Share

Curiga

Author: Azalea
last update Huling Na-update: 2023-07-17 11:27:40

LELAKI YANG KAU PAMERKAN ITU SUAMIKU

Bab 6

Dari bangun tidur, Mas Damar tidak berhenti bersin, hidungnya sampai memerah dan meler.

“Nakal. Aku udah bilang pake bajunya malah nggak denger, kena flu 'kan sekarang.” Pagi-pagi aku sudah kesal dibuatnya.

Baru saja datang sudah terkena flu begini. Meskipun udaranya terasa panas tapi tetap akan masuk angin jika tidur tidak memakai baju. Udara di desa dan kota jelas sangat berbeda. Dia juga seharusnya masih menyesuaikan karena ini pertama kalinya datang kesini.

Eh, tapi apa dia juga pernah kesini untuk bertemu keluarga Desi? Tidak mungkin melamar tanpa datang kesini. Berarti keluarga Desi pasti mengenali Mas Damar. Mustahil jika tidak.

“Diam aja di rumah, biar aku pergi ke pasar bareng Bibi.”

“Nggak, sayang. Aku cuman flu doang bukan sakit parah. Ada masker 'kan?”

Keningku berkerut, “Masker?”

“Iya, jangan sampe nanti Aslan ikut kena flu gara-gara aku. Sekalian nanti beli obat di apotik.”

Apa dia sengaja membuat dirinya flu agar bisa menutupi wajahnya dengan masker? Benakku penuh dengan pikiran buruk. Aku tidak suka situasi seperti ini, aku bukan orang yang suudzon tapi entah kenapa sekarang malah pikiran buruk yang mendominasi.

Kenapa ada kebetulan macam ini.

Aku mengambil masker di dalam tas dan menyerahkan padanya sebelum keluar kamar. Dia mengekoriku keluar dari kamar setelah memakai masker.

“Papi, Papi.”

Aslan begitu girang tahu papinya datang, tangannya sudah merentang ingin digendong.

“Dituntun aja ya, pinggang Papi sakit,” keluhnya.

“Untung semalem Aslan tidur di kamar Bibi.”

“Nggak gitu, Bi.” Aku menyangkal pemikiran Bibi.

“Udah lama nikah juga masih malu-malu gitu. Semangat banget ya bikin adeknya Aslan.”

Daripada hatiku semakin sakit karena Bibi bicara seperti itu seolah-olah hubunganku dan Mas Damar baik-baik saja, lebih baik pergi ke pasar membelikan kapal-kapalan untuk Aslan.

“Papi kenapa pake masker? Corona udah pergi,” celetuk Aslan.

“Papi sedang flu, biar Aslan nggak tertular.”

“Papi itu sensitif, gampang terkena virus makanya harus kuat iman eh maksudnya kuat antibodinya.” Sengaja aku menyindir tapi tidak ada raut aneh, Mas Damar malah terkekeh pelan sambil menatapku penuh arti.

Dia pasti berpikir aku masih cemburu. Padahal aku bukan cemburu lagi tapi marah besar padanya.

“Mau pergi jalan kaki apa pake motor? Pake mobil ribet soalnya, jalan ke pasar sempit.”

“Jalan kaki aja, Bi. Sekalian olahraga, lagi pula pasar 'kan nggak jauh.”

“Ya udah. Bibi juga mau ke rumah Bu RT dulu, nanti ambil kunci di sana.”

“Iya, Bi.” Aku menggandeng tangan Aslan keluar dari rumah.

Baru sampai di halaman Mas Damar kembali ke dalam dan keluar sudah menggunakan topi.

Terlihat sekali, apa karena tidak ingin ada yang mengenalinya.

“Ayo Aslan, Papi gendong.” 

“Bukannya kamu sakit pinggang?”

Mas Damar berjongkok dan Aslan langsung memposisikan duduk di pundak papinya itu.

“Kalau Aslan nggak digendong aku nggak bisa pegang tangan kamu.” Dia berdiri langsung meraih sebelah tanganku, sebelah tangannya dipakai untuk menyangga tubuh Aslan.

“Kita bukan mau nyebrang.” Kutepis tangannya.

“Jangan gitu, sayang. Malu loh dilihat tetangga kamu, nanti kita digunjing gimana?”

