Mag-log in“Kamu tidak perlu tahu apa paketnya, yang penting bayarannya besar. Kalau sehari kamu bisa antar empat paket, kamu akan dapat dua juta. Gimana? Tertarik?”
Sejenak Kalandra berpikir. Hanya mengantar empat paket, dia mendapat bayaran besar. Tidak butuh otak pintar baginya untuk menebak apa isi paket tersebut. “Kalau kamu bersedia, kamu bisa mengambil jatah ku hari ini. Besok aku akan mencoba mencari slot untuk mu. Gimana?” Ada keraguan dalam benak Kalandra. Uang yang ditawarkan sepadan dengan resiko yang ditanggung. Namun saat ini dirinya juga dalam keadaan terdesak. “Tapi aman kan?” “Aman. Kita mengantarkan ke alamat pemesannya langsung. Bentuknya juga seperti paket biasa, jadi ngga akan ada yang curiga.” “Oke, aku mau.” Walau resikonya sangat besar, namun akhirnya Kalandra memutuskan untuk mengambil pekerjaan tersebut. Jumlah bayarannya yang menjadi bahan pertimbangan. “Kirim paketnya mulai dari siang, satu-satu. Kamu narik aja dulu. Nanti aku kabarin kalau paketnya sudah siap.” “Oke, thanks Bang.” Kalandra menepuk pelan pundak temannya ini. Sambil membawa gelas kopi, keduanya kembali pada rekan-rekannya. “Ndra, kita tahu kalau ini ngga seberapa. Tapi tolong diterima ya. Kita cuma bisa bantu segini. Lumayan bisa dipakai buat beli obat Nabil.” Chandra menyerahkan amplop putih yang sudah lusuh pada KalanNdra. Saat pria itu membeli kopi, Chandra meminta sumbangan pada rekan-rekannya untuk pengobatan Nabila. “Eh, apa ini, Kang? Ngga usah. In Syaa Allah buat obat Nabil masih ada.” “Terima aja, Ndra. Lumayan buat tambah-tambah,” timpal Dedi. “Eh aku belum nyumbang,” celetuk Heri. Pria itu mengambil selembar lima puluh ribuan dari dompetnya lalu memasukkan ke dalam amplop tersebut. “Ambil, Ndra.” Ragu-ragu Kalandra menerima amplop berisikan uang patungan rekan ojolnya. Keharuan menyentak batinnya. Kalandra tahu pendapatan mereka tidak seberapa, tapi mereka masih mau menyisihkan sebagian penghasilan untuk membantunya. “Terima kasih, ya. Semoga rejeki kalian semua ditambah sama Allah.” “Aamiin yang kencang,” jawab Chandra disertai yang lain. “Aku pergi dulu ya, ada pesanan masuk.” Kalandra segera menuju motornya ketika pesanan penumpang masuk ke aplikasinya. Setelah mengenakan helmnya, dia segera meluncur ke lokasi penjemputan. *** Baru dua jam mengojek, tapi dia sudah mendapatkan empat orang penumpang. Bahkan semua penumpang yang diantarkan memberikan tips cukup besar untuknya. Kalandra menghentikan motornya ketika ponsel yang tersimpan di bagian depan motornya bergetar. Mata KalanNdra melirik ke layar ponsel. Nampak nama suherman tertera di sana. Langsung saja pria itu menepikan kendaraannya. “Halo.” “Ndra, masih narik ngga?” “Baru beres nurunin penumpang. Kenapa Kang?” “Bisa bantuin aku pindahan? Ini ada customer pindahan.” “Bisa, Kang. Kirim aja alamatnya.” Tak berselang lama, alamat yang dikirimkan Suherman masuk. Lebih dulu Kalandra mematikan aplikasi di ponselnya, agar tidak ada pesanan yang masuk. Pria itu memacu kendaraannya lebih cepat menuju tujuan. Sesampainya di tujuan, tanpa banyak bicara Kalandra langsung membantu Suherman yang tengah memindahkan barang-barang ke dalam truk dibantu dua orang lainnya. Dia memang sering dipanggil Suherman saat mendapat proyek pindah rumah. “Pindahnya kemana, Kang?” “Dekat kok, cuma beda RW aja.” Sebuah lemari kecil dinaikan ke atas truk dan itu