Share

Pura-pura Baik

Di Starbucks, Adelia menatap ponselnya dengan kesal usai menerima telepon dari Abian. Pasalnya mereka janjian berdua setelah berhari-hari sibuk dengan pekerjaan. Adelia sibuk pemotretan sana-sini, sedangkan Abian sedang fokus merancang desain untuk mal besar yang akan dibangun.

"Hari ini aku bawa Evaline soalnya tadi maksa ikut. Kamu keberatan nggak kalo kita pindah ke McD aja? Ini Evaline minta es krim sundae." Kalimat Abian yang membuat kekesalan Adelia naik berkali lipat, sudah berganti lokasi, ditambah ada anak kecil.

Dari awal memang Adelia kurang suka dengan kedua adik tunangannya, terutama Caca yang seakan ingin melahapnya hidup-hidup setiap beradu pandang. Adelia juga bisa merasakan kalau Caca berusaha memisahkan dirinya dengan Abian, entah apa motifnya. 

Di samping itu, Adelia juga ingin menguasai Abian sendiri. Dia paham secinta apa Abian pada dirinya yang merupakan teman masa kecil. Terpisah puluhan tahun ternyata tidak membuat Abian melupakan janjinya menjadikan Adelia pacar kalau sudah dewasa.

Mereka sama-sama di Jakarta, tapi Abian baru mengenali Adelia yang terpisah lama. Padahal foto Adelia ada di mana-mana karena merupakan model ternama. 

Perempuan yang dikenal Abian kecil bernama Alia, sejak dulu Abian tidak tahu kalau model yang sedang naik daun bernama Adelia adalah Alia yang dicari-carinya.

Alianya dulu adalah gadis sederhana usia sepuluh tahun. Perempuan yang suka memakai jepit Hello Kitty ke mana-mana dan selalu cengeng setiap terjatuh. 

Sekarang Adelia menjelma menjadi wanita cantik, anggun, dan sangat memikat. Sebagian kaum adam akan betah berlama-lama menatap kecantikan dan kemolekan tubuh Adelia. Namun, sikapnya berubah emosional dan seringkali memandang rendah orang lain.

Adelia mendecakkan lidah sebelum meninggal Starbucks yang sedang ramai. Dia bergegas menuju Mc Donald terdekat karena Abian sudah tiba di lokasi.

"Kalian sudah lama?" tanya Adelia begitu sampai di MCD dan mendapati bocah kecil sedang melahap rakus es krim vanila dengan topping saus cokelat. Keduanya duduk di bangku pojok berdekatan tembok kaca.

Abian lebih sibuk membersihkan mulut adiknya dengan tisu daripada langsung membalas ucapan tunangannya, barulah mendongak menatap perempuan yang mengenakan dress hitam Balenciaga. 

"Belum, Sweetie. Duduk dulu, pesan makanan juga." Abian meminta tunangannya duduk tepat di hadapannya.

Dengan setengah dongkol, Adelia mengambil posisi duduk berhadapan. Harusnya mereka makan berdua sambil bercerita banyak hal, bukan seperti pengasuh anak yang bawelnya memancing emosinya naik ke ubun-ubun.

"Habis ini, Evaline mau ketemu kak Caca." Sekalipun berkali-kali dibersihkan, mulutnya belepotan lagi dan menatap kakaknya penuh harap.

Abian menatap ke arah tunangannya hanya dijawab tatapan sebal, lalu Adelia mengangkat kedua bahu. 

Merasa kali ini kencannya akan gagal, Abian tidak mau menambah perempuan yang dicintai makin bete. "Besok lagi, ya, Evaline. Mas janji, deh."

Gadis berusia sepuluh tahun itu langsung menghentikan gerakan tangannya menyendok es krim, dia meletakkan kasar ke meja sehingga menimbulkan bunyi nyaring. Kalau sudah begitu, Abian paham adiknya sulit dibujuk.

"Kamu nggak pesan makan?" Abian sempat melirik Adelia yang tidak memesan apa-apa.