Ini memang salah satunya yang aku tidak suka jika pulang kampung. Para tetangga kadang terlalu ikut campur, melewati batasan.

Terpaksa menerima uluran tangannya, kami akan berjalan melewati rumah Desi. Aku ingin tahu apakah dia bisa mengenali calon suaminya ini atau tidak.

“Eh, Una. Suaminya ya?” Dari teras rumahnya ibunya Desi menegur.

“Iya. Mas Damar suami aku,” jawabku singkat sambil mengulas senyum.

Mas Damar juga terlihat hanya mengangguk kecil karena senyum pun percuma karena tertutup masker.

“Kok kemarin datengnya nggak kelihatan tiba-tiba ada disini aja?”

“Datengnya subuh tadi.”

Dari dalam rumah Desi berjalan dengan langkah lebar.

“Una, ini suami kamu yang kuli itu?” Jika saja tidak ingat malu sudah ku tancapkan kuku di wajahnya yang tebal oleh foundation itu.

Kulirik Mas Damar yang diam mematung.

“Kok pake masker gitu sih? Mukanya pas-pasan ya?”

Mulutnya sekotor comberan! Ibunya yang melihat juga malah diam tidak menegur. Haish! Aku lupa jika mereka sebelas dua belas.

“Mami, ayo.” Aslan merengek.

“Bu, Des. Kami pamit dulu mau ke pasar.”

“Beliin mainan yang mahalan dikit, kasian.”

Aku tidak memperdulikan ucapannya dan melengos menarik tangan Mas Damar yang masih berdiri kaku.

“Kamu kenapa masih berdiri aja tadi? Kamu kenal sama Desi?” Kulirik dia yang masih terdiam.

“Nggak tuh, ini pertama kalinya aku lihat. Kok orangnya ngeslin banget, emang dia nggak tahu suami kamu ini siapa? Pake ngatain aku kuli lagi. Kamu nggak marah suami ganteng kamu ini dibilang kuli?”

“Beneran nggak kenal atau pura-pura nggak kenal? Sampe liatnya gitu banget.” Sengaja ku abaikan pertanyaannya yang terakhir.

“Apaan sih, sayang. Aku bener nggak kenal kok, ke tempat ini aja aku baru sekarang.”

Terserahlah. Aku capek sendiri jika terus memojokkannya karena akan sia-sia.

“Lepas.” Kuhempaskan tangannya, “Udah sepi, nggak ada tetangga aku disini.”

“Aslan, turun sayang. Jalan aja, nggak usah digendong Papi.”

“Papi, turun.”

Mas Damar berjongkok dan menurunkan Aslan. Lebih baik seperti ini, aku orangnya paling susah menahan emosi jadi daripada ribut di depan Aslan lebih baik dia jadi penengah.

“Papi, pulangnya nanti ya kalau Aslan udah masuk sekolah. Sekarang liburnya masih lama.” Aslan mulai berceloteh.

“Nggak bisa, Papi harus kerja.”

“Kerja kamu bisa dari sini kali, Mas. Meeting virtual juga bisa 'kan? Jangan cuman kerjaan yang kamu utamain, jarang-jarang loh kita liburan begini.”

Mas Damar tidak langsung menjawab, dia seperti sedang memikirkan sesuatu.

Jika aku menahannya satu bulan disini, bagaimana ya?

Desi mengatakan pernikahannya kurang lebih satu bulan lagi. Di rumahnya juga hari ini sudah mulai ada persiapan. Tapi aku belum dapat surat undangannya, ingin lihat nama yang tertulis di sana.

“Iya, Papi temani Aslan liburan disini. Tapi kalau Papi tiba-tiba ada kerjaan dan harus pulang, Aslan nggak boleh ngambek ya.”

“Iya, tapi Papi harus balik lagi.”

Apa maksudnya dengan tiba-tiba ada kerjaan dan harus pulang? Apa karena pernikahannya dan Desi?

Ah … menduga-duga seperti ini malah membuat kepalaku berdenyut.

Refleks tanganku terangkat memijat pelipis.

“Sayang, kenapa?” Mas Damar menghentikan langkahnya dan menyentuh kepalaku.

