Share

Bab 10 - Posterku dirobek?

Hal itu membuatku terdiam seketika. Lalu, mereka kembali melanjutkan perkelahian mereka tanpa mempedulikan perkataanku.

Carel kembali meninju wajah Edgar yang kebetulan sedang dipegangi oleh Daffa, hal itu dijadikan kesempatan oleh Carel untuk membalasnya.

Sudut bibir Edgar mengeluarkan darah, tepat setelah bogem mentah dari Carel mendarat. Aku syok melihatnya, tiba-tiba, kepalaku kembali pusing, dan perutku terasa mual.

Aku hampir oleng, namun dengan cepat aku memegang dinding yang ada di belakangku dan bersandar di sana. Apa benar ini namanya serangan panik?

“Carel, stop, Carel!” bentak Daffa pada adiknya itu. Namun sepertinya perintah Daffa sia-sia karena Carel terus memukuli Edgar.

Tak lama, Zayn yang baru pulang dari bekerja langsung berlari menghampiri mereka begitu melihat adik-adiknya sedang baku hantam. Ia memegangi tubuh Carel agar berhenti memukuli Edgar.

“Carel, berenti, Rel!” teriak Zayn yang tak dipedulikan olehnya.

Kulihat Papa dan Mama muncul dari tangga yang menghubungkan lantai satu. Papa langsung berlari menghampiri Carel dan menarik lengannya dengan kasar. Sedangkan Mama menghampiriku sambil memelukku khawatir.

Kulihat Papa mengangkat tangannya untuk melayangkan sebuah tamparan di pipi Carel. Aku tidak bisa menyaksikan ini, hatiku terluka melihat seorang Papa memukul darah dagingnya sendiri. Yang kutahu, seorang Papa harus bijaksana menghadapi anak-anaknya, bukan dengan cara kekerasan seperti ini. Ini sudah kesekian kalinya aku melihat Papa memukul Carel!

“Pa, jangan pukul Kak Carel, Hulya mohon, Pa!” mohonku.

Papa akhirnya mengurungkan niatnya memukul Carel. Dan memerintahkan anak-anaknya itu untuk pergi ke kamar masing-masing.

***

“Awh, sakit tau, pelan-pelan!” pekik si mesum ini ketika aku membersihkan luka di sudut bibirnya dengan kapas yang sudah kucelup dengan alkohol.

Kami sedang berada di kamarku sekarang.

“Makanya, jangan baku hantam mulu hobinya!” sahutku masih terus mengoleskan kapas ini di sudut bibirnya.

“Gue salut sama lo. Lo bisa berentiin amukan Papa sama si preman itu.”

“Gue nggak tega aja liat Carel selalu dipukulin Papa. Lagian, kenapa si lo kaya kucing sama anjing kalo ketemu dia?”

“Mau tau banget, apa mau tau aja? Kepo banget, sih, jadi orang!"

Kesal mendengar jawabannya, aku tekan-tekan kapas ini dengan kencang pada lukanya dengan sengaja, lalu menggosokkannya dengan kasar. Haha, rasakan itu!

“Awh, awh, sakit, sakit.” Edgar menggeliat-geliat kesakitan, hal itu malah membuatku tertawa geli.

“Tampang doang lo sangar, tapi hati hellokitty. Eh, bukan, Teddy bear. Haha,” ejekku karena tiba tiba teringat dengan piyama Teddy bear yang ia kenakan tempo hari.

Ia mendengus kesal, “Inget, ya, Peperangan kita belum berakhir.”

Aku menghentikan kegiatanku sejenak dan menatapnya nanar. “Siapa juga yang mau damai sama lo. Gue ngelakuin ini karena kasian aja sama lo. Nggak ada yang mau ngobatin lo, Daffa lebih milih ngobatin Carel, sedangkan lo nggak mau diobatin Mama!”

“Mama lo tepatnya, bukan Mama gue!” ralatnya dengan kesal.

Ia hendak bangun dari duduknya namun kutahan dan langsung kutarik tubuhnya untuk duduk kembali di atas ranjangku.

Kuambil obat merah dengan menggunakan kapas dan kuoleskan ke sudut bibirnya yang robek dengan kasar hingga membuatnya merintih kesakitan.

“Awh! Gue bilang pelan-pelan!”

“Teruslah merintih, rintihan lo itu bagai nyanyian buat gue," sahutku dengan tertawa jahat.

“Ck! Dasar, psycho!” decaknya.

Setelah selesai, Edgar berkeliling kamarku, ia melihat-lihat benda-benda yang ada di kamarku. Tubuhnya berhenti tepat di depan jejeran poster dari boygrup kesayanganku.

