Hari pertama sekolah Eritha akhirnya tiba. Mungkin terlalu berlebihan mengatakan bahwa 'ini hari pertamanya sekolah', mengingat sekarang bukan bulan Juli dan dia sudah dibangku kelas tiga. Namun melihat Eritha berangkat ke sekolah setiap hari, setelah selama ini ia selalu mengirimkan putrinya ke sekolah asrama, membuatnya merasa sangat senang.
Hingga ia tak bisa menahan rasa antusiasnya dan bangun sangat awal untuk membuatkan bekal bagi putri semata wayangnya.
"Apa yang ibu lakukan? Sekarang masih terlalu pagi." Eritha mendekatinya sambil menggosok matanya yang masih enggan terbuka.
"Astaga, maafkan Ibu. Ibu pasti memasak dengan sangat berisik," ujar ibu Eritha dengan wajah yang merasa bersalah.
Namun putrinya menggelengkan kepala dan menampik suara berisik yang timbul ketika pisau dapurnya berantukan dengan talenan kayu yang mengalasi sayurannya.
"Kenapa sudah bangun? Pergilah ke kamarmu dan lanjutkan tidurmu sebentar lagi," perintah ibu Eritha yang berisikan pesan penuh kasih sayang pada anaknya.
"Tidak," tolak Eritha yang tidak pernah disangka olehnya. "Aku tidak akan kembali tidur, karena aku sangat ingin membantu ibu."
Meskipun hanya baru terdengar di mulutnya, Ibu Eritha sangat senang mendapat perhatian putrinya. Dengan sikap pedulinya, ia merasa kalau ia sudah melakukan hal yang paling berarti, lantaran ia membesarkan seorang putri dengan sikap yang baik. Hingga dengan sangat tidak terduga, ia menjadi cengeng lantaran terharu.
Agar putrinya tidak salah paham dan mengkhawatirkannya, ibu Eritha segera menghapus tetes air matanya sebelum Eritha melihat dirinya.
Lalu dengan berpura-pura tidak merasakan apapun, Ibu Eritha kembali menyuarakan perintah tempo waktu untuk membuat putrinya meninggalkan dapur tersebut.
"Sudah kubilang, kembalilah ke kamarmu dan beristirahatlah lebih lama lagi. Hari ini hari pertamamu, bagaimana jika nanti kau mengantuk?"
Mungkin tidak seharusnya ia mengatakan hal itu dan membahas mengenai hari pertama sekolahnya, karena dengan begitu ia tanpa sengaja mengingatkannya akan trauma yang harus dia hadapi. Wajah Eritha pun langsung berubah dan dia menjadi tampak sangat depresi.
Apakah keputusannya dengan suaminya sudah benar? Benarkah pemaksaan ini adalah sebuah jalan bagi Eritha untuk menghadapi traumanya? Ataukah mereka mengambil langkah yang salah?
Hari itu, saat dokter memberikan saran untuk memaksa Eritha menghadapi traumanya, ibu Eritha sangat menentang hal itu.
Bagaimana ia bisa setuju, jika pengobatan ini mengancam nyawa anaknya? Dengan mata kepalanya sendiri, ia pernah melihat bagaimana Eritha pingsan ketika berinteraksi dengan pria tipe tertentu, dan bayangan mengenai hari itu terus terngiang dalam pikirannya, walaupun kejadian itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Namun dengan ucapan persuasif dokter dan suaminya yang mencoba meyakinkannya, membuat ia merasa goyah.
Ia lalu mulai berpikir tentang bagaimana hidup putrinya kelak setelah ia sudah meninggal. Mendadak keresahan akan ketidakberdayaan putrinya membuatnya berubah pikiran. Dari dirinya yang merasa tidak tega, kini Ibu Eritha merasa dirinya perlu membiarkan anaknya menghadapi rasa takut, alih-alih menghindarinya.
Walaupun itu sulit, meski putrinya nanti akan terus menerus kehilangan kesadarannya lantaran bertemu dengan pria yang memancing traumanya, ibu Eritha memilih untuk tetap tegar. Ia tak akan menjauhkan anaknya dari ketakutannya, sebagai gantinya ia akan menjadi pribadi orang tua yang selalu ada untuknya, serta mendukungnya. Itu akan jauh lebih berguna daripada terus melindungi Eritha.
"Tidurlah," ujar ibunya lagi yang semakin waktu, semakin mendesak Eritha untuk melakukan apa yang ia mau. "Kembalilah ke kamarmu."
"Baiklah." Namun bukannya berjalan menuju kamarnya, Eritha malah menghampiri ruang dapur dan berdiri di depan tumpukan cucian piring yang masih kotor.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya ketika Eritha mulai mengambil kaus tangan dan menyalakan keran. "Bukankah kau akan istirahat? Kenapa malah kemari dan mencuci piring?"
