Share

Bab 3 - Pria dengan hoodie

Kulayangkan tamparan tepat di pipi putihnya. Bekas merah tercetak di sana, ia meringis sambil mengusap pipinya sendiri.

“Dasar cewek sialan! Berani beraninya lo nampar gue, hah!” teriaknya.

Edgar sudah mengangkat tangannya hendak membalas tamparanku. Sementara aku sudah siap menghindar. Namun tiba tiba seseorang keluar dari kamar yang tepat berada di samping kamar Edgar. Ia berteriak ketika melihat posisi tangan Edgar yang melayang di udara.

“Edgar! Mau ngapain lo!”

Ternyata itu Daffa. Ia berjalan dengan cepat dan menghalau tangan Edgar.

“Heh, lo mau jadi pecundang dengan mukul cewek?” tanya Daffa.

Edgar menepis tangan Daffa yang sedari tadi memeganginya. Dan tanpa berkata apa-apa, dia memasuki kamarnya dan membanting pintu. Daffa menoleh ke arahku yang tengah ketar-ketir melihat Edgar hendak memukulku. Lalu ia tersenyum kepadaku hingga membuat lesung pipinya mengintip keluar. Wajahnya mirip sekali dengan Papanya.

“Maafin Edgar ya, dia emang begitu kalo sama orang baru,” ucap Daffa ramah.

“Nggak! Cowok itu harus mendapatkan balasannya, Gue nggak bakal tinggal diam!” sahutku dengan mata berkilat-kilat penuh dendam.

Kudengar Daffa hanya terkekeh mendengar perkataanku yang nyeleneh itu. Lalu Daffa mengulurkan tangannya padaku.

 “Kenalin, gue Daffa.”

“Oh iya, gue Hulya Kak!” Kusambut uluran tangan itu dengan hangat

Sepertinya di antara keempat kakak beradik itu hanya Daffa yang ramah padaku, atau mungkin Daffa memang orang yang ramah pada siapa pun?

Lalu selanjutnya Daffa mengajakku untuk ke balkon. Sesampainya di balkon, aku melihat pemandangan di bawah sana. Lampu-lampu kendaraan masih ramai memadati jalanan kota Jakarta yang tidak pernah tidur. Ah, tak pernah aku membayangkan sebelumnya akan bisa memasuki rumah mewah ini.

“Mama lo beneran mau nikah sama Papa gue ya?” Daffa membuka pembicaraan.

Mendengar itu membuat pandanganku beralih pada pria berambut gondrong ini.

“Gue juga nggak tahu, kak. Gue sih nggak setuju,” jawabku.

“Lho, kenapa?” Daffa menaikkan sebelah alisnya.

“Gue belom siap aja, punya Papa baru dan empat Abang sambung.”

Kudengar Daffa terkekeh mendengar perkataanku.

“Iya juga ya, itu berarti nanti lo bakal punya empat Abang. Wah, lo itu sebenernya hoki apa sial sih punya Abang gesrek semua kaya gini. Jangan didenger ya kalo ada omongan yang nggak enak dari mereka. Mereka itu aslinya baik kok.” Daffa kembali tersenyum.

Aku tersipu melihat senyumnya yang harus kuakui cukup manis, tidak seperti si mesum itu.

“Hehe iya kak, makasih ya.”

Akhirnya aku mengobrol dengan Daffa. Dan baru kuketahui ternyata Daffa memiliki hobi mendaki gunung. Pantas saja ia ramah pada semua orang, karena setahuku orang yang hobi mendaki gunung itu kebanyakan memiliki solidaritas yang tinggi dan ramah pada orang lain. Hmm, pantas saja Daffa sangat ramah padaku.

***

Esoknya aku menghampiri mama yang sedang menonton TV di ruang tengah. Aku ingin berbicara serius dengan Mama. Ya, aku akan menanyakan mengenai rencananya untuk menikah dengan Om Harun. Karena, sejak kami pulang dari rumah Om Harun semalam, aku hanya mendiamkan Mama.

