Share

Bab 9 - Serangan Panik

Aku mengerjapkan mata, nuansa putih menyambut indera penglihatanku dan aroma obat yang menusuk hidung membuatku sedikit mual.

Kulihat sekelilingku, terdapat beberapa tempat tidur kosong tepat di samping kiri dan kananku. Tiba-tiba pandanganku terhenti, ketika kudapati sosok yang kubenci selama ini, ia duduk tepat disebelah tempat aku berbaring.

“G-gue di mana?" gumamku.

Aku melihat jarum infus lengkap dengan selangnya terpasang di punggung tanganku.

“Lo nggak apa-apa, kan?” tanya si mesum ini sambil menatapku khawatir, ia bangkit dari kursinya untuk membantuku duduk bersandar.

“Apanya yang nggak kenapa-napa! Pala gue sakit banget, nih!” keluhku.

Kusentuh keningku yang tadi memar, sebuah perban sudah menempel di sana. Dan memar itu masih terasa berdenyut nyeri. Rasanya ngilu.

“Ya, mana gue tau kalo lo punya anemia parah. Terus kata dokter, lo juga kena serangan panik ringan!” sahut Edgar sambil kembali duduk di kursinya.

Aku terdiam mendengar perkataannya, serangan panik? Setahuku aku tidak pernah terkena serangan panik!

Hanya saja, aku selalu merasa mual, keringat dingin, jantung berdebar dan sesak nafas, ketika sedang gelisah atau dalam tekanan yang berat. Seperti pada saat aku mendengar kematian Papa. Apakah itu yang namanya serangan panik?

“Lo bawa mobilnya udah kayak orang kesetanan. Gue belom mau mati, tau!” ketusku.

“Iya gue minta maaf, ya. Gue nggak tau kalo lo bakal begini gara-gara hal itu.”

Aku terkejut begitu mendengarnya meminta maaf. Tunggu dulu, telingaku ini masih berfungsi dengan baik, kan?

“A-apa lo bilang, coba ulang gue nggak denger?” pintaku memastikan.

“Maaf.”

“Apa? Apa?”

“Gue bilang Maaf. Gara-gara gue, lo jadi begini, gue sama sekali nggak tau bakal begini kejadiannya. Dan gue menyesal sedalam-dalamnya. Puas, lo?!” cerocosnya.

Aku tertawa geli mendengarnya. Ternyata si mesum ini bisa minta maaf dengan cara yang benar juga.

“Lo hanya minta maaf karena ini? Buat yang bulan lalu nggak?”

Edgar mengangkat sebelah alisnya, “Soal first kiss lo?”

Aku mengangguk.

“Nggak akan! Itu sebuah kecelakaan, bukan salah gue!” sambungnya. Aku melotot kearahnya.

“Lo dibaikin malah ngelunjak, ya! Dah, lah! Gue mau pulang aja.” Edgar melengos meninggalkan ruanganku.

Aku hanya berkata seperti itu, dan dia langsung emosi padaku? Ckck! Temperamen sekali anak ini!

Aku berniat menyusulnya, kuraih botol infusku yang tergantung pada tiang besi disebelah ranjangku. Namun, ketika aku mengintip melalui kaca yang ada di pintu, Ternyata ia tidak benar-benar meninggalkanku. Ia duduk di kursi yang ada di depan ruanganku. Aku bernapas lega melihatnya, ia sedang duduk termenung sambil menunduk. Apa yang sedang ia pikirkan?

Tak berapa lama, aku melihat Mama dan Papa datang menyusulku di rumah sakit. Aku sempat mendengar suara Edgar, Mama dan Papa yang membicarakan aku di luar ruanganku. Mama terdengar panik.

Lalu, tak lama Mama dan Papa masuk ke ruanganku. Dengan cepat aku kembali ke tempat tidur. Tapi si mesum itu tak ikut masuk. Ke mana dia?

“Nak, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Mama khawatir sambil memeluk kepalaku.

“Iya, Ma. Aku nggak apa-apa," sahutku.

“Kamu berhenti kerja aja ya, Hulya?” Ucapan Papa sukses membuatku menolehkan kepala ke arahnya. Mataku membulat kala mendengar perkataan Papa.

“Nggak bisa, Pa. Hulya udah terikat kontrak di sana.”

“Kamu nggak usah mikirin hal itu. Biar Papa yang urus semuanya. Lagi pula, kata Mama, kamu mau kuliah, kan?”

“Kuliah?” gumamku yang didengar oleh Papa.

