LOGINBegitu Ling Yue menarik adiknya melewati ambang tak kasat mata yang diciptakan oleh air terjun beku, suara gemuruh air kembali terdengar di belakang mereka, menutup mereka dari dunia luar yang dingin dan kejam. Untuk sesaat, Ling Yue hanya bisa berdiri terpaku, napasnya tertahan di dada. Kehangatan yang menyelimuti mereka begitu nyata, begitu menenangkan, hingga terasa seperti mimpi.
Matanya perlahan-lahan menyesuaikan diri dengan cahaya biru lembut yang memenuhi gua. Ini bukanlah gua biasa yang gelap dan lembab. Langit-langitnya berkilauan seperti langit malam, dihiasi oleh ratusan kristal biru yang berdenyut dengan cahaya magis. Udara di dalamnya begitu murni dan dipenuhi oleh energi yang begitu padat, hingga Ling Yue bisa merasakannya di kulitnya—sebuah tekanan lembut namun kuat yang membuat setiap sel di tubuhnya terasa hidup. Di tengah gua, sumber dari semua keajaiban ini berada: sebuah kolam air sebening kristal yang permukaannya menguarkan uap hangat. Airnya tampak begitu mengundang, menjanjikan kelegaan dari rasa dingin yang telah menyiksa mereka selama berhari-hari. Ling Er, yang nalurinya sebagai seorang anak mengalahkan rasa takutnya, melepaskan genggaman tangan kakaknya. Dengan langkah terhuyung-huyung, ia berjalan menuju kolam itu, matanya yang kusam kini memancarkan secercah harapan. "Hangat… Kakak, airnya hangat…" bisiknya, tangannya yang kurus terulur untuk menyentuh permukaan air yang berkilauan. Sebelum jari-jarinya sempat menyentuh air, sebuah bayangan melesat melewatinya. Wang Yue, yang tadinya berada di dekat pintu masuk, kini telah berdiri di antara Ling Er dan kolam. Gerakannya begitu cepat hingga tidak menimbulkan suara sama sekali. Bodoh. Anak fana yang tidak tahu apa-apa. Pikiran itu melintas di benak Wang Yue dengan jengkel. Ia bisa merasakan fluktuasi liar dari aura gadis kecil itu saat mendekati Mata Air Spiritual Murni. Mata Air ini adalah inti dari seluruh energi di lembah ini, sebuah anomali alam yang ia temukan bertahun-tahun lalu. Satu tetes airnya mengandung Qi murni yang cukup untuk membuat seorang kultivator tahap Foundation Establishment meledak. Membiarkan anak fana yang lemah ini menyentuhnya sama saja dengan seekor ngegat yang terbang ke dalam api. Ia tidak peduli pada nasib anak itu, tetapi ia tidak akan membiarkan auranya yang meledak mengotori sumber kekuatannya. Tangannya terulur, telapaknya berhenti hanya beberapa senti dari dahi Ling Er. Ia tidak perlu menyentuhnya; tekanan dari Qi-nya saja sudah cukup untuk membuat gadis kecil itu membeku di tempat. “Jangan menyentuhnya,” perintahnya. Suaranya tidak keras, tetapi mengandung ketajaman dan kekuatan yang membuat udara di sekitarnya bergetar. “Itu Mata Air Spiritual Murni. Tubuh fanamu yang lemah tak akan bisa menahannya; kau akan hancur berkeping-keping sebelum sempat merasakan kehangatannya. Jauhkan dirimu darinya.” Ia melirik ke arah pemuda itu, mengamati reaksinya. Setidaknya yang satu ini tidak bodoh, pikirnya saat melihat Ling Yue tersentak dan dengan sigap menarik adiknya menjauh, wajahnya pucat pasi karena ngeri. Ada kecerdasan dan kepatuhan instingtual dalam diri pemuda itu. Sesuatu yang langka. Namun, kehadiran mereka tetap saja mengganggu. Bau lumpur, daun busuk, dan keputusasaan fana yang menempel di jubah mereka mengotori kemurnian guanya. Hal itu harus segera diatasi. Dengan sedikit lambaian tangannya, dua jubah dari kulit binatang spiritual yang ia simpan melayang dan mendarat di pelukan Ling Yue. Ling Yue memeluk jubah yang dilemparkan kepadanya, jantungnya masih berdebar kencang membayangkan bahaya yang baru saja dihindari Ling Er. Jubah itu terasa kasar di tangannya, tetapi memancarkan kehangatan yang stabil. Ini… ini adalah kebaikan lain dari pria dingin ini. Meskipun kata-katanya setajam es, tindakannya—sekali