Kulayangkan tamparan tepat di pipi putihnya. Bekas merah tercetak di sana, ia meringis sambil mengusap pipinya sendiri.
“Dasar cewek sialan! Berani beraninya lo nampar gue, hah!” teriaknya.
Edgar sudah mengangkat tangannya hendak membalas tamparanku. Sementara aku sudah siap menghindar. Namun tiba tiba seseorang keluar dari kamar yang tepat berada di samping kamar Edgar. Ia berteriak ketika melihat posisi tangan Edgar yang melayang di udara.
“Edgar! Mau ngapain lo!”
Ternyata itu Daffa. Ia berjalan dengan cepat dan menghalau tangan Edgar.
“Heh, lo mau jadi pecundang dengan mukul cewek?” tanya Daffa.
Edgar menepis tangan Daffa yang sedari tadi memeganginya. Dan tanpa berkata apa-apa, dia memasuki kamarnya dan membanting pintu. Daffa menoleh ke arahku yang tengah ketar-ketir melihat Edgar hendak memukulku. Lalu ia tersenyum kepadaku hingga membuat lesung pipinya mengintip keluar. Wajahnya mirip sekali dengan Papanya.
“Maafin Edgar ya, dia emang begitu kalo sama orang baru,” ucap Daffa ramah.
“Nggak! Cowok itu harus mendapatkan balasannya, Gue nggak bakal tinggal diam!” sahutku dengan mata berkilat-kilat penuh dendam.
Kudengar Daffa hanya terkekeh mendengar perkataanku yang nyeleneh itu. Lalu Daffa mengulurkan tangannya padaku.
“Kenalin, gue Daffa.”
“Oh iya, gue Hulya Kak!” Kusambut uluran tangan itu dengan hangat
Sepertinya di antara keempat kakak beradik itu hanya Daffa yang ramah padaku, atau mungkin Daffa memang orang yang ramah pada siapa pun?
Lalu selanjutnya Daffa mengajakku untuk ke balkon. Sesampainya di balkon, aku melihat pemandangan di bawah sana. Lampu-lampu kendaraan masih ramai memadati jalanan kota Jakarta yang tidak pernah tidur. Ah, tak pernah aku membayangkan sebelumnya akan bisa memasuki rumah mewah ini.
“Mama lo beneran mau nikah sama Papa gue ya?” Daffa membuka pembicaraan.
Mendengar itu membuat pandanganku beralih pada pria berambut gondrong ini.
“Gue juga nggak tahu, kak. Gue sih nggak setuju,” jawabku.
“Lho, kenapa?” Daffa menaikkan sebelah alisnya.
“Gue belom siap aja, punya Papa baru dan empat Abang sambung.”
Kudengar Daffa terkekeh mendengar perkataanku.
“Iya juga ya, itu berarti nanti lo bakal punya empat Abang. Wah, lo itu sebenernya hoki apa sial sih punya Abang gesrek semua kaya gini. Jangan didenger ya kalo ada omongan yang nggak enak dari mereka. Mereka itu aslinya baik kok.” Daffa kembali tersenyum.
Aku tersipu melihat senyumnya yang harus kuakui cukup manis, tidak seperti si mesum itu.
“Hehe iya kak, makasih ya.”
Akhirnya aku mengobrol dengan Daffa. Dan baru kuketahui ternyata Daffa memiliki hobi mendaki gunung. Pantas saja ia ramah pada semua orang, karena setahuku orang yang hobi mendaki gunung itu kebanyakan memiliki solidaritas yang tinggi dan ramah pada orang lain. Hmm, pantas saja Daffa sangat ramah padaku.
***
Esoknya aku menghampiri mama yang sedang menonton TV di ruang tengah. Aku ingin berbicara serius dengan Mama. Ya, aku akan menanyakan mengenai rencananya untuk menikah dengan Om Harun. Karena, sejak kami pulang dari rumah Om Harun semalam, aku hanya mendiamkan Mama.
“Ma ...” panggilku seraya duduk di samping Mama.
Mama tengah menonton sinetron India kesukaannya.
“Ya, sayang?” sahutnya tanpa menoleh sedikit pun.
“Mama kenapa nggak bilang dulu sama Hulya kalo Mama mau menikah lagi dengan Om Harun?”
Kulihat Mama menghentikan aktifitasnya sejenak lalu mematikan televisi. Ia menatapku serius.
“Maafin Mama, Hulya. Mama salah, Mama pikir kamu akan setuju aja dengan rencana Mama.”
“Ma, apa menikah dengan orang lain semudah itu bagi Mama?”
Mama terdiam, ia menarik nafas dalam-dalam. “Hulya, bukannya Mama udah nggak cinta sama Papa kamu. Jujur, ketika kepergian Papa itu bukan hal yang mudah untuk Mama. Mama hanya ingin ada yang menemani Mama di masa tua nanti.”
Aku terisak ketika membayangkan Papa yang sudah tenang di sana harus menelan kekecewaan pada Mama yang begitu cepat melupakannya. Mama memelukku, ia juga ikut menangis bersamaku.
“Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk Mama bisa membuka hati Mama untuk orang lain lagi, sayang. Maafin Mama ...”
“Beri Hulya waktu untuk berpikir, Ma.”
Akhirnya kutinggalkan Mama sendiri, Karena aku harus bersiap untuk pergi bekerja.
***
“Eh Hulya, lo kenapa?” tanya Dina yang melihat wajahku yang lesu.
