Share

Levitasi
Levitasi
Penulis: Little Magic

Mimpi yang kenyataan atau kenyataan yang ternyata mimpi

Peri bunga bakung baru saja pergi dengan meninggalkan sekeranjang roti awan di pinggir bukit berbatu.

“Oh hanya mimpi lagi.” Tenangnya dalam hati.

Koin orange keemasan menggantung sempurna di atas perbukitan Bilbelonia, sinarnya sungguh menyilaukan untuk ditatap oleh mata secara langsung.

Ia bukan koin yang sesungguhnya, melainkan Matahari, yang sejak diciptakannya bumi, belum pernah redup atau hilang meski hanya sehari. Sinarnya tetap sama, tidak berkurang, tidak juga bertambah, Matahari tetaplah Matahari, meski kadang sang awan menutupi atau hujan yang sedang menggantikan peran.

Wajah Shelin masih pucat dan seluruh badannya dingin, otot bahunya kaku dan betisnya sedikit lemas. Ia mencoba menghibur diri, mungkin karena tadi tidur di bangku perpustakaan yang dekat dengan pendingin ruangan.

Sampai saat ini perpustakaan masih ramai tenang, banyak mahasiswa yang berlalu lalang, namun suasana hening, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki dan bisik-bisik orang yang becakap di sela-sela rak buku.

Shelin merasa mimpinya sudah kelewat dari kata wajar. Ia tertidur selama sekian menit, itu tentu bukan waktu yang lama. Namun dalam mimpi, ia merasa telah menempuh jarak puluhan kilometer di sebuah lorong yang lembab, gelap dan panjang. Hal itu sangat nyata ia rasakan. Bahkan sekarang masih terasa efek tertarik dan terpental tadi dalam mimpinya itu. Shelin yakin mimpinya bukan suatu kebetulan, pasti ada penyebabnya walaupun ia belum tahu apa itu.

Miss Neni sudah menunggu di ruang kerjanya sembari mengelus-elus Gustav, kucing kesayangan. Dari ruangan 3x3 dengan jendela bulan di ke-empat sisi, Miss Neni memberikan tugas-tugas yang harus dikerjakan selama seminggu kedepan. Di kampus, ada hukum tidak tertulis tentang statement dosen berkuasa atas segalanya.

“Aku dan Gustav menyukaimu, Shelin. Mungkin karena baumu yang mirip permen karet.” Kata Miss Neni dengan mengangguk meminta persetujuan hewan peliharaannya.

Di tempat Shelin bersekolah, tidak ada larangan bagi dosen untuk membawa peliharaan ke kampus, selama tidak mengganggu kegiatan kuliah dan akademik. Gustav adalah kucing yang penurut dan gemar menjaga kebersihan.

“Kemari, masuklah nak.” Sambil membetulkan kacamata lengkap dengan perhiasan rantai melingkar dari ujung bingkai kacamata kiri mengalung ke belakang leher sampai ujung bingkai kacamata sebelah kanan.

Shelin melangkah masuk, sedikit berbasa-basi saling bertanya kabar.

“Kau tak terlihat segar dan ceria seperti biasanya, anakku.”

“Maaf, Miss. Tidur saya terganggu beberapa hari ini.” Jawab Shelin sembari membenarkan rambutnya yang terurai kemana-mana.

“Jaga kesehatanmu, kau akan bertemu tantangan yang membutuhkan banyak energi.”

Shelin tersenyum, “Saya juga merasa begitu. Tugas dan laporan riset rewel sekali minta untuk segera diselesaikan.”

“Aku tidak sedang membicarakan tugas dan kuliah. Tapi berhubung kau baru saja membahasnya, aku minta maaf atas papermu ini, Shelin. Aku harus mencoret banyak paragraf untuk kau perbaiki lagi. Oh iya benar katamu, revisi juga memerlukan banyak energi, ya.” Nada bicara Miss Neni terdengar sangat ganjil dan seperti menyembunyikan maksud lain.

Shelin mengangguk mengiyakan. Dalam benaknya, bukankah ia sudah terbiasa mengerjakan berlembar-lembar paper yang secara kejam dikembalikan dengan penuh coret revisian oleh beliau.

