagi mereka yang punya takdir baik!” lanjutnya, masih dengan wajah sinis.
Dia mengambil jeda, dan melanjutkan, “Kami, yang sudah berkali-kali jatuh, terluka parah, apakah tetap akan terus berlari kencang? Jelas, tidak bisa lagi! Kami sudah pincang! Jelas, kini kami hanya bisa jalan pelahan, merawat luka, dan berharap kematian itu menjemput!”
“Astagfirullah, Aara! Kamu kenapa begini? Cukup!” sahut wanita di hadapannya, pun dengan kesabaran yang mulai habis.
****
Tidak ada manusia yang bisa memilih, lahir dari orang tua yang mana, dari keluarga yang mana. Semua adalah takdir, ketetapan Sang Pemilik Kehidupan. Tugas manusia, hanya menerima, ikhlas dan menjalani semuanya.
Pukul delapan pagi, ruangan dosen masih tampak sepi. Hanya ada dua orang wanita muda, yang sementara asyik berbincang sambil mempersiapkan diri masuk ke kelas masing-masing.
“Cit, kamu enggak punya jadwal, pagi ini?”
“Ada. Kamu lupa?”
“Masa sih?”
“Mulai deh!” Citra menggelengkan kepala, sadar bahwa sahabatnya itu kembali pada kebiasaannya, lupa.
“Oh ya. Aku sampai lupa. Aku mau menyampaikan, salam rindu seseorang untukmu, Ibu dosen cantik,” ujar Aara, tersenyum, menggoda.
“Ehm, mulai lagi deh.” Citra memegang kepala, sedang Aara semakin tersenyum lebar, masih mengejek.
“Kalau kamu cuma mau membahas Pak Restu, aku pergi lho!” lanjut Citra.
“Kok malah jadi sinis begitu?”
“Aku bosan saja, Ra. Aku sudah berulang kali memberi dia jawaban, tetap saja, mengejar aku!”
“Dia serius banget lho sama kamu. Aku saja yang enggak suka di awal, sekarang sudah mulai terbiasa dengan sikapnya. Karena dia memang serius sama kamu!” ucap Aara, semakin mendekat ke tempat Citra.
“Kamu kan tahu, alasanku menolak beliau!”
“Iya,” jawab Aara, singkat. Ekspresinya berubah kalem, setelah melihat respons Citra tidak senang dengan pokok bahasan mereka.
Aara dan Citra, kedua sahabat yang punya pengalaman yang sama pahitnya tentang pria. Jika Citra memiliki pengalaman buruk ditinggal menikah oleh pria yang dicintainya, Aara berbeda.
Pengalaman pahit orang tua dan orang di sekitarnya, membuatnya begitu trauma, menjalin kedekatan khusus dengan pria manapun.
“Sekarang, giliran aku bertanya sama kamu!” sambung Citra.
Aara membuang wajahnya. Dia sudah tahu, arah pembicaraan Citra.
“Kamu, kapan mau membuka hati?”
“Tidak akan!” jawab Aara, tegas.
“Aara! Semua punya kesempatan yang sama untuk menemukan seseorang yang baik. Kamu jangan selalu menyamakan semua pria itu jahat!”
“Kamu saja yang pernah gagal, belum mau membuka hati. Kok malah memaksa aku?”
“Iya, karena aku pernah gagal, bukan berarti kamu juga harus menutup diri. Ayolah!”
“Tidak, Cit!”
Citra menarik napas, dia kembali harus mengalah. Topik yang sama, selalu berujung pada hasil yang sama. Kalau dia tidak mengalah, yang terjadi adalah perdebatan panjang dengan si keras kepala Aara Malaika.
Jika Citra belum membuka hati dengan alasan ingin sendiri dulu, lain lagi dengan alasan sahabatnya itu. Aara benar-benar menutup hati.
“Bagaimana rencana Tante Dewi, jadi bulan depan?” lanjut Citra.
“Iya!”
“Kamu kenapa begitu? Kok kamu enggak bahagia sama sekali, Tante Dewi akan menikah?”
“Cit, aku betul-betul trauma, dengan kata pernikahan di keluargaku. Sangat trauma!”
“Ra, semua bisa bahagia! Tidak selamanya, kehidupan akan seperti yang kamu pikirkan!”