“Iya, kamu akan berkuliah di kampus yang sama dengan Edgar. Gimana? Kamu setuju?” sahut Papa.

Mataku berbinar-binar seketika, kuliah? Dulu, aku sangat mendambakan memasuki bangku kuliah, membayangkan betapa kerennya aku ketika mengenakan jas almamater kampusku. Namun, harus kusingkirkan impianku itu. Karena, aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupku dan Mama.

Kutatap Papa dengan mata berbinar. Ia tertawa melihat tatapanku yang mungkin baginya sungguh lucu. Tak lama lagi, impianku akan terwujud. Ah, aku bahagia sekali hari ini!

“I-iya, Pa. Hulya mau!”

***

Hari sudah malam, Aku sudah ada di rumah sekarang. Papa bilang, aku harus istirahat di kamar dan jangan ke mana-mana dahulu. Aku hanya bisa terbaring lemah di atas ranjangku. Kepalaku masih terasa berputar.

Semua barang-barang Daffa sudah berganti dengan barang-barangku. Aku menatap poster-poster yang tertempel di dinding. Poster dari idola kesayanganku yang berasal dari Korea Selatan. Mereka semua seakan sedang menatapku yang tengah terbaring tak berdaya.

Lalu, tak berapa lama terdengar ketukan pintu. Dan selanjutnya kulihat Daffa memasuki kamarku dan duduk tepat di sebelahku.

“Baru sekali dianter Edgar, lo langsung masuk rumah sakit. Apalagi kalo tiap hari. Haha,” ejeknya. Aku hanya tersenyum mendengarnya namun aku sedang malas menanggapinya.

“Udah, deh, jangan ngeledekin terus. Gue masih pusing nih, Kak,” sahutku dengan suara lemah.

“Iya, sorry-sorry.”

“Pacar lo gimana keadaannya, Kak?” tanyaku yang tiba-tiba teringat tentang kecelakaan yang menimpa kekasih Daffa tadi siang.

“Dia baik-baik aja, kok. Cuma jatuh dari motor,” sahutnya sambil tertawa yang diikuti tawa dariku.

Aku sempat melihat bayangan Edgar mengintip dari balik pintu kamarku yang tidak tertutup. Namun ketika ia melihat aku yang menyadari gerak-geriknya, ia langsung menghilang. Ada apa, sih, dengan anak itu?

“Kalo jalan liat-liat, dong!”

Teriakan Carel dari luar kamarku membuat aku dan Daffa langsung beranjak dari kamar dan menghampiri sumber suara.

Kulihat Edgar dan Carel sedang bersitegang tepat di depan kamarku. Edgar menoleh ke arahku yang memperhatikannya, lalu sedetik kemudian ia membuang muka dari pandanganku. Dan berjalan melalui Carel yang masih menatapnya tajam.

“Mau kemana, lo? Gue belom selesai," tahan Carel sambil mencengkram lengan Edgar dengan kuat.

“Gue nggak mau ribut di sini. Hulya lagi sakit.” Suara Edgar terdengar sangat datar. Dan ini pertama kalinya aku mendengarnya menyebut namaku.

“Kalo salah tuh minta maaf! Lo harus bisa mengakui kesalahan lo! Kematian Mama juga itu salah lo! Lo harusnya bertekut lutut di depan gue!" teriak Carel begitu emosi.

Edgar berbalik, dan langsung menghajar wajah Carel dengan membabi buta.

Bug!

Bug!

Bug!

Daffa dengan sigap memegangi tubuh Edgar yang begitu bernafsu menghajar kakak kandungnya sendiri.

“Edgar, berenti. Jangan kepancing emosi!” teriak Daffa mencoba menenangkan mereka.

“Sialan!” pekik Carel. Carel tidak terima dipukuli oleh Edgar. Ia lalu mengepalkan tangannya dan bersiap membalas Edgar.

Bug!

Sebuah bogem mentah tepat mendarat di wajah Edgar, kulihat, sudut bibir Edgar terluka dan mengeluarkan darah. Begitu pula dengan Carel.

Aku tak tahan melihat perkelahian antara saudara ini! Baru saja, Carel akan meninju Edgar lagi, teriakanku membuatnya menghentikan aksinya.

"BERHENTI!"

Serentak mereka bertiga menoleh ke arahku. Tidak, Edgar dan Carel menatapku dengan sangat marah! Aku takut!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Snurhayati
Ahhhh ternyata temenku pinter nulis juga yaaaa… Sumpah ini seru sih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status