Lidah Menantu 10
Pov Wita 3
Aku mengernyitkan dahi. Penasaran apa yang akan dikatakan Bu Leli.
"Itu, Wit. Tentang kakak iparmu itu, Dini!"
Hah, Dini, tentang Dini. Jadi tambah bingung. Masalah apa lagi ini.
"Gini lho, Wit! Tempo hari, Dini ada belanja tuh ke tukang sayur keliling. Terus dia alih-alih ngomongin kamu," jelas Bu Leli.
"Ngomongin gimana, Bu?" tanyaku penasaran.
"Iya, ngomongin kamu. Katanya dia sama kamu tuh gak akur, terus kamu itu kasar. Terus katanya lagi Bag
Kembali Pov Mak EsahPagi ini aku berencana akan menelepon Bagas untuk meminta bantuannya. Sengaja kutelepon pagi-pagi karena yang aku tau pagi kayak gini, Wita pasti sibuk di dapur.Kuambil gawai di atas nakas samping ranjang. Kutekan nomor Bagas. Tak lama panggilan tersambung."Assalamu'alaikum, Mak." Panggilan teleponku dijawab Bagas."Wa'alaikumsalam, Gas.""Ada apa, Mak?" tanya Bagas.Mungkin dia keheranan aku menelepon langsung ke nomornya, karena biasanya aku melalui Wita."Gas, Wita ada di dekat kamu atau di dapur?" aku balik bertanya."Dekat Bagas, Mak," jawab Bagas lagi."Coba kamu keluar dulu menghindar dari Wita, mak gak mau Wita tau masalah ini!" ujarku."Nggeh, Mak,"
"Mak, sebelumnya Bagas minta maaf. Memang seharusnya sedari awal, Bagas jujur terutama pada Wita," ucap Bagas."Jadi, Le kamu sama Dini?" tanyaku memastikan."Sebenarnya Dini mantan pacar Bagas, Mak," jelas Bagas.Aku menghela napas. Berarti dugaanku tidak salah."Dini yang selingkuh dan mutusin Bagas karena waktu itu kan Bagas belum jadi PNS, masih honorer." lanjut Bagas."Jadi, Wita benar-benar gak tau masalah ini? Pantas saja Dini begitu memusuhi dan membenci Wita," ucapku lagi."Wita gak tau apa-apa Mak. Lagipula semenjak putus sam
Lidah Menantu 13by Inda_melSetelah itu aku menuju taksi dan bermaksud duduk di sebelah Bagas. Tapi, ternyata Dini sudah berada disebelah Bagas. Bagas terlihat memejamkan mata dan sepertinya tidak menyadari kalau yang berada disampingnya adalah Dini. Apalah maunya anak ini. Tidak henti-hentinya membuat masalah. Duduk berdekatan dengan yang bukan muhrimnya dan dia tidak merasa malu di depanku berbuat seperti itu. "Din, kamu duduk di depan!" perintahku. Dini bersikap cuek seolah-olah dia tidak mendengar ucapanku. "Din!" panggilku. "Apaan sih, Mak! Udahlah, Mak aja yang duduk di depan, gak ada masalah, kan?" jawabnya santai. "Mak bilang kamu duduk depan, ngerti gak sih!" ucapku dengan nada yang sedikit tinggi. Terlihat Bagas membuka matanya dan terkejut saat melihat Dini duduk di sampingnya.
