Deru mesin motor butut Gallen seketika hening. Tanpa membuka helm, diedarkannya pandangan berkeliling. Sudut bibirnya menjungkit naik, membentuk seringai sinis. Lalu, dia turun dari motor.
Codet cukup pintar menentukan lokasi, sebuah bangunan tua yang ditutupi oleh tanaman rambat. Beberapa retakan di dinding menjalar panjang.
Gallen mengayun langkah tegap menuju bangunan terbengkalai tersebut. Tangan kanannya menenteng koper. Sementara tangan lainnya bersembunyi dalam saku celana.
Berdiri di depan pintu masuk, mata Gallen berputar liar mengawasi sekitar. Itu bukan bangunan di mana dia disiksa dulu, melainkan sebuah rumah besar yang habis terbakar dan ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya.
“Aku sudah tiba,” beritahu Gallen melalui panggilan telepon.
“Masuk!”
Gallen menyibak tanaman rambat yang menjuntai, menutupi sebagian jalan masuk ke rumah tua itu. Melihat pintu di sisi kanan dipenuhi jaring laba-laba, Gallen ber
Lima menit kemudian, dua anak buah Codet menggiring Falisha keluar. Gallen memindai sekujur tubuh adiknya di bawah temaram sisa-sisa mentari senja. Rambut Falisha awut-awutan. Beberapa luka lebam membekas pada kulit lengannya yang putih mulus. Gallen menekan amarah di dada. Semakin dekat jarak Falisha dengan dirinya, kian jelas jejak kekejaman Codet di matanya. Giginya mengerit. Dalam hati ia bersumpah akan mencabut nyawa Codet dan anak buahnya jika para bajingan itu berani merusak masa depan adiknya. Gallen menaruh koper di lantai, lalu mundur beberapa langkah. Matanya awas mengikuti setiap gerakan anak buah Codet yang membawa Falisha. Begitu Falisha dan koper berdiri sejajar, Gallen dan Codet serentak bergerak maju. Masing-masing mengambil apa yang seharusnya menjadi milik mereka. Gallen menuntun Falisha menuju motor. “Apa mereka menyakitimu?” Falisha menggeleng. Tubuhnya masih gemetar. Sisa-sisa ketakutan akan mendapat perlakuan tak senonoh
Semua anak buah Codet tercacak seperti patung dalam pose siap menyerang. Hanya mata mereka yang mampu bergerak, memancarkan kilat keheranan dan ketakutan. Menyaksikan kejadian tak terduga itu, lutut Codet melemas. Dia tidak melihat Gallen berpindah dari tempatnya berdiri. Lelaki itu hanya melambaikan tangan dan berputar, tetapi dampaknya sangat luar biasa. Lima anak buahnya berubah menjadi manusia patung. “Aku tidak akan tertipu dengan sihir murahanmu itu!” Codet enggan mengakui kekalahannya. Dia yakin kekuatan Gallen tidak akan berpengaruh lama terhadap anak buahnya. “Berlutut sekarang! Dengan begitu, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk mengampuni nyawamu.” “Kau bukan Tuhan yang patut untuk disembah! Kau bahkan tidak layak untuk mendapatkan penghormatan dariku.” “Kau!” Codet menggeram marah. Baru kali ini dia bertemu dengan anak muda yang begitu angkuh dan sangat percaya diri. Dia ingin menyobek mulut Gallen. Kemar
Codet ingat dengan sangat jelas bahwa sore tadi tiga ekor ular kobra peliharaannya tidak kembali ke kandang mereka. Bagaimana kalau ketiganya tiba-tiba muncul dan mematuk dirinya atau anak buahnya? Langkah Gallen terhenti. “Benarkah?” “Ya, ya. Kau dapat memegang kata-kataku.” Kembali Gallen berjongkok di dekat Codet. “Baiklah. Aku akan melepaskanmu kali ini, tapi dengan syarat!” “Ya, ya. Aku akan melakukannya!” Suara desis dari semak belukar menambah ketakutan Codet. Dia ingin selekasnya pergi dari tempat terkutuk itu. “Kau sangat tidak sabar!” Gallen menajamkan penglihatannya, sementara tangannya bergerak memungut kerikil di sekitarnya. Sambil memainkan kerikil di tangannya, Gallen berkata datar, “Kalau kau masih bekerja untuk orang-orang kaya yang menindas rakyat jelata, kupastikan kau akan kehilangan bisnis supermarket dan hotel yang kau banggakan itu!” Codet ternganga. Rangkaian kalimat Gallen seperti gelega
