Share

Patah Hati Akut

Bagus mengamati Caca yang terus menatap lurus ke depan seakan-akan jiwanya sedang melalang buana. Aroma menggoda dari kue, segelas lemon tea, yang diambil Bagus dari kulkas tidak membuat Caca menoleh. Padahal Bagus meyakini belum ada secuil makan pun melewati kerongkongan serta mengisi perutnya di acara pertunangan tadi. 

"Caca, kamu makan atau minum dulu." Bagus menyentuh bahu Caca seraya menghadapkan ke arahnya. 

Sebaliknya, Caca mengabaikan niat baik Bagus. Sedikit heran kenapa temannya membawa pulang ke apartemen bukan cari tempat untuk meluapkan rasa sakitnya. Mau ke mana saja, bar sekalipun khusus hari ini Caca tidak menolak.

"Ini bukan Caca yang aku kenal." Ia menyapu rambut rapinya ke belakang sedikit frustrasi. "Please ...." Bagus menggenggam tangan Caca yang terasa dingin.

"Gus ...." Bibir dipulas lipstik nude bergetar dan mata bulatnya kembali berkaca-kaca. Perempuan itu masih mengenakan gaun peach sepanjang mata kaki. Model gaun tanpa lengan memamerkan kepolosan kulit Caca sehingga pikiran Bagus ke mana-mana. Buru-buru pria itu menggeser pandangan ke wajah sendu Caca, masih ada sisa air mata membahasi pipi, entah mengapa wajah Caca tetap cantik dalam segala ekspresi. 

Bagus akui, kecantikan Caca melejit berkali lipat.

Make up nuanasa lembut menghias wajahnya. Kelopak matanya ditaburi eyeshadow cokelat, dan bibir tipis dipulas lipstick nude. 

Sebenarnya tanpa bantuan make up, kecantikan alami Caca sudah memancar. Dan Bagus mendamba setiap lekukan sempurna wajah Caca.

"Kamu boleh menangis sepuasnya di sini, mau marah-marah, mau meluapkan sakit hati, apa pun asal membuatmu lega."-

Iris mata kecokelatan Bagus menyorot lembut. Dia menggenggam lebih erat tangan satu-satunya perempuan yang ingin dimilikinya. "Luapkan supaya kamu lega."

Ada jeda satu menit sebelum Caca memiringkan kepala menatap Bagus. Mencoba meyakinkan diri bisa percaya kalimat pria berwajah baby face di hadapannya.

"Kenapa kami harus kakak adik? Kenapa harus ada cinta kalau menyakitkan?" Caca mengerang sedih lalu dia menunduk untuk mengisi gelas dengan air putih. Jangan harap Bagus akan repot-repot mencarikan minuman sejenis wine agar beban Caca sedikit terangkat. 

Bagus menghela napas panjang, masih mengamati raut sedih di wajah cantik Caca. Bagus akui ia bukan laki-laki baik dan sering main-main dengan perempuan, tapi Caca masuk list pertama terlarang dilukai. 

Laki-laki itu ikut menuang air putih. Dia sengaja mengambil gelasnya dua, lalu menatap Caca. "Nggak ada yang salah, Ca. Kamu akan bahagia kalau mencintai orang yang tepat."

Rasa sakitnya sudah keterlaluan. Caca berandai-andai kalau saja Abian bukan kakak tirinya. Andai bertemu Abian setelah dewasa, mungkin ada kesempatan saling mencintai. Caca terluka menerima fakta kalau mimpinya terlampau tinggi.

Perempuan itu memiringkan kepala dan tertawa pahit. "Maksudnya kamu? Itu yang akan kamu katakan?"

Semua orang tahu Bagus sangat mendambakan Caca, bahkan orang buta bisa merasakan. 

Bagus tidak tahan lagi, dia meneguk habis isi gelasnya, dan menaruh ke meja. Pria itu membawa Caca ke pelukan. "Aku nggak berpikir begitu. Kamu boleh memilih siapa pun asal bahagia." Dia mengembuskan napas panjang. "Kalo pilihanmu jatuh ke aku, dengan senang hati." Dia mengedikkan bahu.

"Menyebalkan." Caca memukul-mukul dada bidang Bagus, lalu menangis sesenggukan di sana. "Kamu kenapa mau jadi tempat sampah aku? Bodoh banget, Gus."

Bagus tertawa pahit menatap nanar ke lantai . Jangankan menjadi tempat sampah Caca melampiaskan unek-uneknya. Mau dijadikan pelarian, bodyguard, apa pun Bagus lakukan.

"Apa aku datang di waktu salah?" tanya Malika diikuti satu perempuan di belakang. Keduanya menerobos masuk karena Bagus sengaja tidak merapatkan pintu.

Malika mengamati Bagus tengah menghibur Caca yang menangis di pelukan, tangannya sempat membelai helaian rambut Caca.

"Ca, kamu masih nangis?" tanya Chessy yang memiliki otak pas-pasan. Tentu sehari pun belum cukup untuk Caca menangisi pertunangan Abian. 

Chessy lupa bagaimana ia berhari-hari menangis dan mengancam akan mengobrak-abrik pernikahan Angga, pacar yang memutuskan secara sadis dan menikahi dosennya sendiri.

Bagus mengendurkan pelukan dan Caca menyusut air matanya. "Telat kalian."

Malika berdecak, dia melepaskan blazer cokelat muda dan menyampirkan asal ke bahu sofa, menyisakan kaus putih mencetak tubuhnya. Dia menatap Caca lekat-lekat. 

"Sudah aku peringatkan nggak usah datang, ujungnya gini, 'kan?"

Meskipun mulut Malika kadang bar-bar. Kehidupan asmaranya paling mulus daripada ketiga sahabatnya. Dia menikah dengan pria yang dicintai dan mencintainya. Mereka sudah pacaran lama sampai mantap memutuskan menikah muda usai Malika wisuda.

Bagus menggeleng memberi kode agar Malika tidak menyalahkan Caca yang sedang dilanda patah hati.

"Kita nggak diundang, sih. Coba kalo iya bisa menemani."

Malika gemas ingin menoyor kepala Chessy, buru-buru perempuan itu mundur beberapa langkah, melindungi kepala dari tangan sahabatnya. 

"Ya buat apa undang kamu?" Bagus melirik sinis. "Memang kita saudara Abian, itu yang tunangan Abian bukan Cacanya kita."

Chessy menggaruk tengkuk dan menyengir lebar. "Iya, ya, nggak ada kepentingan."

Malika memutar bola matanya malas. 

"Caca kamu dengar, coba ikuti saran aku tidak usah hadir." Perempuan itu mengulang kalimatnya.

Caca menegakkan posisi duduk, pelupuk matanya masih basah air mata dan kedua sahabatnya datang untuk mengomel sampai telinganya akan pengang. "Terus bikin Mama dan semua anggota keluarga curiga?"

"Kamu pikir dengan pulang duluan menghilang dari acara, mereka tidak curiga?" Malika menghadap ke Caca. Dia memang perlu diingatkan supaya kewarasannya kembali. "Ca, kita semua sayang sama kamu. Lihat kamu yang biasanya kuat nangis gini rasanya tuh gimana, beda lagi kalau Chessy sudah langganan nangis."

Merasa namanya disebut, Chessy langsung mengerucutkan bibir. "Ya menangis ada alasan, coba kalau Edgar yang ceraikan kamu."

"Amit-amit." Malika mengetuk-ngetuk kepala lalu ke meja. "Doanya baik-baik, dong."

Perceraian tidak pernah dibayangkan Malika akan menimpa rumah tangganya. Dia percaya Edgar, suaminya, tidak akan mengecewakan.

"Iya, aku ralat, deh." Chessy menatap kue cokelat di piring terabaikan, aromanya menggoda mengundang naga-naga di perut berdemo. Jadi tangannya terulur mencomot kue seraya menjejalkan ke mulut.

Ekor mata Bagus melirik terkesan tak rela. Dia mengambilkan untuk Caca, justru si rakus yang melahapnya tanpa ampun. Lihat saja belum lima menit sudah mengambil potongan kedua. 

"Kalian ke sini mau menghibur atau berisik aja?" tanya Caca dengan nada lemah, dia menatap kedua sahabatnya bergantian. 

"Kamu pikir kita mau ngapain? Numpang tidur di apartemen sempit sudah dikuasai empat kucing?" Malika menuding ke si Calico dan putih. "Ya menghibur, buktinya tangis kamu reda."

Caca mengembuskan napas panjang. 

Dua kucing peliharaan Caca yang tidak pernah dimasukkan kandang kecuali darurat ikut bergabung ke ruang depan. Sisanya pasti tidur cantik di dekat bar stool. Keempat kucingnya terdidik kalau mau pup selalu di tempat yang disediakan.

Chessy bergerak menjauh ancang-ancang si kucing akan ikut naik ke sofa. Dia tidak suka hewan berlalu yang membuat geli. Sejak awal berkunjung ke apartemen Caca sudah ingin menendang kucing-kucing yang hobi mondar-mandir di ruangan.

"Mending kita keluar, makan di luar. Laper juga nih dari kantor langsung ke sini." Malika mengusap perut yang masih datar. Belum ada tanda-tanda ada kehadiran janin. 

Bagus menyetujui ide Malika. Bukan dia yang lapar, tapi lebih memikirkan perut Caca belum terisi apa-apa.

"Ayo, khusus hari ini aku traktir." Bagus rela keluar uang banyak demi Caca. 

Malika yang gaji suaminya tidak tanggung-tanggung, berlipat-lipat dari gaji Bagus sebagai karyawan junior. Perempuan itu tidak menaruh kasihan, justru tertawa senang. "Nah begitu, dong. Kan makin semangat."

"Dasar."

"Mau dong, kalau ditraktir yang mahal, ya," tambah Chessy tidak tahu diri.

Chessy sendiri seorang model dan artis yang sepi job, namun kebutuhan masih ditanggung sang papa. Tentu jatah bulanan tidak bisa dibilang sedikit. 

Caca masih malas ke mana-mana, kecuali diajak ke tempat yang bisa berteriak atau meringankan rasa sakitnya. Lagi pula selera makannya lenyap ditelan bumi. "Kalian saja, aku tidak ingin makan."

"No, kamu harus makan, Beb. Patah hati juga perlu energi banyak," ujar Bagus langsung membuat Malika menatap jijik mendengar panggilannya.

Mata bulat Caca sempat-sempatnya melolot saat sedang sedih. 

Malika menarik paksa sahabatnya, menepuk-nepuk pipi Caca gemas. "Kamu harus makan biar bisa menghadapi Adelia. Kita masih ada waktu membuka mata kakak kamu kalau Adelia nggak banget dijadikan istri."

Bagus mengerutkan bibir. Dia senang Caca sedikit tersenyum mendengar saran Malika, tapi tidak dipungkiri ada rasa cemburu mendominasi.

"Ya sudah, aku ke apartemen sebelah dulu. Ponsel aku ketinggalan saking buru-buru menjemput Caca."

Sontak ketiga perempuan yang harus diakui sahabat menatap curiga. 

Bagus menggaruk tengkuk. "Jadi begini gadis-gadis, kecuali yang satu bukan gadis, aku sudah mengincar apartemen sebelah dan kebetulan kosong kemarin. Jadi sebelum ke hotel tempat tunangan Abian melihat keadaan Caca, aku sengaja pindahan dulu."

"Astaga." Malika geleng-geleng. 

Rumah Bagus masih satu kota dan tidak perlu menempuh perjalanan sehari semalam untuk berkunjung ke apartemen Caca. Demi dekat perempuan yang dicintainya Bagus sampai menyewa unit sebelah.

Widii

Duh Bagus bikin meleleh enggak, sih?

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status