“Nggak apa-apa kok. Ayo jalan lagi, keburu siang nanti panas.”

Belum sempat kembali berjalan, ponsel Mas Damar berdering. Dia sedikit menjauh saat akan mengangkat telepon.

Semakin ingin percaya aku semakin merasa curiga.

Bersambung ….

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Lelaki Yang Kau Pamerkan Itu Suamiku   Akhir Yang Tak Sama

    Patah hati terparah yang pernah Bagas rasakan, padahal hanya mengetahu mantan istrinya disukai lelaki lain. Itu baru sebatas menyukai bagaimana jika Hanum benar menikah dengan Malik? Hatinya akan lebih hancur daripada ini.“Ayah kenapa?” Mentari menegur sang ayah yang diam mematung dengan kedua sorot matanya tidak lepas dari kedua orang yang masih saling berinteraksi.“Nggak papa kok. Ayo masuk.” Bagas mencoba untuk bersikap wajar meski hatinya porak-poranda.Ia menemani Mentari karena Bu Wiwik sedang tidak ada di rumah sedangkan Hanum masih sibuk di warung, Bagas memiliki banyak kesempatan untuk bersama dengan Mentari tapi tidak sebahagia sebelumnya karena saat ini melihat Hanum dan laki-laki bernama Malik itu membuat pikiran Bagas tidak karuan.“Ayah capek ya, tidur aja dulu. Nanti kalau nenek pulang aku bangunin.” Mentari begitu perhatian padahal yang membuat Bagas tampak lesu jelas bukan karena ia yang memang merasa kelelahan tapi karena faktor lain yang tidak akan dimengerti oleh

  • Lelaki Yang Kau Pamerkan Itu Suamiku   Cemburu

    Faz mengerucutkan bibirnya kesal, “Apaan sih, Ma. Aku sama Rendi nggak ngapa-ngapain kok,” sangkalnya karena memang mereka hanya sebatas berpelukan.“Halah. Mana ada maling mau ngaku. Kalau Mama nggak dateng pasti sudah kebablasan,” cibir Bunga.“Enggak, Ma. Jangan nuduh begitu, kasihan Rendi. Orang kita cuman pelukan kok.”Rendi tesenyum kikuk, “Maaf, Tante. Saya nggak bermaksud.”“Kalian udah lama loh berduaan.” Bunga mengusir dengan halus.“Kalau begitu saya pamit, Tante.” Lelaki itu langsung peka jika dirinya saat ini sudah disuruh untuk pulang.“Pinter.”“Ma.” Faz langsung melayangkan protes, “lama dari mananya, belum seharian kok.”“Aku pulang dulu ya.” Rendi langsung pamit pada Faz dan juga Bunga.Rendi itu sangat peka apalagi tahu seperti apa watak dari calon ibu mertuanya, meski terlihat galak Bunga itu sebenarnya baik dan sudah mulai membuka pintu restu untuk Faz dan juga Rendi.“Mama main ngusir aja sih!”Bunga langsung mengambil posisi duduk di samping sang putri, “kamu be

  • Lelaki Yang Kau Pamerkan Itu Suamiku   Ikhlas Melepas

    “Nggak, Ma. Aku tetap pada pendirian aku, aku mau tinggal di kampung. Setelah menemui Faz nanti baru aku pergi, nanti aku kembali saat Faz melahirkan.”Bukan tidak ingin tanggung jawab dengan terus ada di samping Faz tapi Bagas tahu jika Faz tidak menginginkan kehadirannya karena rasa bencinya pasti begitu besar. Jadi daripada membuat Faz semakin tidak nyaman lebih baik Bagas sadar diri.“Kok kamu jadi gini sih, Gas? Kamu diancam sama Hanum?”Bagas enggan mendengar ocehan sang ibu yang selalu saja merendahkan Hanum dan menganggap Hanum itu tidak baik. Kurang apa Hanum selama ini, wanita itu begitu setia dan menerima Bagas apa adanya, menunggu restu yang tak kunjung didapat dan pada akhirnya Hanum pun mundur.“Sudah ya, Ma. Aku capek.” Bagas menutup pintu kamarnya dan langsung mengunci dari dalam, enggan untuk diganggu.Semuanya sudah hancur tak bersisa, jika masih melakukan sesuatu yang buruk apalagi berdampak pada orang lain maka Bagas tidak akan bisa tenang mungkin saja akan lebih h