Pembicaraan dua perempuan lajang itu masih berotasi seputar penelitian yang tengah mereka kerjakan mengenai alat pengolah limbah sampah plastik yang hemat energi dan tidak menimbulkan polusi di zaman genting menuju industri teknologi 5.0. Miss Neni memberikan pengarahan tentang metode penulisan yang cocok dan mudah dipahami.

Tidak terasa jarum panjang telah berputar setengah lingkaran.

“Saya rasa bimbingannya cukup ya, semoga dapat memperbaiki proyek kita ini.” Miss Neni sambil memberikan lembar kertas dengan tinta print.

Shelin mengucapkan terimakasih, mengelus Gustav yang kelihatannya tak mau ditinggal, kemudian mengucapkan salam.

Belum sampai keluar, di ambang pintu Miss Neni sempat berkata “Nak, kabarnya Bulan sedang terlihat terang dan besar dari bumi, letaknya sembilan puluh derajat dari posisi Matahari, mungkin kau ingin memandanginya esok pagi.”

Shelin hanya mengiyakan dan mengucapkan terimakasih sekali lagi sambil menutup pintu ruangan.

~

Sudah lama Shelin memikirkan tentang ini. Ia yakin seratus persen jika segala hal tentang lorong, kemudian angin, dan mimpi-mimpi itu bukan sesuatu yang random, acak, bebas dan terjadi secara kebetulan saja.

Semakin dipikirkan, semakin tidak jelas kemana arahnya. Sepanjang jalan otak Shelin penuh dengan tanya mengapa, benarkah dan bagaimana bisa?

Yang paling membuatnya gundah adalah ia benar-benar ingat bagaimana permukaan bebatuan dinding lorong saat ia merabanya, merasakan hembus angin dengan indera perasanya, tidak mungkin itu hanya bualan sebuah imajinasi belaka. Ditambah, dalam tidur yang sekejap tadi, semua mimpinya terasa begitu nyata. Mimpi dan kenyataan letaknya sangat berdampingan namun seharusnya keberadaannya tak saling mendukung. Ketika mimpi menjadi kejadian yang nyata, itu sudah bukan lagi mimpi. Dua aspek ini saling menghilangkan.

Tidak ada mimpi dan kenyataan yang bisa terjadi bersama dalam satu waktu, harus ada salah satu yang tidak terjadi. Itu ihwal yang kontradiktif. Hampir seluruh hukum alam menolak dua hal yang berlawanan dapat terjadi secara bersamaan.

~

Ketika malam mulai melakukan tugasnya, setiap manusia dikalungi nasib yang berbeda-beda. Beberapa manusia bersyukur Tuhan menghadirkan malam, karena dengan itu, manusia bisa berhenti bekerja, memiliki waktu dengan keluarga, mengistirahatkan jiwa yang barangkali seharian lelah bertemu luka. Ada saja alasannya.

Berbeda dengan Shelin, saat temaram cahaya bulan semakin cemerlang pertanda malam semakin larut dan kantuk segera datang, Shelin tak suka. Kali ini ia membenci malam yang membuatnya tertidur, besar kemungkinan untuknya mengalami mimpi yang sama lagi. Mimpi yang membuatnya takut. Tentang lorong panjang, gelap dan misterius tak pernah pergi selama beberapa hari ini.

Baik akan kita lihat seberapa lama efeknya akan bekerja.” Shelin menyeduh kopi hitam kental dengan serbuk biji yang katanya terbaik dari pengunungan tempat neneknya tinggal, dengan harapan agar dapat terus terjaga. Hidungnya mengendus-endus aroma kafein yang kuat dari dalam gelas.

Ah iya, aku akan melanjutkan bacaanku.” Segala aktivitas dilakukannya, mulai dari menyapu lantai kamar, melipat baju, mengganggu Dava, merapikan rak buku, mengecek tugas-tugas, mengganggu Dava lagi, sampai membuka media sosial hal yang jarang ia lakukan  supaya terhindar dari keinginan untuk tidur.

Tapi, hendak seberapa pun banyak kopi yang ia minum, badan tetap memiliki keinginan untuk istirahat.

