Berpikir bahwa kehadirannya tak lagi bermakna di hotel itu, Gallen melarikan motor bututnya dari pelataran parkir. Pikiran kacau karena hatinya tercabik dengan luka yang tak berdarah membuat laju kendaraannya kehilangan tenaga.
Motor bebek butut itu merupakan warisan ayahnya. Setiap kali dia mengendarainya, orang-orang selalu meledeknya, tetapi mereka tidak tahu kalau dia telah memodifikasi mesin motor tua itu. Dalam kondisi terdesak, Gallen dapat memacu motor butut tersebut menyamai motor dengan kapasitas bahan bakar di atas 1.000 cc.
Sialnya, hari ini yang terjadi justru sebaliknya. Motor itu berlari seperti kura-kura bila disandingkan dengan kelinci. Sepanjang jalan kepala Gallen dipenuhi dengan adegan Laura mencampakkannya. Dia tidak pernah tahu kalau patah hati bakal sesakit itu. Rasanya dia kehilangan separuh jiwa dan semangat hidupnya.
Di tengah pikiran yang sedang kalut, Gallen menjengkit. Sebuah mobil berwarna merah metalik melaju oleng dari arah berlawanan. Merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan mobil tersebut, Gallen memutar haluan. Dengan kecepatan tinggi, dia berusaha menyejajari sang pengemudi. Tampak seorang wanita muda berwajah panik berjuang keras mengendalikan roda kemudi.
“Buka pintunya, Nona!” teriak Gallen sembari membuka kaca helmnya.
Wanita muda itu melirik sekilas. Dia cepat tanggap dengan perintah Gallen. Sambil tangan kirinya terus mengontrol laju kendaraannya, dia membuka pintu.
Gallen segera memepet motornya ke pintu yang sudah terbuka. Mengulurkan tangan kirinya kepada wanita itu.
Tak punya pilihan selain menerima bantuan dari Gallen, wanita itu menjangkau tangan Gallen.
“Lompat dalam hitungan ketiga!” instruksi Gallen.
Wanita itu mengangguk. Wajahnya semakin cemas karena laju mobilnya semakin tak terkendali.
“Satu … dua … tiga!”
Dengan sekali sentak, Gallen berhasil menyambar tubuh wanita itu dan mengepitnya seperti sebuah manekin.
Terdengar bunyi berdentum kencang bersamaan dengan bunyi decit rem motor Gallen. Gallen menurunkan wanita tersebut.
“Hancur sudah,” gumam wanita itu, berdiri kaku di samping Gallen yang masih duduk di atas motor. Mobil kesayangannya ringsek setelah menghantam sebatang pohon di tepi jalan.
“Setidaknya nyawamu selamat,” komentar Gallen.
Wanita itu menoleh pada Gallen. Apa yang dikemukakan penolongnya itu benar. Nyawanya jauh lebih berharga daripada kuda besi itu.
“Cepat naik!” perintah Gallen.
Jalanan itu lengang. Lebih baik mereka segera meninggalkan tempat tersebut sebelum ada yang melintas.
Tanpa berpikir dua kali, wanita itu melompat ke atas motor Gallen. Memagut pinggang lelaki itu dengan sangat erat. Dia masih diselimuti kecemasan. Ditambah lagi Gallen mengendarai motor dengan kecepatan tinggi.
“Kita mampir dulu!” ajak Gallen setelah menghentikan laju motornya.
Wanita itu hanya menurut saja saat Gallen membawanya masuk ke sebuah kafe sederhana.
“Maaf, aku cuma bisa membawamu ke sini,” ujar Gallen beberapa langkah dari pintu masuk kafe.
“Tidak apa-apa,” sahut wanita itu. “Terima kasih kamu sudah menolongku.”
“Duduklah!” Gallen mempersilakan wanita itu duduk pada sebuah meja sedikit ke sudut. “Aku ke toilet sebentar. Pesan saja apa yang kau inginkan!”
Wanita itu tak menyahut. Gallen sudah balik badan dan meninggalkannya. Dia melambaikan tangan pada pramusaji kafe itu. Dia butuh secangkir teh lemon untuk menyegarkan pikiran dan menghangatkan badan.
“Kurasa kau juga butuh makanan untuk mengganti energimu yang terkuras karena cemas.”
Gallen mengenyakkan pantat di atas kursi, berhadapan dengan wanita itu.
“Terima kasih. Ini sudah cukup. Aku berutang nyawa padamu. ”
“Itu hanya bantuan kecil yang akan dilakukan semua pria pada wanita.”
Wanita itu tersenyum kecut. Pernyataan Gallen tidak sesederhana yang terdengar. Secara tidak langsung Gallen ingin menyampaikan pesan tersembunyi bahwa dia tidak boleh memandang lebih bantuan yang diberikannya.
Gallen seolah-olah sangat memahami bahwa perempuan cenderung mengagungkan malaikat pelindungnya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan hal itu dapat menumbuhkan benih perasaan lain dalam hati seorang wanita.