Aara menyeringai.
“Aku enggak paham! Kegagalan pernikahan di keluargaku sudah memecah rekor. Sudah bisa masuk MURI! Tapi, mereka masih saja menganggap pernikahan itu mudah, gampang? Heran aku!” kembali, Aara dengan kalimat tajam.
“Karena mereka punya harapan! Tidak seperti kamu, yang selalu saja berpikir negatif!” sanggah Citra.
“Cit, aku berpikir rasional, bukan berpikiran negatif! Tante Dewi dan calon suaminya, baru kenal, tiga bulan ini. Kami bahkan belum tahu, bagaimana kehidupan calon suaminya itu. Tante Dewi tidak lagi muda. Aku merasa sedih saja, jika dia harus merasakan kegagalan nantinya, di pernikahannya yang pertama, di usianya yang tidak lagi muda!”
“Kok kamu malah doanya seperti itu?”
“Bukan berdoa Cit! Kita diberikan akal untuk berpikir, mempertimbangkan. Karena banyaknya kegagalan, seharusnya membuat kita jadi lebih berhati-hati!”
“Aara, Aara. Aku mengaku tidak bisa berdebat dengan kamu, kalau bahas masalah ini.” Lagi, Citra menggelengkan kepala. Jelas tidak pernah ada cela baginya, untuk meruntuhkan tembok pertahanan sahabatnya itu.
“Begini, aku mau jelaskan ke kamu! Calon Tante Dewi, itu umurnya lebih muda tiga tahun. Kamu tahu, om Denni itu fisiknya sempurna. Sebagai wanita, aku menilainya sangat tampan. Yang membuat aku heran, pria dengan kualifikasi seperti dia, kok bisa, masih sendiri di usia lebih empat puluh tahun? Itu seharusnya menjadi pertimbangan. Di masa sekarang, mana ada pria yang bisa bertahan sendiri, sampai usia begitu, jika dia tidak punya masalah?”
“Aduh, Ra! Pikiran kamu tuh, terlalu berlebihan. Ya kan namanya jodoh, tidak ada yang tahu?” jawab Citra, yang mulai tidak santai.
“Apa yang membuat seseorang menjadi berhati-hati? Ya, karena dia pernah jatuh dan gagal. Ketika dengan kegagalan, belum bisa membuat kita jauh lebih baik, itu disebut apa?”
Citra terpaku. Seperti biasa, dia tidak punya kalimat, membantah argumen Aara.
“Ini sudah jam sembilan. Aku ke kelas dulu ya?” sambung Aara. “Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumussalam,” jawab Citra, tersenyum melihat Aara melangkah pergi.
Aara Malaika, sampai kapan kamu begini?
“Ibu Citra?” sebuah suara, memecah lamunan Citra.
Citra tersentak. Tiba-tiba ada suara yang menyapanya. “Hendri, silakan duduk.”
“Ibu, maaf saya agak terlambat,” ujar anak muda itu, lantas duduk di hadapan Citra.
“Iya, enggak apa-apa,” jawab Citra, ramah dengan senyumannya.
Citra adalah seorang dosen Ilmu Ekonomi, di sebuah perguruan tinggi negeri. Dia bersama dengan Aara, mulai bekerja di tempat yang sama, sejak setahun yang lalu. Namun, keduanya berada di jurusan yang berbeda. Jika Citra di jurusan Ekonomi, Aara di jurusan Matematika.
Hari ini, Citra datang lebih awal di kampus, karena ada janji bertemu dengan Hendri, salah satu mahasiswa bimbingannya.
“Proposal kamu yang sudah saya koreksi kemarin, bagaimana?”
“Iya Bu, ini sudah saya koreksi kembali, sesuai permintaan Ibu.”
“Oke, saya baca dulu ya?”
“Iya, Bu.”
Citra menerima proposal yang diserahkan Hendri. Namun, mata Hendri tidak lepas dari pandangannya menatap Citra. Saat dosennya itu, fokus membaca dokumen yang dia serahkan, dia malah mengambil kesempatan, menatap Citra lebih dekat.
Beberapa menit berlalu.
“Hendri, saya sudah baca keseluruhan isi proposal kamu. Untuk sekarang, sudah oke ya. Silakan kamu ke Pak Restu, untuk jadwal seminar kamu.”
