Beranda / Romansa / Live With 4 Stepbrothers / Bab 8 - Hilang kesadaran

Share

Bab 8 - Hilang kesadaran

Penulis: Fantazia
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-29 22:41:43

Aku tercengang mendengar ajakan Daffa. Kenapa tiba-tiba ia mengajakku jalan? Apa ia memiliki maksud lain? Ah, aku tidak akan pernah tahu jika tak menanyakannya langsung!

“Eh, jalan? Kemana kak?” Aku mengernyitkan kening menatapnya. Ia yang kini berdiri dihadapanku, balas menatapku serius.

“Ke cafe sekitaran sini aja. Gue mau bawa lo keliling, biar hapal daerah sini,” ajaknya.

Aku mendesah lega mendengar jawaban darinya. Ternyata itu tujuannya, ah, Daffa memang pria yang baik. Beruntunglah yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti.

Sebenarnya aku ingin sekali menerima ajakan Daffa. Tapi aku ingat, nanti siang aku harus bekerja. Karena tidak mungkin aku harus ijin dari pekerjaanku hanya untuk pergi bersama Daffa. Bisa-bisa kepala tokoku marah-marah selama tujuh hari tujuh malam.

“Aduh, kak. Maaf, gue nanti siang kerja,” tolakku secara halus agar tak menyinggung perasaannya.

Ia mengangkat sebelah alisnya, “Kerja? Lo kerja di mana?”

“Di jalan Sudirman, kak.”

Daffa nampak berpikir, “Jalan Sudirman bukannya jauh dari sini, ya?”

“Iya kak. Nanti gue naik motor aja.”

“Nggak usah, nanti gue anterin aja, ya!”

“Tapi, kak ...”

“Lo nggak boleh nolak pokoknya!” paksanya.

Dipaksa seperti itu membuatku tak bisa berkutik lagi. Dan mau tak mau akhirnya aku mengalah.

“Yaudah deh, kak!”

Kutinggalkan Daffa di kamarnya, karena barang-barang Daffa masih cukup banyak di atas. Setidaknya aku harus membantunya karena sudah mau memberikan kamarnya untukku. Tidak seperti si mesum keras kepala itu!

Saat aku menaiki tangga, aku melihat Edgar dibalik vas bunga berukuran besar yang berada tepat di depan kamar Daffa. Aku mengernyitkan kening, bingung. Posisinya persis seperti orang sedang bersembunyi.

Oh, mungkinkah ia menguping pembicaraanku dengan Daffa barusan?

Aku menghentikan langkahku menaiki anak tangga, kemudian berbalik menatap Edgar yang tengah kelimpungan karena aku menoleh ke arahnya.

“Ngapain lo di situ? Mending bantuin gue sini!” teriakku. Namun, ia tak menggubris dan malah berjalan ke halaman belakang. Aku hanya bisa mendengus kesal melihat kelakuannya. Sabar Hulya, sabar!

Akhirnya kembali kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga. Tak berapa lama, Daffa datang menyusulku, dan kami pun melanjutkan pekerjaan itu hingga selesai. Sebenarnya, bisa saja Daffa menyuruh Mbok Minah atau Pak Udin. Tapi, Daffa bilang, pekerjaan mereka sudah banyak. Dan ia tak ingin menambah beban mereka, kasihan, sudah tua.

Usai memindahkan barang-barang Daffa, aku membereskan barangku sendiri. Kutempel dinding dengan poster-poster dari idol kesukaanku, dan kutata koleksi albumku di sebuah lemari kaca yang kebetulan ada di kamar ini. Ah, ini baru kamarku yang sesungguhnya!

***

Pukul dua siang, aku sudah siap untuk berangkat bekerja. Dan, saat ini aku sedang menunggu Daffa di ruang tamu lantai bawah. Daffa menghampiriku dengan terburu-buru, aku langsung berdiri melihat kedatangannya.

“Hulya, sorry. Gue nggak bisa nganter lo!” serunya, sambil menempelkan ponselnya di telinganya.

Aku menatapnya penasaran, sebenarnya ada apa, sih?

“Kenapa, kak? Kok kayaknya lo panik banget!”

Tubuhnya bergetar hebat, aku semakin bingung dibuatnya.

“Salma! Salma kecelakaan!” serunya panik, sambil terus menelepon seseorang.

Mendengar jawaban Daffa membuatku terdiam sesaat. Karena aku baru pertama kali mendengar nama itu meluncur dari mulutnya. Salma? Siapa Salma?