  • Lelaki Yang Kau Pamerkan Itu Suamiku   Memilih Pergi

    “Bukan, bukan. Aku nggak pernah sama sekali berpikir kayak gitu, Faz. Aku terima kamu dan bayi kamu tapi kalau sampai harus ikut merahasiakan aku nggak bisa. Lebih baik segera kamu bicarakan sama Bagas. Aku nggak maksa, tapi menurut aku lebih baik seperti itu.”Faz akan percaya jika Rendi benar-benar mencintainya setelah mereka resmi menikah sedangkan sekarang kondisi masih tidak memungkinkan karena memang Faz masih hamil. Harus menunggu beberapa bulan lagi sampai nanti bayi itu lahir.“Kalau bisa aku menikahi kamu sekarang agar kamu percaya pasti akan aku lakukan, tapi kondisi saat ini kamu tahu sendiri seperti apa. Aku mohon percaya sama aku, aku sama sekali nggak berpikir sampai ke situ.”Faz merasa bersalah juga karena akhir-akhir ini ia memang mudah sekali tersulut emosinya dan akhirnya Rendi yang kena semprot padahal lelaki itu begitu setianya mendampingi, mendengar semua keluhan yang dirasakan oleh Faz meski memang tidak bisa mendampingi benar-benar ada di samping Faz karena la

  • Lelaki Yang Kau Pamerkan Itu Suamiku   Saat Istri Sudah Lelah

    Bagas tidak percaya saat membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Hanum. Ia tahu betul Hanum tidak akan mungkin meminta pisah seberat apapun masalah dalam rumah tangga mereka, bahkan saat tak kunjung mendapat restu saja ia masih bertahan bertahun-tahun. Bagas malah berpikir pasti ada yang menghasut Hanum sampai berpikir untuk berpisah, ia tidak sadar jika Hanum seperti ini karenanya yang malah mengejar Faz yang sudah jelas tidak akan mungkin bisa didapatkannya lagi.Harusnya saat Hanum menerima semuanya setelah tahu Bagas menikah lagi, lelaki itu jangan berbuat hal macam-macam yang membuat Hanum semakin tersakiti. Tapi Bagas malah melakukan hal yang sebaliknya dan sekarang kaget sendiri saat Hanum bertindak tegas."Ma, aku pergi dulu." Bagas berdiri dengan perasaan tidak karuan."Mau kemana?""Ada urusan. Pokoknya sebelum urusan aku selesai aku nggak bakalan pulang." Menyambar kunci mobil lalu berlari keluar membuat sang ibu terheran-heran.Saat mencoba menelpon Hanum, malah tidak bis

  • Lelaki Yang Kau Pamerkan Itu Suamiku   Mengejar Restu

    "Nggaklah, aku nggak mau. Sembarangan!""Nggak usah ngegas juga, Papa cuman becanda." Aslan bercanda tapi dengan wajah yang datar, siapapun tidak akan menyangka lelaki itu bercanda.Faz mencebik. "Bercandanya nggak lucu, Pa.""Kamu nggak bisa menikah dalam keadaan hamil, Faz. Kamu nggak tahu itu?""Tahu dong, Pa. Tapi 'kan dapet restu dari Papa sama Mama nggak gampang jadi dari sekarang aja ngomongnya karena belum tentu langsung dikasih jalan.""Ya udah."Mata Faz langsung berbinar. "Papa kasih restu?""Ya udah kamu keluar sana, Papa lagi kerja nih. Kamu sama Mama kamu sama aja ganggu Papa hobinya.""Terus kapan kasih restu, Pa? Aku pengen nikah.""Kapan-kapan aja. Kamu juga pengen nikah tetep nggak bisa sekarang, udah kalian keluar."Faz menghela nafas panjang lalu melangkah keluar dari ruangan sang ayah sedangkan Bunga masih berdiri di samping meja kerja sang suami."Mas, gimana?"Sebelah alis lelaki itu terangkat. "Gimana apanya?""Mau kasih restu? Aku nggak mau ya kalau punya mena

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status