Share

Bagian 2 - Pemulihan

Awas Typo:)

Happy Reading ....

***

Demi para dewa dan dewi tampan di kayangan, kedua tangan Maria terkepal erat, sorot mata pun menajam menatap Mario yang masih menempelkan bibir mereka.

Jika ia tidak koma selama satu tahun dan tubuh tidak menjadi kaku, dapat Maria pastikan satu bogem mentah adalah hadiah darinya untuk kelakuan kurang ajar Mario ini.

Mario memisahkan bibir mereka. "Jangan pancing aku dengan umpan menarik," bisik Mario tepat di depan bibir Maria, sudah pasti wajah mereka masih begitu dekat. "Atau hal seperti tadi yang kau terima." Setelah melisankan peringatan ala dirinya, Mario membawa tubuh berdiri tegak, memasukan kedua tangan ke dalam saku celana.

Mohon maaf saja, Mario belum ada beristirahat, jadi sekali dipancing tentu langsung dilahap.

"Tidak akan ku biarkan," sahut Maria terdengar benar-benar geram.

Mau tahu apa balasan Mario? Hanya kedikan bahu ringan, terkesan bodo amat.

Sial! Maria pastikan ketika tubuhnya sudah kembali bugar, pria ini akan takluk di bawah kendalinya, lihat saja.

Tok, tok.

Suara daun pintu diketuk terdengar memecah aura keruh yang ada di tengah dua anak manusia itu.

Cklek.

Pintu pun terbuka.

"Permisi, selamat pagi, Tuan dan Nyonya Pradytio." Ada sapaan sopan dari suara berat yang sudah pasti keturunan kaum adam.

"Ya, silakan masuk, Dok," sahut Mario tenang mempersilakan dokter muda yang kemarin malam memeriksa Maria saat sadar untuk segera masuk.

Si dokter tersenyum, mulai melangkah masuk bersama satu perawat yang mendorong kursi roda.

"Wah Nyonya Pradytio sudah bisa duduk, perkembangan yang sangat cepat," ujar si dokter tersenyum manis, ambil posisi di sisi ranjang Maria. Well, wanita itu mengerutkan dahi bingung, siapa nyonya Pradytio yang dimaksud dokter ini? Dan siapa pula tuan Pradytio?

"Saya periksa sebentar ya," ujar si dokter menggagalkan aksi Maria yang ingin bertanya.

Untuk beberapa detik semua diam, baik Maria yang diperiksa, atau Mario yang memperhatikan, juga dokter yang memeriksa. Mereka menutup mulut serapat mungkin, fokus akan pemeriksaan.

"Pemulihannya meningkat, jika Nyonya ingin segera bisa berjalan silakan mulai turun dari ranjang. Tuan bisa mengurut kakinya sebentar lalu pelan-pelan tuntun, bantu istrinya kembali merasakan tumpuan tubuh." Membuka kalimat, si dokter muda menatap ke arah Mario.

"Saya bisa sendiri." Namun Maria justru melontarkan ini, membuat tiga manusia memusatkan perhatian kepadanya, baik itu Mario, dokter juga, perawat.

"Tidak bisa Nyonya, kaki Anda belum mampu jika Anda paksa langsung berdiri sendiri," sahut si dokter begitu cepat.

"Tulikan saja telinga dari suara dia," ujar Mario santai, kembali menatap si dokter.

Sialan, Maria sangat ingin menjambak rambut pria ini, kenapa seperti memiliki hak atas diri Maria? Hei! Dia bukan siapa-siapa! Astaga, baru bangun dari koma dan Maria langsung emosi jiwa.

"Ah, kalau begitu Tuan dan Nyonya bisa melakukannya di taman, ini kursi roda untuk Nyonya. Lakukan saja setengah jam, setelah itu silakan kembali ke kamar dan mulai sarapan. Semoga dalam beberapa hari sudah bisa pulang." Dokter itu tersenyum manis, memberikan aura positif agar pasiennya semangat berjuang untuk pulih dari sakit.

Hal uniknya, dari sekian panjang kalimat si dokter, hanya ada satu jawaban dari dua manusia berbeda jenis kelamin itu. Mario dan Maria hanya mengangguk.

*****

Mendiamkan, itulah yang Maria lakukan kepada Mario. Ia malas berdebat dan adu mulut, sangat amat malas.

Mario sendiri ya ..., begitu. Untuk ajang tutup mulut dia bisa masuk nominasi tiga besar, top tiga.