“Kau benar,” ujarnya.
Dia mengangguk. Detik berikutnya, dia menghangatkan tenggorokannya dengan teh lemon yang baru saja terhidang di atas meja. Gallen juga menyeruput kopinya.
“Aku Arabelle. Kau boleh memanggilku Ara.” Wanita itu mengulurkan tangan kepada Gallen.
“Ayo pulang sekarang, Arabelle!”
Sebuah tangan menarik paksa lengan Ara sebelum Gallen sempat menyambut salam perkenalan gadis itu.
***
“Papa?” Ara terperangah saat mengenali lelaki yang baru saja menyabotase perkenalannya dengan Gallen. Dia terlonjak tegak, begitu pula dengan Gallen. Siapa yang mengira Guntur Priambudi akan menemukannya di sini. Gallen mengernyit sepintas lalu lantaran tak mengharapkan kemunculan keluarga Ara yang tiba-tiba. Sebelum Gallen sepenuhnya mampu menguasai rasa terkejutnya, Ara sudah diseret menjauh, meninggalkan meja. Dua lelaki berbadan kekar membekuk Gallen. Kekagetan membuatnya lengah. Dia hanya bisa mengikuti ke mana dua orang itu membawanya. “Lepaskan dia, Pa!” cicit Ara, memandang Gallen dengan perasaan bersalah. “Masuk!” Guntur mendorong Ara ke dalam mobil. Di mobil lainnya, Gallen pun menerima perlakuan yang sama. Hidungnya nyaris mencium permukaan jok ketika dia tersungkur. Sebelum Gallen sempat memperbaiki posisi tubuhnya, sesuatu menusuk lehernya. Rasanya seperti digigit semut merah. Dalam sekejap, semuanya menjadi gelap. Gallen kehilangan kesadaran
Saat Gallen merasa dirinya di ambang napas terakhir, dia membayangkan senyuman hangat ibunya. Selanjutnya, semua terlihat gelap. Gallen kehilangan kesadarannya. Menyadari tubuh Gallen tak lagi bergerak, Codet dan anak buahnya serentak menghentikan serangan mereka. Salah satu anak buahnya berjongkok. Mendekatkan jari pada di bawah lubang hidung Gallen. “Dia masih hidup, Bos!” Codet mengibaskan tangan. “Tugas kita hanya memberinya pelajaran, bukan menghabisinya.” “Tapi, Bos—” “Apa kau lupa? Kali ini kita hanya diminta untuk melakukan tindak kekerasan, bukan pembunuhan!” “Bagaimana kalau dia melaporkan kita setelah dia sadar?” tanya anak buahnya yang lain. “Dia bahkan mungkin tidak mengenali dirinya sendiri saat bangun nanti. Apa kau pikir dia akan mengingat kita?” Sebenarnya Codet sedikit kesal dengan keceriwisan dua anak buahnya itu. Akan tetapi, mengingat keduanya baru saja bergabung beberapa hari yang lalu, Codet berus
Silvana menempelkan kuping ke daun pintu, mencoba menangkap suara dan gerakan dari dalam kamar Ara. “Dobrak pintunya, Pa!” Silvana tak mampu lagi menahan kekhawatirannya. Seperti telah dihipnotis, Guntur mengambil ancang-ancang. “Mundur!” Silvana menjauh dari pintu. Mulutnya komat-kamit, melafal doa semoga putrinya tidak melakukan hal-hal gila yang dapat membahayakan nyawa. Entah berapa kali Guntur menendang pintu sekuat tenaga. Kakinya terasa sakit. Akan tetapi, memikirkan keselamatan putrinya di dalam sana, Guntur mengabaikan semua rasa sakit yang dideritanya. Begitu pintu terbuka, Guntur merangsek masuk dan berlari ke jendela. Ara berdiri mematung di sana. Pandangannya jauh menjangkau cakrawala. Guntur membetot tangan Ara. “Jangan gila, Ara! Nyawamu lebih berharga daripada bajingan tak tahu malu itu!” Ara memandang papanya dengan sorot mata jengkel. “Siapa yang Papa sebut bajingan?” “Siapa lagi kalau bukan lelaki yan
“Menyelamatkan nyawa seseorang tidak perlu mempertimbangkan dia orang baik atau jahat. Itu tanggung jawab dia dengan Tuhan. Kita hanya perlu melakukan kewajiban kita sebagai sesama manusia.” Zahari mengelus kepala Bimo. “Percayalah! Tidak ada kebaikan yang sia-sia.” Meskipun Bimo tak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan kakeknya, dia tidak berani membantah. Terlebih ketika gerimis berganti titik hujan. Lebih baik secepatnya membawa lelaki asing itu ke rumah sakit. Keluar dari gang, Zahari mengembuskan napas kencang. Jalanan bermandikan genangan air. Tidak mungkin dia mengantar Gallen ke rumah sakit hanya dengan menggunakan gerobak tua miliknya. Kondisi lelaki itu pasti akan memburuk mengingat jarak yang lumayan jauh. Zahari mengedarkan pandangan berkeliling. Sebuah taksi melintas. Pemandangan itu secara refleks menggerakkan tangan keriput Zahari ke saku. Selembar uang dengan nominal dua puluh ribu lusuh kini berada di genggamannya. Helaan na
