Lidah Menantu 16
By Inda_mel"Pantesan ya, Mak! Dari awal Dini pindah ke rumah Mak, dia selalu berkata ketus sama Wita. Kelihatan tidak menyukai Wita!" ucap Wita lirih."Iya, Wit! Emang kelihatan sekali Dini tidak menyukai kamu, Nduk! Mungkin dia masih mengharapkan Bagas kembali padanya," ucapku lagi.Raut wajah Wita masih kelihatan emosi. Nampak dia sedang berpikir keras karena kulihat dahinya berkerut-kerut."Mak, jangan-jangan Dini itu …""Jangan-jangan apa, Nduk?" tanyaku penasaran."Ini sih kemungkinan, Mak. Wita rasa Dini nikah sama mas Imron cuma bagian dari rencana Dini untuk mendekati mas Bagas lagi," ujar Wita."Bisa jadi, Nduk! Karena tadi itu, Dini sempat ngomong kalau dia cuma inginkan Bagas bukan masmu," timpalku.Wita menggeleng-gelengkan kepalanya. Seolah-olah tak percaya kalau Dini sangggup ngomong gitu."Mak, apa ndak sebaik"Iya, Mak! Imron tidak bisa cerai dengan Dini karena Imron sudah ada perjanjian dengan Dini!" ujar Imron lagi. "Apa? Perjanjian?" tanyaku bertambah heran. Apalagi ini? Kenapa Imron tidak pernah bercerita tentang perjanjian ini. "Itu … itu, Mak, Imron membuat perjanjian itu karena ….""Karena apa, Le?! tanyaku cemas. "Gini, Mak. Sebenarnya sebelum nikah dengan Dini, Imron pernah melakukan kesalahan. Imron menabrak Dini yang waktu itu hendak menyeberang. Dini tiba-tiba saja muncul di depan, saat Imron sedang menyetir. Dan kecelakaan itu menyebabkan Dini tidak bisa punya anak. Keluarganya meminta Imron bertanggung jawab jika tidak Imron akan dipenjara, Mak," jelas Imron panjang lebar. Ya Allah, cobaan apalagi ini. Kenapa bertubi-tubi masalah yang kau berikan kepada keluarga kami. "Jadi, karena itu kamu tiba-tiba tiba saja membawa Dini dan bilang ingin menika
Aku dan Wita terkejut melihat sosok itu. Ya Allah, ternyata … dia sepertinya tidak asing. Siapa ya orang ini. Kenapa aku jadi pelupa begini. "Heh! Kamu siapa?! Ikut campur urusan orang saja! Datang-datang langsung buat onar!" sungut Bu Leli. "Maaf, Bu, justru Ibu sendiri yang sekarang berbuat onar di rumah orang. Saya bisa tuntut Ibu dengan laporan perbuatan tidak menyenangkan," ucap orang itu. Kulihat Bu Leli nyalinya agak menciut. Dia seperti ingin ambil langkah seribu. "Lebih baik Ibu pergi deh daripada dilaporin, mau nginep di penjara?" goda Wita."Huh, awas kamu ya, Wit!" ancam Bu Leli kemudian berbalik badan kembali pulang ke rumahnya. Sepeninggal Bu Leli, aku dan Wita spontan kembali melihat sosok yang tiba-tiba tiba datang. Dia mengulurkan tangan hendak mencium tanganku. Kusambut tangannya sembari mengingat siapa orang yang berada di hadapanku ini. "Mak, apa kabar? Mak seh
Esok harinya, aku berencana berpamitan pada Wita dan Bagas untuk pulang ke rumah. Setelah semalam, aku menginap di rumah Wita. Selesai sarapan dan bermain bersama Zidan dan Zakia, aku sampaikan rencanaku itu. "Wit, Mak mau pamit balik dulu ke rumah ya!" ucapku. Wita menghentikan kegiatannya mencuci piring dan menoleh kepadaku. "Mak mau pulang? Sekarang?" tanya Wita. "Iya, rencananya sekitar jam sembilan nantilah, masih sejam lagi, kan?" jawabku sambil melirik ke jam dinding. Wita terlihat menghembuskan napas dengan kasar. Kemudian mencuci tangan dan mengeringkannya dengan lap yang tergantung di wastafel, kemudian menarik kursi dan duduk berhadapan denganku. "Mak, apa ndak sebaiknya Mak di sini dulu? Sambil menunggu Mas Imron datang," usul Wita. "Mak, nunggu masmu di rumah saja. Biar sekalian masak buat masmu," ucapku mencari alasan. Memang aku sengaja ingin pulang ke rumah secepatnya, karena aku kuatir Dini membuat ulah lagi dan semakin m
