LOGINKegelapan yang menyambut Ling Yue bukanlah kegelapan biasa. Itu adalah ketiadaan yang absolut. Saat ia mulai jatuh, sensasi pertama yang hilang adalah penglihatannya, ditelan oleh hitam pekat yang tak berujung. Lalu pendengarannya lenyap, digantikan oleh keheningan total yang begitu menekan hingga terasa seperti sebuah suara. Angin yang seharusnya menderu di telinganya tidak ada. Ia jatuh dalam kehampaan yang hampa.
Kemudian, Illusory Yin mulai bekerja. Ia merasakan kekuatannya, fondasi kultivasi yang telah ia bangun dengan darah dan keringat selama dua puluh tahun, mulai runtuh dari dalam dirinya. Rasanya seperti kulit yang dikupas lapis demi lapis, bukan dengan rasa sakit, melainkan dengan ketidakberdayaan yang dingin. Tahap Ascendant-nya menguap. Nascent Soul-nya memudar. Core Formation-nya retak dan menjadi debu dalam kehampaan. Lepaskan, sebuah gema dari suara Wang Yue berbisik di sisa-sisa kesadarannya. Panik mulai merayap. Melepaskan kekuatannya terasa seperti melepaskan nyawanya sendiri. Nalurinya untuk melawan, untuk berpegangan pada apa yang membuatnya menjadi “dirinya”, begitu kuat. Tapi ia teringat pada peringatan gurunya. Jika dia ragu… Yin akan melahap jiwanya. Dengan susah payah, ia memaksa dirinya untuk menyerah. Ia membiarkan kekuatannya pergi. Selanjutnya, ingatannya mulai memudar sedikit demi sedikit. Wajah ibunya, tawa ayahnya, kehangatan desa mereka… semuanya menjadi kabur, lalu hilang. Ia berjuang untuk mengingat wajah Ling Er, tetapi bahkan gambaran adiknya yang paling ia cintai mulai terkikis oleh kehampaan. Tidak! Sebagian dari dirinya menjerit. Aku tidak boleh melupakannya! Kamu harus melepaskannya, bisik gema kebijaksanaan Wang Yue. Identitasmu adalah sangkar. Lepaskan sangkarnya untuk membebaskan jiwamu. Ini adalah ujian terberat. Ia harus melepaskan alasan ia melakukan semua ini. Dengan isak tangis jiwa yang tak bersuara, ia melepaskan ingatan akan Ling Er. Kini yang tersisa hanyalah kesadaran murni, sebuah “aku” yang telanjang tanpa nama, tanpa masa lalu, tanpa kekuatan. Dan kemudian, kehampaan itu datang untuk merenggut hal terakhir itu juga. Di tepi jurang, jeritan Ling Er memecah kesunyian yang mencekam. “KAKAK!” Ia berlari ke depan, matanya liar karena panik, berniat untuk melompat menyusul kakaknya. Namun, sebelum ia bisa mencapai tepi, sebuah dinding Qi yang tak terlihat namun kokoh menghentikannya. Ia menabraknya dan terpental ke tanah. “Jangan!” Suara Wang Yue terdengar di belakangnya, dingin dan tanpa kompromi. “Jangan pernah mengganggu seorang kultivator di tengah-tengah terobosannya! Kmau hanya akan membunuh kalian berdua di dalamnya.” Ling Er berbalik, air mata mengalir deras di pipinya, wajahnya dipenuhi amarah dan ketakutan. “Dia akan mati! Saya tahu dia akan mati! Anda mengirimnya ke kematiannya!” Ia memukul-mukul perisai Qi itu dengan sia-sia. Wang Yue tidak bergerak dari posisinya, matanya terpaku pada kegelapan di bawah, seolah ia bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh mata biasa. “Dia tidak akan mati,” katanya, suaranya lebih ditujukan pada dirinya sendiri daripada pada gadis itu. “Jika dia mati, itu berarti dia tidak layak. Jalan kultivasi tidak memiliki ruang untuk mereka yang tidak layak.” “Omong kosong apa yang kamu bicarakan itu!” isak Ling Er, kini jatuh terduduk di tanah yang dingin, kehabisan tenaga. “Dia kakakku! Bukan