Aku mengerjapkan mata, nuansa putih menyambut indera penglihatanku dan aroma obat yang menusuk hidung membuatku sedikit mual.
Kulihat sekelilingku, terdapat beberapa tempat tidur kosong tepat di samping kiri dan kananku. Tiba-tiba pandanganku terhenti, ketika kudapati sosok yang kubenci selama ini, ia duduk tepat disebelah tempat aku berbaring.
“G-gue di mana?" gumamku.
Aku melihat jarum infus lengkap dengan selangnya terpasang di punggung tanganku.
“Lo nggak apa-apa, kan?” tanya si mesum ini sambil menatapku khawatir, ia bangkit dari kursinya untuk membantuku duduk bersandar.
“Apanya yang nggak kenapa-napa! Pala gue sakit banget, nih!” keluhku.
Kusentuh keningku yang tadi memar, sebuah perban sudah menempel di sana. Dan memar itu masih terasa berdenyut nyeri. Rasanya ngilu.
“Ya, mana gue tau kalo lo punya anemia parah. Terus kata dokter, lo juga kena serangan panik ringan!” sahut Edgar sambil kembali duduk di kursinya.
Aku terdiam mendengar perkataannya, serangan panik? Setahuku aku tidak pernah terkena serangan panik!
Hanya saja, aku selalu merasa mual, keringat dingin, jantung berdebar dan sesak nafas, ketika sedang gelisah atau dalam tekanan yang berat. Seperti pada saat aku mendengar kematian Papa. Apakah itu yang namanya serangan panik?
“Lo bawa mobilnya udah kayak orang kesetanan. Gue belom mau mati, tau!” ketusku.
“Iya gue minta maaf, ya. Gue nggak tau kalo lo bakal begini gara-gara hal itu.”
Aku terkejut begitu mendengarnya meminta maaf. Tunggu dulu, telingaku ini masih berfungsi dengan baik, kan?
“A-apa lo bilang, coba ulang gue nggak denger?” pintaku memastikan.
“Maaf.”
“Apa? Apa?”
“Gue bilang Maaf. Gara-gara gue, lo jadi begini, gue sama sekali nggak tau bakal begini kejadiannya. Dan gue menyesal sedalam-dalamnya. Puas, lo?!” cerocosnya.
Aku tertawa geli mendengarnya. Ternyata si mesum ini bisa minta maaf dengan cara yang benar juga.
“Lo hanya minta maaf karena ini? Buat yang bulan lalu nggak?”
Edgar mengangkat sebelah alisnya, “Soal first kiss lo?”
Aku mengangguk.
“Nggak akan! Itu sebuah kecelakaan, bukan salah gue!” sambungnya. Aku melotot kearahnya.
“Lo dibaikin malah ngelunjak, ya! Dah, lah! Gue mau pulang aja.” Edgar melengos meninggalkan ruanganku.
Aku hanya berkata seperti itu, dan dia langsung emosi padaku? Ckck! Temperamen sekali anak ini!
Aku berniat menyusulnya, kuraih botol infusku yang tergantung pada tiang besi disebelah ranjangku. Namun, ketika aku mengintip melalui kaca yang ada di pintu, Ternyata ia tidak benar-benar meninggalkanku. Ia duduk di kursi yang ada di depan ruanganku. Aku bernapas lega melihatnya, ia sedang duduk termenung sambil menunduk. Apa yang sedang ia pikirkan?
Tak berapa lama, aku melihat Mama dan Papa datang menyusulku di rumah sakit. Aku sempat mendengar suara Edgar, Mama dan Papa yang membicarakan aku di luar ruanganku. Mama terdengar panik.
Lalu, tak lama Mama dan Papa masuk ke ruanganku. Dengan cepat aku kembali ke tempat tidur. Tapi si mesum itu tak ikut masuk. Ke mana dia?
“Nak, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Mama khawatir sambil memeluk kepalaku.
“Iya, Ma. Aku nggak apa-apa," sahutku.
