LOGIN“Kamu siapa?”
Sebuah suara lembut menyapa indra pendengaran Kalandra. Pria itu memberanikan diri melihat pada wanita di depannya. “Paket untuk Vicko.” “Sayang.. ada paket untuk mu!” teriak wanita itu sambil melihat ke arah dalam. “Ambil aja, sayang!” terdengar jawaban dari dalam. “Sudah dibayar, Mas?” “Sudah.” Kalandra menyerahkan dus kecil di tangannya. Sepertinya wanita itu tidak tahu kalau paket yang dipesan kekasihnya berisi barang haram. “Terima kasih,” ucap wanita itu seraya melemparkan senyum manis. “Sama-sama.” Kalandra bergegas meninggalkan kamar tersebut. Dia tidak nyaman melihat wanita yang menyambut kedatangannya. Sebagai pria normal, melihat penampilan wanita tadi sunggguh menggoda iman. Usai mengantarkan paket kedua, Kalandra bermaksud kembali dulu ke rumahnya. Dia ingin beristirahat sejenak. Membantu Herlambang tadi cukup menguras tenaganya. Kendaraan roda dua milik Kalandra berbelok memasuki sebuah gang kecil yang tepat berada di samping rumah sakit tempat anaknya dirawat. Dia terus menjalankan motornya menyusuri deretan rumah. Lima puluh meter kemudian pria itu menghentikan motor di depan sebuah rumah kecil bercat hijau. “Mas Andra, katanya Nabil masuk rumah sakit lagi?” tanya salah satu tetangganya. “Iya, Bu. Tadi pagi dibawa lagi ke rumah sakit.” “Ya Allah, penyakitnya kambuh lagi?” “Iya, Bu.” “Sabar ya, Mas. Mudah-mudahan Nabil cepat diberi kesembuhan.” “Aamiin.. makasih buat doanya, Bu.” “Kalau Alya di rumah sakit?” tanya tetangga yang lain. “Iya, Bu.” “Nanti kita ke sana jenguk Nabil.” “Iya, Bu. Masuk dulu, Bu.” Kalandra menganggukkan kepalanya. Tangannya bergerak memasukkan anak kunci kemudian membuka pintu. Pria itu membuka jaketnya kemudian menggantung di paku yang ada di dekat pintu kamar. Dia mengambil dulu segelas minuman dingin kemudian meneguknya sampai habis. Sekilas Kalandra melihat jam yang tergantung di dinding. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Pria itu bangun dari duduknya, menyambar handuk yang ada di dalam kamar kemudian masuk ke kamar mandi. Tubuhnya lengket seharian berada di jalan dan membantu mengangkut barang pindahan. Ditambah lagi dengan cuaca kota Bandung yang terik seharian ini. Lima belas menit kemudian Kalandra keluar dari kamar mandi. Tubuhnya terasa lebih segar setelah terguyur air dingin. Pria itu menuju dapur, memanaskan air menggunakan panci kecil untuk membuat kopi. Sambil menunggu panas kopi buatannya sedikit berkurang, Kalandra duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya. Dia sedang mencari informasi pekerjaan tambahan yang bisa dilakukan olehnya. Diambilnya cangkir kopi kemudian menyeruputnya pelan sambil tak melepaskan pandangan dari layar ponsel. Kalandra menaruh kembali cangkir kopinya ketika sebuah panggilan masuk ke ponselnya. “Halo.” “Ndra, lo di mana?” Dari seberang terdengar suara Panca, teman kuliahnya dulu. Dari pria itu dia sering mendapatkan job sebagai fotografer dadakan. “Di rumah, kenapa?” “Lusa sibuk ngga?” “Kenapa? Lo ada kerjaan?” “Yoi, tetangga gue mau nikah. Dia mau bikin foto pre wedding. Lo bisa kan?” “Bisa.” “Oke deh. Lusa ketemu dulu sama orangnya sama deal-dealan harga.” “Siap.” Panggilan keduanya berakhir. Senyum di wajah Kalandra terbit. Ada peluang lagi untuk menghasilkan uang selain dari mengojek. Pria itu nampak antusias. Dia