“Pasti kau yang membunuh Dokter Barend van Der Sluijs, wahai orang sok pintar selaku ketua gerakan pemuda kemerdekaan!” BRUG! Sebuah kepalan keras mendarat di pipi Fadjar. Calon dokter muda itu tersungkur di atas trotoar depan rumah sakit CBZ, tempatnya mengikuti ujian praktek. Menerima pukulan itu, kepalanya langsung sakit. Pandangannya berkunang-kunang. Kawannya sesama pelajar dokter Jawa asal Belanda bernama Michael itu memang berpostur tinggi besar. Fadjar tak terkejut ketika cairan merah keluar dari hidungnya. “Fadjar!” melihat kawan sesama pribuminya dihajar keras oleh Michael, Poernomo segera menghampiri Fadjar dan membantunya bangkit. Priai pemilik kedai kopi di Jalan Kramat ini segera mengeluarkan sapu tangan dari kantong celananya dan memberikannya kepada Fadjar untuk menyeka luka di hidungnya. “A…ku tidak apa-apa,” Fadjar menerima sapu tangan pemberian Poernomo dan mulai menyeka lukanya. Seolah pembuluh darah halusnya di hidung sudah pecah, Fadjar terus saja mimisan. Cai
“Saya tidak menyangka Bung Ketua Fadjar dapat senekad ini bertindak,” ucapan salah seorang peserta rapat organisasi Bapera –Barisan Pemuda Nusantara- menyita perhatian Poernomo yang tengah mempersiapkan agenda rapat organisasi pagi ini di ruang khusus kedai kopinya. Dia sebenarnya tak terlalu aktif berpendapat. Maka dari itu, dia sediakan saja tempat agar tak dituntut harus aktif berpendapat. Dia sudah cukup puas andilnya hanya sekedar penyedia tempat. “Jadi, anda percaya bahwa kematian Dokter Barend ada hubungannya dengan organisasi ini?” Sendja membalikkan pertanyaan salah satu anggota organisasi, mencoba menghindari amukan Fadjar yang dia ketahui bukanlah pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kasus kematian Dokter Barend. “Siapa….lagi?” pemuda yang seorang fotografer media cetak itu mengangkat bahu. “Bodoh jangan dipelihara di kepala! Mana mungkin Fadjar melakukan hal seperti itu kepada orang yang sudah dia anggap sebagai guru maupun ayah kandungnya sendiri!” Sendja menarik
"Orang-orang pribumi di Batavia itu, bagaikan pendatang di tanah kelahirannya sendiri,” seraya berkeliling kota dengan menaiki trem, Takeshi berbicara pada dirinya sendiri dalam Bahasa Jepang. Dia berani melontarkan kalimat seperti ini di tempat umum lantaran trem di pagi ini tak terlalu ramai. Di sebelahnya, hanya Hideyoshi seorang yang tengah duduk sambil memandang lurus ke depan. Mereka berdua baru saja mengantarkan barang pesanan toko ke kompleks rumah para kelas atas, kawasan Weltevreden. Seperti biasa, di antara kelima anak buahnya, Takeshi meminta Hideyoshi untuk menemaninya. Padahal, jika ditanya siapakah murid Shitaro yang paling dia benci, jangan-jangan jawabannya juga Hideyoshi. Karena tak ada orang lain di sekitar Hideyoshi selain Takeshi, akhirnya setiap kata yang terlontar dari mulut Takeshi menarik perhatian Hideyoshi. Pemuda bersorot mata tajam ini melirik ke arah Takeshi. Lelaki bertubuh tinggi dan kurus itu sedang memperhatikan panorama kota Batavia di luar jendela.
