เข้าสู่ระบบFajar pertama setelah sumpah itu diucapkan terasa berbeda. Udara di dalam gua tidak lagi hanya terasa hangat dan aman bagi Ling Yue; kini udara itu dipenuhi oleh antisipasi yang berat dan sedikit rasa takut. Ia bangun bahkan sebelum Ling Er, hatinya berdebar-debar karena semangat dan kegelisahan. Hari ini adalah hari pertamanya menapaki jalan untuk menjadi kuat. Hari ini, ia akan mulai belajar.
Ia menemukan Wang Yue sudah duduk di atas Lempeng Giok Es Abadi, matanya terpejam, auranya setenang dan sedalam danau beku di puncak gunung. Ling Yue mendekat dengan hormat dan menunggu dalam diam. Ia tidak menunggu lama. Tepat saat secercah cahaya matahari pertama menembus tirai air terjun, menciptakan pelangi samar di mulut gua, Wang Yue membuka matanya. “Duduk,” kata Wang Yue, suaranya datar, memecah keheningan pagi. Ia menunjuk ke sebuah batu datar di seberang kolam. “Pejamkan matamu.” Ling Yue segera menurut, jantungnya berpacu. Ia duduk bersila, meluruskan punggungnya, dan memejamkan mata, siap menerima instruksi pertamanya yang rumit. Ia membayangkan teknik-teknik rahasia, mantra-mantra, atau gerakan-gerakan tangan yang sulit. “Kosongkan pikiranmu,” lanjut Wang Yue. “Rasakan energi di sekitarmu. Tarik ke dalam tubuhmu.” Hanya itu. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Ling Yue sedikit bingung, tetapi ia berusaha keras untuk patuh. Mengosongkan pikiran. Terdengar mudah, tetapi ternyata itu adalah hal paling mustahil yang pernah ia coba lakukan. Begitu ia mencoba mengusir semua pikiran, benaknya justru menjadi badai yang lebih ganas. Bayangan desa yang terbakar melintas. Jeritan ibunya. Wajah pucat Ling Er yang menggigil. Rasa lapar yang menggigit perutnya. Ketakutannya pada pria dingin yang kini menjadi gurunya. Semua itu berputar-putar seperti pusaran air yang keruh, membuatnya pusing dan sesak napas. Ia mencoba mendorongnya pergi, tetapi semakin ia mencoba, semakin kuat bayangan-bayangan itu mencengkeramnya. Satu jam berlalu, lalu dua. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Kakinya terasa kram, dan punggungnya sakit. Ia tidak merasakan apa-apa selain kekacauan di dalam kepalanya dan rasa sakit di tubuhnya. “Aku tidak merasakan apa-apa, Tuan,” akhirnya ia berkata, suaranya dipenuhi frustrasi. “Lagi,” hanya itu jawaban Wang Yue, tanpa membuka mata. Hari kedua sama saja. Hari ketiga, Ling Yue mulai putus asa. Wang Yue hanya memberinya semangkuk kecil nasi tanpa rasa dan air setiap hari, cukup untuk membuatnya tetap hidup tetapi tidak cukup untuk menghilangkan rasa lapar yang konstan. Gurunya berkata itu untuk mempertajam indranya, tetapi bagi Ling Yue, itu terasa seperti siksaan tambahan. Di sore hari ketiga, ia tidak tahan lagi. “Tuan!” serunya, suaranya sedikit bergetar karena putus asa. “Saya sudah mencoba! Saya sudah mencoba mengosongkan pikiran saya selama tiga hari, tapi saya tidak bisa! Saya tidak merasakan energi apa pun! Mungkin… mungkin saya tidak punya bakat yang Anda kira.” Wang Yue akhirnya membuka matanya. Tatapan dinginnya seolah menembus Ling Yue, membuatnya merasa kecil dan bodoh. “Bakat tanpa kemauan hanyalah sampah yang berkilauan,” kata Wang Yue, suaranya setajam pecahan es. “Tentu saja kau tidak bisa. Pikiranmu adalah lautan badai. Mencoba mengosongkannya sama bodohnya dengan mencoba mengosongkan lautan dengan sebuah cangkir.” Ia bangkit dan berjalan mendekati Ling Yue. “Kamu melakukan kesalahan, bocah. Kamu mencoba mencari Qi dengan indramu, dengan pikiranmu. Itu salah.” “Lalu… bagaimana caranya?” tanya Ling Yue, bingung sekaligus