adalah barang terakhir. Suherman menepuk bodi truk, dan tak lama kemudian kendaraan besar itu mulai bergerak maju. Suherman menumpang di motor Kalandra , mengikuti dari belakang. Hanya sepuluh menit saja, mereka sudah sampai ke tujuan. Kembali keempat orang itu menurunkan barang dan menatanya ke dalam rumah. Hampir dua jam lamanya mereka berjibaku memindahkan barang. Dan sekarang mereka tengah menikmati minuman dingin yang disuguhkan sang empu rumah. Suherman menghitung jumlah uang yang didapatnya. Diambilnya dua lembar seratus ribuan, kemudian memberikan pada KalanNdra. “Makasih, Kang.” “Ngga banyak, Ndra. Soalnya yang pindah tetangga. Jadi tarifnya harga tetangga.” “Ngga apa-apa, Kang. Segini juga udah Alhamdulillah.” “Aku salut sama kamu, Ndra. Usia kamu masih muda, kamu juga sarjana, tapi kamu ngga gengsi kerja apa aja buat anak istri kamu.” “Kalau gengsi, anak sama istri ngga akan makan, Bang. Apalagi Nabil butuh biaya pengobatan. Aku ngga bisa pilih-pilih pekerjaan.” “Tapi kamu tetap harus istirahat cukup. Kalau kamu sakit, malah repot jadinya.” “Iya, Kang.” Perbincangan keduanya terinterupsi ketika mendengar dentingan ponselnya. Nampak nama Heri yang mengirimkan pesan. Pria itu mengiirmkan alamat kemana Kalandra harus pergi. “Kang, aku pergi dulu.” “Oke. Makasih ya, Ndra.” Kalandra membunyikan klakson seraya menjalankan kendaraannya. Jarak yang harus ditempuh oleh pria itu untuk sampai ke tempat tujuan cukup jauh. Empat puluh menit kemudian akhirnya Kalandra sampai di tujuan. Nampak Heri sedang menunggunya. “Sorry lama. Tadi habis bantu yang pindahan dulu.” “Santai aja. Nih dua paket dulu.” Heri memberikan dua buah paket berukuran kecil. Kalandra segera memasukkan dua dus kecil tersebut ke saku jaketnya. Kalandra sudah mengganti jaket hijaunya dengan jaket hitam. “Antar yang mana dulu?” “Bebas, asal jangan terlalu lama.” “Oke.” Kalandra langsung menjalankan kendaraannya. Dia tidak boleh terlambat mengirimkan paket. Pria itu tidak mau Heri terkena teguran karena dirinya. Kalandra menurunkan kecepatannya ketika melihat banyak kendaraan roda dua menepi. Jantungnya langsung berdegup kencang ketika melihat beberapa petugas Polisi tengah melakukan razia. Walau Heri tidak mengatakannya, namun Kalandra tahu paket apa yang tengah dibawanya. Kalau dirinya sampai terkena razia dan barang itu diketahui Polisi, maka dirinya akan berada dalam bahaya. Sambil terus berdoa dalam hati, Kalandra terus melajukan kendaraan roda duanya. Seorang Polisi menggerakkan tangannya, meminta Kalandra untuk terus maju. Pria itu menghembuskan nafas lega berhasil lolos dari razia. Dia menambah kecepatan motor agar cepat sampai di tujuan. Tempat pertama yang dikunjunginya adalah sebuah gedung apartemen. Pemesan barang haram tersebut rupanya tinggal di sebuah apartemen mewah. Setelah memarkirkan motornya, Kalandra segera menuju resepsionis. Dia perlu kartu akses untuk sampai ke lantai 15. Dibantu sang resepsionis, pria itu memasuki sebuah lift. Perlahan kotak besi tersebut bergerak naik. Sesampainya di lantai lima belas, Kalandra bergegas keluar. Keadaan di koridor lantai 15 nampak sepi. Dengan langkah panjang pria itu segera menuju unit 1512. Tak lama setelah dirinya memijit bel, pintu terbuka. Dari dalamnya muncul seorang pria dengan rambut sedikit acak-acakkan, wajahnya sayu dan matanya kemerahan. Melihat orang yang