Tanpa memandang ke arahnya, Eritha mencuci piring-piring kotor tersebut dengan wajah yang sangat lelah. "Aku akan beristirahat. Aku janji, aku akan kembali lagi ke kamar setelah selesai mencuci."
Senang melihat putrinya berubah menjadi seorang yang dewasa. Namun meskipun begitu, ia masih tidak ingin merampas waktu istirahat anaknya.
"Tapi ..."
"Di asrama aku selalu bangun jam segini," potong Eritha yan membuat ibunya mendelik terkejut.
"Kau bangun jam segini?! Untuk apa?"
Anehnya, alih-alih muram dalam keluhannya, Eritha justru tersenyum di tengah menyelesaikan pekerjaan rumah yang cukup memuakkan bagi seorang ibu rumah tangga.
"Meskipun aku tidak menceritakannya pada ibu, tapi di asrama aku diwajibkan bangun untuk melakukan tanggung jawabku. Aku harus mencuci pakaianku agar dapat meninggalkannya di luar ketika aku berangkat sekolah. Aku harus membersihkan kamarku agar tempat tersebut tetap bersih dan masih banyak lagi yang tidak bisa aku ceritakan."
Ternyata masih ada banyak kisah yang tidak ia ketahui tentang putrinya. Ia tak pernah berpikir bahwa Eritha akan mengalami semua tanggung jawab itu di umurnya yang masih muda. Jika ia tahu, ia pasti akan menarik putrinya dari sekolah wanita itu dan menyekolahkannya di sekolah homeschooling yang menghindarkan Eritha dari semua beban tanggung jawab itu.
Namun di tengah bercerita, ibu Eritha bisa merasakan perasaan 'menikmati' yang terpancar dari mata putrinya. Seakan semua aktivitas itu ia nikmati sebagai bagian dari alur kehidupan, alih-alih mengeluhkannya.
Dengan pelukan yang hangat, ibu Eritha memeluk putrinya yang tak bisa membalas pelukannya lantaran tangannya yang masih berbusa.
Lalu ia membelai rambut panjangnya dengan lembut dan membisikkan hal yang selama ini selalu ia ucapkan, tapi juga ia simpan di dalam hati.
"Maafkan ibu, seharusnya hari itu ibu tidak kehilanganmu. Jika saja ibu lebih becus menjagamu, kau pasti tidak perlu menderita dengan trauma ini. Maafkan ibu," bisiknya lirih yang disertai perasaan hancur untuk putri tunggalnya.
"Tidak apa-apa, ibu. Lagipula itu bukan kesalahan ibu, karena akulah yang mengikuti anak laki-laki itu ketika ibu sedang beristirahat," balas Eritha yang selalu diucapkannya setiap kali perasaan bersalah menghantuinya. "Justru aku yang ingin meminta maaf pada ibu. Karena aku sudah membuat ibu terus merasa bersalah dengan tingkahku. Aku harap ibu tidak merasa bersalah lagi."
Ibu Eritha melepaskan pelukannya dan menyeka air mata yang membasahi kedua pipinya. "Baiklah, ibu tidak akan merasa bersalah lagi. Karena sekarang, ibu akan menebus kesalahan ibu dengan selalu ada di sisimu dan menjagamu. Jadi jangan pernah segan untuk menceritakan apapun pada ibu. Kau mengerti?"
Eritha mengangguk dan tersenyum simpul, "Ya, ibu."
"Kalau begitu, cepat selesaikan mencuci piringnya dan segera beristirahatlah. Ibu akan membangunkanmu nanti."
Tidak ada jawaban lain, Eritha selalu menurut dan mengangguk atas perintahnya. "Ya."
Sementara putrinya mencuci piring, ibu Eritha kembali menyelesaikan masakannya. Namun dengan sesekali melirik belakang punggung putrinya, ia menyisakan rasa sesal atas kejadian yang menimpa Eritha di masa lalu.
Jika saja hari itu ia tidak kehilangannya dan Eritha tidak mengalami kejadian traumatis itu, dia pasti akan menjadi wanita yang sempurna, yang memiliki paras cantik dan perilau yang baik.
Semoga dia dapat segera sembuh dengan strategi ini.
...****************...