hanya seorang kultivator!” Wang Yue tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, sosok putihnya yang kesepian tampak seperti penjaga abadi di gerbang neraka. Satu minggu berlalu. Lalu dua. Ling Er menolak untuk pergi. Ia duduk meringkuk tak jauh dari tepi jurang, matanya yang merah dan bengkak tidak pernah lepas dari kegelapan itu. Wang Yue juga tidak pergi. Ia berdiri di posisi yang sama, tak bergerak seperti patung selama berhari-hari. Bagi pengamat biasa, ia tampak tenang dan acuh tak acuh. Namun, di dalam dirinya, Wang Yue tidak setenang itu. Ia bisa merasakan tanda spiritual Ling Yue di dalam jurang itu, sebuah benang tipis dari cahaya jiwa. Dan benang itu berkedip-kedip dengan berbahaya, nyaris padam beberapa kali. Setiap kali itu terjadi, Qi di sekitar Wang Yue tanpa sadar akan berfluktuasi sedikit, sebuah tanda kecil dari ketegangan batin yang ia sembunyikan dengan sempurna. Bertahanlah, bocah, pikirnya, genggaman tangannya di dalam lengan jubahnya mengencang. Kau sudah sejauh ini. Jangan menyerah sekarang.“Aku mengerti,” katanya lembut, suaranya seperti bisikan angin Lembah. “Aku mengerti ketakutan bahwa kebahagiaan ini hanya akan diambil darimu lagi. Instingmu adalah untuk membangun tembok. Tapi tembok itu tidak akan bisa melindungimu dari dirimu sendiri.” Ia menepuk lantai di sampingnya. “Kita tidak akan melakukan apa pun sekarang. Duduklah di sini bersamaku. Hanya itu. Anggap saja ini pelajaran lain. Pelajaran tentang keheningan yang aman. Tidak ada tuntutan, tidak ada bahaya. Hanya dua orang yang berbagi ruang.” Tindakan Xiao Li yang tak terduga itu memudarkan seluruh pertahanan Lin Feng. Ia mengharapkan paksaan, atau mungkin kekecewaan dari Xiao Li. Ia tidak mengharapkan kesabaran yang begitu total. Pria ini, yang baru saja ia akui cintanya, kini duduk di lantai yang dingin, menunggunya, tanpa tuntutan. Dengan ragu, Lin Feng mendekat dan duduk di samping Xiao Li. Ia duduk, tetapi menjaga jarak bebera
Beberapa minggu setelah malam yang menentukan di perpustakaan, di mana mereka berbagi beban kesepian Xiao Li, suasana di antara Xiao Li dan Lin Feng berubah secara fundamental. Keheningan di antara mereka tidak lagi canggung atau tegang, melainkan dipenuhi oleh pemahaman yang nyaman dan keintiman yang tumbuh. Mereka masih bekerja bersama menyortir gulungan-gulungan di perpustakaan, tetapi kini sering kali diiringi oleh percakapan-percakapan pelan tentang hal-hal yang tidak penting. Lin Feng mulai bertanya, bukan untuk menguji, tetapi untuk memahami. Ia bertanya tentang teknik penyembuhan kuno Lembah, tentang A-Chen, tentang kisah cinta Ling Yue dan Wang Yue. Xiao Li menjawab setiap pertanyaan dengan sabar, berbagi warisan lembah seolah-olah ia sedang berbagi bagian dari hatinya sendiri. Para murid memperhatikan perubahan itu. Guru Xiao mereka tampak lebih ringan dengan senyumnya yang kini lebih sering mencapai matanya, da
