Share

Bagian 5 - Perjanjian

Awas Typo:)

Happy Reading ....

***

Tok, tok, tok.

Suara ketukan pintu kamar rawat Maria sukses membuat perhatian Mario maupun wanita itu sendiri teralihkan.

Cklek.

Pintu terbuka, reaksi dari dua anak manusia itu berbeda. Satu mengerutkan dahi dan satu pasang seringai, well bagian mengerutkan dahi adalah Mario.

"Permisi, apakah ini kamar rawat Nyonya Rosalinda?" tanya si pelaku pembuka pintu, dia adalah pria paruh baya bersama kacamata, jas dan, tas kerja di tangan. Siapa?

"Ya silakan masuk, Mister Aldason." Maria menjawab penuh semangat nan ramah.

Baiklah kata warning di dalam kepala Mario sudah aktif tanpa perlu diaktifkan, ada yang tidak beres di sini, percayalah.

Mario menghembuskan napas pelan, kembali melanjutkan kegiatannya yang terhenti. Tadi, pria itu sedang melihat data kiriman Jefri sambil duduk di sofa, kalian masih ingat bukan jika Jefri menarik Mario bekerja di perusahaannya? Semoga ingat.

"Mario."

Namun, baru lagi Mario ingin melanjutkan kegiatan, namanya sudah dipanggil oleh pita suara istri sendiri.

"Hm?" sahut Mario tanpa membawa tatapan ke arah Maria.

Tuhan hanya mereka berdua lah yang baru menikah namun seperti tidak ada kejadian apa-apa.

"Sini," ujar Maria memerintah.

Ya sudah pasti kepala menunduk Mario terangkat, menatap ke arah ranjang rawat istrinya. Sudah terlihat pria paruh baya tadi duduk di kursi sisi ranjang Maria, makin-makin Mario percaya bahwa ini perlawanan wanita itu kepadanya.

Oke baik, Mario angguk kepala, menutup file kerjaan, lalu pun menutup laptop, meletakan benda berharga itu ke atas sofa yang tadi ia duduki.

Tidak perlu lama-lama pria itu ingin semua ini selesai, jujur saja dia penasaran. Apalagi tingkah pola si cantik yang tidak selera banana ini?

Satu hal yang Mario lakukan ketika sampai di sisi ranjang Maria, duduk. Posisi mereka itu si pria paruh baya sisi kiri ranjang maka Mario sisi kanan.

"Ini pengacaraku," ujar Maria benar-benar enggan membuang waktu.

Satu alis Mario terangkat, tanda ia bertanya.

"Kau pasti ingat isi kalimat di ludah yang telah kau keluarkan," lanjut Maria namun diakhiri jeda, ia menatap suaminya bersama punggung yang semakin tegak. "Pernikahan kontrak," bisik wanita itu menjawab rasa penasaran Mario.

Damn! Kaum hawa satu ini memang beda dari yang lain.

*****

"Aku keberatan dengan point pertama, ketiga dan, kedelapan," ujar Mario setelah membaca selembar kertas yang diberikan oleh pria paruh baya alias pengacara istrinya.

"Kau tidak punya hak untuk itu," balas Maria santai.

"Tentu aku punya, perbaiki maka aku tanda tangani." Tentu saja Mario pun sama santai seperti Maria.

Si wanita melirik, sinis nan tajam.

"Jangan mengibarkan perang, Mario."

"Aku suamimu, tiga point itu merugikanku."

"Tidak! Tanda tangani sekarang juga!" paksa Maria bukan lagi melirik Mario, namun sudah menatap.

"Point pertama, aku tidak berhak ikut campur dengan kehidupanmu, baik itu pribadi maupun pekerjaan. Apa gunanya aku menikahimu jika pada akhirnya kita hidup layaknya orang asing? Jelas itu merugikanku," ujar Mario balas menatap Maria, tentu bersama tatapan datarnya. "Point ketiga, kita tidak boleh berhubungan intim, itu sama dengan aku tidak bisa mendapatkan hakku sebagai suamimu, sungguh merugikan," melanjutkan, kepala Mario bergerak maju, membawa dekat wajahnya dengan wajah Maria. "Dan yang paling penting point kedelapan, tidak ada anak dalam pernikahan ini. Hei, Beuatiful ...," berbisik, puncak hidung Mario sudah menyentuh puncak hidung Maria. "Besar keinginanku menabur bibit di sini."

