Share

Hari Anniversary

Malam ini merupakan anniversary papa dan mamanya yang ke sebelas. Mau tak mau, Caca hadir ke acara sederhana yang dihadiri keluarga besarnya. Caca juga sudah jauh-jauh hari membeli tiket liburan untuk kado pernikahan mama dan papanya agar meluangkan waktu berdua.

"Mama dan Papa selamat, ya?" Caca memeluk tubuh ramping sang mama yang dibalut long dress putih. Kemudian beralih ke sang papa yang terlihat tampan diusia tak muda lagi.

"Makasih, Sayang. Mama kira kamu lupa saking sibuknya. Mama kangen kamu nggak datang-datang, tiap Mama mau ke sana kamu bilang akan pergi ketemu klien." Mamanya merajuk.

Kadang-kadang Arnita bertingkah seperti anak kecil menyindir Caca jarang sekali pulang. Mamanya paling tidak bisa melihat formasi anaknya tidak lengkap dan belum merelakan anak gadisnya tinggal terpisah.

Caca tersenyum memeluk lagi mamanya sebentar. "Mana mungkin aku lupa, selalu berlebihan deh, Mama."

"Yang penting sekarang anak kita berkumpul, Ma." Papanya tersenyum menatap sang istri.

Caca senang sekali melihat interaksi papa dan mamanya. Arnita mengapit lengan papanya, dan Caca bisa melihat keduanya saling memandang penuh cinta. 

Kadang Caca iri, kenapa kisah cintanya tidak semulus sang papa. Dulu mendiang mamanya menikah dengan papa atas dasar saling mencintai, lalu mama Arnita datang mengobati luka papanya lima tahun kemudian.

"Selamat ya, Om, Tante." Bagus menyalami keduanya.

"Makasih, lho, sudah jaga anak Tante." Arnita selalu menggoda Caca kalau Bagus calon menantu idaman. Sudah tampan, baik, dan terlihat sangat mencintai Caca.

Memang, Caca sengaja datang bersama Bagus untuk antisipasi kalau ingin kabur dari acara. Caca sendiri tidak yakin sanggup melihat Abian dan Adelia berlama-lama.

"Kak Bagus." Evaline menghampiri Bagus dan memeluknya. Evaline paling senang kalau ada Bagus karena mendapat teman yang satu frekuensi. Sama-sama usil.

Bagus, Caca, dan Evaline menepi ke salah satu meja. Sementara Arnita dan suaminya sibuk menanggapi keluarga yang hadir memberi selamat.

"Kakak kira kamu akan telat datang."

Suara khas milik Abian membuat Caca dan Bagus menoleh, ada Adelia mengapit lengannya mesra dan tersenyum sinis begitu bertatap muka dengan Caca.

"Mana mungkin aku telat di acara sepenting ini." Caca mendengkus, sedangkan Abian tertawa gemas melihat ekspresi adiknya.

Abian ikut mengambil posisi duduk di hadapan Caca sampai Adelia menatap kesal. "Padahal Mas mau jemput, ternyata kamu menolak karena mau pergi sama Bagus."

"Iya, tenang saja. Selama sama aku dipastikan Caca aman," ujar Bagus sambil merangkul bahu Caca sampai perempuan itu meringis dan ingin menginjak kaki Bagus dengan heels setinggi tujuh senti pemberian Abian yang terpaksa dipakainya. Caca tidak memiliki banyak koleksi heels dan rasanya heels hitam hadiah Abian paling cocok dipadukan dengan gaun putihnya.

"Ya, kalo sampai adik kesayangan aku lecet, siap-siap kamu." Abian menatap Bagus sok galak. "Kuburan siap digali."

Bagus tertawa, sedangkan Evaline merasa kesal diabaikan orang-orang dewasa di sekitarnya. "Kak Bagus, ayo temani Evaline cari makanan."

"Ca?" 

Caca hanya mengangkat bahu saat Bagus menatap memelas karena Evaline sudah menarik-narik tangannya. Bisa dipastikan Bagus akan kesulitan melepaskan diri dari bocah kecil berumur sepuluh tahun. 

Abian tertawa senang melihat Evaline akan mengerjai Bagus dengan meminta ke sana ke mari. Dengan pasrah Bagus mengikuti kemauan Evaline keliling cari makanan sebelum pesta dimulai. 

Siapa juga yang bisa menghentikan Evaline daripada mendengar ia menangis dan menggangu acara?

Sejak tadi hanya Adelia yang tidak mengulas senyum sedikit pun melihat interaksi keluarga Abian. Adelia kurang suka harus berpura-pura baik di depan Caca.

"Mas kayaknya aku haus mau ambil minum dulu," ujar Adelia dengan suara sok mesra. "Mas mau sekalian?"