Menembus dinginnya malam, Gallen membelah jalanan dengan kecepatan tinggi. Teringat Falisha mungkin belum makan sejak siang, Gallen memarkir motor bututnya di sebuah restoran.“Pesan apa pun yang kau mau! Kau pasti sangat lapar.” Gallen menyodorkan daftar menu kepada Falisha.Tak dipungkiri, Falisha benar-benar lapar. Berjam-jam perutnya kosong. Terakhir kali, dia hanya sempat menikmati semangkuk bubur saat sarapan pagi. Begitu orderan terhidang, Falisha melahap rakus makanan di atas meja.Uhuk! Uhuk!Falisha tersedak. Buru-buru Gallen menyodorkan segelas air pada Falisha dan berkata, “Makan pelan-pelan! Tidak ada yang akan mencuri makananmu.”Sikap Falisha seperti seorang bocah yang baru saja menikmati makanan enak untuk pertama kali, dan dia takut orang lain akan merampas kenikmatan itu darinya.Setelah Falisha makan dengan normal, Gallen mulai menyuap makanannya.“Bukankah aku tadi memintamu untuk menj
Bak seorang ksatria melindungi junjungannya, Falisha melawan ketakutan di dalam dirinya untuk bangkit dari duduk. Dia tegak membelakangi ayahnya. Menyembunyikan lelaki rapuh itu dari pandangan orang asing.Baru saja Falisha hendak membuka mulut untuk memaki Codet dan gerombolannya, bunyi gedebuk keras mengunci mulutnya yang ternganga.Codet dan anak buahnya berlutut di lantai dengan kepala tertunduk.“Maafkan kami, Tuan Ghifari! Katakan apa yang harus kami lakukan untuk menebus kesalahan kami!”Apa matahari terbit dari Barat? Falisha mengucek mata, seperti baru saja bangun dari tidur dan belum terlepas dari pengaruh mimpi.Uhuk! Uhuk!Suara batuk Ghifari menyadarkan Falisha.“Pergi! Jangan ganggu ayahku! Apa kalian belum puas telah membuatnya terbaring di sini?”Codet merangkak maju, menjangkau kaki Falisha. Kaget dengan gerakan tak terduga Codet, Falisha bergerak mundur hingga pantatnya membentur
Senyum tulus terukir hangat di bibir Ghifari. Penampakan bibir pucat itu masih sedikit dower dan menyisakan lecet.“Aku senang kalian akhirnya menyadari kesalahan kalian.”“Ya, ya. Kami sungguh bodoh sebelumnya. Kami buta akan nilai-nilai kebenaran, tapi … kini mata hati kami telah terbuka.”“Bangunlah! Jika kalian terus berlutut, bisa-bisa orang lain akan berpikir bahwa kami menyiksa kalian.”Falisha mendelik. Dia tidak suka ayahnya telah melupakan kekejaman Codet dan anak buahnya. Akan tetapi, dia juga tidak bisa mencegah ketika gerombolan gangster itu bergegas bangkit setelah mendengar perintah Ghifari.“Terima kasih, Tuan! Anda sungguh lelaki berhati mulia.”Codet mengayun langkah mendatangi Ghifari. Dia tersenyum ramah pada Falisha dan berkata, “Permisi, Nona! Mulai hari ini, aku yang akan menemani Tuan Ghifari.”Seperti terhipnotis, Falisha menyingkir ke samping.
“Apa pinggang Ayah masih nyeri?” Gallen meraba lembut bagian tulang rusuk Ghifari yang patah.“Aku memiliki anak lelaki bertangan ajaib. Bagaimana mungkin aku masih merasa nyeri?”Mata Ghifari penuh dengan kilatan senyum dan bangga saat menyanjung Gallen.“Oh, jadi itu alasan Anda menolak dokter untuk melakukan tindakan operasi?”Entah sejak kapan Hellen memasuki ruangan. Ghifari dan yang lainnya tak ada yang menyadari kemunculan dokter cantik itu. Apa perempuan itu memasang buntalan kapas pada hak sepatunya hingga langkahnya tak terdengar?Gallen kikuk. Dia menerapkan pengobatan alternatif kepada ayahnya secara diam-diam. Namun, ayahnya baru saja membocorkan rahasianya tanpa sengaja. Apa Dokter Hellen akan marah?“Aku sudah tua dan terlalu takut untuk menghadapi pisau bedah.”Ghifari menyelamatkan Gallen dari rasa canggung. Lelaki sepuh itu tersenyum kepada Hellen. Lalu, menyodorkan len
Senyuman hangat mengembang di bibir Gallen. “Ayah fokus saja pada pemulihan kesehatan Ayah. Biarkan biaya rumah sakit menjadi urusanku!” Ghifari tidak tahu kalau Gallen sudah merebut kembali rumah mereka yang tergadai. Dia pikir anak gadisnya telah berhasil mendapatkan rumah kontrakan. Tak masalah ukurannya kecil. Yang penting mereka bisa tinggal dengan damai. Kalau saja identitas asli Gallen bukan sebuah rahasia, tentu Ghifari tidak akan secemas itu memikirkan dari mana mendapatkan uang untuk melunasi tagihan biaya rumah sakit serta membayar kontrakan nanti. Gallen menoleh pada Codet. “Temani ayahku sebentar! Aku akan menghubungi seseorang.” “Kalau Tuan bermaksud untuk menyewa kendaraan, itu tidak perlu. Aku akan dengan senang hati mengantar Tuan Ghifari.” Gallen membatalkan niatnya untuk menghubungi Kenzie. “Kau bawa mobil?” Codet mengangguk, lalu menelepon salah satu anak buahnya. “Kenapa tidak bilang dari tadi!” Gallen mera