Aku dan Abil pun terkejut dengan ucapan Wita. Kami berdua berpandangan dan spontan melirik ke arah Wita. Yang dilirik malah cuek, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dini mendekat ke arah Abil. Menelisik penampilan Abil dari atas sampe ke bawah. Abil kelihatan risih dipandangi seperti itu. "Kenapa kamu mandangi Kak Abil kayak gitu?! Kalau dibandingin kamu cantikan Kak Abil kali! Dan yang terpenting, dia sopan sama orang tua," ucap Wita dengan senyum menyindir. "Mmm … ada bibit pelakor kayaknya ni! Kamu gak malu ya, mau jadi istri pria yang sudah berkeluarga?! Apa kamu udah gak laku lagi sampe nyosor laki orang!" sahut Dini sinis. Nabila hanya tersenyum mendengar pertanyaan Dini. "Kamu, gak usah senyum-senyum! Muak aku ngelihat wajah sok sucimu itu! Dasar pelakor!" sungut Dini. "Apa Mbak gak ngerasa, bahwa ucapan mbak itu cocoknya ditujukan untuk mbak sendiri?" sindir Abil. "Apa ma
Imron masih memandang Abil tanpa berkedip. Aku rasa dia pasti tidak menyangka perubahan drastis pada diri Abil. Gadis remaja yang super tomboi dan sering berkelahi, menjelma menjadi wanita anggun dan cerdas. Tidak dipungkiri bukan hanya Imron, aku saja sampai terkagum menatap perubahan Nabila. "Ehem … ehem, Mas, aku masih di sini! Jangan menatap wanita itu selagi aku, istrimu ada di sampingmu!" protes Dini. Imron langsung menunduk dan mengalihkan pandangannya dan kulihat bibirnya mengucapkan Astagfirullah tanpa suara. "Gimana, Mas?" tanya Wita. "Gimana apanya?" Imron balik bertanya dengan kebingungan. "Lah piye iki! Gimana, maukan nikah sama Kak Abil! Kak Abil udah setuju lho jadi istri Mas!" ucap Wita. Spontan Abil mencubit pinggang Wita dan membuat Wita berteriak. "Apaan, Kak? Kok nyubit Wita, sih?" protes Wita sambil mengusap pinggangnya bekas cubitan Nabila tadi.
. Aku bergegas membuka pintu dan menghambur keluar. Wita melangkah di belakangku. Di ruang tengah kami tidak menemukan siapa pun. Aku dan Wita berpandangan. Pandangan kami beralih ke arah kamar Imron. "Aku gak akan pindah dari sini! Aku gak mau!" Terdengar suara Dini berteriak. Lalu pintu kamar terbuka. Muncul sosok Imron memandang kami berdua dengan tatapan heran. "Ada apa, Mak?" tanya Imron. "Lah, mak yang seharusnya nanya kamu, Le! Tadi mak dan Wita mendengar suara kaca pecah,""Oh … biasa lagi kumat. Hari ini agak parah kumatnya," jawab Imron santai. Dia berlalu kemudian menuju sofa dan merebahkan tubuhnya di sofa. "Siapa yang kumat, Mas? Dini?" tanya Wita kebingungan. "Iya siapa lagi! Dia kan sudah biasa gitu. Kalau mas tidak memenuhi keinginannya ada saja yang pecah!"jawab Imron. Aku mengernyitkan dahi. Dini sudah biasa seperti itu? Ta
"Lupa apa, Dek?" tanya Imron keheranan. "Iya, lupa apa toh, Nduk? Aku ikut bertanya. "Itu lho Mas,kita tadi gak ada nanya kak Abil tinggal di mana terus gak juga nanya nomor hape kak Abil, gimana mau menghubungi kak Abil?" tanya Wita kebingungan. Iya juga ya. Kenapa aku gak berpikir sampe ke situ. Gara-gara berdebat dengan Dini malah hal penting terlupakan. "Iya, Mas kok gak kepikiran tadi," sahut Imron. "Lah jadi piye iki?" tanya Wita lagi. "Mmm … Mak, bukannya pak Yudha, pak Rt kita itu pamannya Abil kan, Mak?" tanya Imron memastikan. "Eh iya, bener! Pak Yudha pamannya Abil, adik ayahnya itu," jawabku sumringah. Aku baru teringat ada keluarga Abil yang masih tinggal di sini. Ah, kenapa aku jadi sering lupa begini ya. "Mak semangat dan ceria sekali. Sudah lama gak liat Mak seperti ini!" goda Wita. "Kamu ini, Nduk! godai mak terus dari tadi
"Mau apa!!!" tanyaku lagi. Kulihat wajah Dini agak terlihat pucat. Seperti menahan sakit. "Mak, Dini mau … mau minta tolong Mak," jawab Dini terbata-bata sembari memegang perutnya. "Minta tolong apa?""Ini Mak, perut Dini sakit Mak bisa minta tolong bikinkan teh hangat Mak," pinta Dini memelas. Aku menghela napas. Kasian juga melihatnya kesakitan seperti itu. Ya sudahlah kubuatkan saja. Mungkin Dini benar-benar kesakitan. "Ya sudah! Mak buatkan dulu," ucapku akhirnya. "Makasih Mak," sahut Dini. Kemudian dia berlalu kembali ke kamarnya. Hah, gak salah dengar aku. Dini ngucapin makasih. Ini pasti ada udang dibalik batu. Ada tujuan dan maksud tertentu. Kita lihat saja nanti. Semoga Allah membuka semua kebenaran nantinya. Segera kubuat teh permintaan Dini. Saat aku akan mengantar teh ke kamar Dini, Imron keluar dari kamar mandi. Imron terlihat bingung melihat