menyambutnya, Kalandra semakin yakin kalau barang yang dikirimkan olehnya adalah nark*ba. “Paket untuk Regi.” “Ya.” Kalandra memberikan salah satu paket pada Regi. Selesai mengantarkan paket pertama, Kalandra melanjutkan perjalanan menuju lokasi kedua. Kali ini dia akan mengantarkan paket ke sebuah hotel. Kini Kalandra sudah berada di kamar 0809. Dipijitnya bel yang ada di samping pintu. Cukup lama Kalandra menunggu, namun pintu tak kunjung terbuka. Lagi dia memijit bel, memanggil penghuni kamar untuk cepat membuka pintu. Ketika Kalandra hendak memijit bel untuk ketiga kalinya, akhirnya pintu terbuka. Dari dalam kamar muncul seorang wanita mengenakan lingeri tipis yang sedikit mengekspos bagian dadanya. Sontak Kalandra langsung memalingkan wajahnya.Diliriknya Alya yang masih menunggunya di kasur. Kalandra menarik nafas panjang sebelum menggeser ikon hijau. “Halo.” “Halo, Kala. Bagaimana keadaan anak mu?” “Sudah baikan, Bu.” “Tapi aku yang tidak baik-baik saja. Aku mau kamu menemui ku sekarang. Aku akan mengirimkan lokasi apartemen ku. Aku tunggu secepatnya. Aku di unit 1807.” Panggilan langsung berakhir setelah Yulia menyelesaikan kalimatnya. Kalandra masih termangu di tempatnya. Perasaan tak tenang langsung merayapi hatinya. Akhirnya waktu yang ditakutinya tiba juga. Sudah saatnya dia menjual diri pada Yulia. “Siapa yang telepon, Mas?” suara Alya membuyarkan lamunan Kalandra. “Telepon dari kantor, sayang. Mas ada pekerjaan.” “Harus pergi sekarang?” “Iya.” Kalandra berjalan pelan menuju ranjang. Pria itu mencium bibir Alya dengan mesra. Inginnya dia menghabiskan waktu bersama Alya lebih dulu, namun Yulia sudah memberinya ultimatusm. Pria itu harus segera sampai di apartemen wanita itu. Suara dentingan ponsel membuat
“Benarkah? Tapi dari mana Mas dapat uangnya?” “Aku dapat pinjaman dari kantor atas rekomendasi Bu Yulia.” “Bu Yulia?” “Dia komisaris utama di kantor ku. Yang waktu itu aku temui.” “Ooh..” Hanya itu saja jawaban yang keluar dari mulut Alya. Setiap mendengar nama Yulia, entah mengapa hatinya resah. Perasaannya selalu tidak enak jika menyangkut wanita itu atau pun Mega. “Tapi jumlahnya besar, Mas. Bagaimana membayarnya?” “Ya memang ada konsekuensinya. Aku harus rela kerja lebih keras lagi. Jadwal pemotretan akan ditambah. Aku juga diminta menjadi kameramen film pendek produksi mereka. Bayaran jadi kameramen lebih besar dan aku bisa cepat melunasi hutang ke kantor.” Dengan lancar Kalandra mengatakan kebohongan yang sudah tersusun rapih di kepalanya. Dia tahu benar kalau sang istri pasti akan menanyakan dari mana uang yang didapatnya berasal. Tidak mungkin juga Kalandra mengatakan kebenarannya. Alya pasti akan mengamuk dan memintanya mengembalikan uang tersebut. “Setelah Nabil men
Seketika Kalandra membeku. Yang diinginkannya mencari uang untuk biaya operasi putrinya, bukan menjual diri. Tapi Yulia justru memanfaat situasi demi keuntungannya sendiri. “Apa saya tidak bisa membayar dengan cara lain? saya bersedia bekerja lebih lama sebagai ganti uang yang dipinjam.” Akhirnya Kalandra membuka suaranya juga. Pria itu masih berusaha untuk bernegosiasi. Semoga saja Yulia luluh dan mau mengabulkan permintaannya. “Aku meminjami uang dari uang pribadi ku, bukan uang perusahaan. Jadi yang harus kamu kerjakan sebagai bayaran, tidak ada hubungannya dengan urusan kantor. Kalau kamu setuju, aku bisa langsung mentransfer ke rekening mu sekarang juga.” “A.. apa yang harus saya lakukan?” “Kamu jangan pura-pura tidak tahu. Kita ini sama-sama sudah dewasa. Kamu pasti tahu apa yang ku inginkan. Kalau kamu bisa membuat ku puas dan senang, aku bisa menambahkan bayaran untuk mu. Berapa yang kamu butuhkan?” Yulia mengambil ponselnya. Wanita itu hendak mentransfer uang melalui i