malu. “Bodoh!” jawab Wang Yue, suaranya menggema pelan di dalam gua. “Jangan gunakan matamu. Jangan gunakan pikiranmu yang dangkal itu. Gunakan kehendakmu. Keinginanmu untuk melindungi adikmu—di mana itu sekarang? Keinginan untuk menjadi kuat—di mana itu? Qi tidak merespons pada pikiran yang kosong, ia merespons pada kehendak yang membara. Kehendakmu adalah kompas, dan Qi adalah jarumnya. Sekarang, berhenti mengeluh dan coba lagi.” Dengan kata-kata tajam itu, Wang Yue kembali ke tempatnya, meninggalkan Ling Yue yang termenung, mencerna setiap kata yang menusuk itu. Wang Yue kembali duduk dalam meditasinya, tetapi kesadarannya tidak pernah lepas dari pemuda itu. Ia bisa melihat semuanya dengan jelas. Ia melihat badai trauma dan ketakutan yang mengamuk di dalam pikiran Ling Yue, menciptakan penghalang yang tebal antara kesadarannya dan energi alam di sekitarnya. Ia juga melihat akar api murni di dalam Dantian pemuda itu, berdenyut-denyut dengan frustrasi, siap untuk dinyalakan tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Anak ini terlalu banyak berpikir, simpul Wang Yue dalam hati. Ia mencoba memahami sesuatu yang seharusnya dirasakan. Ia terjebak dalam logikanya yang fana.“Kakak!” Tiba-tiba Ling Er berlari maju, mencengkeram lengan Ling Yue dengan sangat erat, wajahnya pucat pasi. “Jangan lakukan itu! Aku, aku tidak suka ini! Apakah ini berbahaya, Tuan?” tanyanya, menatap Wang Yue dengan tatapan menantang yang berani. Wang Yue melirik Ling Er. Gadis kecil yang dulu ia anggap sebagai gangguan kini telah tumbuh menjadi seorang kultivator muda cantik yang berani menanyainya secara langsung demi kakaknya. Ada kilatan apresiasi yang sangat samar di matanya sebelum kembali menjadi dingin. “Setiap langkah kultivasi yang nyata itu semuanya berbahaya, gadis kecil,” jawabnya, suaranya tetap datar. “Jauh lebih berbahaya daripada menghadapi seribu monster. Bahaya terbesar bukanlah jurang itu sendiri, tetapi hatinya sendiri.” Ia kembali menatap Ling Yue. “Jika dia ragu sedikit saja saat berada di dalam sana, jika dia mencoba berpegang pada egonya, Yin akan langsung melahap jiwanya tanpa sisa. Ia akan j
dua puluh tahun. Waktu di dalam Lembah Awan Berkabut mengalir seperti air sungai yang tenang, tak terasa namun meninggalkan perubahan yang mendalam. Ling Yue yang dulunya adalaj seorang bocah kurus yang gemetar karena dingin, kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tinggi dan tegap. Wajahnya telah kehilangan jejak kekanak-kanakan, digantikan oleh ketenangan dan kepercayaan diri yang lahir dari kekuatan yang ia genggam. Aura seorang kultivator tahap Ascendant—sebuah pencapaian yang hanya bisa diimpikan oleh para master di dunia luar—menguar lembut dari tubuhnya, terkendali dengan sempurna. Ling Er juga telah mekar. Gadis kecil yang dulu hanya bisa bersembunyi di belakang punggung kakaknya kini telah menjadi seorang gadis yang anggun dan bersemangat. Di bawah bimbingan Wang Yue yang sesekali memberinya petunjuk, dan dengan energi spiritual murni dari lembah, ia telah berhasil mencapai tahap Core Formation. Rambut hitamnya yang panjang sering kali ia ikat dengan pita sutra saat i