“Salma, cewek gue yang di Bogor, Hul!” lanjut Daffa seakan tahu apa yang ada dipikiranku.

“Astaga! Terus gimana keadaannya, kak? Cepet susulin!” sahutku yang juga ikut panik.

Sorry banget ya, gue nggak bisa nganterin lo!” Daffa tampak merasa bersalah padaku, aku hanya mengangguk sambil menepuk-nepuk pundaknya.

“Nggak apa-apa, Kak! Yang penting lo ke rumah sakit dulu!”

Tiba-tiba, kami melihat Edgar berjalan ke arah pintu keluar dan melewati kami. Sontak Daffa langsung menahan tangan Edgar hingga membuat si mesum itu menoleh ke arahnya dengan penuh tanda tanya.

“Gar! Lo anter Hulya kerja dulu, gih!” perintahnya.

Edgar menatap sekilas ke arahku, “Ogah!”

Please, Gar! Gue nggak bisa anter dia, kasian dia dari sini ke jalan Sudirman kan jauh banget.” Daffa terlihat memelas pada adiknya itu.

“Nggak usah, kak! Gue bisa naik ojek online dari sini,” sahutku. Jujur saja, aku merasa tak enak hati melihat Daffa sampai memohon seperti itu pada adiknya hanya demi aku.

“Pesan ojek online di sini lumayan lama dapetnya, Hul. Udah lo dianter Edgar aja. Gar, tolong anterin ya. Nanti gue beliin lo game konsol yang lo pengen banget itu, deh!”

Edgar terlihat tertarik dengan penawaran yang diberikan Daffa, ia menatap sang Kakak dengan antusias. “Beneran lo, ya?!”

Daffa mengangguk, “Tenang!”

Akhirnya Edgar setuju untuk mengantarku. Pria berkulit putih itu langsung berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah. Aku membuntutinya dari belakang bersama Daffa karena mobil Daffa berada tepat di samping mobil Edgar. Sebelum masuk ke mobil, Daffa sempat berbisik padaku.

“Nggak usah takut, dia nggak gigit kok!”

Hal itu membuatku terkekeh geli mendengarnya.

Tepat setelah aku duduk di sebelah si mesum ini. Ia langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Hingga membuat tubuhku sedikit terdorong ke belakang. Aku hanya bisa berdoa dalam hati sambil berpegangan pada sabuk pengamanku. Aku benar-benar takut sekarang! Orang ini pasti sengaja melakukannya! Ia ingin membunuhku!

Mobil yang dikendarai Edgar semakin kencang. Syukurlah jalanan di daerah sini cukup sepi. Namun, karena ketakutan berlebih itu, tiba tiba aku merasa kepalaku pusing, nafasku tercekat, perutku mual, dan kurasakan keringat dingin mengalir dari pelipisku.

“Heh! Stooop!” teriakku karena merasa jantungku akan melompat keluar dari tempatnya akibat ulah si mesum ini.

CKIIIIT!

JEDUG!

“Awh!” rintihku.

Karena Edgar mengerem mobilnya dengan mendadak. Hal itu mengakibatkan tubuhku yang tadinya terdorong kebelakang langsung terpelanting ke depan. Dan keningku membentur dashboard mobil dengan cukup keras. Jujur, ini terasa sangat sakit!

“Lo mau bunuh gue, ya?!” teriakku. Kupandangi keningku pada spion tengah, ada bekas kebiruan di sana, akibat dari benturan itu.

“Tadi lo bilang berenti, ya gue berenti beneran, lah,” sahutnya tanpa merasa bersalah.

Ayolah, Edgar. Yang kubutuhkan hanyalah kata maaf darimu, bukan pembelaanmu!

“Ya, engga usah mendadak gitu. Jidat gue nih memar gara-gara lo!” tukasku kesal.

“Ya suruh siapa punya badan kurus sampe-sampe nggak ketahan sama sabuk pengaman,” cibirnya sambil melajukan mobilnya kembali.

"Ya lo-nya aja yang bawa mobilnya kayak orang kesetanan! Pelan-pelan aja lo, kalo nggak, gue laporin Papa!" peringatku. Ia tak menggubris.

Selama dalam perjalanan ini, kami tak berkata sepatah kata pun. Selain aku malas untuk berdebat lagi dengannya, aku juga merasa kepalaku sangat sakit dan pusing. Dan aku juga merasakan perutku sangat mual. Apa yang terjadi dengan diriku?