“Baik Bu, terima kasih.”
Hendri mengambil dokumen yang diserahkan kembali oleh Citra. Dia bergegas berbalik, namun suara Citra menghentikannya. “Tunggu Hen!”
“Kamu ada apa, menatap saya seperti tadi?” tanya Citra, menatap Hendri, serius.
Hendri tersentak.
Dia salah tingkah, dia menunduk. “T-tidak, Bu,” jawabnya gagap.
“Hendri, saya tidak akan marah. Tapi, saya ingatkan saja, itu tidak sopan. Saya ini dosen kamu, ya, bukan teman kamu!”
“Iya, Bu. Saya mohon maaf.”
“Oke, kamu boleh pergi!”
Hendri langsung mengambil langkah seribu. Dia merasa sangat bersalah dengan sikapnya pada dosennya tadi. Dia berlari sampai tidak sadar, dia menabrak badan Fiki, yang sedang berdiri di depan kelas.
“Astagfirullah, sakit banget, Hen,” keluh Fiki, meraba-raba dadanya, yang terhantam badan Hendri, yang berlari kencang.
“Sorry, sorry.”
“Memangnya kamu kenapa?”
Hendri tidak langsung menjawab, dia masuk dan duduk di dalam kelas. Dia mengatur napas, rasa malu dan rasa bersalah, tidak bisa dia sembunyikan.
Setelah merasa tenang, Hendri menjawab pertanyaan Fiki. “Aku buat kesalahan besar, Fik, sangat besar,” ucapnya dengan napas, belum teratur.
“Kesalahan apa?”
“Ini tentang Ibu Citra.”
“Ckck. Kamu memang selalu cari masalah. Sudah aku ingatkan berulang kali, masih saja kamu lakukan.”
Hendri masih berusaha menormalkan napasnya.
“Fik, aku kan cuma pria biasa. Masa aku hanya diam, saat ada wanita sempurna di hadapanku. Wajah Ibu Citra, benar-benar adem, sangat menyejukkan. Dia seperti bidadari dari surga. Penampilannya tertutup, tetapi pesonanya justru semakin terpancar. Apalagi hari ini, dia memakai kerudung Pink, warna kesukaannya. Membuat wajahnya semakin bercahaya, penuh kelembutan.”
“Istigfar, ingat-ingat!” ujar Fiki.
“Astagfirullah. Ya Allah, kok aku bisa begini?” sesal Hendri.
“Hen, kamu harus ingat! Ibu Citra itu dosen kita, kamu mahasiswa. Ibarat langit dan bumi!” jelas Fiki.
“Tapi, jodoh tidak pernah ada yang tahu, Fik.”
Fiki tertawa. “Hendri, Hendri, kamu itu. Fokuslah ke skripsi kamu dulu. Oke?”
“Iya. InsyaaAllah, kalau jodoh tidak akan ke mana.” Fiki kembali tertawa dengan sikap rekannya itu. Hendri benar-benar jatuh hati ke dosennya sendiri.
“Jadi bagaimana proposal kamu?” sambung Fiki.
“Ibu Citra sudah memberi persetujuan, aku diminta menghadap ke Pak Restu, untuk mendaftar seminar.”
“Ehm, Pak Restu! Kamu sudah tahu tentang beliau?”
“Memang-nya ada apa?”
“Maka-nya, kalau ada telinga, dipakai dong! Apa kamu enggak pernah dengar, Pak Restu itu sedari dulu, berusaha mencari perhatian Ibu Citra.”
“Enggak, aku enggak pernah dengar.” Fiki menarik napas. “Kamu merasa siap, bersaing dengan Pak Restu?”
“Aku enggak pernah terpengaruh dengan apapun Fik. Yang aku yakini, jika kami jodoh, pasti kami akan bertemu.”
Lagi, Fiki dibuat terkekeh. “Kamu percaya diri banget ya, berjodoh dengan Ibu Citra.”
“Ya harus! Selain ini, memang aku punya apa, Fik?”
“Ya itu, kamu sadar! Cobalah berkaca sedikit, kita ini apa, dibandingkan ibu Citra, Pak Restu. Haa, Hendri, Hendri. Kamu ada-ada saja.”