Astaga, mataku. Aku tak boleh terpejam barang sedetik. Ah, atau mungkin dengan menelpon Firda aku bisa tetap terjaga. Semoga dia belum tidur.” Belum sampai dering pertama, sudah duluan dengkuran yang terdengar.

~

Kita tidak bisa menghindari kantuk seperti kita tidak bisa menghindari takdir.

Ada yang sedikit berbeda dengan mimpinya kali ini, tak ada lorong panjang, gelap dan basah seperti sebelumnya. Kini, dengan badan terasa remuk lebam, Shelin tengah tergolek di mulut sebuah gua besar yang penuh lumut dan batu cadas.

Lorong gelap yang kemarin, sekarang menganga dibelakangnya seperti mulut raksasa. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, ia coba kumpulkan kesadarannya yang belum sepenuhnya pulih.

Shelin mencoba berjalan merangkak keluar goa dan menemukan langit ramai oleh lintang gemintang yang berserakan memenuhi angkasa, seperti ditebak secara tidak sengaja. Bintang dan planet yang kerlap-kerlip lebih terang dari biasanya, mereka berjubel seolah berlomba-lomba ingin telihat paling terang.  Jika saja keadaannya tak babak belur, mungkin ia sudah berteriak kegirangan, sejak kapan langit jadi penuh begini.

Shelin tak dapat merasakan tempurung lututnya, ia ragu apakah benda itu masih kokoh pada tempat mulanya. Terlentang di mulut sebuah gua misterius, dengan tenaga seadanya ia sedikit tersenyum melihat pemandangan fantasi yang nyata berada di depannya sekarang. Diamati lamat-lamat langit malam itu, rasanya sedikit menyembuhkan. Walaupun bukan menyembuhkan secara fisik, hanya secara perasaan.

Sedikit demi sedikit Shelin mulai paham, lorong yang selama ini selalu hadir dalam mimpinya, bukanlah lorong biasa. Lorong gelap nan lembab itu adalah sebuah jalan yang membawanya ke suatu tempat. Dan sekarang inilah tempatnya.

Benturan-benturan tadi sepertinya sudah menghancurkan sedikit pergerlangan kaki dan tulang-tulangnya. Seluruh badan terasa sakit seperti tergores seribu sembilu. Ia coba menarik napas berkali-kali dan meraba bagian tubuh untuk memastikan bahwa semua masih utuh.

“Ah, masih lengkap.”

Tubuhnya tak kuasa melakukan apapun, pada pada usaha terakhir ketika mencoba berdiri, tetap saja gagal dan kembali jatuh tersungkur di tanah hingga tak sadarkan diri dan semua kembali gelap.

~

Levitasi terasa sedang bahagia, malamnya cerah, suasananya sedikit riuh oleh angin yang berebut arah, tapi itu tak membuat kedamaian malam ini berubah.

Semalaman penuh Vegan berdiri di atas gua. Ia sengaja tak tidur di Asrama Akademi karena memang ia sedang tidak ingin. Di antara semua komponen alam yang tenang, ada satu gua yang aneh karena tak kunjung berhenti mengeluarkan suara gemuruh seperti tengah terjadi bencana di dalamnya. Ia tak berani masuk karena ayah selalu melarangnya untuk memasuki gua itu sejak usianya baru bisa belajar berjalan.

Kata ayah, gua itu bukan gua biasa, ada sebuah ruang gelap konon menyimpan ilmu sihir jahat yang kejam dan kuat. Jangankan anak kecil, orang dewasa pun tak akan sanggup menghadapinya. Alhasil dengan memendam segala rasa penasaran yang amat besar, Vegan menunggu di atas mulut gua berharap akan mengetahui benda atau apapun yang menjadi penyebab gemuruh kencang.

Vegan terduduk sambil memandangi langit malam yang selalu ramai dikunjungi kerlap-kerlip cahaya bintang, yang jika siang hari entah ke mana perginya. Ia pernah membaca buku tentang kehidupan di luar Levitasi. Kabarnya, di sana juga terdapat kota dan distrik seperti di sini. Peradaban mereka maju, mereka berlomba-lomba mengembangkan sains, namun sebagian penghuninya skeptis terhadap kepercayaan tentang adanya makhluk lain yang hidup di luar tempat mereka hidup. Mereka pikir, mereka-lah pusat alam semesta. Sungguh sempit sekali nalarnya.

