Share

Bab 3

Berpikir bahwa kehadirannya tak lagi bermakna di hotel itu, Gallen melarikan motor bututnya dari pelataran parkir. Pikiran kacau karena hatinya tercabik dengan luka yang tak berdarah membuat laju kendaraannya kehilangan tenaga.

Motor bebek butut itu merupakan warisan ayahnya. Setiap kali dia mengendarainya, orang-orang selalu meledeknya, tetapi mereka tidak tahu kalau dia telah memodifikasi mesin motor tua itu. Dalam kondisi terdesak, Gallen dapat memacu motor butut tersebut menyamai motor dengan kapasitas bahan bakar di atas 1.000 cc.

Sialnya, hari ini yang terjadi justru sebaliknya. Motor itu berlari seperti kura-kura bila disandingkan dengan kelinci. Sepanjang jalan kepala Gallen dipenuhi dengan adegan Laura mencampakkannya. Dia tidak pernah tahu kalau patah hati bakal sesakit itu. Rasanya dia kehilangan separuh jiwa dan semangat hidupnya.

Di tengah pikiran yang sedang kalut, Gallen menjengkit. Sebuah mobil berwarna merah metalik melaju oleng dari arah berlawanan. Merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan mobil tersebut, Gallen memutar haluan. Dengan kecepatan tinggi, dia berusaha menyejajari sang pengemudi. Tampak seorang wanita muda berwajah panik berjuang keras mengendalikan roda kemudi.

“Buka pintunya, Nona!” teriak Gallen sembari membuka kaca helmnya.

Wanita muda itu melirik sekilas. Dia cepat tanggap dengan perintah Gallen. Sambil tangan kirinya terus mengontrol laju kendaraannya, dia membuka pintu.

Gallen segera memepet motornya ke pintu yang sudah terbuka. Mengulurkan tangan kirinya kepada wanita itu.

Tak punya pilihan selain menerima bantuan dari Gallen, wanita itu menjangkau tangan Gallen.

“Lompat dalam hitungan ketiga!” instruksi Gallen.

Wanita itu mengangguk. Wajahnya semakin cemas karena laju mobilnya semakin tak terkendali.

“Satu … dua … tiga!”

Dengan sekali sentak, Gallen berhasil menyambar tubuh wanita itu dan mengepitnya seperti sebuah manekin.

Terdengar bunyi berdentum kencang bersamaan dengan bunyi decit rem motor Gallen. Gallen menurunkan wanita tersebut.

“Hancur sudah,” gumam wanita itu, berdiri kaku di samping Gallen yang masih duduk di atas motor. Mobil kesayangannya ringsek setelah menghantam sebatang pohon di tepi jalan.

“Setidaknya nyawamu selamat,” komentar Gallen.

Wanita itu menoleh pada Gallen. Apa yang dikemukakan penolongnya itu benar. Nyawanya jauh lebih berharga daripada kuda besi itu.

“Cepat naik!” perintah Gallen.

Jalanan itu lengang. Lebih baik mereka segera meninggalkan tempat tersebut sebelum ada yang melintas.

Tanpa berpikir dua kali, wanita itu melompat ke atas motor Gallen. Memagut pinggang lelaki itu dengan sangat erat. Dia masih diselimuti kecemasan. Ditambah lagi Gallen mengendarai motor dengan kecepatan tinggi.

“Kita mampir dulu!” ajak Gallen setelah menghentikan laju motornya.

Wanita itu hanya menurut saja saat Gallen membawanya masuk ke sebuah kafe sederhana.

“Maaf, aku cuma bisa membawamu ke sini,” ujar Gallen beberapa langkah dari pintu masuk kafe.

“Tidak apa-apa,” sahut wanita itu. “Terima kasih kamu sudah menolongku.”

“Duduklah!” Gallen mempersilakan wanita itu duduk pada sebuah meja sedikit ke sudut. “Aku ke toilet sebentar. Pesan saja apa yang kau inginkan!”

Wanita itu tak menyahut. Gallen sudah balik badan dan meninggalkannya. Dia melambaikan tangan pada pramusaji kafe itu. Dia butuh secangkir teh lemon untuk menyegarkan pikiran dan menghangatkan badan.

“Kurasa kau juga butuh makanan untuk mengganti energimu yang terkuras karena cemas.”

Gallen mengenyakkan pantat di atas kursi, berhadapan dengan wanita itu.

“Terima kasih. Ini sudah cukup. Aku berutang nyawa padamu. ”

“Itu hanya bantuan kecil yang akan dilakukan semua pria pada wanita.”

Wanita itu tersenyum kecut. Pernyataan Gallen tidak sesederhana yang terdengar. Secara tidak langsung Gallen ingin menyampaikan pesan tersembunyi bahwa dia tidak boleh memandang lebih bantuan yang diberikannya.

Gallen seolah-olah sangat memahami bahwa perempuan cenderung mengagungkan malaikat pelindungnya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan hal itu dapat menumbuhkan benih perasaan lain dalam hati seorang wanita.

“Kau benar,” ujarnya.

Dia mengangguk. Detik berikutnya, dia menghangatkan tenggorokannya dengan teh lemon yang baru saja terhidang di atas meja. Gallen juga menyeruput kopinya.

“Aku Arabelle. Kau boleh memanggilku Ara.” Wanita itu mengulurkan tangan kepada Gallen.

“Ayo pulang sekarang, Arabelle!”

Sebuah tangan menarik paksa lengan Ara sebelum Gallen sempat menyambut salam perkenalan gadis itu.

***

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Nove
bagus sekali kak
goodnovel comment avatar
Ya Fansi
makin asyik
goodnovel comment avatar
M Arkanudin
cuk tenannnn
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status