yakin, asal mau bekerja keras, jalan untuk mendapatkan uang untuk pengobatan putrinya akan selalu terbuka. Baru saja panggilan Panca berakhir, ponsel Kalandra kembali bordering. Kali ini Heri yang menghubunginya. Dengan cepat Kalandra langsung menjawab panggilan. “Ndra, paket yang tadi udah dikirim?” “Udah.” “Good. Nih dua paket lagi. Kamu bisa ke tempat ku?” “Di mana?” “Kontarakan ku.” “Oke.” Tanpa menunggu lama, Kalandra langsung bersiap. Dia mengenakan kembali jaket hitamnya. Jaket ojeknya ditaruh di bagasi motor. Sambil menenteng helmnya, pria itu keluar dari rumah kontrakannya. Setelah mengunci pintu, dia segera melaju dengan motornya. Tak sampai setengah jam dia sudah sampai di depan kontrakan Heri. Pintu rumah pria itu nampak tertutup rapat. Heri adalah seorang duda. Dia berpisah dengan istrinya dua tahun lalu, anak semata wayangnya dibawa oleh mantan istrinya. Sementara pria itu hidup sendiri, sudah seperti seorang bujang. Walau berprofesi sama seperti dirinya sebagai pengojek online, namun gaya hidup Heri terbilang cukup tinggi. Dia sering mengenakan pakaian bermerk dan makan di café atau restoran. Hari ini Kalandra baru tahu, dari mana pria itu mendapatkan uang. Namun begitu Kalandra tidak pernah menghakimi apa yang dilakukan Heri. Toh sekarang dirinya juga melakukan pekerjaan seperti pria itu, mengantarkan barang haram demi pengobatan putrinya. Kalandra segera mengirimkan pesan pada Heri. Tak sampai lima menit pintu rumah Heri terbuka. Rambut pria itu terlihat kusut, dan tubuhnya hanya terbalut bokser saja. Dengan gerakan kepala dia meminta Kalandra untuk masuk. Pria itu segera turun dari motornya kemudian masuk ke dalam kontrakan Heri. Baru saja Kalandra mendaratkan bokongnya di kursi tamu, dari arah kamar muncul seorang perempuan mengenakan kaos dengan sepanjang selutut kemudian berlari ke kamar mandi. “Pacar Abang?” “Pacar kalau lagi ada uang. Kalau ngga ada aku ditendang, hahaha..” Tak ayal Kalandra ikut tertawa mendengarnya. Sejak bercerai, Heri memang terkenal sering bergonta-ganti pacar. Kadang pacarnya pegawai di supermarket di depat tempat mereka berkumpul. Kadang penjaga counter, bahkan pernah Heri memacari seorang gadis SMA. Entah gombalan apa yang diberikan olehnya, hingga gadis belia itu mau saja dijadikan pacaran oleh pria yang usianya sudah kepala tiga. “Abang ngga ada niat nikah lagi gitu?” “Ngga lah. Ribet nikah tuh, tanggung jawabnya besar. Mending kaya sekarang. Pacaran, kalau udah ngga cocok, langsung pisah, beres.” “Tapi si adik ngga ada ngelus,” goda Kalandra sambil melihat pada senjata pusaka Heri dibalik celana boksernya. “Kata siapa. Pas kamu datang, aku baru ganti oli, hahaha..” Kepala Kalandra hanya menggeleng saja. Tahu tujuan kedatangan temannya itu, Heri segera bangun dari duduknya lalu masuk ke dalam kamar. Tak lama kemudian dia keluar dengan dua paket berbentuk dus kecil di tangannya. “Yang buat Dini, antar sekarang. BTW dia belum bayar. Nanti ambil aja bayarannya terus setor ke aku. Kalau buat Chiko, antarnya malam, sekitar jam delapan.” “Oke, Bang.” Kalandra menganggukkan kepalanya. Dia langsung mengambil dua dus tersebut kemudian memasukkan ke saku dalam jaketnya. Bertepatan dengan itu, pacar Heri keluar dari kamar mandi. Kalandra buru-buru berpamitan. Ketika pria itu sedang memakai sepatunya, tanpa