Lidah Menantu 14By Inda_mel"Lain kali Ayah harus hati-hati! Bikin Bunda kuatir, tau gak?!" sungut Wita. "Iya, istriku. Maafkan suamimu ya, karena dah buat kuatir," ujar Bagas sambil menangkupkan kedua tangannya. Wita dan aku tersenyum mendengar perkataan Bagas. Kulirik Dini yang berdiri tak jauh dari kami. Bibirnya manyun dan menatap dengan raut wajah tak suka. Aku rasa mungkin Dini cemburu. Entahlah, aku juga tidak tau jalan pikiran Dini. Dan aku juga tidak mau tahu. Yang pasti sepulang Imron minggu ini, masalah Dini harus ada penyelesaian. "Kita pulang sekarang aja, Yah? tanya Wita pada Bagas. "Iya, Bun. Ntar kesorean kasihan anak-anak terlalu lama ditinggal," jawab Bagas. Bagas bangkit dari pembaringan. Masih kelihatan dia meringis menahan sakit.""Ayok, Yah Bunda bantuin berdiri!" ucap Wita sambil memegang pinggang Bagas. "Pelan-pelan, Le!" ujarku
Lidah Menantu 15By Inda_melKami mengangguk dan tak lama sopir itu pergi meninggalkan rumah. Bagas dipapah Wita ke dalam rumah diikuti oleh anak-anak mereka. Saat aku hendak masuk ke dalam, Narsih menggamit lenganku. Menahan agar jangan masuk ke dalam. "Sah, bentar jangan masuk dulu, ada yang aku mau tanyain?" Dahiku mengernyit. Kenapa sepertinya Narsih begitu serius. Sebenarnya hal apa yang ingin ditanyakan Narsih. Aku ditariknya agak menjauh dari teras. Kelihatannya benar-benar penting. Karena yang aku tau, Narsih tidak pernah mencampuri urusan orang lain. Kalau dia sudah bersikap begini pastilah memang ada hal penting yang ingin ditanyakan. "Ada apa? Jenengan mau nanya apa?" tanyaku pada Narsih. Usia kami berdua memang sebaya hanya beda bulan saja. Makanya bila kami bertemu, kami memanggil dengan nama saja. "Aku bukan bermaksud untuk ikut campur,
Lidah Menantu 16By Inda_mel"Pantesan ya, Mak! Dari awal Dini pindah ke rumah Mak, dia selalu berkata ketus sama Wita. Kelihatan tidak menyukai Wita!" ucap Wita lirih. "Iya, Wit! Emang kelihatan sekali Dini tidak menyukai kamu, Nduk! Mungkin dia masih mengharapkan Bagas kembali padanya," ucapku lagi. Raut wajah Wita masih kelihatan emosi. Nampak dia sedang berpikir keras karena kulihat dahinya berkerut-kerut. "Mak, jangan-jangan Dini itu …""Jangan-jangan apa, Nduk?" tanyaku penasaran. "Ini sih kemungkinan, Mak. Wita rasa Dini nikah sama mas Imron cuma bagian dari rencana Dini untuk mendekati mas Bagas lagi," ujar Wita. "Bisa jadi, Nduk! Karena tadi itu, Dini sempat ngomong kalau dia cuma inginkan Bagas bukan masmu," timpalku. Wita menggeleng-gelengkan kepalanya. Seolah-olah tak percaya kalau Dini sangggup ngomong gitu. "Mak, apa ndak sebaik
"Iya, Mak! Imron tidak bisa cerai dengan Dini karena Imron sudah ada perjanjian dengan Dini!" ujar Imron lagi. "Apa? Perjanjian?" tanyaku bertambah heran. Apalagi ini? Kenapa Imron tidak pernah bercerita tentang perjanjian ini. "Itu … itu, Mak, Imron membuat perjanjian itu karena ….""Karena apa, Le?! tanyaku cemas. "Gini, Mak. Sebenarnya sebelum nikah dengan Dini, Imron pernah melakukan kesalahan. Imron menabrak Dini yang waktu itu hendak menyeberang. Dini tiba-tiba saja muncul di depan, saat Imron sedang menyetir. Dan kecelakaan itu menyebabkan Dini tidak bisa punya anak. Keluarganya meminta Imron bertanggung jawab jika tidak Imron akan dipenjara, Mak," jelas Imron panjang lebar. Ya Allah, cobaan apalagi ini. Kenapa bertubi-tubi masalah yang kau berikan kepada keluarga kami. "Jadi, karena itu kamu tiba-tiba tiba saja membawa Dini dan bilang ingin menika
Aku dan Wita terkejut melihat sosok itu. Ya Allah, ternyata … dia sepertinya tidak asing. Siapa ya orang ini. Kenapa aku jadi pelupa begini. "Heh! Kamu siapa?! Ikut campur urusan orang saja! Datang-datang langsung buat onar!" sungut Bu Leli. "Maaf, Bu, justru Ibu sendiri yang sekarang berbuat onar di rumah orang. Saya bisa tuntut Ibu dengan laporan perbuatan tidak menyenangkan," ucap orang itu. Kulihat Bu Leli nyalinya agak menciut. Dia seperti ingin ambil langkah seribu. "Lebih baik Ibu pergi deh daripada dilaporin, mau nginep di penjara?" goda Wita."Huh, awas kamu ya, Wit!" ancam Bu Leli kemudian berbalik badan kembali pulang ke rumahnya. Sepeninggal Bu Leli, aku dan Wita spontan kembali melihat sosok yang tiba-tiba tiba datang. Dia mengulurkan tangan hendak mencium tanganku. Kusambut tangannya sembari mengingat siapa orang yang berada di hadapanku ini. "Mak, apa kabar? Mak seh