Zahari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak mengenal Gallen. Bagaimana mungkin dia bisa menghubungi keluarganya? Akan tetapi, dia tidak berani untuk memberitahu perawat galak itu tentang kenyataan yang sebenarnya. Melihat Zahari diam saja, perawat itu berlalu dengan raut muka terlihat kesal. Hal yang dibencinya saat bertugas di ruang IGD adalah melayani pasien dari kalangan ekonomi kelas bawah. Kehadiran mereka hanya menyebabkan rumah sakit menderita kerugian. Sudah tak terhitung berapa banyak pasien yang kabur setelah mendapatkan tindakan dokter dan perawatan tanpa membayar. Benar-benar menjengkelkan! Berkaca dari pengalaman buruk tersebut, perawat itu memilih untuk tidak melaksanakan tugasnya dan pergi begitu saja. “Om harus menolong dia dulu sebelum pergi.” Bimo menarik tepi baju perawat itu. Dia memasang wajah memohon dengan bibir yang bergetar lantaran kedinginan. “Singkirkan tangan kotormu itu dari tubuhku!” Perawat it
Satu jam kemudian, di sebuah rumah tua, ponsel Falisha berdering nyaring. Falisha meraih benda pipih itu dengan gerakan malas. Dia baru saja pulang dari kampus. Tubuhnya sangat lelah. Seharusnya dia bisa pulang lebih awal kalau saja dosen yang mengajar mata kuliah terakhir tidak memundurkan jadwalnya. Suara Falisha terdengar lesu saat dia mengucap salam. Namun, beberapa detik kemudian dia terlonjak bangkit. “Apa? Rumah sakit? Ya. Aku segera ke sana.” Falisha melupakan rasa lelahnya dalam sekejap. Buru-buru dia mengganti pakaian basahnya, lalu berlari keluar. “Mau ke mana, Faly? Bukankah sekarang saatnya makan malam?” Teguran Ghifari mengerem langkah Falisha. Tangannya batal membuka pintu. “Maaf, Ayah. A–aku harus ke rumah sakit sekarang.” Falisha menjatuhkan pandangan ke lantai, tak berani menantang bola mata ayahnya. Dia takut lelaki itu akan membaca kecemasannya. “Rumah sakit? Apa kau merasa tidak sehat?” Ghif
“Semakin cepat Bapak menandatangani surat itu, semakin baik bagi kondisi kesehatan anak Bapak.” Teguran Hellen mengembalikan kesadaran Ghifari. Dia tidak punya pilihan selain menyetujui tindakan operasi untuk Gallen. Dia ingin Gallen tetap hidup, walaupun dia harus menjual organ tubuhnya untuk melunasi biaya pengobatan Gallen. Tanpa menunda lagi, Ghifari membubuhkan tanda tangannya pada lembaran kertas yang disodorkan perawat. Satu jam sudah waktu berlalu setelah Gallen selesai menjalani operasi. Kelopak matanya masih tertutup rapat. Falisha duduk di samping ranjang Gallen dengan perasaan gelisah. Berapa lama dia harus menunggu kakaknya itu sadar? Ghifari mengelus kepala Falisha. “Sebaiknya kau pulang dan istirahat. Percayalah, kakakmu akan baik-baik saja.” “Tapi, Ayah … dia sudah sangat lama tertidur. Bagaimana kalau—” “Hentikan omong kosong itu! Dia lelaki yang kuat. Pulanglah! Dia pasti lapar saat terbangun nanti.” G
Sebelum Gallen mampu mencerna rangkaian kalimat yang terlontar dari bibir kakek gurunya itu, sebuah tendangan berkekuatan penuh mendarat di perutnya. Gallen terlontar ke udara dan terbang jauh dengan jeritan melengking tinggi. Dia tak menyangka kakek gurunya akan tega melakukan hal sekejam itu kepadanya. Tendangan pada perutnya mengalirkan hawa yang menyebabkan seluruh uratnya menggeliat. Organ dalam tubuhnya seakan berlari ke sana kemari, tak tentu arah. Entah berapa jauh lagi dia melayang, melintasi bumantara. Sementara di atas ranjang rumah sakit, tubuh Gallen terguncang. Perutnya terangkat dari permukaan tempat tidur. “Kakak!” Falisha yang jatuh tertidur berteriak syok mendapati gerakan Gallen yang tiba-tiba. Wajah piasnya semakin pucat laksana selembar kertas basah. “Dokter! Tolong!” Falisha memekik panik. Saking cemasnya, dia berlari keluar untuk mencari pertolongan. Dia lupa bahwa dia hanya perlu menekan bel di sisi kepa