Deg.

Mario menyentuh permukaan perut Maria yang membulatkan mata lebar, sangat amat lebar!

Plak!

Langsung saja wanita itu menampar lengan Mario, menepisnya.

"Don't touch me!" balas Maria berapi-api.

Sialnya balasan Mario hanya kekehan kecil.

Cup.

Lebih sial lagi pria itu dengan berani mengecup kilat bibir Maria. Argh!!! Mario Ali Pradytio you are the best! The best!

"Yak!!!" Kehabisan kata, Maria hanya bisa berteriak lantang, mengeluarkan segala amarahnya lewat tatapan. Bolehkah ia mencekik Mario? Jika boleh akan ia lakukan detik ini juga.

Hening, suami dan istri saling menatap, pengacara tak tahu apa-apa hanya bisa diam menonton.

Kisah macam apa ini? Kenapa mereka berdua sama keras? Masih mending jika keras satu jalur, ini? Huh ..., berat.

"Hm ..., jadi inginnya bagaimana, Nyonya?" Si pengacara memberanikan diri bertanya saat hening tak kunjung enyah.

Maria diam, tidak langsung menjawab, masih menatap Mario yang pun betah menatapnya. Tentu saja pria itu senang, kapan lagi bisa saling menatap begini? Menikmati aura merah dari si cantik Maria, istrinya.

"Lakukan yang dia mau, malam ini surat kontrak itu harus sudah selesai."

Perfect! Perlahan tapi pasti seringai Mario terbit. Ia pastikan ..., wanita ini akan bertekuk lutut padanya, pasti.

*****

Di dalam perjanjian mereka pernikahan ini hanya berlangsung selama satu tahun, setelah satu tahun berlalu maka perpisahan adalah hal mutlak.

Tujuan dari pernikahan ini sendiri, Maria menuliskan bahwa Mario wajib memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya, well, itu tidak masalah, Mario fine-fine saja, toh tugas seorang suami memang itu bukan? Maria memang pintar, si wanita tidak mau rugi.

"Selesai," ujar Mario begitu selesai menandatangani surat kontrak yang sudah diperbarui oleh penguasa hukum Maria.

Wanita itu pun sama, baru menandatangani.

"Ini salinan untuk Nyonya, dan ini untuk Tuan," ucap si pengacara memberikan lembar salinan kepada kedua kliennya. Tentu suami istri sinting itu menerima suka rela.

"Kalau begitu saya permisi, jika ada keperluan lain bisa hubungi saya." Selanjutnya pamit undur diri, pengacara itu benar-benar merasa masuk ke dalam peti mati secara sadar, aura di antara Maria dan Mario super mencekik menurutnya, jadi maaf-maaf saja ia lebih memilih cepat menyelesaikan.

Pintu kamar rawat ditutup.

"Kirimkan lima puluh juta ke nomor rekening ini."

Tepat saat itu juga Maria langsung bersuara, menyodorkan selembar kertas kepada Mario yang mengerutkan dahi, bertanya.

"Bayaran pengacara itu," ucap Maria lagi saat paham maksud kerutan dahi Mario.

Oh shit! Lihat betapa ringan rahang Maria berucap, meminta uang lima puluh juta untuk selembar kertas.

Mario bangkit dari duduk, menjatuhkan kedua telapak tangannya ke sisi ranjang rawat Maria, ia bungkukkan tubuh.

"Istri yang luar biasa," bisik Mario menerima kertas berisi nomor rekening itu.

"Minggir," perintah Maria mendorong bahu Mario, naas bergerak pun tidak si pria ini.

"Karena uangku terbakar percuma sampai lima puluh juta," jeda, Mario mulai menaiki ranjang.

"Mau apa kau?!" Terang membuat Maria panik.

"Aku rasa, suamimu ini berhak menerima service terbaik."

Cup.

Mampus! Apa yang mau Mario perbuat di rumah sakit?!

.

.

To Be Continued

Terbit: -18/Mei-2k21

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status