Tapi semenarik apapun negeri itu, Vegan tidak ingin meninggalkan Levis, sebuah kota pusat di daratan Levitasi orang-orang menyebutnya Daratan Utama. Distrik dan kotanya memiliki tata letak yang mempesona dengan perdaban teknologi yang tinggi.

Vegan sangat beruntung tinggal di sana. Bagaimana tidak, ilmuan-ilmuan hebat seperti Canopus, Arcturus, dan Alpa Centauri adalah tetangganya. Mereka mengajar di Akademi dan rumahnya pun hanya berjarak tiga komplek dari rumah ayahnya dahulu. Ia bisa bebas bertanya tentang apa saja yang ia ingin tahu mengenai dunia medis, pengetahuan kimia, fisika dan mekanika.

Levis dengan Levitasi berbeda. Levitasi adalah seluruh wilayah yang terdiri dari dataran dan lautan, sementara Levis adalah sebuah kota mega polis di daratan utama.

Mengenai kota Levis, kota ini sanggup membuat siapapun yang berkunjung jadi berdecak kagum dengan tata letaknya yang luar biasa, lengkap dengan taman bermain anak-anak, air mancur yang menari, dekorasi dinding kota dan distrik yang menawan, pohon rimbun di setiap sudut gang, serta jalanan yang bersih dan penduduknya saling peduli.

~

Tidak selang lama, suara gemuruh hilang tanpa ditandai dengan meredamnya bunyi, semua hilang dalam sekejap. Vegan langsung terbangun dari duduknya mengecek keadaan gua dari atas.

Tiba-tiba Vegan melihat gadis berambut hitam merangkak keluar dari mulut gua dengan siku, lutut dan kaki lecet berdarah. Sepertinya gadis terluka parah. Vegan sempat berfikir jika ia adalah putri raja karena postur dan ukuran tubuhnya sangat mirip dengan Venibella si putri kerajaan, namun ada yang berbeda darinya.

Baru pertama kali Vegan melihat manusia dengan rambut hitam legam mirip seperti bulu Kasuari. Hampir seluruh penduduk Levis adalah manusia berambut pirang dan sisanya berambut merah atau terang kecoklatan. Ada juga yang berambut biru dan putih, namun ia tinggal di Klan lain yang berada di daratan Levitasi bagian selatan.

Vegan masih berhitung dengan keadaan untuk segera menangkap gadis misterius ini, namun setelah menimbang kembali, makluk berambut hitam itu dalam keadaan lemah, merangkak pun sepertinya tidak kuasa sama sekali.

Ia masih menunggu sampai makhluk berambut hitam itu benar-benar tidak bergerak lagi. Walaupun ia terlihat jinak, Vegan tetap tak mengetahui makhluk atau monster jenis apakah ini, sehingga harus tetap berhati-hati. Sebenarnya ia mirip nenek sihir yang belakangan tengah mengacau distrik kecil di pinggiran Levis.

Logikanya, mana mungkin seorang gadis manis yang tidak berbahaya, keluar dari gua yang konon memiliki sihir jahat.

Perlahan Vegan menuruni puncak gua yang berbatu. Dengan mengendap-endap dan langkah kaki yang hampir tidak terdengar, hal itu membuatnya tersandung batu dua kali.

Ia coba mendekati makhluk yang belum jelas jenis apakah ia sebenarnya, mungkin ia manusia yang berasal dari klan yang ia belum tahu, atau mungkin juga ia adalah orang mati yang hidup kembali.

Dari dekat ia nampak seperti manusia, sama seperti Vegan, memiliki hidung lengkap dengan dua lubang, dua mata, mulut, dua kaki dan ciri-ciri umum yang dimiliki manusia. Hidungnya normal tidak besar dan runcing seperti nenek sihir. Namun yang membuat Vegan merasa aneh hanyalah warna dari rambut gadis ini, hitam legam, tak ada yang seperti itu di seluruh daratan utama.