Waktu syuting memakan waktu lebih lama dari perkiraan Kalandra. Disangkanya proses syuting ini sama ketika pria itu merekam adegan percintaan Irving dan Davina. Ternyata proses pembuatan blue film lebih rumit. Mereka harus berganti beberapa pose dan tempat. Tidak terbayang bagaimana peningnya kedua orang itu ketika harus selalu berhenti di tengah percintaan mereka. Selain kru yang bertugas, Mega dan Yulia juga menyaksikan jalannya syuting. Keduanya terlihat tenang, seperti sudah biasa melihat pemandangan seperti ini. “Oke take terakhir ya. Andrei, klimaksnya harus oke!” seru sang sutradara. Tidak ada jawaban dari Andrei, pria itu hanya mengangkat jempolnya saja. Sekarang keduanya kembali berada di kasur. Vivian berada di bawah, dan Andrei berada di atasnya. Keduanya kembali melakukan percintaan sesuai arahan sang sutradara. Kalandra terus bergerak mengarahkan kameranya. Pria itu semakin panas dingin saja. Apalagi ketika mendengar lenguhan panjang Vivian ketika wanita itu mencapai
Kalandra melemparkan senyum kikuknya pada Yulia. Pria itu mendudukkan dirinya di samping wanita cantik itu. Mega yang menempati kursi yang sejajar mereka melihat keduanya dengan tatapan cemburu. Dari bahasa tubuh Yulia, wanita itu tahu kalau sang komisaris utama tersebut tertarik pada Kalandra. Mega tahu betul bagaimana sepak terjang Yulia, jika wanita itu menginginkan sesuatu, maka bagaimana pun caranya dia harus mendapatkannya. Dan sekarang Kalandra yang menjadi incaran wanita itu. Entah apakah Kalandra mampu menghindar dari jeratan Yulia. “Apa kamu pernah ke Raja Ampat sebelumnya?” tanya Yulia membuka pembicaraan. “Belum pernah.” “Di sana pemandangannya sangat indah. Nanti aku akan mengajak mu berkeliling. Proses pemotertan hanya berjalan tiga hari, aku akan mengajak mu berjalan-jalan setelahnya.” “Terima kasih. Tapi setelah pemotretan, aku harus segera pulang ke Bandung.” “Kenapa?” “Anak saya sedang sakit.” “Bukankah ada Ibunya?” “Penyakit yang diderita anak saya bukan pe
Terdengar helaan nafas panjang Bayu. Inilah yang ditakutkannya sejak pria itu menangani Nabila. Detak jantung anak itu terdengar tidak beraturan. Tapi Bayu masih mencoba menanganinya menggunakan obat-oabatan. Dan ternyata sekarang anak itu benar-benar membutuhka operasi. Entah bagaimana perasaan Alya jika tahu soal ini. “Tapi biasanya penderita sel sabit lebih sering mengalami takikardia dibanding bradikardia.” “Ya, kondisi Nabil cukup unik. Bisa jadi bradikardia yang dialaminya karena obat-obatan yang digunakan, bisa juga karena komplikasi yang disebabkan sel sabit.” “Kapan operasi pemasangan pacemaker dilakukan?” “Kita harus melihat kondisi Nabila dulu. Dokter tahu sendiri bagaimana keadaan Nabila. Kita tidak bisa asal menjadwalkan operasinya. Kami menunggu arahan dari dokter Bayu.” “Saya akan mengendalikan sirkulasi darahnya lebih dulu.” “Tapi anak itu juga tidak bisa menunggu terlalu lama.” “Saya akan melakukan yang terbaik.” Setelah MRI Nabila selesai dilakukan, anak itu