Hujan mengguyur bumi kala langit malam hanya membagi kilat. Tak ada suara lain yang Hina dengar selain gemuruh guntur, derasnya air hujan yang menerjang daratan atau memantul di atap-atap rumah, serta langkah kakinya sendiri. Tangan mungilnya menggenggam payung kertas, produk toko tempatnya bekerja. Sepertinya dia harus cepat sampai tujuan karena lebatnya hujan membuat Hina takut payung kertas miliknya bisa saja robek. Sepanjang jalan Harmonie, Hina tak melihat ada orang-orang yang wara-wiri di sekitarnya. Mungkin mereka lebih memilih untuk berteduh di dalam rumah. Jika Hina tak mendapatkan tugas dari Yukiko untuk mengantarkan barang pesanan ke salah satu pelanggan, mungkin dirinya kini juga akan berteduh di dalam rumah. Tentunya, bersama keempat kakak seperguruannya. Bisa jadi sambil berbincang, tertawa, atau bermain api pada lilin. Ternyata begini rasanya sendiri tanpa mereka berempat, Hina mempercepat langkah. Dia mulai mengenali perasaannya yang ingin cepat-cepat sampai rumah ini
Jalan Kramat saat tengah malam tampak berbeda dari siang hari yang begitu ramai penuh pejalan kaki maupun orang berjualan. Kendaraan tak ada satu pun yang melintasi jalan selain oplet berwarna biru yang ditumpangi Fadjar dan Hinagi. Kedua penumpang terakhir dari kendaraan umum itu pun turun tepat di depan toko Banzai yang berseberangan dengan kedai kopi milik Poernomo. “Selamat malam, Tuan Fadjar,” Hinagi menganggukan kepala, dan turun dari oplet. Dengan langkah-langkah kaki kecilnya, dia berbalik memasuki toko. Fadjar yang tadinya hanya ingin menanggapi Hinagi dengan anggukan dan membalas mengucapkan selamat malam, segera tergerak melontarkan suatu pertanyaan, “Ah, Nona! Kau tinggal di toko Jepang ini?” calon dokter muda ini menunjuk toko Banzai yang gelap gulita. Bagai tersengat listrik, Hinagi merasa bodoh detik ini juga. Dia langsung menghentikan langkah kakinya. Tak seharusnya dia turun tepat di depan toko Banzai. Seharusnya, Fadjar tak boleh mengetahui tempat tinggalnya selama
“Di hari itulah, aku begitu yakin….. aku begitu yakin pada apa yang kaisar sampaikan kepada kami semua, para ksatria berpedang yang semula kami kira tak ada artinya lagi semenjak restorasi Meiji ini, bahwa dunia, kini dalam genggaman timur! Dalam genggaman Asia!” dengan suara agak menggertak bercampur gemetaran, Takeshi memandang Fadjar tanpa berkedip. Dia begitu sentimentil terhadap apa yang dia katakan, bayangkan, dan yakinkan. Benaknya kembali memutar rentetan kejadian saat tentara Nippon selalu berusaha menguasai berbagai sudut dunia. Terutama Asia. Bayangan itu hanyalah bunga tidur Takeshi dalam perjalanan menuju Batavia. Ada masanya, dalam keyakinannya, Asia akan menjadi benua yang begitu ditakutkan Eropa dan Amerika. Menurutnya, semesta sudah mensiratkan hal itu. Terbukti dari arah matahari terbit. Sang surya itu terbit di timur dan terbenam di barat. Asia berada di timur belahan bumi, sedangkan Eropa dan Amerika berada di barat belahan bumi. Saatnya Asia terbit setelah tertidu
Hideyoshi menatap genggaman tangannya pada sebilah pedang kokohnya. Cukup lama perhatiannya tertuju pada senjata baru kesayangannya ini. Jiwanya terasa terhisap ke dalamnya. Dia meraba ukiran pada pegangannya, lalu menjalar ke sebilah besi dari sisi tajam maupun tumpulnya. Dingin. Begitu menaklukan. Besi tipis hasil karya pengrajin katana ini begitu dingin dan menaklukan hati. Hideyoshi jadi penasaran dengan kondisi hati pengrajinnya pada waktu membuatnya. Sungguh mengingatkannya kembali pada udara malam pegunungan saat duel satu lawan satu sampai mati itu bergulir. Rasanya memang serupa. “Hi….de? Apakah kau siap?” karena menyadari Hideyoshi begitu lama memperhatikan setiap detail katana yang digenggamnya, Jin yang mungkin tak sabar untuk latihan duel dengan Hide menyapa. Nada bicaranya meragu. Mungkin Jin masih sungkan jika mengganggu jalan pikiran Hide saat ini. Padahal, tak ada salahnya jika dia memang ingin mencoba membuyarkan lamunan silam Hide yang kelihatannya belum bisa dit
Nara 1925 Papan Yayasan Yatim Piatu “Himawari” terjatuh ke tanah akibat kobaran api yang semakin menjalar. Di sudut kamar tidur, seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun hanya bisa memeluk lutut. Peluh membasahi kulit, bagaikan lilin yang mencair karena api yang menyala di sumbu. Kalau sudah terpojok seperti ini, memang tak ada yang dapat dilakukan selain menunggu lidah api menjilat nyawa. “Hideee! Hideeee!” suara pemilik panti terdengar di telinga mungil Hide. O bāchan alias nenek pemilik yayasan yatim piatu itu begitu mengkhawatirkan keselamatan anak-anak pantinya. Semuanya sudah berhasil dituntun keluar. Hanya satu orang yang entah di mana keberadaannya. Namanya Hide. Kegemaran dari anak yang usianya paling muda di panti ini adalah melamun. “Hideeee! Aku tahu kau tak senang berbicara! Tapi, aku mohon kali ini berteriaklah untuk membuatku tahu di mana keberadaanmu saat ini!” lengkingan suara O bāchan berusaha menembus asap-asap yang dihasilkan dari kobaran api. “Uhuk! U