Gadis ini mengenakan gaun berwarna putih tulang dengan renda-renda yang terlihat mewah meskipun sudah koyak di beberapa sisi. Yang mengagetkannya lagi adalah gadis ini mengenakan hiasan kepala yang mirip seperti lambang empat Kerjaan Levitasi, Bunga Matahari dengan empat pilar di dalamnya.

Tidak pernah Vegan melihat putri raja yang satu ini jika benar gadis ini adalah putri kerajaan apalagi dengan rambutnya yang hitam. Atau jangan-jangan Raja Aldebaran menyembunyikan putri ini karena fisiknya yang berbeda. Tapi kira-kira apa yang tengah dilakukan putri tengah malam begini di gua yang memiliki banyak desas-desus magis, ditambah dengan gaun dan luka-luka disekujur tubuhnya. Jutaan pertanyaan muncul di kepala Vegan.

Hingga akhirnya ia benar-benar dalam jarak dekat dengan gadis yang sekarang tengah pingsan. Bermaksud ingin mengangkat tubuh gadis itu, namun tiba-tiba sang gadis sadar dan tangannya secara reflek menyentuh dada Vegan hingga keluarlah cahaya berpendar memancar dengan sangat terang bersama dengan kekuatan mahadaya yang muncul secara tiba-tiba. Vegan yang tak sempat mengantisipasi, sangat terkejut hingga terpental sepuluh meter dari tempatnya semula.

~

Vegan baru tersadar di keesokan paginya.

Dua kali menyisiri lembah dan bukit, namun tak kunjung mendapati sang gadis. Sebagai anak dari mantan panglima penjaga istana, Vegan merasa perlu turut menjaga keamanan istana juga. Rasa penasaran membuatnya ingin sekali mencari tahu. Ciri-ciri gadis itu ia catat betul-betul pada buku elektronik dan ia beri tajuk; misi rahasia! Mencari perempuan bermata bulat, hidung mancung, bibir tipis dengan tahi lalat kecil di atasnya, gigi rapi, tubuh mungil dan rambut hitam. Pada bagian “rambut hitam” ia tandai dengan garis bawah supaya terlihat jelas.

Gadis tersebut awalnya tak terlihat berbahaya, namun setelah terkena kekuatannya, Vegan jadi berpikir lain. Setelah mempertimbangkan beberapa hal, Vegan memutuskan untuk tidak memberi tahu pamannya yang merupakan Raja Kerajaan Levis mengenai hal ini. Biar ia yang selesaikan. “Tidak berbahaya! Biar aku bereskan anak perempuan ini dan setelah itu baru kuserahkan ke paman Raja atau mungkin Tuan Altair dulu.” Ucapnya dengan percaya diri.

Hal yang harus ia lakukan sekarang adalah segera mencari keberadaan sang gadis.

~

Dengan sisa-sisa kesadaran yang ada Shelin menuruni bukit berbatu, menjauh dari anak laki-laki yang terlihat dua tahun lebih dewasa darinya. Pandangannya masih kabur, seluruh badannya lecet dan perih terkena air keringat sendiri. Ia tak paham mengapa tiba-tiba anak laki-laki itu terpental menjauh darinya, ia tak ingat, setidaknya itu memberinya jarak untuk kabur. Ini tempat asing, ia tak boleh mempercayai siapapun di sini.

Sebenarnya Shelin tak tahu harus kemana atau pada siapa ia bisa meminta pertolongan dan penjelasan. Yang ada di pikirannya saat ini, ia tengah berada di mana dan mengapa ia bisa sampai ke sini.

Sementara ia yang terus berjalan menuruni perbukita yang dipenuhi batu. Hal itu membuat kaki lemahnya tersandung dua kali.

Berkali-kali ia mendengar suara auman serigala yang terdengar dari arah pegunungan. Dengan langkah yang dipaksakan, apapun yang terjadi iha harus tetap berjalan karena tak ingin bau darah dari luka lecetnya ini sampai tercium kawanan serigala, itu bukan kejadian yang baik.