Seperti orang bodoh, Eritha berlari begitu melihat senyuman Arlando. Hingga ketika ia sudah berada di jarak yang cukup jauh dari pria itu, ia memegang dadanya yang berdebar tidak karuan. "Ada apa denganmu?" Tangan Eritha menyentuh dadanya dan ia bergumam sendiri bak orang tidak waras. "Kenapa aku merasa seperti ini padahal sudah menjaga jarak dua meter. Astaga, sampai gila rasanya." "Eritha." Terdengar kembali suara Arlando yang membuatnya harus segera meneruskan pelariannya dan bergegas menuju tempat teraman bagi dirinya. Glek. "Eritha, kaukah itu? Kenapa pulang terlambat?" Senyum ibunya mendadak berubah menjadi kekhawatiran ketika dia melihat putrinya banjir keringat. "Ada apa denganmu? Kenapa kau berkeringat sebanyak ini?" "Tidak apa-apa," ujar Eritha sambil menggelengkan kepalanya. Lalu mencoba menenangkan ibunya dengan senyuman lebar yang menampakkan kalau dirinya baik-baik saja. "Aku hanya ingin berolah raga saj
Tak pernah ia duga, mendapatkan nilai yang bagus akan jadi semenarik ini. Pagi tadi, ketika ia kira akan mendapatkan teguran dari gurunya, Arlando justru diberi sebuah hadiah oleh Bu Via. Dengan dirinya yang mendapat peringkat terburuk dan 'kekasih'nya yang mempunyai nilai tertinggi, guru wali kelasnya berharap Eritha dapat menaikkan sedikit nilai Arlando. Tentu sebagai 'kekasih'nya, Eritha tidak bisa menolak permintaan gurunya dan kini dengan berdiri dua meter dihadapannya, wanita itu mengajaknya untuk memulai pembelajaran bersama. "Ayo kita ke perpustakaan," ujarnya dengan senyum yang dipaksakan, lantaran semua temannya sedang melihat mereka. Nyaris Arlando menjatuhkan buku yang hendak ia masukkan ke dalam tas, karena tak percaya dengan yang ia dengar. Ia kira, Eritha hanya meng-iyakannya di depan guru dan tidak menepati janjinya. Namun dia ternyata bukan wanita yang sangat konsisten dengan ucapannya, Arlando menyukai sikapnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Juanita sambil menatapnya lekat-lekat."Tenang, aku baik-baik saja. Namun hanya saja jantungku kini yang sedang tidak baik-baik saja," keluhnya atas perbuatan Juanita yang benar-benar tak terduga. "Aku benar-benar sangat terkejut saat mendengar kalau guru disiplin akan datang. Hingga aku berlari gugup karena kukira aku akan mendapat masalah besar jika sampai tertangkap. Namun siapa sangka itu adalah ulahmu. Bagaimana kau bisa menjadikan sesuatu yang mengerikan itu sebagai bahan candaan? Bahkan aku tidak bisa tertawa meskipun sudah mendengarnya darimu."Eric dan Juanita pun tersenyum dalam rasa bersalah."Maafkan aku. Kupikir dengan membubarkan semua orang, aku bisa membantumu," Jelas Juanita yang tidak dapat sepenuhnya ia pahami. "Lagipula kukira dengan membuat sedikit keributan, aku bisa menciptakan sedikit adegan romantis dan kalian bisa berlari sambil bergandengan tangan bersama."Selagi mengernyit, Eritha menatap dua temannya d
'Siapa yang pernah menyangka?' itulah kata yang tepat untuk semua situasi yang dihadapi Sheryn pagi ini. Di saat ia ingin menyudutkan Eritha dan menekannya, wanita yang belum genap pindah seminggu itu justru yang jadi menyudutkannya dan menghancurkan pertahanan teman-temannya. Lalu dalam kondisi yang memalukan tersebut, Arlando datang! Pria itu tampak ingin menyelamatkan Eritha, tapi —seperti yang dia lihat— Eritha cukup baik-baik saja untuk ditolong. Sedangkan Sheryn, ia sudah terlalu lemah untuk dilawan Arlando. Namun kebingungan yang dirasakan pria itu hanya bertahan sesaat, lantaran kondisi mendesak lainnya datang. Guru disiplin yang sesekali berkeliling untuk memastikan kondisi sekolah tertib, hari itu mendapati pertengkaran yang Sheryn mulai. Sehingga dalam hitungan detik, semua penonton bubar. Lalu dengan tidak disangka olehnya, Eritha mendorong Sheryn ke pelukan Arlando dan berlari seorang diri. Hingga, setelah