“Gue baru aja ngalamin sesuatu yang nggak pernah gue bayangin sebelumnya, Din, “ jawabku.
Aku turun dari motor dan melepas helm yang terpasang di kepalaku, lalu meletakkannya di atas motor. Dina juga turun dari motornya dan langsung menghampiriku, ia menatapku penasaran.
“Ngalamin apa?”
“Lo inget cowok kemaren?”
Sambil berbicara dengannya aku mulai melangkahkan kakiku memasuki minimarket tempatku bekerja, Dina mengikuti dengan berjalan di sebelahku.
“Cowok yang udah ambil first kiss lo?”
“Dina, bisa nggak sih lo nggak usah bahas bagian itu?” protesku kesal pada Dina.
“Yaudah maaf, terus apa?”
“Gue bingung jelasinnya gimana, yang pasti dia itu bakal jadi calon kakak sambung gue!”
Dina menghentikan langkahnya, sontak aku mengikutinya berhenti. Ia melotot kearahku sambil menutup mulutnya sendiri lalu sedetik kemudian ia berkata dengan begitu kencang.
“JADI ORANG YANG NGAMBIL FIRST KISS LO ITU CALON ABANG SAMBUNG LO?!”
Sontak semua pengunjung minimarket menoleh ke arah kami sambil terkekeh. Dengan cepat aku membekap mulut Dina.
“Nggak usah pake teriak segala, Diiiin! Udah salah tangkap pake teriak lagi,” bisikku.
Namun Dina hanya tersenyum bodoh sambil menggaruk kepalanya. Akhirnya kutinggalkan saja Dina. Dan berjalan menuju meja kasir untuk menggantikan Bella ganti shift.
***
Jam kerjaku selesai pada pukul sebelas malam. Di lima menit terakhir menuju jam pulangku, seorang pria yang mengenakan hoodie memasuki minimarket. Ah, kenapa harus ada pembeli di jam-jam krusial seperti ini, sih? Aku kan baru saja selesai membuat laporan harian, masa aku harus membuat laporan ulang hanya karena ada satu pembeli ini?
Kuperhatikan pria itu, ia tampak melihat-lihat ke arah mesin pendingin dan mengambil sebotol kopi. Ia lalu berjalan ke arah meja kasir sambil melempar botol kopi itu ke arahku hingga mengenai lenganku dengan cukup keras.
“Awh!”
Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah seharian penuh beraktivitas di kampus, aku kembali ke kamar dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Lampu kamar kubiarkan redup, hanya cahaya dari layar laptop dan ponsel yang menerangi ruangan.Namun sepi ini justru menggemakan suara dalam kepalaku sendiri—dan nama itu, terus mengalir dalam pikiranku.Hulya.Nama yang selalu membuat dadaku sesak. Saudara tiriku. Orang yang seharusnya kuanggap sebagai keluarga... tapi hatiku menolak menyebutnya begitu. Dia selalu ada di sampingku, dan seiring waktu, kehadirannya menjelma jadi lebih dari sekadar "adik".Aku menatap layar ponsel. Jempolku ragu-ragu mengetuk nama yang sudah tersimpan lama di daftar kontak: Hulya.Jam di layar menunjukkan pukul 10 malam di sini. Di Jakarta berarti sekitar pukul 7 malam. Tidak terlalu malam... tapi apakah dia sedang sibuk?Aku mendesah pelan, lalu akhirnya memberanikan diri menekan tombo
Sepanjang perjalanan menuju fakultas kedokteran, Alexa tak berhenti mengajakku ngobrol. Topiknya ringan, tapi cukup membuatku sedikit canggung. Aku masih belum terbiasa diperlakukan seakrab itu oleh perempuan yang baru saja kutemui.“Kalau kamu ambil jurusan kedokteran, berarti kamu pintar, dong?” godanya lagi sambil melirikku dengan senyum menggoda.Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Enggak juga, cuma... memang dari dulu udah tertarik sama dunia medis.”“Terus cita-citanya jadi dokter?” tanyanya lagi.Aku mengangguk. “Iya, pengen jadi dokter anak.”Alexa menoleh dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Aww... sweet banget! Kamu pasti suka anak-anak, ya?”Aku tersenyum. “Lumayan. Mereka jujur. Dan polos.”Alexa hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikanku lekat-lekat. Tatapannya membuatku sedikit gelisah. Aku sudah lama tak berada dalam percakapan hangat seperti ini dengan perempuan selain Hulya.Akhirnya kami sampai di depan gedung fakultas kedokteran.“Ini dia, kampus k
Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi. Sontak aku langsung membalikkan tubuh, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi itu, hingga akhirnya kudengar suara seorang perempuan dari arah kamar mandi. "How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!" hardiknya galak. Perlahan, aku membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang sedang memarahiku. Saat pandangan kami bertemu, aku terkejut. Seorang wanita seusiaku berdiri di hadapanku, hanya mengenakan piyama mandi. Rambutnya yang blonde masih basah meneteskan air. "Lo siapa?" tanyaku heran. "Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa?" sahutnya dengan logat kebarat-baratan. "Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl, anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?" tanyaku, terkejut bukan main. Dia melotot. "Iya, gue Sheryl! Kenapa?" Aku terkekeh. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga, dia sudah sebesar ini sekarang. Dulu kami sering main bareng waktu kec
Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m
POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk
“Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu