หน้าหลัก / Romansa / Lembah Awan Berkabut / Bab 1.2 Tirai Air Terjun yang Beku

แชร์

Bab 1.2 Tirai Air Terjun yang Beku

ผู้เขียน: Shana13
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-27 12:25:29

Namun hari ini, sebuah disonansi mengganggu harmoninya. Dua titik kehidupan yang kecil dan rapuh memasuki jangkauan kesadarannya. Kehadiran mereka seperti dua nada sumbang dalam sebuah simfoni yang sempurna. Aura mereka dipenuhi keputusasaan—aroma khas makhluk fana yang berada di ambang kematian. Serangga, pikirnya, tanpa membuka mata. Selalu saja ada serangga yang tersesat.

Biasanya, ia akan membiarkan mereka berlalu, membiarkan takdir mereka terungkap tanpa campur tangannya. Keterikatan adalah sumber dari segala penderitaan, dan ia sudah muak dengan penderitaan. Namun, saat ia hendak menarik kembali kesadarannya, ia merasakan sesuatu yang lain dalam aura mereka. Kemurnian. Terutama pada aura yang lebih tua, yang sedikit lebih kuat. Tidak ada jejak kebencian, keserakahan, atau niat jahat. Hanya ada tekad murni untuk melindungi aura yang lebih kecil dan lebih lemah di sampingnya.

Ini… tidak biasa. Kemurnian seperti itu adalah hal langka di dunia yang sudah tercemar ini.

Riak kekesalan yang halus mengganggu ketenangan batinnya. Ia tidak suka gangguan, sekecil apa pun itu. Dengan helaan napas yang tak terdengar, ia membuka matanya. Pupil matanya yang gelap tampak seperti jurang tak berdasar, memantulkan cahaya biru dari kristal di sekelilingnya. Mereka sudah terlalu dekat. Ia harus mengusir mereka sebelum mereka mengotori pintu masuknya dengan aura kematian mereka.

Dalam sekejap mata, tubuhnya menghilang dari Lempeng Giok Es dan muncul kembali di mulut gua, berdiri tepat di balik tirai air terjun. Jubah putihnya yang terbuat dari sutra es spiritual tetap kering dan bersih, kontras dengan dunia yang basah dan kotor di luar.

Di sana, ia melihat mereka. Dua anak kecil yang tubuhnya lebih banyak lumpur daripada kain, gemetar hebat, menatap ke arahnya dengan mata yang dipenuhi campuran rasa takut yang luar biasa dan secercah harapan yang menyedihkan.

Pria itu muncul entah dari mana, seolah ia adalah hantu yang terlahir dari kabut. Ling Yue tersentak mundur, secara refleks menarik Ling Er ke belakang punggungnya. Jantungnya terasa seperti akan melompat keluar dari dadanya. Pria di hadapannya begitu sempurna hingga tampak tidak nyata. Wajahnya tampan tanpa cela, tetapi ekspresinya kosong, dan matanya… matanya sedingin musim dingin yang abadi. Gelombang kekuatan yang tak terlihat memancar darinya, menekan Ling Yue hingga lututnya terasa lemas.

“Kembali ke tempat asal kalian.” suara pria itu memecah kesunyian. Suaranya rendah, tanpa emosi, tetapi setiap katanya membawa bobot yang menghancurkan.

Keputusasaan adalah pendorong yang lebih kuat dari rasa takut. Ling Yue tahu ini adalah kesempatan terakhir mereka. Ia menjatuhkan dirinya ke lumpur yang membeku, menarik Ling Er bersamanya. Ia menundukkan kepalanya hingga dahinya menyentuh tanah yang dingin.

“Tuan, kami mohon,” katanya, suaranya bergetar tak terkendali. “Kami tidak punya tempat tujuan. Desa kami luluh lantak oleh monster. Kami hanya… kami hanya butuh tempat berlindung untuk satu malam saja. Kami tidak akan bersuara.”

Pria itu tidak menjawab. Keheningannya terasa lebih menakutkan daripada amarah mana pun. Ling Yue bisa merasakan tatapan dingin itu menguliti setiap lapisan keberaniannya.

“Dunia ini luas,” pria itu akhirnya berkata, suaranya sedatar padang es. “Kematian adalah hal yang biasa. Cari tempat lain.”

Kata-kata itu menghantam Ling Yue seperti cambuk. Tidak ada belas kasihan, tidak ada simpati. Hanya kenyataan yang brutal. Tapi kemudian ia merasakan getaran tubuh Ling Er yang semakin lemah di sampingnya. Kemarahan yang lahir dari cinta pelindung meledak di dalam dirinya, memberinya kekuatan untuk menentang.

“Tapi kami tidak bisa berjalan lagi!” seru Ling Yue, mengangkat wajahnya yang berlumuran lumpur untuk menatap pria itu. Air mata panas bercampur dengan air hujan dingin di pipinya. “Adikku akan mati jika kami tetap di sini! Kami sudah tidak makan selama berhari-hari. Kami tidak meminta makanan Anda, Tuan! Kami tidak meminta apa pun selain sepotong tempat kering untuk melewati malam ini!”

Wang Yue menatap mata pemuda itu. Ia melihat api di sana. Bukan api kebencian yang merusak, melainkan api perlindungan yang murni. Dan kemudian, tatapannya beralih ke gadis kecil di sampingnya. Wajahnya pucat membiru, matanya yang besar tergenang air mata ketakutan, napasnya dangkal.

Sebuah bayangan dari masa lalu yang sangat jauh melintas di benaknya. Wajah lain, di tengah salju, menatapnya dengan permohonan yang sama. Sebuah janji yang ia buat. Sebuah kegagalan yang menghantuinya selama berabad-abad.

Jangan ikut campur, sebuah suara dingin di dalam dirinya memperingatkan. Ini akan berakhir dengan rasa sakit, seperti sebelumnya.

Tapi membiarkan mereka mati di depan pintu rumahnya… bukankah itu juga sebuah kegagalan? Aura kematian mereka akan meresap ke dalam lembah, menjadi pengingat konstan. Sangat merepotkan, pikirnya, mencoba menutupi secercah emosi yang tak diinginkan itu dengan alasan pragmatis.

Tanpa mengubah ekspresi wajahnya, ia berbalik. Tindakan itu terasa seperti sebuah penolakan final bagi Ling Yue. Namun, saat Wang Yue melangkah, sesuatu yang mustahil terjadi. Air terjun di hadapannya berhenti total. Setiap tetes air membeku di udara, menciptakan koridor hening yang berkilauan di bawah cahaya biru gua.

Ling Yue menatap dengan tak percaya, mulutnya terbuka lebar.

“Cepat,” suara Wang Yue terdengar dari dalam, masih dingin dan tanpa emosi. “Sebelum tirai air kembali. Aku tidak akan mengulanginya.”

Kalimat itu menyentak Ling Yue dari keterpanaan. Tanpa berpikir lagi, ia menarik Ling Er yang sama terkejutnya dan berlari sekuat tenaga melewati koridor air yang membeku itu. Begitu kaki mereka menginjak tanah kering di dalam gua, suara gemuruh kembali terdengar saat air terjun itu kembali hidup, menutup mereka dari dunia luar.

Mereka selamat. Untuk saat ini. Mereka berada di dalam sarang seorang makhluk yang kekuatannya tak terbayangkan, tetapi mereka hangat dan aman dari dingin yang mematikan. Ling Yue menatap ke dalam gua yang misterius itu, jantungnya berdebar antara rasa takut dan secercah harapan yang baru saja lahir.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Lembah Awan Berkabut   Bab 5.2 Lompatan ke Illusory Yin

    “Kakak!” Tiba-tiba Ling Er berlari maju, mencengkeram lengan Ling Yue dengan sangat erat, wajahnya pucat pasi. “Jangan lakukan itu! Aku, aku tidak suka ini! Apakah ini berbahaya, Tuan?” tanyanya, menatap Wang Yue dengan tatapan menantang yang berani. Wang Yue melirik Ling Er. Gadis kecil yang dulu ia anggap sebagai gangguan kini telah tumbuh menjadi seorang kultivator muda cantik yang berani menanyainya secara langsung demi kakaknya. Ada kilatan apresiasi yang sangat samar di matanya sebelum kembali menjadi dingin. “Setiap langkah kultivasi yang nyata itu semuanya berbahaya, gadis kecil,” jawabnya, suaranya tetap datar. “Jauh lebih berbahaya daripada menghadapi seribu monster. Bahaya terbesar bukanlah jurang itu sendiri, tetapi hatinya sendiri.” Ia kembali menatap Ling Yue. “Jika dia ragu sedikit saja saat berada di dalam sana, jika dia mencoba berpegang pada egonya, Yin akan langsung melahap jiwanya tanpa sisa. Ia akan j

  • Lembah Awan Berkabut   Bab 5.1 Lompatan ke Illusory Yin

    dua puluh tahun. Waktu di dalam Lembah Awan Berkabut mengalir seperti air sungai yang tenang, tak terasa namun meninggalkan perubahan yang mendalam. Ling Yue yang dulunya adalaj seorang bocah kurus yang gemetar karena dingin, kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tinggi dan tegap. Wajahnya telah kehilangan jejak kekanak-kanakan, digantikan oleh ketenangan dan kepercayaan diri yang lahir dari kekuatan yang ia genggam. Aura seorang kultivator tahap Ascendant—sebuah pencapaian yang hanya bisa diimpikan oleh para master di dunia luar—menguar lembut dari tubuhnya, terkendali dengan sempurna. Ling Er juga telah mekar. Gadis kecil yang dulu hanya bisa bersembunyi di belakang punggung kakaknya kini telah menjadi seorang gadis yang anggun dan bersemangat. Di bawah bimbingan Wang Yue yang sesekali memberinya petunjuk, dan dengan energi spiritual murni dari lembah, ia telah berhasil mencapai tahap Core Formation. Rambut hitamnya yang panjang sering kali ia ikat dengan pita sutra saat i