sengaja sudut matanya menangkap Heri tengah berciuman dengan pacarnya. Bergegas Kalandra meninggalkan rumah kontrakan temannya itu. *** Motor yang ditunggangi Kalandra berbelok memasuki sebuah komplek perumahan mewah. Dia menurunkan kecepatannya sambil mencari nomor rumah yang dimaksud. Setelah melewati beberapa deret rumah mewah, Kalandra berhenti di depan sebuah rumah besar dengan pagar tinggi berwarna hitam. Lebih dulu pria itu mencocokkan alamat rumah beserto nomornya dengan alamat yang diberikan Heri. Setelah yakin, Kalandra turun dari motornya. Dia berjalan mendekati pintu pagar. Tangannya terulur memijit bel yang ada di dekat pintu pagar. GUK! GUK! GUK!“Papa.” Suara si kecil Nabila langsung terdengar ketika Kalandra memasuki ruang rawat inap di mana anaknya berada. Ruang kelas dua ini dihuni oleh empat pasien dan semua bed sudah terisi. Kalandra mendekati ranjang putrinya kemudian mendudukkan diri di samping ranjang. Sebelumnya dia mencium dulu kening anaknya. “Mama mana, sayang?” Hanya gelengan kepala yang diberikan Nabila. Kalandra meraih tangan kecil putrinya. Hatinya miris melihat jarum suntik yang menancap di kedua lengan anaknya. Satu jarum infusan dan satu lag jarum trasfusi darah. Diraihnya tangan Nabila kemudian mengecup punggung tangannya. “Pa, kapan Nabil pulang?” “Nanti kalau Nabil sudah sembuh. Nabil yang sabar ya.” “Nabil kangen sama Puput.” Puput adalah teman main Nabila. Rumahnya hanya berjarak tiga rumah saja dari kediaman Kalandra. Hampir setiap hari Puput juga menanyakan tentang Nabila. “Puput juga kangen sama Nabil. Kalau keadaan Nabil sudah sehat, Nabil bisa pulang dan bermain dengan Puput lagi.” Sebuah
Di halaman belakang rumah mewah dan megah ini, nampak beberapa orang berkumpul bersama. Rupanya Chiko tengah mengadakan pesta di kediamannya. Kembali Kalandra dibuat tak nyaman melihat orang-orang yang hanya mengenakan pakaian minim. Para wanita mengenakan bikini, sementara para pria mengenakan segitiga pengaman saja. Untuk sesaat Kalandra hanya bertahan di tempatnya. Dia tidak tauhu bagaimana rupa Chiko. Orang-orang yang ada di halaman belakang sibuk dengan urusannya masing-masing. Mata Kalandra mencari orang yang bisa ditanya olehnya. Pria itu segera menyingkir ketika dua orang yang tak jauh darinya tengah asik beradu bibir. Bunyi decapan mereka bahkan sampai terdengar ke telinganya. Beruntung ada seorang pelayan melintas di depannya. “Maaf, kalau Pak Chiko di mana?” Pelayan pria itu mengedarkan pandangannya sejenak. Kemudian tangannya menunjuk sebuah kursi santai di mana terdapat sepasang pria dan wanita tengah bercumbu. Kalandra menarik nafas panjang sebelum mendekati kur
GUK! GUK! GUK! Kalandra meloncat ke belakang ketika seekor anjing yang menyambut kedatangannya. Tak lama kemudian seorang pria mengenakan pakaian security bergegas mendekat. “Cari siapa, Mas?” tanyanya dari balik pagar. “Mau antar paket buat Bu Dini, Pak.” “Masuk aja, Mas.” Pria itu segera membukakan pintu gerbang. “Motor saya aman di taruh di sana, Pak?” “Aman. Cepat masuk.” Kalandra berjalan cepat melintasi pekarangan rumah yang lumayan luas. Anjing yang tadi menyambutnya sudah dibawa kembali ke kandangnya. Sesampainya di depan pintu rumah, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu untuknya. “Silakan masuk, Mas.” “Bu Dini nya mana?” “Mbak Dini di kamarnya. Mas disuruh langsung ke kamarnya aja.” “Hah? Ngga enak, Bi. Mbak Dini nya suruh keluar aja.” “Ngga apa-apa, Mas. Ngga ada siapa-siapa di rumah ini. Mas langsung naik aja ke lantai dua. Kamarnya yang dekat tangga.” Dengan perasaan kikuk, Kalandra menaiki anak tangga. Langkahnya terasa begitu berat