“InsyaaAllah, tidak ada yang tidak mungkin, jika Allah sudah berkehendak!”
“Iya, aku setuju sama kamu. Tapi, sebagai sahabat, aku cuma ingin mengingatkan saja. Aku tidak ingin kamu terluka, berharap terlalu tinggi. Nanti jatuhnya terlalu sakit, Hen!”
“Iya, Fik, aku siap kok. Apapun yang terjadi pada akhirnya!”
Fiki tersenyum tidak percaya dengan kalimat Hendri. “Jujur, sebenarnya aku sangat ragu dengan ucapanmu itu. Dengan Vita saja, kamu sampai tidak bisa move on bertahun-tahun. Bagaimana aku bisa yakin, kamu bisa move on nantinya dari Ibu Citra?”
“Itu dulu Fik. Kamu kan percaya, dengan luka, setiap orang bisa menjadi lebih kuat dan lebih dewasa? Ya, itu aku sekarang!”
“Baiklah, aku berharap, semua akan berakhir baik. Kita kembali fokus ke skripsi!”
“Tunggu dulu, Fik!”
“Ada apa lagi?”
“Memangnya kamu sudah move on dari Ibu Aara?” Fiki salah tingkah.
Kei menerima surat itu, dia lantas membuka dan membacanya. Assalamu’alaykum Kei. Aku ucapkan selamat ya, pagi ini, kamu akan mengucap janji suci di hadapan Allah. Bersama wanita yang sangat kamu cintai. Tapi sayang, juga sangat aku cintai. Aku mohon maaf, aku bukan saudara yang baik. Aku tidak bisa hadir, di acara berbahagiamu. Kamu tahu kan Kei, aku sangat mencintai Aara. Aku takut, cintaku tidak sanggup, melihatmu bersamanya. Jeda. Kei, menghapus bulir air mata, yang membasahi pipinya. Dia begitu sangat bahagia, namun bersedih hati. Dia bisa menemukan cintanya, tetapi kehilangan saudaranya. Biarlah aku pergi, tanpa melukai cinta ini. Aku sangat mencintai Aara, tetapi aku sangat menyayangimu, sebagai saudaraku. Jaga Aara ya, Kei. Jaga dia. Dia wanita sangat istimewa. Aku mengalah, karena kamu lebih pantas untuknya, dibanding aku. Kei, aku amanahkan perusahaan kepada kamu ya. Aku telah meminta papa, m
Kehidupan selalu berjalan seimbang. Di tengah duka, akan selalu hadir tawa. Di tengah kebahagiaan Haikal, segera melamar wanita idamannya. Ada hati pria lain, yang sangat hancur. Keluar dari rumah sakit, kehidupan Kei, terus berjalan, namun tanpa ada lagi harapan. Tatapannya selalu kosong. Duka itu pun sampai kepada sahabatnya dan juga pada ibundanya. Mereka terus berupaya, mencari jalan, untuk bisa menguatkan dan membantu Kei, bisa melewati fase terberatnya ini. Tiba di rumah, Kei masih bersama diamnya. Sedang, sore ini adalah hari lamaran Haikal. Fajar terus hadir, mendampingi sahabatnya itu. Kasih sayang itu tampak jelas, sudah lebih dari sebuah persaudaraan biasa. “Maksud kamu, Kei?” Fajar tersentak dengan ucapan Kei tak lama setelah tiba di rumah. “Kamu enggak usah sembunyikan lagi, Jar. Aku sudah tahu semuanya.” Fajar salah tingkah. “Kita akan ke rumah Aara, kan?” Fajar kembali salah tingkah. “Kamu tidak