  • Lembah Awan Berkabut   Bab 4.2 Kutukan Sang Berkah

    Seolah dipanggil oleh kata-kata Wang Yue, beberapa bulan kemudian, langit di atas Lembah Awan Berkabut berubah. Awan hitam yang pekat berkumpul dengan kecepatan yang tidak wajar, mengubah siang hari menjadi senja yang mencekam. Angin mulai menderu seperti raungan binatang buas, dan kilat menyambar di antara awan, bukan dengan kilatan putih, tetapi dengan kilatan ungu yang aneh. Ling Er berlari ketakutan ke dalam pelukan Ling Yue. “Kakak, aku takut! Badainya aneh!” Ling Yue sendiri merasakannya. Ini bukan badai biasa. Udara dipenuhi oleh energi spiritual yang liar, kacau, dan merusak. Wang Yue muncul dari meditasinya dan berdiri di mulut gua, menatap langit dengan ekspresi tenang. “Ini bukan badai biasa,” kata Wang Yue. “Ini adalah Pergolakan Spiritual. Gejolak energi alam yang terkadang terjadi di tempat dengan Qi yang padat. Ini berbahaya, tetapi juga merupakan sebuah kesempatan.” Ia menoleh pada Ling Yue, matanya berkilat dengan intensitas yang membuat Ling Yue merinding

  • Lembah Awan Berkabut   Bab 4.1 Kutukan Sang Berkah

    Setelah Ling Yue berhasil menemukan “kompas”-nya, seolah-olah sebuah bendungan di dalam dirinya telah runtuh. Energi spiritual yang tadinya terasa asing dan sulit dijangkau, kini mengalir ke arahnya seperti sungai yang menemukan muaranya. Kemajuan yang ia buat tidak lagi bertahap; itu adalah sebuah lompatan kuantum yang menakjubkan. Dalam satu bulan, di bawah bimbingan Wang Yue yang tanpa henti, ia berhasil menyempurnakan tahap Qi Condensation. Dantiannya yang tadinya hanya pusaran hangat kini telah memadat menjadi sebuah inti Qi yang stabil dan bercahaya. Wang Yue tidak memberinya waktu untuk berpuas diri. Latihan fisik yang brutal dimulai, mendorong tubuh fana Ling Yue hingga ke batas kemampuannya, memaksanya untuk menyerap energi spiritual untuk memperbaiki otot-ototnya yang robek dan tulangnya yang terasa remuk. Tiga bulan kemudian, ia menembus ke tahap Foundation Establishment. Perubahan itu terasa nyata. Ia tidak lagi merasa selemah dulu; tubuhnya ringan, indranya lebih ta

  • Lembah Awan Berkabut   Bab 3.2 Kehendak Sebagai Kompas

    Metodenya memang kejam. Ia bisa saja menggunakan Qi-nya untuk secara paksa membuka meridian Ling Yue dan membiarkannya merasakan aliran energi. Itu akan lebih cepat, lebih mudah. Tapi itu akan menjadi jalan pintas yang berbahaya. Jalan kultivasi dipenuhi dengan iblis batin. Jika Ling Yue tidak bisa menaklukkan iblis pertamanya—keraguan dirinya sendiri—maka ia tidak akan pernah bertahan dari ujian-ujian yang lebih besar di masa depan. Tekanan melahirkan berlian. Jika ia patah hanya karena ini, maka ia memang tidak layak untuk diajari. Pandangannya beralih ke sudut gua, di mana gadis kecil itu, Ling Er, sedang duduk diam, mengamati kakaknya dengan mata penuh kekhawatiran. Wang Yue memastikan gadis itu mendapatkan makanan yang layak setiap hari, yang ia letakkan diam-diam saat kedua anak itu tertidur. Itu adalah tindakan praktis; ia tidak ingin gadis itu mati kelaparan dan menjadi gangguan lain. Namun, melihat kesetiaan dan cinta tanpa syarat di mata gadis kecil itu memicu sesuatu yan

  • Lembah Awan Berkabut   Bab 3.1 Kehendak Sebagai Kompas

    Fajar pertama setelah sumpah itu diucapkan terasa berbeda. Udara di dalam gua tidak lagi hanya terasa hangat dan aman bagi Ling Yue; kini udara itu dipenuhi oleh antisipasi yang berat dan sedikit rasa takut. Ia bangun bahkan sebelum Ling Er, hatinya berdebar-debar karena semangat dan kegelisahan. Hari ini adalah hari pertamanya menapaki jalan untuk menjadi kuat. Hari ini, ia akan mulai belajar. Ia menemukan Wang Yue sudah duduk di atas Lempeng Giok Es Abadi, matanya terpejam, auranya setenang dan sedalam danau beku di puncak gunung. Ling Yue mendekat dengan hormat dan menunggu dalam diam. Ia tidak menunggu lama. Tepat saat secercah cahaya matahari pertama menembus tirai air terjun, menciptakan pelangi samar di mulut gua, Wang Yue membuka matanya. “Duduk,” kata Wang Yue, suaranya datar, memecah keheningan pagi. Ia menunjuk ke sebuah batu datar di seberang kolam. “Pejamkan matamu.” Ling Yue segera menurut, jantungnya berpacu. Ia duduk bersila, meluruskan punggungnya, dan memeja

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status