Share

Bab 2 - Bad boy?

Aku menatap Mama tak percaya kala mendengar perkataan Om Harun. Sementara Mama hanya tersenyum sambil matanya terus memandangi Om Harun.

“Pa! Kenapa Papa ngerencanain ini tanpa diskusi dulu sama Zayn, Daffa, Carel dan Edgar!” teriak pria yang paling tua.

Hal itu membuat aku dan Mama terkesiap karena mendengar suara keras pria yang berwajah mirip seperti CEO di novel yang selalu kubayangkan.

“Zayn! Pelankan suaramu! Percuma Papa diskusi dulu sama kalian, kalian pasti akan menentang itu. Sudah, nanti saja kita bicarakan ini,” sahut om Harun marah.

Pria bernama Zayn itu mendengus kesal dan menaiki tangga ke lantai atas dan meninggalkan kami. Sedangkan kami hanya terdiam tak berani berkata apa-apa.

“Silahkan di makan dulu! Jangan hiraukan Zayn, dia memang seperti itu."

Om Harun mempersilahkan kami makan. Namun keadaan sudah menjadi canggung. Sehingga membuat kami hanya terdiam. Terlebih, aku benar benar syok ketika mendengar pernyataan om Harun. Menikah? Jadi ini maksud Mama membawaku ke sini. Untuk mengenalkan calon suami barunya itu? Ah, aku benar-benar kecewa pada Mama. Kenapa Mama bisa secepat itu melupakan Papa?

Di tengah makan malam kami yang terasa hambar ini, tiba tiba seorang pria dengan tato di tangannya menghampiri kami. Pria itu berjalan sempoyongan, matanya memerah, dan mulutnya meracau tak jelas. Pria itu sepertinya sedang mabuk.

Tiba tiba pria itu berdiri di sebelahku dan mengalungkan lengannya di pundakku. Hal itu membuatku terkesiap dan ketakutan.

“Naura, kamu kembali sayang!” racaunya tepat di telingaku yang membuatku bergidik ngeri.

Baru saja aku ingin menepis tangannya, om Harun langsung menarik kerah baju pria itu.

Plak!

Om Harun menampar pipi pria itu dengan keras hingga meninggalkan bekas merah pada pipi putihnya. Sontak kami semua yang ada di ruangan itu berdiri, sementara kedua anak Om Harun menghampiri pria bertato itu.

“Anak kurang ajar!” teriak om Harun.

Om Harun hendak melayangkan tamparannya lagi. Namun, salah satu dari mereka menahan tangannya.

“Papa! Cukup!” teriak pria berambut gondrong itu.

“Daffa! Nggak usah ngebelain dia! Dia cuma bisa malu maluin keluarga kita!” sahut Om Harun.

“Tapi Papa nggak seharusnya mukul Carel seperti itu apalagi di depan tamu!” sahut pria bernama Daffa itu.

Om Harun tak menghiraukan perkataan Daffa. ia lalu menatap si pria mesum dan berkata, “Edgar! Cepat bawa kakakmu ke kamarnya!”

Jadi, si pria mesum itu namanya Edgar? Dan pria mabuk yang mirip berandalan itu adalah kakaknya? Lantas Edgar merangkul kakaknya itu dan menaiki tangga, aku sempat melihat raut terpaksa di wajahnya. Mata kami sempat beradu beberapa detik ketika Edgar melewatiku. Tiba tiba aku merasa hawa dingin menjalari tubuhku. Tatapan Edgar begitu dingin dan menusuk, hingga membuatku membeku seketika.

Om Harun mungkin sudah tak berselera makan. Ia lalu membawa aku dan Mama menuju ruang tamu yang ada di tengah ruangan. Kami duduk di sofa mewah itu, dan om Harun memulai pembicaraan.

“Hulya, kamu setuju kan Mamamu menikah dengan Om?” tanya Om Harun yang duduk tepat di depanku.

“Nggak!” jawabku tegas dengan wajah datar.

Om Harun dan Mama terkejut mendengar jawabanku. Mama menyenggol lenganku, namun tak kuhiraukan.

“Hulya, nanti kita bicarakan ini di rumah ya, sayang?” tanya Mama, aku menggeleng.

“Kalo boleh Om tau, kenapa kamu nggak setuju Mama menikah dengan Om?” tanya Om Harun yang menatapku serius.

“Om, ini terlalu mendadak. Hulya bahkan belum diberi tahu sama Mama sebelumnya. Seharusnya Mama atau Om membicarakan ini dulu sama Hulya dan anak anak Om. Mereka juga berhak untuk memberikan pendapat.”

“Iya Hulya, Om mengerti. Om hanya ingin ada yang menemani dan merawat Om di hari tua nanti.” Om Harun menundukkan wajahnya.

Melihat hal itu membuatku sedikit tak tega padanya. Namun aku harus tetap pada pendirianku. Aku tak boleh luluh oleh Om ini!

Tiba-tiba Edgar turun dari tangga dan melewati kami. Ia mengenakan jaket berwarna abu abu dan sebuah topi berwarna hitam. Aroma harum langsung menyeruak kala Edgar lewat.

“Edgar! Mau kemana kamu?!” tanya Om Harun.

Edgar menghentikan langkahnya, ia membalikkan tubuhnya dan menoleh ke arah kami.

“Mau main sama teman teman, Pa!” sahutnya.

“Lagi ada tamu malah keluar, nggak boleh! Kamu tetap di sini, tadi papa dengar kamu udah kenal sama Hulya, kan? Sudah, kamu ajak Hulya ke atas, sana!”

Aku yang sedang meminum teh hangat tersedak kala mendengar ucapan Om Harun.

“Enggak apa-apa Om, Hulya di sini aja,” sahutku kikuk.

“Udah Hulya kamu nurut aja sama Om Harun. Mama juga ada sesuatu yang mau dibicarakan sama Om Harun!” sahut mama yang sedari tadi terdiam.

Meski dengan terpaksa, Edgar akhirnya menuruti perintah sang papa. Ia berjalan menaiki tangga dan aku mengikutinya. Lalu ketika di atas ia malah memasuki sebuah ruangan yang kuduga adalah kamarnya. Di atas sini terdepat empat pintu berjejer berjauhan, kurasa itu adalah kamar keempat pria itu.

“Heh! Cowok mesum!” teriakku ketika baru saja ia menutup kamarnya.

Mendengar teriakanku, Edgar kembali keluar dari kamarnya dan menghampiriku dengan wajah galak.

“Maksud lo apa manggil gue begitu?”

“Iya! Lo itu cowo mesum, lo sengaja kan tadi siang nyium gue?” sahutku sambil melotot padanya, ia berdecih meremehkan.

“Apa tadi lo bilang? Nyium lo? Cih, siapa juga yang sudi nyium cewek pemarah kayak lo? Dibayar mahal pun gue ogah!”

Belum sempat aku menjawab. Edgar melanjutkan perkataannya, “Oh ya, itu di bawah sana itu nyokap lo?”

Aku tak menggubrisnya, Dan memilih menunggu perkataannya selanjutnya. Namun, seketika darahku mendidih ketika mendengar perkataannya selanjutnya.

“Hebat ya nyokap lo bisa ngegaet bokap gue, tau aja bokap gue itu tajir melintir. Oh iya, pake dukun dari mana sih, Mba?” ejeknya dengan wajah meremehkan.

Plak!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status