Abian tersenyum dan mengusap-usap tangan perempuan yang mengenakan gaun merah marun. "Boleh, Sayang."

"Minuman soda seperti biasanya?" Adelia melirik ke Caca seakan mengatakan kalau dia paling memahami Abian.

Pria yang masih duduk bersebrangan dengan Caca mengangguk.

Caca berusaha sekuat mungkin agar tidak terpengaruh interaksi keduanya, tapi hatinya tetap dikuasai cemburu melihat kedekatan Adelia dan pria yang dicintainya di depan mata.

Saat Adelia pergi tanpa menawarkan akan mengambilkan juga untuknya, sekalipun jelas akan ditolak. Caca hanya meremas telapak tangan, acara keluarga memang paling dihindari Caca usai pertunangan Abian. Setidaknya sampai hatinya benar-benar rela.

Namun, tidak mungkin Caca menolak datang ke acara anniversary mama dan papanya sendiri. Selain keluarganya akan kecewa dan bersedih, Caca juga ingin terlibat di hari penting orang-orang tersayangnya.

"Kamu mulai membuka hati untuk Bagus?" terka Abian yang sudah menatap penuh selidik.

Bocah sekecil Evaline saja tahu kalau Bagus tergila-gila pada Caca. Apalagi Abian dengan kecerdasan di atas rata-rata. Selama ini Abian masih menyeleksi ketat pria yang bisa mendekati adiknya. 

Kalau Bagus mendapat kelonggaran boleh dekat-dekat adiknya karena sudah bersahabat sejak sekolah. Namun, untuk menyerahkan Caca menjadi pacar laki-laki yang dikelilingi banyak perempuan seperti Bagus. Abian masih pikir-pikir dulu.

Caca berdecak. "Bukan urusan Mas, aku udah dewasa."

"Nggak bisa, Ca. Kamu akan tetap jadi adik kecil Mas seperti Evaline."

Caca mendesah panjang sampai melihat Adelia datang menyodorkan gelasnya secara anggun ke Abian.

Abian tersenyum. "Makasih, Sayang," ujarnya sebelum meneguk soda di gelasnya. Lalu berdiri melihat keluarga besarnya mulai berdatangan dan acara akan dimulai. Abian harus menyapa keluarga sekaligus rekan kerjanya tersebut. "Aku mau menyapa tamu-tamu dulu, kamu duduk saja temani Caca."

Adelia yang masih berdiri menaruh gelasnya ke meja, sedangkan tangannya melingkar ke leher Abian. "Iya, jangan lama-lama."

Abian menatap tunangannya dengan mendamba. "Nggak akan, oh ya nanti kita akan berdansa berdua."

Perempuan itu menarik sudut bibirnya, lalu melirik ke arah Caca yang mematung di tempat dengan wajah pucat seakan darahnya tersedot habis 

Caca tersenyum getir. Memang apa yang dia harapkan dari jawaban Abian? Seharusnya Caca sudah mengantisipasi akan melihat kemesraan keduanya, tapi lagi-lagi berhasil membuat hatinya remuk.

Sadar terlalu bodoh menatap pasangan yang sedang dimabuk cinta. Caca bergerak mengambil minuman di meja prasmanan. Tanpa pikir panjang, tangannya meraih segelas cocktail yang biasanya jadi pilihan terakhir akan diambilnya. Patah hati memang membuat otaknya tumpul. Rasanya dia ingin menjerit dan menjambak-jambak rambut panjang Adelia yang dibiarkan tergerai dengan jepit rambut bagian depan.

Caca menggoyangkan gelasnya agar aromanya semakin terasa kemudian meneguk cepat. Dia ingin sekali kabur dari pesta sekarang.

"Apa kamu cemburu melihat kedekatan aku dan Abian?" Adelia menghampiri dengan senyum pongah.

Caca melirik tak suka, tangannya masih memegang gelas berkaki yang isinya tersisa setengah. "Kamu bicara apa?"

Sejak awal Adelia sudah menaruh curiga pada Caca, tingkat kepekaannya memang tajam lantaran terbiasa berinteraksi dengan berbagai karakter perempuan yang sedang mengincar targetnya. Adelia tertawa mengejek. "Kamu tidak perlu pura-pura, tapi kamu lihat sendiri siapa yang Abian cintai setengah mati."

Caca diam, dia hanya mencengkeram gelasnya kuat-kuat sampai buku-buku jarinya memutih. 

"Dan aku harap kamu segera sadar, seorang adik mencintai kakaknya tidak pernah dibenarkan," sindir Adelia dengan senyuman sinis. Seakan mengingatkan kalau posisinya aman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status