"Aku lagi mengurangi makanan cepat saji dan makanan manis seperti es krim," balasnya dengan senyum sok manis, padahal selera makannya lenyap gara-gara melihat kelakuan bocah kecil.

Abian manggut-manggut, iris mata cokelat terangnya menyorot lembut. "Nanti kita cari di tempat lain. Kamu nggak suka makan di sini?"

Adelia terpaksa pura-pura tersenyum, yang dia tak suka bukan hanya makanan di MCD. Kalau bisa bocah kecil di sebelah Abian diantar pulang daripada mengganggu waktunya.

Evaline yang menatap interaksi keduanya makin menggembungkan pipi kesal. Dia marasa kakaknya mengutamakan Adelia daripada menuruti maunya. Suara dari meja sebelah terdengar berisik, anak kecil merengek minta dibelikan es krim lagi.

"Mas Abian dengar Evaline nggak, sih? Kok malah mengajak bicara Mbak Adelia. Kak Caca bilang Mbak Adelia orang jahat kayak Mak lampir."

Abian langsung menoleh ke arah Evaline, dia tahu kalau Caca tidak setuju memiliki ipar seperti Adelia yang katanya sombong dan matre. Namun, tidak menyangka akan menjejali pikiran anak kecil untuk kepentingannya.

"Evaline!" Abian geleng-geleng.

Kali ini, mata jernih dengan manik kecokelatan milik Adelia sudah membulat mendengar dirinya dilabeli nenek lampir. Sebesar apa pun rasa tak sukanya, Adelia menahan diri tidak mengomeli Evaline di tempat umum agar tidak memancing perhatian. Lebih parah bisa memicu pertengkaran dengan tunangannya.

"Mas mau marah sama aku? Sekarang Mas Abian lebih sayang sama Mbak Adelia. Pokoknya Evaline mau ketemu kak Caca." Evaline makin mendesak, sudah seminggu Caca tidak pulang ke rumah. Sekalipun kalau di rumah sering berantem seperti Tom and Jerry. 

Tangan Adelia terulur meraih tas Dior-nya yang berada di kursi sebelah, siap-siap bangkit daripada emosinya semakin melambung tinggi. "Kayaknya Mas urusi dulu Evaline." Dia melirik sinis ke arah calon adik iparnya. "Kita bisa ketemu lain waktu, kalo Mas benar-benar mau jalan berdua."

"Kamu marah?"

Abian menatap perempuan di hadapannya lamat-lamat, menunggu jawaban. Adelia hanya menggeleng, lalu merapikan dress hitamnya. "Nggak marah, Mas. Tapi aku mau kasih Mas waktu bersama Evaline. Lain waktu baru sama aku."

"Aku minta maaf, Sweetie." Abian merasa bersalah sudah mengacaukan acara bertemunya. Dia juga memahami kalau Adelia tidak terlalu suka anak kecil. 

Bibir yang dipulas lipstik merah terang mengulum senyum. "It's okay, Mas. Kita masih banyak waktu untuk berduaan."

Abian hendak mengantar tunggangannya, tapi Adelia menolak dengan beralasan sopirnya sudah menjemput.

*** 

Caca sedang menyelesaikan tulisannya di ruang tengah. Satu toples keripik kentang ditaburi bumbu balado berada di meja, dan tangan Caca masih merogoh toples seraya menjejalkan keripik ke mulut. Dua kucing manis tertidur pulas di sampingnya. Begitu mendengar suara pintu terbuka, ia menoleh kaget mendapati kakaknya datang. "Mas kenapa nggak bilang-bilang mau ke sini?" 

Abian memang memiliki kartu akses apartemen Caca sebagai syarat wajib kalau mau diperbolehkan tinggal sendirian. Bagaimanapun Caca perempuan dan baru kali ini jauh dari keluarga. Sekalipun Abian paham, adiknya perempuan mandiri dan tidak manja.

"Memang harus bikin janji kalau mau menemui adik sendiri?" Abian mendecakkan lidahnya selagi menghampiri sang adik.