Tidak berselang lama ia melihat mata air yang sangat jernih. Meskipun cukup dalam, dasar mata airnya dapat dilihat dengan jelas karena saking jernihnya. Di samping mata air, mengalir sungai kecil dengan ikan berwarna-warni tengah berenang dengan lincah melawan aliran arus. Shelin kemudian membasuh wajah dan lukanya di sana.

Air itu memang terasa sangat segar seperti kelihatannya. Bahkan saat diminum seperti memulihkan tenaga, entah ini hanya sugesti dalam otak Shelin saja, atau memang berkasiat seperti itu.

Setelah merasa cukup, Shelin segera bergegas untuk menemukan pemukiman penduduk. Ia mau meminta makan atau apa saja yang bisa mengganjal perut. Genderang pencernaannya sudah ditabuh sejak ia mencoba kabur dari anak laki-laki tadi.

Tentang anak itu, sekilas, jika penglihatannya tidak keliru. Badannya tegap namun tak terlalu tinggi dengan dada yang sangat membidang, rambutnya berwarna entah putih entah pirang yang jelas bukan warna gelap, hidungnya sedang dan tidak terlalu mancung cocok dengan warna matanya yang coklat. Ia memakai baju tebal seperti mantel musim dingin, sebenarnya ia sama sekali tak terlihat seperti orang yang akan berbuat jahat, namun Shelin sangat tak terbiasa berada di dekat laki-laki dengan jarak sedekat itu, maka Shelin reflek mendorongnya. Lagi pula ini di hutan, siapapun tidak dapat percaya, sekalipun dengan seseorang yang terlihat seperti pangeran.

Dari kejauhan mulai terlihat gedung besar bergaya eropa pertengahan dengan dinding terbuat dari batu bata coklat tanpa cat. Di sampingnya berdiri sebuah menara menjulang tinggi dengan atap berbentuk kerucut dan benda seperti bunga matahari tersemat di atasnya.

Tak jauh dari sana, terdapat pondok kecil yang bagian belakangnya menempel dengan gedung raksasa itu. Ia sempat ragu ketika memasuki pekarangan yang lebih mirip halaman atau Taman Kota Semang, namun ia mencoba yakin bahwa itu adalah pekarangan belakang rumah seseorang karena terdapat kebun kecil yang ditanami sayur-sayuran dan kolam ikan kecil serta beberapa kursi kayu dengan di atasnya tergeletak dua buah buku tebal lengkap dengan kacamata. Selain itu, cerobong asapnya mengepul, menandakan ada yang tengah beraktivitas di dalam.

Di pintu rumah terdapat tulisan namun lebih mirip ukiran, entah apa artinya

Ia ketuk pintu beberapa kali, tak ada jawaban. Ternyata pintu tidak dikunci, sudah sedikit terbuka, tanpa pikir panjang Shelin membukanya lebih lebar dan masuk. Oh lancang sekali ia, pun ia menyadari perbuatan lancangnya itu.

Melangkah pelan-pelan, jika diperhatikan lantainya sangat mengkilat pertanda si penghuni rumah sangat merawat rumahnya. Shelin mengucap salam beberapa kali, namun tetap tak ada tanggapan. Tidak mungkin, di hari yang masih sepagi ini orang-orang sudah bepergian, Matahari saja masih sembab karena baru bangun.

Setelah senyap sekian lama, terdengar suara rengekan anak kecil mungkin meminta sesuatu, suara berasal dari arah dapur. Namun belum sampai langkahnya menuju sumber suara, perhatian Shelin dialihkan oleh pintu transparan yang tak asing baginya, rasanya pernah ia lihat di suatu tempat namun entah di mana. Tanpa pikir panjang lagi, ia akhirnya masuk ke dalam pintu itu. Dan terpesonalah ia dengan keajaiban yang ada di dalamnya.

Pilar-pilar dalam gedung sangat tinggi menjulang sampai terbentuk bayang-bayang awan tipis apabila dilihat dari tempat Shelin berdiri sekarang. Shelin belum paham di mana dirinya ini. Ia merasa menjadi bayi yang baru lahir dan seluruh lingkungannya adalah tempat asing.