Tangannya berhenti bergerak saat ia membaca sebuah entri, yang tertanggal saat Xiao Li pertama kali tiba di Lembah. [Tanggal: Tahun Ke-33 ] > Hari ini aku menemukan anak itu, Xiao Li. Jiwanya penuh dengan badai dan kebencian. Amarahnya begitu murni dan berapi-api. Begitu mirip dengan kisah Guru Ling Yue yang pernah kudengar, dan rasa sakit Guru Wang Yue. Aku takut. Aku ragu apakah aku, yang hanya seorang pewaris, mampu membimbing jiwa yang begitu terluka. Aku melihatnya setiap hari memanggil Qi kebencian, mencoba mengubahnya menjadi kekuatan brutal. Itu adalah jalan yang ia kenal. > Tapi saat aku menatap matanya, aku tidak hanya melihat amarah. Aku melihat bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya di dalam kegelapannya, sebuah potensi cahaya yang luar biasa. Aku harus mencoba. Demi dia, dan demi janji yang kuucapkan pada guru-guruku. Jika Lembah ini tidak dapat menyembuhkan kebencian yang mendasarinya, maka Lembah ini tidak memiliki
Pagi setelah malam api unggun terasa canggung dan asing. Saat Lin Feng bangun, ia menemukan jubah luar Xiao Li yang hangat terlipat rapi di kursi di samping tempat tidurnya. Ia menatap jubah itu untuk waktu yang lama, perasaan aneh yang tidak bisa ia beri nama bergejolak di dadanya. Itu adalah kehangatan yang tidak bisa ia tolak, kebaikan yang tidak ia minta. Sebagian dari dirinya ingin melemparkan jubah itu keluar jendela, menolak kebaikan yang tidak ia minta. Bagian lain dari dirinya secara naluriah tahu bahwa kehangatan ini adalah hal yang paling nyata yang pernah ia rasakan dalam dua puluh tahun hidupnya. Dengan gerakan kaku, ia mengambil jubah itu, melipatnya dengan hati-hati dan meletakkannya di atas tas bekalnya. Saat ia bertemu Xiao Li di paviliun makan pagi, ia hanya mengangguk kaku dan menghindari tatapan mata pria itu, wajahnya sedikit memerah. Lin Feng merasakan dirinya kembali menjadi seorang anak yang malu
Lin Feng tersentak, refleks bertarungnya seketika muncul. Ia berbalik, dan mendapati Xiao Li telah berdiri di belakangnya entah kapan tanpa ia sadari. Xiao Li tidak datang untuk memarahinya karena menguping, ia hanya berdiri di sana, juga menatap ke arah api unggun. “Malam ini kami berbagi cerita,” kata Xiao Li. “Tidak ada pelajaran, tidak ada latihan. Hanya kehangatan dan kebersamaan. Maukah kamu bergabung dengan kami?” Insting pertama Lin Feng adalah menolak. Menolak kehangatan. Menolak kelemahan. Ia ingin melarikan diri dari kehangatan yang terasa asing dan mengancam ini. Tapi ia mendapati dirinya tidak bisa bergerak. Ia hanya memberikan anggukan yang nyaris tak terlihat. Mereka tidak bergabung ke tengah kerumunan. Xiao Li menuntunnya ke sebuah bangku batu yang sedikit menjauh, cukup dekat untuk mendengar dan merasakan kehangatan api, tetapi cukup jauh untuk tetap berada dalam bayang-bayang.
Beberapa minggu berlalu dalam rutinitas yang sunyi. Lin Feng, atas instruksi Xiao Li, terus melanjutkan "latihan" sederhananya, merawat kebun di pagi hari, dan bermeditasi di tepi sungai di sore hari. Ia tidak lagi melakukannya dengan amarah yang tertahan, melainkan dengan kekosongan yang membingungkan. Siapakah aku? Pertanyaan itu menghantuinya selama berjam-jam. Tanpa kebencian sebagai kompasnya, ia merasa tersesat. Tanpa pedangnya, tangannya terasa ringan, dan jiwanya terasa mati. Ia akan menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan menatap aliran air, pikirannya melayang kosong, mencoba mencari jejak ambisi lamanya, tetapi hanya menemukan bayangan samar. Namun, dalam kekosongan itu, ia mulai memperhatikan. Suatu pagi, saat ia sedang menggemburkan tanah di taman herbal miliknya, seorang murid muda, Li Xia, yang bertanggung jawab atas irigasi, tersandung dan menjatuhkan ember airnya yang berat, membasahi area kebun milik Lin Feng. Lin Feng secara naluriah menegang. Dalam hid