Evaline sudah bermain dengan Calico yang menyambut di ruang tamu sedang rebahan cantik di sofa minimalis. Dari keempat kucing Caca, Calico yang paling disukai Evaline. 

Si putih yang tadinya tiduran di dekat laptop terbangun lalu melompat dari meja, sedangkan kucing kampung berwarna orange masih terlelap di tempat seakan tidak peduli suara di sekitar.

Abian mengambil posisi duduk di sebelah sang adik yang sedang menutup laptop dan merapikan mejanya. Dia kangen sekali dengan adiknya yang sudah sebulan menempati apartemen minimalis minim perabot.

"Kak Caca?" Suara nyaring terdengar dari arah depan.

Keduanya kompak menoleh ke Evaline yang berderap mendekat sambil membopong Calico, sebelah tangannya mengelus-elus bulu lembutnya.

"Kamu maksa ke sini kangen sama Kak Caca apa sama Calico?" Abian yakin kalau Evaline setengah ikhlas merelakan Calico pindah rumah.

Caca sengaja memberi nama kucingnya sesuai warna bulu agar tidak salah memanggil. Kalau Caca sendiri hafal, anggota keluarganya yang suka lupa nama-nama kucingnya.

Evaline menyengir lebar. "Sama Kak Caca kangen, tapi lebih kangen sama Calico. Dia pasti kesepian nggak ada Evaline," ocehnya sambil meminta naik ke sofa di tengah-tengah Abian dan Caca. 

"Kebalik kali, kalau Calico sih ada tiga temannya. Kamu yang kesepian nggak ganggu tidurnya Calico," protes Caca hafal sekali adiknya suka mengganggu setiap Calico tidur. 

"Mereka sama-sama kucing jadi nggak bisa mengusap-usap bulunya gini," jawab Evaline, tangannya masih konsisten mengelus-elus bulu lembut kucing di pangkuannya. "Nanti aku bawa pulang."

Mendengar itu Caca melotot. "Nggak bisa, minta beli sendiri sama Mas Abian!"

Abian hanya tertawa melihat interaksi perempuan beda generasi itu. Keduanya mirip dari segi perilaku, sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Bedanya Evaline suka dress lucu dan dipastikan kelak dewasa lebih memerhatikan fashion daripada Caca yang cenderung cuek soal penampilan. 

Lihat saja sekarang Caca hanya mengenakan kaus oversize putih polos dipadu celana pendek, rambut panjangnya diikat asal dengan anak rambut mencuat ke mana-mana. 

"Mas Abian, besok boleh beli kucing?" Evaline menatap dengan mata selucu kelinci. Berharap akan meluluhkan sang kakak.

Abian langsung menolak halus, ada empat kucing saja sudah pusing. Tidak membayangkan ditambah lagi, kalau berkumpul benar-benar akan menjadi panti kucing. Mau tak mau, Abian akan terus berdekatan dengan kucing-kucing karena adiknya dan hewan itu tidak bisa dipisahkan.

"Kalo kangen bisa ke tempat Kak Caca. Mas nggak mau nanti Evaline ngeluh mengurusnya, Evaline cuma suka pas mengelus-elus doang." 

Bibir Evaline mengerucut, tapi dia juga membenarkan ucapan sang kakak. 

"Mama gimana di rumah, Mas?" Caca memang merindukan sang mama karena dirinya seminggu ini sibuk sekali mengejar deadline. Begitu juga mama tirinya yang seorang desainer dan memiliki butik cukup terkenal. 

Abian menghela napas. "Mama nggak baik tanpa kamu, kelihatan kehilangan banget, Ca. Apa kamu belum ada rencana tinggal di rumah lagi?"

Hubungan Caca dan mamanya sangat dekat. Bukan sekadar anak dan mama tiri, melainkan bisa jadi sahabat menceritakan apa saja kecuali perasaannya pada Abian.

"Mas, aku bisa pulang tiap Minggu. Lagian Mama juga bisa main ke sini, kita masih satu kota, lho." 

Abian mengembuskan napas panjang. "Oke, tapi kamu jangan lupa bentar lagi anniversary mama sama papa."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status