"Nggak jadi tidur, Ra?" sapa Calista saat melihat Andara muncul dan duduk di sebelahnya. Ia sedang menyetrika di ruang tengah karena juga tidak bisa tidur.Andara menggelengkan kepala. "Nggak bisa tidur.""Kenapa?""Lagi kepikiran Mas Nata aku, Kak."Calista meletakkan setrika dalam posisi berdiri, lalu melipat sebuah kaus dan menaruhnya di atas tumpukan kain. Andara melanjutkan. "Dari tadi pagi pergi sampai sekarang nggak ada kabar. Katanya sih mau hubungi aku kalau udah sampai, tapi..."Calista tertawa kecil, namun mungkin Andara tidak menangkap nada sinis di dalamnya. "Dulu waktu masih sama aku Nata nggak pernah kayak gitu. Tiap sampai di tempat baru pasti langsung kirim kabar. Satu pesan bisa lima foto. Entah itu foto boarding pass, makanan hotel, bahkan pemandangan dari jendela kamar. Dia juga selalu beliin aku sesuatu terus kirim fotonya, nanya aku suka atau enggak. Tapi kadang dia nggak bilang-bilang sih. Tiba-tiba pas pulang aku dikasih oleh-oleh segunung. Dan yang paling ber
Andara berdiri di beranda melepas mobil yang membawa Ananta meluncur pelan keluar dari gerbang. Beberapa detik setelah mobil menghilang dari pandangan, Andara masih berdiri diam di tempat. Udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, tapi lebih dingin lagi adalah perasaan di dalam dadanya. Ada ruang kosong yang tiba-tiba menganga begitu saja.Ia menghela napas, lalu masuk kembali ke dalam rumah. Menutup pintu pelan-pelan, seolah takut membangunkan kesunyian.Hari pertama tanpa Ananta terasa kosong. Andara melalui sarapan berteman sepi, meski ia menyalakan televisi dengan volume tinggi, pura-pura sibuk menikmati berita pagi. Tapi mata dan telinganya tidak benar-benar menyimak.Ia berjalan menyusuri rumah, melihat-lihat sudut yang biasanya tidak diperhatikan. Ranjang tempat mereka bergumul kini tampak sangat rapi. Ia juga melihat baju-baju Ananta yang tersusun di lemari seolah itu bisa menggantikannya. Bahkan bau sabun yang biasa dipakai Ananta masih menempel di hidung Andara.Tiba-tiba ia
Berpergian untuk urusan bisnis entah itu ke luar negeri atau masih di dalam negeri atau disebut juga dengan business trip itulah yang akan Ananta lakukan. Bukan hal baru sebenarnya. Tapi selama mereka menikah ini adalah kepergian pertama laki-laki itu yang diketahui Andara."Aku pergi tiga hari," ucap Ananta tanpa menoleh. Ia sibuk melipat baju dan memasukkannya ke koper dengan tangan cekatan. "Mas pergi sama siapa?" tanya Andara. Tadi saat ia ingin membantu mengemas pakaian yang akan dibawanya, Ananta menolak."Sendiri.""Masayu nggak ikut?""Nggak.""Kalau aku ikut boleh nggak, Mas?"Ananta menghentikan gerakannya. Hanya sebentar. Lalu kembali sibuk menggulung dasinya."Ada meeting pagi dan malam. Waktunya padat. Nggak enak kalau kamu ikut tapi cuma ditinggal sendirian di hotel.""Aku nggak keberatan kok sendirian."Kali ini Ananta menoleh, menatap pada Andara. "Kenapa ngotot mau ikut? Kamu takut sendiri di rumah?""Nggak. Aku cuma pengen nemenin Mas Nata." Andara bangkit dari dudu
Ananta membantu membaringkan tubuh Andara di ranjang ketika tiba di kamar pribadi mereka. Ia juga membantu melepas sepatu perempuan itu dari kedua kakinya."Nyaman?" tanyanya pelan.Andara mengangguk. Matanya mulai terasa berat. Rasa lelah menumpuk akibat kurang istirahat dan juga tensi emosi yang tidak bisa ia bagi dengan siapa pun."Aku ambilin air minum." Ananta berdiri dari sisi ranjang. Namun sebelum ia benar-benar pergi, tangan Andara menarik ujung bajunya."Di sini aja dulu."Ananta menatap wajah perempuan itu. Ia pun kembali duduk di tepi ranjang dan mengusap pelan punggung tangan Andara."Perut kamu sakit lagi?" tanyanya."Sedikit sih, Mas."Ananta menyingkap baju Andara lalu meletakkan tangannya di atas perut besar itu selama beberapa saat. Kendati hanya diam tapi Andara tidak melepaskan tatapan dari suaminya. Dengan tangan Ananta yang berada di atas perutnya ada rasa nyaman yang melingkupi hati Andara."Dia lagi gerak." Ananta menggumam pelan. "Iya, Mas."Ananta menunduk,
Andara tidak tahu entah berapa lama dirinya berbaring di sofa. Yang ia tahu saat ini Shankara sudah berada di dekatnya, menanyakan keadaannya karena melihat kondisinya yang tampak begitu lemah."Dek, kamu sakit?"Andara menggeleng cepat dan menyunggingkan senyum tipis. Ia memang tidak pernah mengizinkan dirinya membuat kakaknya khawatir. "Abang lihat muka kamu pucat."Andara menaikkan tangan mengusap wajahnya, seolah dengan begitu ia bisa merasakannya sendiri. "Oh, mungkin karena aku nggak pake bedak, Bang," ucapnya dan berharap kakaknya itu akan percaya.Tatapan Shankara masih belum lepas dari wajah adiknya. "Oh, gitu ya?""Iya, Bang. Lagian selama hamil wajahku ya kayak gini.""Iya deh, Abang percaya. Tapi Abang minta kalau ada apa-apa, ada yang sakit, walau sakitnya cuma dikit jangan ditahan sendiri. Bilang sama Abang, dan terutama sama Nata.""Iya, Bang. Tenang aja. Mas Nata udah sering aku repotin kok. Kalau ada apa-apa aku nggak pernah simpan sendiri. Mas Nata pasti jadi orang
Andara membawa daging ayam yang telah dibumbui dan menyerahkan pada Ananta yang sibuk mengipas bara."Ini ayamnya, Mas."Lelaki itu menerimanya kemudian melanjutkan kegiatannya.Tidak jauh dari mereka Shankara sedang memotong-motong timun. Dan Calista, bukannya menemani suaminya malah ikut duduk di sebelah Ananta. Sedangkan Andara berada di hadapan mereka berdua."Aku berasa deja vu sekarang," ujar Calista sembari menjepit rambutnya tinggi-tinggi dengan jepitan bunga kamboja berwarna kuning hingga menampakkan lehernya.Dan Andara, ia tidak bisa menghentikan pikiran buruknya. Apa saat melihat leher perempuan itu Ananta akan berfantasi macam-macam? Dan apakah Calista sengaja melakukannya untuk menarik perhatian Ananta?'Astaga. Gimana mungkin aku bisa mikir gitu sama suami dan kakak iparku sendiri.' Andara buru-buru mengusir pikiran itu sebelum tumbuh semakin liar di benaknya. Andara kembali mendengar Calista berceloteh.“Masih ingat nggak, Ta? Waktu malam tahun baru dua tahun yang l