“Ini grup apa namanya?” tanyanya sambil memperhatikan member dari boygrup itu satu persatu.

“Ya ampun, lo nggak tau BTS? Boygrup Korea yang lagi viral itu?” sahutku sambil memperhatikan gerak-geriknya yang mencurigakan. Ia tampak sedang merencanakan sesuatu yang jahat.

“Oh, begitu,” jawabnya santai.

Karena curiga, aku berjalan menghampirinya dan ikut berdiri disebelahnya sambil mengikuti arah pandangnya yang terlihat serius. Namun, aku melihat raut kegelisahan di wajahnya kala aku mendekat. Dia merencanakan apa, sih?

“Kenapa lo ngeliatinnya sampe segitunya?” Kuperhatikan gerak-geriknya baik-baik, takut ia memang merencanakan sesuatu.

“Engga, kok. Dia mirip banget sama gue, ya?” Ia menunjuk salah satu member lalu mengelus-elus posterku dengan tangannya.

Aku tercengang mendengar ucapannya, apa? Dia merasa mirip dengan Taehyungku?

“Lo ngerasa mirip Taehyung? Amit-amit, bagai bumi dan langit, tau nggak?!” sahutku tak terima dan mulai lengah karena tersulut emosi.

Ia menatap tajam ke arahku, dan tangannya tiba-tiba memegang bagian bawah posterku yang tidak di lakban, karena aku hanya melakban di sudut-sudutnya saja. Dan dengan cepat dia ...

Sret!

“Ups! Sorry, nggak sengaja!” Ia mengatakan itu sambil berlari dengan cepat, lalu keluar dari kamarku.

Aku terdiam mematung, jantungku memacu kala melihat posterku yang sudah robek hampir jadi dua bagian itu. Karena terlalu syok, sampai-sampai aku tak bisa mengejarnya. Kejadiannya begitu cepat, aku sama sekali tak mengira bahwa ia akan merobek posterku dengan mudahnya.

“Kyaaa!!! Edgar Mahendraaa!!!”

***

Pagi telah tiba, aku sedang membantu Mbok Minah menyiapkan sarapan. Sebenarnya Mbok Minah sudah melarangku, namun aku tak terbiasa hanya duduk diam di rumah ini tanpa melakukan kegiatan rumah. Lagi pula, memasak adalah hobiku!

Aku sedang menaruh makanan itu di meja makan. Tiba-tiba Zayn datang dan langsung duduk di salah satu kursi. Ia langsung mengambil seporsi nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi, lalu melahapnya, ia terdiam beberapa saat ketika makanan itu masuk ke mulutnya.

“Enak banget, ini Mbok bukan yang bikin?” tanyanya pada Mbok Minah yang sedang menaruh segelas susu di dekatnya.

“Non Hulya yang bikin, Den!” sahut Mbok Minah.

Zayn menatap datar ke arahku, aku hanya bisa tersipu malu mendapat tatapan darinya. Lalu aku ikut bergabung bersama Zayn untuk sarapan dan duduk di depannya.

“Kak Zayn kerja di mana?” tanyaku mencoba untuk memulai percakapan dengannya.

“Apa urusannya sama lo? Lo mau ambil perusahaan Papa juga?” jawabnya ketus.

Mendengar jawaban dari Zayn membuatku terdiam seketika. Aku hanya bisa menunduk sambil mengaduk-aduk makanan dihadapanku. Apakah Zayn juga begitu membenciku layaknya Edgar membenciku?

Zayn dengan cepat menghabiskan makanannya dan meminum susunya. Ia sama sekali tak menghiraukanku, ia sepertinya tak menganggapku ada di sini.

Selesai makan, ia bergegas pergi dengan tas laptopnya menuju halaman di mana mobilnya terparkir. Sedangkan, aku hanya bisa menatap sedih kepergiannya. Lalu, tak lama, Mama dan Papa datang untuk sarapan.

Setelah membantu Mbok Minah membereskan meja makan, aku berniat untuk duduk santai di halaman belakang. Sepertinya menyenangkan kalau duduk-duduk di pinggir kolam renang. Apalagi hari masih cukup pagi, udara juga masih dingin dan menyegarkan.

Untuk dapat ke halaman belakang, aku harus melewati kamar Mama dan Papa. Pintunya tidak tertutup saat aku lewat. Hingga tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan mereka.

“Mas punya rencana apa untuk membuat mereka akur?” suara Mama terdengar. Sontak aku langsung menghentikan langkahku dan berdiam di balik tembok, penasaran dengan apa maksud ucapan Mama barusan.

Lalu, kudengar Papa menyahut. "Papa ingin mengirim mereka liburan bersama di kapal pesiar.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status