“Kamu siapa?” Sebuah suara lembut menyapa indra pendengaran Kalandra. Pria itu memberanikan diri melihat pada wanita di depannya. “Paket untuk Vicko.” “Sayang.. ada paket untuk mu!” teriak wanita itu sambil melihat ke arah dalam. “Ambil aja, sayang!” terdengar jawaban dari dalam. “Sudah dibayar, Mas?” “Sudah.” Kalandra menyerahkan dus kecil di tangannya. Sepertinya wanita itu tidak tahu kalau paket yang dipesan kekasihnya berisi barang haram. “Terima kasih,” ucap wanita itu seraya melemparkan senyum manis. “Sama-sama.” Kalandra bergegas meninggalkan kamar tersebut. Dia tidak nyaman melihat wanita yang menyambut kedatangannya. Sebagai pria normal, melihat penampilan wanita tadi sunggguh menggoda iman. Usai mengantarkan paket kedua, Kalandra bermaksud kembali dulu ke rumahnya. Dia ingin beristirahat sejenak. Membantu Herlambang tadi cukup menguras tenaganya. Kendaraan roda dua milik Kalandra berbelok memasuki sebuah gang kecil yang tepat berada di samping rumah sakit tempat
“Kamu tidak perlu tahu apa paketnya, yang penting bayarannya besar. Kalau sehari kamu bisa antar empat paket, kamu akan dapat dua juta. Gimana? Tertarik?” Sejenak Kalandra berpikir. Hanya mengantar empat paket, dia mendapat bayaran besar. Tidak butuh otak pintar baginya untuk menebak apa isi paket tersebut. “Kalau kamu bersedia, kamu bisa mengambil jatah ku hari ini. Besok aku akan mencoba mencari slot untuk mu. Gimana?” Ada keraguan dalam benak Kalandra. Uang yang ditawarkan sepadan dengan resiko yang ditanggung. Namun saat ini dirinya juga dalam keadaan terdesak. “Tapi aman kan?” “Aman. Kita mengantarkan ke alamat pemesannya langsung. Bentuknya juga seperti paket biasa, jadi ngga akan ada yang curiga.” “Oke, aku mau.” Walau resikonya sangat besar, namun akhirnya Kalandra memutuskan untuk mengambil pekerjaan tersebut. Jumlah bayarannya yang menjadi bahan pertimbangan. “Kirim paketnya mulai dari siang, satu-satu. Kamu narik aja dulu. Nanti aku kabarin kalau paketnya sudah si
Kalandra berlari mengikuti brankar yang membawa tubuh putrinya. Sang anak segera dilarikan ke IGD rumah sakit ketika mengalami kesulitan bernafas. Alya, sang istri terus saja menangis melihat kondisi anaknya. Mereka dilarang masuk lebih jauh ketika brankar memasuki ruang tindakan. Dari balik kaca pintu, keduanya memandangi dokter yang tengah menangani Nabila. “Mas.. Bila akan baik-baik aja kan?” tanya Alya di tengah isaknya. “Sabar, sayang. Kita berdoa aja.” Sambil terus memeluk bahu istrinya, mata KalanNdra menatap ke ruang tindakan. Nampak dokter tengah memasangkan alat bantu pernafasan pada Nabila. Hatinya merasa tercabik-cabik melihat kondisi putrinya yang baru berusia empat tahun harus berjibaku dengan alat medis. Kalandra, pria berusia 29 tahun itu menikah dengan Alya yang berbeda dua tahun darinya, lima tahun yang lalu. Merasa sudah mapan setelah mendapatkan pekerjaan usai lulus kuliah, Kalandra yang waktu itu berusia 24 tahun menikahi Alya yang baru menyelesaikan kuliah