Jadi jangan heran selama perjalanan mereka menuju taman rumah sakit yang ada hanya hening dan hening.

Bahkan detik ini, saat sudah sampai di taman, Mario yang berlutut di depan kursi roda Maria tetap diam. Tapi tubuhnya bergerak, memijat kaki si wanita.

Sebenarnya kondisi seperti ini tidak mengenakkan untuk siapa saja yang terlibat dengan mereka, tapi ya mau bagaimana lagi? Balik ke watak mereka berdua.

Semenit dan dua menit bukan apa-apa, lima sampai sepuluh menit Maria yang mulai risih. Bisa-bisanya Mario berlutut selama itu, apa tidak sakit?

"Bodoh," gumam Maria bersama nada sinis.

"Sama-sama." Sahutan Mario justru begini.

Ugh, dari mana datangnya pria ini? Sungguh menguji kesabaran Maria ada di level berapa.

"Sekarang ayo berdiri," lanjut Mario membawa diri berdiri, memindahkan kedua tangannya dari kaki Maria menjadi ke tangan wanita itu, membantu berdiri. Jujur saja, Mario merasa lelah, ia butuh tidur, namun itu belum bisa dilakukan.

"Kau seperti moster," ujar Maria sedari tadi melihat mata merah Mario, saat bibir mereka sudah saling menyentuh.

"Aku tahu aku tampan."

"Masa bodoh lah!" kesal Maria.

Mario tertawa pelan, menggenggam erat tangan si wanita, membawa tubuh mereka saling berdiri berhadapan.

"Pelan-pelan, jika tidak jangan salahkan aku insiden di kamar terulang lagi di sini," ucap Mario memperingati sebelum mereka memulai. Wait-wait, itu sih lebih ke arah ancaman bukan peringatan.

"Ku bunuh kau!" balas Maria menatap tajam.

Mario tidak membalas lagi, memilih diam saja. Lebih baik memulai agar Maria bisa segera sarapan, tadi wanita ini baru memakan satu buah apel untuk pengganjal perut.

Baiklah, Maria menarik napas, mau tak mau balas menggenggam kedua tangan Mario.

Pelan-pelan, hanya gerakan kecil saja. Maria mulai menggeret kakinya, membuat satu langkah berarti untuk diri sendiri.

"Good girl, lakukan terus," bisik Mario tersenyum kecil.

"Jangan lepas tanganku," sahut Maria tanpa menatap si pria, ia lebih memilih menunduk tetap menatap kedua kakinya.

Menggeleng lah kepala Mario mendengar kalimat wanita di depannya.

Mereka terus melakukan langkah-langkah kecil itu, Maria maju maka Mario mundur. Well, mereka melakukannya di atas rumput taman yang masih basah akan embun pagi.

Beberapa saat fokus bersama pita suara terkunci. Aliran hangatnya sebuah kegiatan saling menggenggam jelas Mario rasakan, ia memang telak sudah jatuh pada pesona Maria, dan ini gila! Karena apa? Maria tidak pernah melakukan sesuatu yang berpotensi membuat Mario terpesona.

"Bye the way." Pita suara Mario sudah terbuka. "Aku serius soal menikah, ayo kita lakukan."

Langkah Maria terhenti, kepalanya langsung mendongak menatap wajah kalem Mario yang terkesan datar tak bereskpresi.

"Aku hanya koma setahun," bisik Maria memberikan jeda dikalimatnya. "Bukan berarti selama koma aku sudah ikut kompetisi move on." Lagi ada jeda, Maria menatap kedua netra Mario super serius. "Perasaanku untuk Regina Adinda Putri tetap sama, jadi diam atau enyah dari hidupku." Selesai, Maria Gila Rosalinda si tidak tahu terima kasih kembali.

Ah ..., harus Mario apakan wanita ini?

"Baiklah, jika secara damai tidak bisa, kamu tahu apa yang akan aku lakukan," balas Mario mengikis jarak tubuh mereka, bahkan detik ini pria itu sudah melingkarkan kedua tangannya di pinggang ramping Maria, yang membuat mau tak mau tangan Maria jatuh ke atas bahu si pria.

Saling menatap, saling memperlihatkan kekuatan masing-masing, mereka resmi berperang dengan cara mereka sendiri, silakan nikmati perang antar perasaan ini.

.

.

To Be Continued

Terbit: -15/Mei-2k21

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status