lagi—menyelamatkan mereka. “Ganti bajumu yang kotor itu. Setelah itu, kalian boleh tidur di sudut sana.” Pria itu menunjuk ke sebuah ceruk kering yang tampak nyaman. “Jangan bersuara. Jangan menyentuh apa pun.” Rasa syukur yang meluap membuat Ling Yue tidak bisa menahan diri. Ia kembali bersujud, mengabaikan tatapan jengkel yang mungkin akan ia terima. “Tuan, terima kasih atas semua kebaikan Anda. Izinkan saya membalasnya. Saya bisa membersihkan gua Anda, memasak, atau melakukan pekerjaan apa pun. Tolong, izinkan saya melayani Anda.” Wang Yue menatapnya dengan pandangan yang seolah berkata bahwa Ling Yue adalah makhluk paling merepotkan yang pernah ia temui. “Aku tidak butuh pelayan,” kata tajam. “Aku benci kebisingan dan gangguan. Kedamaian gua ini adalah segalanya bagiku.” Ia berhenti sejenak, matanya yang dingin menatap lurus ke arah Ling Yue. “Diam adalah balasan terbaik yang bisa kau berikan.” Dengan kalimat terakhir itu, pria agung itu berbalik, kembali ke lempengan batu giok di dekat kolam dan duduk bersila. Dalam sekejap, auranya kembali tenang dan tertutup, seolah-olah ia telah membangun dinding tak terlihat di sekelilingnya, mengabaikan mereka sepenuhnya. Ling Yue mengerti. Ia segera membawa Ling Er ke sudut yang ditunjuk dan membantunya berganti pakaian. Begitu jubah hangat itu menyentuh kulit mereka, rasa lelah yang luar biasa langsung menghantam. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, mereka merasa aman. Terlindungi. Hangat. Dengan perut yang masih kosong namun hati yang sedikit lebih tenang, mereka berbaring dan langsung terlelap. Cahaya biru dari kristal di langit-langit menyambut Ling Yue saat ia terbangun. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur, tetapi tubuhnya terasa lebih ringan dan kuat dari sebelumnya. Rasa sakit dan pegal akibat perjalanan panjang telah hilang, digantikan oleh energi yang segar. Ling Er masih tertidur pulas di sampingnya, napasnya teratur dan wajahnya tidak lagi sepucat kemarin.Puncaknya terjadi pada malam bulan purnama darah. Master Tian Jue mengumumkan bahwa ia akan melakukan terobosan ke tingkat selanjutnya dan membutuhkan bantuan murid-murid terpercayanya untuk menjaga formasi. Wang Yue, yang masih berharap bisa menyadarkan guru dan sahabatnya, setuju untuk datang. Ia tiba di aula ritual terlarang di bawah tanah dan pemandangan di sana membuatnya ngeri. Di tengah formasi raksasa, terikat belasan kultivator dari sekte kecil yang diculik, tubuh mereka lemah, dijadikan bahan bakar untuk ritual. Gurunya, Tian Jue, berdiri di tengah, matanya menyala dengan cahaya merah yang gila. Dan di sisinya, berdiri Feng Xiao, pedang apinya terhunus, wajahnya tegang. “Feng Xiao! Apa yang kamu lakukan?!” teriak Wang Yue. “Aku melakukan apa yang perlu, Xiao Yue!” balas Feng Xiao, suaranya bergetar. “Demi kekuatan! Demi sekte!” “Ini bukan kekuatan, ini kegilaan!”
Beberapa dekade setelah pertempuran melawan Makhluk Void, kehidupan di Lembah Awan Berkabut telah mencapai puncak kedamaiannya. Wang Yue, yang rambutnya kini lebih banyak dihiasi perak daripada hitam, sedang duduk di teras kediamannya, menghadap ke kebun yang tenang. Di tangannya, sebilah pisau ukir kecil menari dengan lincah di atas sepotong Kayu Hati Giok. Mengukir telah menjadi meditasinya, caranya menuangkan keheningan di dalam jiwanya ke dalam bentuk yang nyata. Ling Yue datang membawakan secangkir teh, gerakannya sudah begitu sinkron dengan pasangannya hingga nyaris tanpa suara. Ia meletakkan cangkir itu dan melirik ukiran di tangan Wang Yue. Biasanya, Wang Yue mengukir binatang, bunga, atau terkadang sosok Ling Yue atau Ling Er. Tapi hari ini, sosok yang terbentuk berbeda. Itu adalah sosok seorang pemuda yang bersemangat, dengan senyum menantang di wajahnya dan pedang terhunus di tangannya. Sosok yang tidak Ling Yue kenal.
Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, bukan lagi dengan rasa bersalah atas niatnya yang segelap dulu, tetapi dengan rasa syukur yang meluap yang melunakkan setiap sudut hatinya. “Kepada Tuan Wang Yue, Tuan Ling Yue, Nona Ling Er, dan Tuan A-Chen,” bisiknya, suaranya dipenuhi emosi yang tulus. “Terima kasih telah menciptakan tempat seindah ini. Terima kasih telah menunjukkan jalan bahwa kekuatan tidak harus berarti kehancuran. Dan terima kasih…” ia berhenti, melirik ke samping pada Xiao Li yang menatapnya dengan penuh cinta dan bangga. “...terima kasih telah meninggalkan dia untukku. Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk memperbaiki lukaku dan menjadi layak untuknya, untuk menjadi bagian dari tempat ini.” Xiao Li membantunya berdiri. Mereka berdiri di depan batu memorial para pendiri dan pewaris lembah dengan hormat. “Mereka pasti bangga padamu, Lin Fen
Tahun-tahun mulai berlalu menjadi dekade yang tenang. Di Lembah Awan Berkabut, waktu tidak lagi diukur dengan musim, melainkan dengan generasi-generasi murid yang datang dan pergi, masing-masing dari mereka membawa pulang benih filosofi yang mereka tanam di hati mereka. Di bawah kepemimpinan bersama dari Grandmaster Xiao Li dan Grandmaster Lin Feng, akademi itu telah menjadi mercusuar harapan yang cahayanya semakin bersinar dan tak pernah redup, bersinar di tengah dunia kultivasi yang sering kali gelap. Dunia kultivasi mengenal mereka sebagai dua sisi dari koin yang sama, sepasang Pemimpin yang setara dengan legenda Grandmaster Wang Yue dan Grandmaster Ling Yue. Grandmaster Xiao Li, dengan kebijaksanaannya yang tenang dan hatinya yang penuh dengan welas asih, adalah Jiwa dari lembah itu sendiri. Ia mengajarkan para murid-muridnya cara untuk berdamai dengan bayangan mereka sendiri, mengubah luka mereka menjadi empati, dan
Saat mereka sarapan, Xiao Li dengan santai mengambil sepotong kue talas kukus dari piringnya dan meletakkannya di piring Lin Feng. “Cobalah. Ini kue kesukaanku.” Lin Feng menatap kue itu, lalu pada Xiao Li yang makan dengan tenang di depannya seolah tidak terjadi apa-apa. Di masa lalunya, berbagi makanan adalah tanda kelemahan, menunjukkan kamu tidak bisa mendapatkan makananmu sendiri. Di sini… itu hanyalah sebuah isyarat sederhana dari kepedulian. Dengan ragu, ia memakan kue itu. Rasanya manis dan hangat, seperti sarapan yang harusnya ia nikmati saat masih kecil bersama keluarganya, sebelum tragedi. Hari itu, pelajaran dimulai seperti biasa. Namun, ada dinamika baru. Lin Feng menjadi pengawasi sekelompok murid yang berlatih kuda-kuda dasar. dan insting lamanya sebagai pemimpin sekte yang kejam masih kuat saat mengajar murid di lembah. “Lebih rendah!” bentaknya pada seorang murid
Lin Feng terbangun secara tiba-tiba. Bukan karena mimpi buruk atau panggilan alam, melainkan karena sensasi yang sama sekali asing, tubuh yang terasa nyeri, kehangatan yang stabil di sisinya dan keheningan total di dalam benaknya. Untuk sesaat yang panik, ia tidak tahu di mana ia berada. Instingnya yang telah ditempa selama bertahun-tahun di dunia yang kejam berteriak waspada. Insting untuk menyerang muncul dalam sekejap di benaknnya. Lalu, ingatannya kembali dalam satu gelombang yang hangat, Puncak bukit. Pengakuan yang membebaskan. Malam di mana sentuhan dan ciuman yang membuatnya tersentak. Saat matanya benar-benar terbuka, yang menyambutnya adalah wajah tampan Xiao Li yang d perbesar di depannya. Cahaya fajar yang lembut menyelinap masuk melalui jendela, menerangi ruangan dengan warna keemasan. Ia masih berada dalam pelukan Xiao Li yang hangat. Pria itu masih tertidur lelap, wajahnya terlihat lebih mud