Satu jam kemudian, kami sampai di minimarket. Edgar memperhatikan gerak-gerik tubuhku yang terlihat tak biasa. Ya, aku memang agak terhuyung-huyung begitu turun dari mobil. Hingga ketika aku melangkahkan kakiku beberapa langkah, tubuhku ambruk ke tanah dengan terduduk. Aku merasa tak bertenaga, dan semuanya seakan berputar.

“Woy, Hulk! Lo kenapa?”

Terdengar suara Edgar di telingaku. Namun kepalaku terlampau pusing dan sakit, sehingga aku memilih tak menggubrisnya .

Kurasakan tubuhku diangkat oleh seseorang. Meski berat, kucoba membuka mataku. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat wajah Edgar tepat di depan penglihatanku. Rupanya ia yang mengangkat tubuhku.

Dengungan di telingaku semakin keras, kepalaku rasanya sakit sekali, seperti ada ribuan paku yang menusuk, aku hanya bisa meringis kesakitan dalam gendongan Edgar.

Samar-samar kulihat wajah Edgar. Ia menyeringai padaku. Lalu, semuanya menjadi gelap.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 66 - Rasa Rindu

    Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah seharian penuh beraktivitas di kampus, aku kembali ke kamar dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Lampu kamar kubiarkan redup, hanya cahaya dari layar laptop dan ponsel yang menerangi ruangan.Namun sepi ini justru menggemakan suara dalam kepalaku sendiri—dan nama itu, terus mengalir dalam pikiranku.Hulya.Nama yang selalu membuat dadaku sesak. Saudara tiriku. Orang yang seharusnya kuanggap sebagai keluarga... tapi hatiku menolak menyebutnya begitu. Dia selalu ada di sampingku, dan seiring waktu, kehadirannya menjelma jadi lebih dari sekadar "adik".Aku menatap layar ponsel. Jempolku ragu-ragu mengetuk nama yang sudah tersimpan lama di daftar kontak: Hulya.Jam di layar menunjukkan pukul 10 malam di sini. Di Jakarta berarti sekitar pukul 7 malam. Tidak terlalu malam... tapi apakah dia sedang sibuk?Aku mendesah pelan, lalu akhirnya memberanikan diri menekan tombo

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 65 - Alexa Mulai Bergerak!

    Sepanjang perjalanan menuju fakultas kedokteran, Alexa tak berhenti mengajakku ngobrol. Topiknya ringan, tapi cukup membuatku sedikit canggung. Aku masih belum terbiasa diperlakukan seakrab itu oleh perempuan yang baru saja kutemui.“Kalau kamu ambil jurusan kedokteran, berarti kamu pintar, dong?” godanya lagi sambil melirikku dengan senyum menggoda.Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Enggak juga, cuma... memang dari dulu udah tertarik sama dunia medis.”“Terus cita-citanya jadi dokter?” tanyanya lagi.Aku mengangguk. “Iya, pengen jadi dokter anak.”Alexa menoleh dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Aww... sweet banget! Kamu pasti suka anak-anak, ya?”Aku tersenyum. “Lumayan. Mereka jujur. Dan polos.”Alexa hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikanku lekat-lekat. Tatapannya membuatku sedikit gelisah. Aku sudah lama tak berada dalam percakapan hangat seperti ini dengan perempuan selain Hulya.Akhirnya kami sampai di depan gedung fakultas kedokteran.“Ini dia, kampus k

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 64 - Digoda Bule Cantik

    Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi. Sontak aku langsung membalikkan tubuh, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi itu, hingga akhirnya kudengar suara seorang perempuan dari arah kamar mandi. "How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!" hardiknya galak. Perlahan, aku membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang sedang memarahiku. Saat pandangan kami bertemu, aku terkejut. Seorang wanita seusiaku berdiri di hadapanku, hanya mengenakan piyama mandi. Rambutnya yang blonde masih basah meneteskan air. "Lo siapa?" tanyaku heran. "Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa?" sahutnya dengan logat kebarat-baratan. "Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl, anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?" tanyaku, terkejut bukan main. Dia melotot. "Iya, gue Sheryl! Kenapa?" Aku terkekeh. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga, dia sudah sebesar ini sekarang. Dulu kami sering main bareng waktu kec

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 63 - Kedatanganku

    Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 62 - Suara Hati Edgar

    POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 61 - Pergi

    “Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 60 - Tak ada waktu

    Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 59 - Berita Mengejutkan

    Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 58 - Hujan dan mati listrik

    Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status