“Kamu berhenti kerja aja ya, Hulya?” Ucapan Papa sukses membuatku menolehkan kepala ke arahnya. Mataku membulat kala mendengar perkataan Papa.
“Nggak bisa, Pa. Hulya udah terikat kontrak di sana.”
“Kamu nggak usah mikirin hal itu. Biar Papa yang urus semuanya. Lagi pula, kata Mama, kamu mau kuliah, kan?”
“Kuliah?” gumamku yang didengar oleh Papa.
“Iya, kamu akan berkuliah di kampus yang sama dengan Edgar. Gimana? Kamu setuju?” sahut Papa.
Mataku berbinar-binar seketika, kuliah? Dulu, aku sangat mendambakan memasuki bangku kuliah, membayangkan betapa kerennya aku ketika mengenakan jas almamater kampusku. Namun, harus kusingkirkan impianku itu. Karena, aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupku dan Mama.
Kutatap Papa dengan mata berbinar. Ia tertawa melihat tatapanku yang mungkin baginya sungguh lucu. Tak lama lagi, impianku akan terwujud. Ah, aku bahagia sekali hari ini!
“I-iya, Pa. Hulya mau!”
***
Hari sudah malam, Aku sudah ada di rumah sekarang. Papa bilang, aku harus istirahat di kamar dan jangan ke mana-mana dahulu. Aku hanya bisa terbaring lemah di atas ranjangku. Kepalaku masih terasa berputar.
Semua barang-barang Daffa sudah berganti dengan barang-barangku. Aku menatap poster-poster yang tertempel di dinding. Poster dari idola kesayanganku yang berasal dari Korea Selatan. Mereka semua seakan sedang menatapku yang tengah terbaring tak berdaya.
Lalu, tak berapa lama terdengar ketukan pintu. Dan selanjutnya kulihat Daffa memasuki kamarku dan duduk tepat di sebelahku.
“Baru sekali dianter Edgar, lo langsung masuk rumah sakit. Apalagi kalo tiap hari. Haha,” ejeknya. Aku hanya tersenyum mendengarnya namun aku sedang malas menanggapinya.
“Udah, deh, jangan ngeledekin terus. Gue masih pusing nih, Kak,” sahutku dengan suara lemah.
“Iya, sorry-sorry.”
“Pacar lo gimana keadaannya, Kak?” tanyaku yang tiba-tiba teringat tentang kecelakaan yang menimpa kekasih Daffa tadi siang.
“Dia baik-baik aja, kok. Cuma jatuh dari motor,” sahutnya sambil tertawa yang diikuti tawa dariku.
Aku sempat melihat bayangan Edgar mengintip dari balik pintu kamarku yang tidak tertutup. Namun ketika ia melihat aku yang menyadari gerak-geriknya, ia langsung menghilang. Ada apa, sih, dengan anak itu?
“Kalo jalan liat-liat, dong!”
Teriakan Carel dari luar kamarku membuat aku dan Daffa langsung beranjak dari kamar dan menghampiri sumber suara.
Kulihat Edgar dan Carel sedang bersitegang tepat di depan kamarku. Edgar menoleh ke arahku yang memperhatikannya, lalu sedetik kemudian ia membuang muka dari pandanganku. Dan berjalan melalui Carel yang masih menatapnya tajam.
“Mau kemana, lo? Gue belom selesai," tahan Carel sambil mencengkram lengan Edgar dengan kuat.
“Gue nggak mau ribut di sini. Hulya lagi sakit.” Suara Edgar terdengar sangat datar. Dan ini pertama kalinya aku mendengarnya menyebut namaku.
“Kalo salah tuh minta maaf! Lo harus bisa mengakui kesalahan lo! Kematian Mama juga itu salah lo! Lo harusnya bertekut lutut di depan gue!" teriak Carel begitu emosi.
Edgar berbalik, dan langsung menghajar wajah Carel dengan membabi buta.
Bug!
Bug!