Patung prajurit berbaju besi, mahkota dan kursi raja, gaun-gaun sutra, dan tangga yang mewah, adalah barang-barang yang belum pernah ia lihat di Semang ataupun di rumah nenek, kini mereka terpampang nyata dengan bebas ia bisa menyentuhnya. Benda-benda itu seperti benda di museum tapi terlihat terawat dan masih sering digunakan.

Masih mencoba menebak-nebak, kira-kira tempat apakah ini, Ia lalu masuk kedalam ruangan yang lebih besar, atau mungkin sangat amat besar dan sepi tapi suasananya hangat seperti baru ditinggalkan beberapa saat yang lalu. Perapian masih menyala dan terdapat cangkir besar berisi air yang sudah tinggal setengah.

Ia masuk kedalam lebih jauh, tercium bau aroma kopi dan kayu papyrus. Mulai terlihat jelas rak-rak buku yang bersusun rapi membentuk formasi agung setinggi 16 lantai. Ruangan itu di penuhi buku. Sontak Shelin merasa bahagia untuk kedua kalinya setelah yang pertama melihat bintang semalam seusai kesedihan karena berhari-hari menyusuri lorong gelap hingga akhirnya jatuh tersungkur.

Siapa sangka kini ia tiba di pekarangan yang entah milik siapa, masuk ke gedung yang bergaya arsitektur abad pertengahan dan sekarang terkagum-kagum melihat jutaan atau mungkin miliaran buku berbaris rapi dan terawat. Melihat buku banyak yang tertata rapi, entah mengapa bisa membuat perasaan yang tadinya resah bisa menjadi lebih baik.

Di tengah ruangan terdapat lampu gantung yang lagi-lagi terdapat ukiran bunga matahari berwarna emas dengan enam puluh lampu kecil diatasnya. Tangga-tangga berukiran bunga dan daun sulur teronggok di sana sini, selesai digunakan untuk mengambil buku yang letaknya tidak terjangkau tangan.

Di jantung utama perpustakaan raksasa terbesar yang pernah ia jumpai seumur hidupnya  terpampang ukiran atau mungkin tulisan yang tak pernah ia kenali tulisan negara mana itu sama seperti yang pertama tadi ia lihat dipintu rumah yang sebelumnya ia masuki. Ia juga menemukan kembali lambang Bunga Matahari yang di dalamnya terdapat empat bentuk berbeda, yaitu triangel, star, heksagon dan bujur sangkar seperti lambang yang pernah ia lihat di menara kerucut tinggi di samping gedung.

Ia terus menebak-nebak, mungkin ia berada di Kerajaan Ratu Inggris atau rumah Sultan Brunei. Sungguh mengherankan, pondok kecil yang dengan diam-diam ia masuki, punya perpustakaan seluas dan sebesar ini.

Perpustakaan ini berbentuk piramida terbalik tanpa puncaknya yang runcing, lebar di bagian atas dan semakin mengerucut ketika sampai dibawah. Tata letak dari rak buku sangat artistik dan bernilai seni tinggi. Perpustakaan yang fantastik! Terdapat bangku meja baca di bagian bawah dan paling atas ruangan, ada juga ruangan seperti kedai kopi di pojok dekat pintu besar, ruangannya terlihat segar karena banyak hiasan bunga dipajang memenuhi sudut ruangan.

Shelin menyusuri lorong di antara rak-rak buku, saat ia coba menaiki tangga, ternyata tangga itu seperti eskalator namun portabel, bisa dibawa kemana-mana dengan tombol manual yang akan berfungsi ketika ditekan. Di samping rak buku juga terdapat layar yang bisa digunakan untuk mencari buku dan menampilkan daftar buku-buku apa saja yang tersedia ataupun yang sedang dipinjam.

Semua ini benar-benar membuatnya lupa tentang apa yang tengah terjadi semalam. Rasa laparnya juga entah pergi kemana. Ruangan ini menghipnotis siapapun yang memasukinya, terlebih lagi bagi yang memang menyukai buku, suasananya juga menenangkan. Shelin lupa jika ia harus segera mengisi tenaga yang sudah terkuras amat sangat banyak semalam. Ia juga lupa dengan luka-lukanya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tibereal
good story
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status