“Nanti, aku bertemu dengan kak Haikal saja. Untuk kak Kei, bisa melalui telepon saja,” sambung Aara. “Aara! Kamu ini kenapa?” Citra mulai kesal dengan semua kalimat yang disampaikan Aara. “Kenapa?” “Kak Kei yang banyak berjuang untuk kamu, mengapa malah perhatian kamu, lebih besar ke kak Haikal?” “Kan selama ini, memang komunikasi dengan kak Kei, enggak pernah langsung, Cit. Sedang kak Haikal, sejak awal, memang kita selalu bertemu langsung.” “Aku mulai merasa, hatimu lebih terpaut pada kak Haikal.” “Kamu keliru Cit.” “Keliru apanya? Jelas sekali, perlakukan kamu berbeda. Kamu tidak pernah menjaga perasaan kak Kei. Apakah karena kak Haikal lebih mapan?” “Citra! Maksud kalimat kamu, apa?!” Berbalik, Aara sedikit emosional mendengar tuduhan Citra. “Ya, itu pikiran aku saja. Karena kamu lebih memperioritaskan semua tentang kak Haikal, sedang hal berbeda kamu tunjukkan ke kak Kei. Padahal dia sudah
Aara menghela napas. Dia syok, tertekan, bingung. “Kemudian?” “Aku tidak sadar, menatap kak Fajar, membuatku mengabaikan kak Rahmat. Aku tidak fokus, terhadap semua apa yang beliau ucapkan.” “Kak Fajar tahu keberadaanmu?” “Kayaknya enggak, karena dia bersama beberapa temannya.” “Jadi, apa yang terjadi?” “Kak Rahmat menyadari perubahan sikapku. Dia bertanya. Siapa kak Fajar, apakah aku kenal?” “Ya Allah. Citra, Citra….” “Aku tidak bisa bohong, Ra. Makanya aku katakan yang sebenarnya.” “Tanggapannya?” “Cit. Kamu tahu kan, aku sangat mencitaimu. Sangat mengharapkanmu, jadi pendamping hidupku sehidup sesurga. Tapi, aku merasa hari ini, aku tidak pantas untuk itu. Beberapa tahun kita saling kenal, aku tidak pernah melihat sinar mata itu, ada untuk aku. Apakah aku sanggup, menyakiti hati seseorang yang sangat aku cintai, dengan memaksanya mencintaiku? Kita tidak lama lagi akan menikah, te
Beberapa saat kemudian, Haikal pamit. “Sin, kamu lihat? Kalau seperti ini, aku semakin tidak enak dan berutang budi kepada mereka. Bagaimana jika Aara menolak Haikal?” “Keluarga mas Harun, keluarga yang tulus, Mas. InsyaaAllah, mereka bisa menghargai semua keputusan Aara. Karena Aara sudah dewasa. Kita tidak mungkin mencampuri keputusannya. Mas kan tahu, bagaimana karakter Aara. Hubungan Mas dan Aara pun, belum membaik. Sinta khawatir, jika kita terlalu jauh masuk ke dalam persoalan Haikal dan Aara, Aara semakin menjaga jarak dari kita.” “Aku merasa persoalan ini begitu rumit. Mengapa Haikal harus jatuh hati pada Aara. Kekhawatiranku terlalu besar, hal ini akan mempengaruhi hubungan baik kita dengan keluarga Harun.” “InsyaaAllah, Mas. Sinta yakin, Aara akan mengambil keputusan terbaik.” “Amin.” *** Tiba di kantor, Kei dikejutkan dengan kehadiran Fajar, di ruangannya. “Pak Fajar Bimantara? Kamu udah balik?”
“Fajar menitip salam untuk kamu. Dia lagi dapat tugas, mendampingi CEO ke London. Besok atau lusa udah balik!” Citra hanya tersenyum. Dia bingung, menyusun kalimat. Kadang rindu, tidak bisa terwakilkan dengan bahasa apapun. Beberapa menit berlalu. Kei pamit, dan meninggalkan warung soto Mas Tomo. “Cit?” “Iya Ra.” “Aku bingung. Sebenarnya bagaimana hubungan kalian?” Citra terpaku. “Kak Rahmat, Pak Restu? Kamu terlalu banyak fans, aku jadi pusing!” sambung Aara. Citra tersenyum. “Ra, sebanyak apapun orang yang datang dalam hidup kita, hati akan tetap terpaut pada cinta. Sejauh apapun kita melangkah, sejauh apapun jarak tercipta, cinta itu tetap akan berada di tempatnya.” “Aku semakin bingung dengan kalimat kamu. Bukannya tanggal pernikahan kamu dan kak Rahmat sudah ditentukan?” Citra hanya tersenyum. Aara menggeleng, tidak mengerti sikap sahabatnya itu. “Ra