Bug!
Daffa dengan sigap memegangi tubuh Edgar yang begitu bernafsu menghajar kakak kandungnya sendiri.
“Edgar, berenti. Jangan kepancing emosi!” teriak Daffa mencoba menenangkan mereka.
“Sialan!” pekik Carel. Carel tidak terima dipukuli oleh Edgar. Ia lalu mengepalkan tangannya dan bersiap membalas Edgar.
Bug!
Sebuah bogem mentah tepat mendarat di wajah Edgar, kulihat, sudut bibir Edgar terluka dan mengeluarkan darah. Begitu pula dengan Carel.
Aku tak tahan melihat perkelahian antara saudara ini! Baru saja, Carel akan meninju Edgar lagi, teriakanku membuatnya menghentikan aksinya.
"BERHENTI!"
Serentak mereka bertiga menoleh ke arahku. Tidak, Edgar dan Carel menatapku dengan sangat marah! Aku takut!
Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah seharian penuh beraktivitas di kampus, aku kembali ke kamar dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Lampu kamar kubiarkan redup, hanya cahaya dari layar laptop dan ponsel yang menerangi ruangan.Namun sepi ini justru menggemakan suara dalam kepalaku sendiri—dan nama itu, terus mengalir dalam pikiranku.Hulya.Nama yang selalu membuat dadaku sesak. Saudara tiriku. Orang yang seharusnya kuanggap sebagai keluarga... tapi hatiku menolak menyebutnya begitu. Dia selalu ada di sampingku, dan seiring waktu, kehadirannya menjelma jadi lebih dari sekadar "adik".Aku menatap layar ponsel. Jempolku ragu-ragu mengetuk nama yang sudah tersimpan lama di daftar kontak: Hulya.Jam di layar menunjukkan pukul 10 malam di sini. Di Jakarta berarti sekitar pukul 7 malam. Tidak terlalu malam... tapi apakah dia sedang sibuk?Aku mendesah pelan, lalu akhirnya memberanikan diri menekan tombo
Sepanjang perjalanan menuju fakultas kedokteran, Alexa tak berhenti mengajakku ngobrol. Topiknya ringan, tapi cukup membuatku sedikit canggung. Aku masih belum terbiasa diperlakukan seakrab itu oleh perempuan yang baru saja kutemui.“Kalau kamu ambil jurusan kedokteran, berarti kamu pintar, dong?” godanya lagi sambil melirikku dengan senyum menggoda.Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Enggak juga, cuma... memang dari dulu udah tertarik sama dunia medis.”“Terus cita-citanya jadi dokter?” tanyanya lagi.Aku mengangguk. “Iya, pengen jadi dokter anak.”Alexa menoleh dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Aww... sweet banget! Kamu pasti suka anak-anak, ya?”Aku tersenyum. “Lumayan. Mereka jujur. Dan polos.”Alexa hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikanku lekat-lekat. Tatapannya membuatku sedikit gelisah. Aku sudah lama tak berada dalam percakapan hangat seperti ini dengan perempuan selain Hulya.Akhirnya kami sampai di depan gedung fakultas kedokteran.“Ini dia, kampus k
Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi. Sontak aku langsung membalikkan tubuh, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi itu, hingga akhirnya kudengar suara seorang perempuan dari arah kamar mandi. "How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!" hardiknya galak. Perlahan, aku membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang sedang memarahiku. Saat pandangan kami bertemu, aku terkejut. Seorang wanita seusiaku berdiri di hadapanku, hanya mengenakan piyama mandi. Rambutnya yang blonde masih basah meneteskan air. "Lo siapa?" tanyaku heran. "Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa?" sahutnya dengan logat kebarat-baratan. "Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl, anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?" tanyaku, terkejut bukan main. Dia melotot. "Iya, gue Sheryl! Kenapa?" Aku terkekeh. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga, dia sudah sebesar ini sekarang. Dulu kami sering main bareng waktu kec
Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m
POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk
“Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu