Share

Bab 8 - Hilang kesadaran

Aku tercengang mendengar ajakan Daffa. Kenapa tiba-tiba ia mengajakku jalan? Apa ia memiliki maksud lain? Ah, aku tidak akan pernah tahu jika tak menanyakannya langsung!

“Eh, jalan? Kemana kak?” Aku mengernyitkan kening menatapnya. Ia yang kini berdiri dihadapanku, balas menatapku serius.

“Ke cafe sekitaran sini aja. Gue mau bawa lo keliling, biar hapal daerah sini,” ajaknya.

Aku mendesah lega mendengar jawaban darinya. Ternyata itu tujuannya, ah, Daffa memang pria yang baik. Beruntunglah yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti.

Sebenarnya aku ingin sekali menerima ajakan Daffa. Tapi aku ingat, nanti siang aku harus bekerja. Karena tidak mungkin aku harus ijin dari pekerjaanku hanya untuk pergi bersama Daffa. Bisa-bisa kepala tokoku marah-marah selama tujuh hari tujuh malam.

“Aduh, kak. Maaf, gue nanti siang kerja,” tolakku secara halus agar tak menyinggung perasaannya.

Ia mengangkat sebelah alisnya, “Kerja? Lo kerja di mana?”

“Di jalan Sudirman, kak.”

Daffa nampak berpikir, “Jalan Sudirman bukannya jauh dari sini, ya?”

“Iya kak. Nanti gue naik motor aja.”

“Nggak usah, nanti gue anterin aja, ya!”

“Tapi, kak ...”

“Lo nggak boleh nolak pokoknya!” paksanya.

Dipaksa seperti itu membuatku tak bisa berkutik lagi. Dan mau tak mau akhirnya aku mengalah.

“Yaudah deh, kak!”

Kutinggalkan Daffa di kamarnya, karena barang-barang Daffa masih cukup banyak di atas. Setidaknya aku harus membantunya karena sudah mau memberikan kamarnya untukku. Tidak seperti si mesum keras kepala itu!

Saat aku menaiki tangga, aku melihat Edgar dibalik vas bunga berukuran besar yang berada tepat di depan kamar Daffa. Aku mengernyitkan kening, bingung. Posisinya persis seperti orang sedang bersembunyi.

Oh, mungkinkah ia menguping pembicaraanku dengan Daffa barusan?

Aku menghentikan langkahku menaiki anak tangga, kemudian berbalik menatap Edgar yang tengah kelimpungan karena aku menoleh ke arahnya.

“Ngapain lo di situ? Mending bantuin gue sini!” teriakku. Namun, ia tak menggubris dan malah berjalan ke halaman belakang. Aku hanya bisa mendengus kesal melihat kelakuannya. Sabar Hulya, sabar!

Akhirnya kembali kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga. Tak berapa lama, Daffa datang menyusulku, dan kami pun melanjutkan pekerjaan itu hingga selesai. Sebenarnya, bisa saja Daffa menyuruh Mbok Minah atau Pak Udin. Tapi, Daffa bilang, pekerjaan mereka sudah banyak. Dan ia tak ingin menambah beban mereka, kasihan, sudah tua.

Usai memindahkan barang-barang Daffa, aku membereskan barangku sendiri. Kutempel dinding dengan poster-poster dari idol kesukaanku, dan kutata koleksi albumku di sebuah lemari kaca yang kebetulan ada di kamar ini. Ah, ini baru kamarku yang sesungguhnya!

***

Pukul dua siang, aku sudah siap untuk berangkat bekerja. Dan, saat ini aku sedang menunggu Daffa di ruang tamu lantai bawah. Daffa menghampiriku dengan terburu-buru, aku langsung berdiri melihat kedatangannya.

“Hulya, sorry. Gue nggak bisa nganter lo!” serunya, sambil menempelkan ponselnya di telinganya.

Aku menatapnya penasaran, sebenarnya ada apa, sih?

“Kenapa, kak? Kok kayaknya lo panik banget!”

Tubuhnya bergetar hebat, aku semakin bingung dibuatnya.

“Salma! Salma kecelakaan!” serunya panik, sambil terus menelepon seseorang.

Mendengar jawaban Daffa membuatku terdiam sesaat. Karena aku baru pertama kali mendengar nama itu meluncur dari mulutnya. Salma? Siapa Salma?

“Salma, cewek gue yang di Bogor, Hul!” lanjut Daffa seakan tahu apa yang ada dipikiranku.

“Astaga! Terus gimana keadaannya, kak? Cepet susulin!” sahutku yang juga ikut panik.

Sorry banget ya, gue nggak bisa nganterin lo!” Daffa tampak merasa bersalah padaku, aku hanya mengangguk sambil menepuk-nepuk pundaknya.

“Nggak apa-apa, Kak! Yang penting lo ke rumah sakit dulu!”

Tiba-tiba, kami melihat Edgar berjalan ke arah pintu keluar dan melewati kami. Sontak Daffa langsung menahan tangan Edgar hingga membuat si mesum itu menoleh ke arahnya dengan penuh tanda tanya.

“Gar! Lo anter Hulya kerja dulu, gih!” perintahnya.

Edgar menatap sekilas ke arahku, “Ogah!”

Please, Gar! Gue nggak bisa anter dia, kasian dia dari sini ke jalan Sudirman kan jauh banget.” Daffa terlihat memelas pada adiknya itu.

“Nggak usah, kak! Gue bisa naik ojek online dari sini,” sahutku. Jujur saja, aku merasa tak enak hati melihat Daffa sampai memohon seperti itu pada adiknya hanya demi aku.

“Pesan ojek online di sini lumayan lama dapetnya, Hul. Udah lo dianter Edgar aja. Gar, tolong anterin ya. Nanti gue beliin lo game konsol yang lo pengen banget itu, deh!”

Edgar terlihat tertarik dengan penawaran yang diberikan Daffa, ia menatap sang Kakak dengan antusias. “Beneran lo, ya?!”

Daffa mengangguk, “Tenang!”

Akhirnya Edgar setuju untuk mengantarku. Pria berkulit putih itu langsung berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah. Aku membuntutinya dari belakang bersama Daffa karena mobil Daffa berada tepat di samping mobil Edgar. Sebelum masuk ke mobil, Daffa sempat berbisik padaku.

“Nggak usah takut, dia nggak gigit kok!”

Hal itu membuatku terkekeh geli mendengarnya.

Tepat setelah aku duduk di sebelah si mesum ini. Ia langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Hingga membuat tubuhku sedikit terdorong ke belakang. Aku hanya bisa berdoa dalam hati sambil berpegangan pada sabuk pengamanku. Aku benar-benar takut sekarang! Orang ini pasti sengaja melakukannya! Ia ingin membunuhku!

Mobil yang dikendarai Edgar semakin kencang. Syukurlah jalanan di daerah sini cukup sepi. Namun, karena ketakutan berlebih itu, tiba tiba aku merasa kepalaku pusing, nafasku tercekat, perutku mual, dan kurasakan keringat dingin mengalir dari pelipisku.

“Heh! Stooop!” teriakku karena merasa jantungku akan melompat keluar dari tempatnya akibat ulah si mesum ini.

CKIIIIT!

JEDUG!

“Awh!” rintihku.

Karena Edgar mengerem mobilnya dengan mendadak. Hal itu mengakibatkan tubuhku yang tadinya terdorong kebelakang langsung terpelanting ke depan. Dan keningku membentur dashboard mobil dengan cukup keras. Jujur, ini terasa sangat sakit!

“Lo mau bunuh gue, ya?!” teriakku. Kupandangi keningku pada spion tengah, ada bekas kebiruan di sana, akibat dari benturan itu.

“Tadi lo bilang berenti, ya gue berenti beneran, lah,” sahutnya tanpa merasa bersalah.

Ayolah, Edgar. Yang kubutuhkan hanyalah kata maaf darimu, bukan pembelaanmu!

“Ya, engga usah mendadak gitu. Jidat gue nih memar gara-gara lo!” tukasku kesal.

“Ya suruh siapa punya badan kurus sampe-sampe nggak ketahan sama sabuk pengaman,” cibirnya sambil melajukan mobilnya kembali.

"Ya lo-nya aja yang bawa mobilnya kayak orang kesetanan! Pelan-pelan aja lo, kalo nggak, gue laporin Papa!" peringatku. Ia tak menggubris.

Selama dalam perjalanan ini, kami tak berkata sepatah kata pun. Selain aku malas untuk berdebat lagi dengannya, aku juga merasa kepalaku sangat sakit dan pusing. Dan aku juga merasakan perutku sangat mual. Apa yang terjadi dengan diriku?

Satu jam kemudian, kami sampai di minimarket. Edgar memperhatikan gerak-gerik tubuhku yang terlihat tak biasa. Ya, aku memang agak terhuyung-huyung begitu turun dari mobil. Hingga ketika aku melangkahkan kakiku beberapa langkah, tubuhku ambruk ke tanah dengan terduduk. Aku merasa tak bertenaga, dan semuanya seakan berputar.

“Woy, Hulk! Lo kenapa?”

Terdengar suara Edgar di telingaku. Namun kepalaku terlampau pusing dan sakit, sehingga aku memilih tak menggubrisnya .

Kurasakan tubuhku diangkat oleh seseorang. Meski berat, kucoba membuka mataku. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat wajah Edgar tepat di depan penglihatanku. Rupanya ia yang mengangkat tubuhku.

Dengungan di telingaku semakin keras, kepalaku rasanya sakit sekali, seperti ada ribuan paku yang menusuk, aku hanya bisa meringis kesakitan dalam gendongan Edgar.

Samar-samar kulihat wajah Edgar. Ia menyeringai padaku. Lalu, semuanya menjadi gelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status