Seperti hari-hari biasanya, Arlando datang ke sekolah dan masuk ke kelasnya yang super ramai. Pagi masih terlalu awal dan jauh dari jam masuk. Jadi seberisik apapun mereka, tidak akan ada guru yang memarahi ataupun memukul meja lantaran suara mereka yang tak hanya terdengar dari dalam ruangan, tapi juga luar ruangan. "Kau sudah datang," ujar beberapa temannya yang sedikit basa-basi, meskipun sudah jelas dengan mata mereka bahwa Arlando sudah tiba di ruang kelas dan duduk di ruangannya. Eric yang duduk di belakang bangku Juanita, kini berjalan mendekatinya dan seperti biasa, dia mengajak Arlando untuk banjir keringat di lapangan basket. "Ayo kita main basket." Namun dengan ketakutan baru Arlando mengenai bau keringatnya, ia pun menolak ajakan Eric yang biasanya selalu ia terima dengan senang hati. "Jangan sekarang. Nanti saat pulang saja," ujarnya yang langsung dijawab dengan wajah cemberut Eric. "Kenapa? I
Sheryn duduk terdiam di tempatnya dengan wajah terganggu. Sudah sejak kemarin sore, ia melamun sepanjang waktu. Semua itu karena percakapan Eritha dan Arlando yang tak sengaja ia dengar. Sore itu, dari kejauhan, Sheryn melihat Eritha dan Arlando yang saling berhadapan dengan jarak yang cukup jauh. Namun keduanya saling berkomunikasi lewat ponsel. Ia kira, itu adalah cara berpacaran abad kini dan ia dibuat kesal lantaran pemandangan yang tak ingin ia lihat itu. Hingga saat ia hendak berbalik dan mencari jalan lain untuk pulang ke rumahnya, ia tak sengaja mendengar ucapan Eritha yang posisinya lebih dekat dengannya. Dengan suaranya yang agak keras itu, Eritha mengatakan hal yang tak pernah ia duga sebelumnya. "Tentang tadi pagi, aku tidak sungguh-sungguh menyukaimu. Aku hanya mengatakannya karena terlalu malu untuk mengatakan pada teman-teman kalau aku muntah di pakaianmu." Mata Sheryn pun terbelalak dan ia memandang ke arah sepasang k
Seperti yang ia minta, Eritha berjalan menuju depan sekolah dengan langkah kaki yang berat. Meskipun ia yang pertama mengajak bertemu, tetap saja ia merasa takut untuk berhadapan dengan Arlando lantaran traumanya. Dapatkah ia berbicara dengannya? Bagaimana jika pria itu lagi-lagi berulah dan mendekatinya secara tiba-tiba seperti kemarin? Membayangkannya saja membuat Eritha menjadi gelisah. Namun demi meluruskan kejadian heboh pagi ini, ia merasa perlu untuk melawan rasa takutnya. Jadi meskipun merasa takut, Eritha tetap mengarahkan jalannya menuju luar sekolah tempatnya dan pria itu akan bertemu. Dari depan gerbang, Eritha bisa melihat sosok Arlando yang menunggunya sambil bersandar di tembok sekolah. Lalu dengan suara langkahnya yang mendekat, anehnya pria itu bisa langsung menyadarinya dan berdiri tegap di depannya. "Semua orang akan melihat kita, bagaimana jika kita ke tempat yang sedikit sepi," u
Kejadian pagi tadi sungguh tidak terduga. Arlando bahkan tidak pernah merancangkan dirinya untuk menjadi pria romantis satu sekolah, yang menyatakan perasaannya di tengah orang banyak. Namun setelah mencobanya, Arlando merasakan keseruan dalam hubungan palsu tersebut. Arlando mengakui bahwa dirinyalah yang mencari masalah pertama. Ia tahu, ketika Juanita terus menginterogasi masalah di antara mereka, Eritha sangat ingin menutup pembicaraan mereka lantaran dia merasa malu dengan muntahnya kemarin. Oleh sebab itu, beberapa kali Eritha terus menampik dan memberi alasan masuk akal untuk menghentikan Juanita. Namun seperti yang ia tahu, Juanita adalah tipe ketua kelas yang cukup merepotkan. Rasa tanggung jawabnya itu yang menjadi masalahnya dan dia menjadi sangat menyebalkan. Hingga hanya Juanita seorang di antara para ketua kelas lain, yang memasuki urusan orang lain semacam ini dengan memposisikan dirinya sebagai 'hakim' lantaran jabatannya sebagai ketua kel
Setelah paginya yang sangat romantis, Eritha harus menerima tatapan pahit dari banyak wanita.Baiklah, ia memang pernah mendengar dari beberapa orang yang mengatakan bahwa Arlando adalah seorang idola sekolah. Meskipun menurut sumber informasinya, Arlando hanya memiliki wajah sebagai modalnya. Namun parasnya yang rupawan itu mampu menyihir para wanita sehingga tergila-gila padanya. Begitu pula dengan Eritha yang selalu dibuat mual dan pusing setiap kali dia mendekat.Hanya tetap saja, perang mental ini terlalu berlebihan untuknya. Bagaimana ia harus bertahan ketika dalam hitungan detik ia dibenci tidak hanya segelintir siswa, tapi banyak siswa sekaligus?Terlebih dari semua hal kenapa ia hanya dapat memberikan alasan tak masuk akal tersebut? Alih-alih menulis konflik yang lebih masuk akal?Kini dengan kata-katanya, ia terjerat oleh para penggemarnya dan juga Arlando yang menetapkan kalau hari ini adalah hari pertama mereka.Mengap