“Ma ...” panggilku seraya duduk di samping Mama.

Mama tengah menonton sinetron India kesukaannya.

“Ya, sayang?” sahutnya tanpa menoleh sedikit pun.

“Mama kenapa nggak bilang dulu sama Hulya kalo Mama mau menikah lagi dengan Om Harun?”

Kulihat Mama menghentikan aktifitasnya sejenak lalu mematikan televisi. Ia menatapku serius.

“Maafin Mama, Hulya. Mama salah, Mama pikir kamu akan setuju aja dengan rencana Mama.”

“Ma, apa menikah dengan orang lain semudah itu bagi Mama?”

Mama terdiam, ia menarik nafas dalam-dalam. “Hulya, bukannya Mama udah nggak cinta sama Papa kamu. Jujur, ketika kepergian Papa itu bukan hal yang mudah untuk Mama. Mama hanya ingin ada yang menemani Mama di masa tua nanti.”

Aku terisak ketika membayangkan Papa yang sudah tenang di sana harus menelan kekecewaan pada Mama yang begitu cepat melupakannya. Mama memelukku, ia juga ikut menangis bersamaku.

“Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk Mama bisa membuka hati Mama untuk orang lain lagi, sayang. Maafin Mama ...”

“Beri Hulya waktu untuk berpikir, Ma.”

Akhirnya kutinggalkan Mama sendiri, Karena aku harus bersiap untuk pergi bekerja.

***

“Eh Hulya, lo kenapa?” tanya Dina yang melihat wajahku yang lesu.

“Gue baru aja ngalamin sesuatu yang nggak pernah gue bayangin sebelumnya, Din, “ jawabku.

Aku turun dari motor dan melepas helm yang terpasang di kepalaku, lalu meletakkannya di atas motor. Dina juga turun dari motornya dan langsung menghampiriku, ia menatapku penasaran.

“Ngalamin apa?”

“Lo inget cowok kemaren?”

Sambil berbicara dengannya aku mulai melangkahkan kakiku memasuki minimarket tempatku bekerja, Dina mengikuti dengan berjalan di sebelahku.

“Cowok yang udah ambil first kiss lo?”

“Dina, bisa nggak sih lo nggak usah bahas bagian itu?” protesku kesal pada Dina.

“Yaudah maaf, terus apa?”

“Gue bingung jelasinnya gimana, yang pasti dia itu bakal jadi calon kakak sambung gue!”

Dina menghentikan langkahnya, sontak aku mengikutinya berhenti. Ia melotot kearahku sambil menutup mulutnya sendiri lalu sedetik kemudian ia berkata dengan begitu kencang.

“JADI ORANG YANG NGAMBIL FIRST KISS LO ITU CALON ABANG SAMBUNG LO?!”

Sontak semua pengunjung minimarket menoleh ke arah kami sambil terkekeh. Dengan cepat aku membekap mulut Dina.

“Nggak usah pake teriak segala, Diiiin! Udah salah tangkap pake teriak lagi,” bisikku.

Namun Dina hanya tersenyum bodoh sambil menggaruk kepalanya. Akhirnya kutinggalkan saja Dina. Dan berjalan menuju meja kasir untuk menggantikan Bella ganti shift.

***

Jam kerjaku selesai pada pukul sebelas malam. Di lima menit terakhir menuju jam pulangku, seorang pria yang mengenakan hoodie memasuki minimarket. Ah, kenapa harus ada pembeli di jam-jam krusial seperti ini, sih? Aku kan baru saja selesai membuat laporan harian, masa aku harus membuat laporan ulang hanya karena ada satu pembeli ini?

Kuperhatikan pria itu, ia tampak melihat-lihat ke arah mesin pendingin dan mengambil sebotol kopi. Ia lalu berjalan ke arah meja kasir sambil melempar botol kopi itu ke arahku hingga mengenai lenganku dengan cukup keras.

“Awh!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status