Seolah dipanggil oleh kata-kata Wang Yue, beberapa bulan kemudian, langit di atas Lembah Awan Berkabut berubah. Awan hitam yang pekat berkumpul dengan kecepatan yang tidak wajar, mengubah siang hari menjadi senja yang mencekam. Angin mulai menderu seperti raungan binatang buas, dan kilat menyambar di antara awan, bukan dengan kilatan putih, tetapi dengan kilatan ungu yang aneh. Ling Er berlari ketakutan ke dalam pelukan Ling Yue. “Kakak, aku takut! Badainya aneh!” Ling Yue sendiri merasakannya. Ini bukan badai biasa. Udara dipenuhi oleh energi spiritual yang liar, kacau, dan merusak. Wang Yue muncul dari meditasinya dan berdiri di mulut gua, menatap langit dengan ekspresi tenang. “Ini bukan badai biasa,” kata Wang Yue. “Ini adalah Pergolakan Spiritual. Gejolak energi alam yang terkadang terjadi di tempat dengan Qi yang padat. Ini berbahaya, tetapi juga merupakan sebuah kesempatan.” Ia menoleh pada Ling Yue, matanya berkilat dengan intensitas yang membuat Ling Yue merinding
Setelah Ling Yue berhasil menemukan “kompas”-nya, seolah-olah sebuah bendungan di dalam dirinya telah runtuh. Energi spiritual yang tadinya terasa asing dan sulit dijangkau, kini mengalir ke arahnya seperti sungai yang menemukan muaranya. Kemajuan yang ia buat tidak lagi bertahap; itu adalah sebuah lompatan kuantum yang menakjubkan. Dalam satu bulan, di bawah bimbingan Wang Yue yang tanpa henti, ia berhasil menyempurnakan tahap Qi Condensation. Dantiannya yang tadinya hanya pusaran hangat kini telah memadat menjadi sebuah inti Qi yang stabil dan bercahaya. Wang Yue tidak memberinya waktu untuk berpuas diri. Latihan fisik yang brutal dimulai, mendorong tubuh fana Ling Yue hingga ke batas kemampuannya, memaksanya untuk menyerap energi spiritual untuk memperbaiki otot-ototnya yang robek dan tulangnya yang terasa remuk. Tiga bulan kemudian, ia menembus ke tahap Foundation Establishment. Perubahan itu terasa nyata. Ia tidak lagi merasa selemah dulu; tubuhnya ringan, indranya lebih ta
Metodenya memang kejam. Ia bisa saja menggunakan Qi-nya untuk secara paksa membuka meridian Ling Yue dan membiarkannya merasakan aliran energi. Itu akan lebih cepat, lebih mudah. Tapi itu akan menjadi jalan pintas yang berbahaya. Jalan kultivasi dipenuhi dengan iblis batin. Jika Ling Yue tidak bisa menaklukkan iblis pertamanya—keraguan dirinya sendiri—maka ia tidak akan pernah bertahan dari ujian-ujian yang lebih besar di masa depan. Tekanan melahirkan berlian. Jika ia patah hanya karena ini, maka ia memang tidak layak untuk diajari. Pandangannya beralih ke sudut gua, di mana gadis kecil itu, Ling Er, sedang duduk diam, mengamati kakaknya dengan mata penuh kekhawatiran. Wang Yue memastikan gadis itu mendapatkan makanan yang layak setiap hari, yang ia letakkan diam-diam saat kedua anak itu tertidur. Itu adalah tindakan praktis; ia tidak ingin gadis itu mati kelaparan dan menjadi gangguan lain. Namun, melihat kesetiaan dan cinta tanpa syarat di mata gadis kecil itu memicu sesuatu yan
Fajar pertama setelah sumpah itu diucapkan terasa berbeda. Udara di dalam gua tidak lagi hanya terasa hangat dan aman bagi Ling Yue; kini udara itu dipenuhi oleh antisipasi yang berat dan sedikit rasa takut. Ia bangun bahkan sebelum Ling Er, hatinya berdebar-debar karena semangat dan kegelisahan. Hari ini adalah hari pertamanya menapaki jalan untuk menjadi kuat. Hari ini, ia akan mulai belajar. Ia menemukan Wang Yue sudah duduk di atas Lempeng Giok Es Abadi, matanya terpejam, auranya setenang dan sedalam danau beku di puncak gunung. Ling Yue mendekat dengan hormat dan menunggu dalam diam. Ia tidak menunggu lama. Tepat saat secercah cahaya matahari pertama menembus tirai air terjun, menciptakan pelangi samar di mulut gua, Wang Yue membuka matanya. “Duduk,” kata Wang Yue, suaranya datar, memecah keheningan pagi. Ia menunjuk ke sebuah batu datar di seberang kolam. “Pejamkan matamu.” Ling Yue segera menurut, jantungnya berpacu. Ia duduk bersila, meluruskan punggungnya, dan memeja







