Tubuh tinggi dan gagah itu menjauh. Diaz tidak menoleh lagi pada Clarissa. Dengan tatapan pilu dan hati kecewa, Clarissa masih berdiri di tempatnya. Diaz menolak cintanya. Hubungan dekat mereka selama ini, kepedulian Diaz padanya ternyata hanya sebatas kakak dan adik. Tidak lebih.
Yenny benar. Diaz tidak jatuh hati padanya. Clarissa terlalu percaya diri. Sekarang, ketika dia sudah merencanakan semua dengan baik, hasilnya nihil. Clarissa ditinggalkan.
"Kak Diaz, kamu jahat. Aku sangat sayang sama kamu. Kamu juga menunjukkan jika kamu sayang sama aku selama ini. Nyatanya?" Clarissa mengepalkan tangannya geram.
Dalam hati Clarissa sangat marah. Dia tidak dianggap. Lagi, penolakan dia terima. Papanya meninggalkan dia. Mama tidak peduli hatinya. Sekarang, pria yang Clarissa harap bisa membalut semua pedih yang selama ini dia rasa, juga mengecewakan dia. Kenapa hidup tidak ada di pihaknya sama sekali?
"Tapi bukan Clarissa kalau begini saja mundur. Aku akan mendapatkan kamu, Kak. Kamu akan jadi milikku. Aku yakin itu." Ada rasa sedih bercampur kecewa di hati Clarissa. Tapi dia menguatkan dirinya, dia tidak akan menyerah.
Mengapa Diaz tidak mau memberinya kesempatan? Clarissa cantik, cerdas, dan berkelas. Dia punya cinta yang besar untuk Diaz. Dia juga tahu, jika Diaz membuka hati mereka akan bisa bahagia bersama.
Clarissa kembali duduk. Tatapan matanya nanar. Apa yang dia siapkan hari ini buyar. Semua berantakan. Bukan makan malam istimewa di tempat khusus dan spesial. Bukan senyum dan tawa yang dia nikmati, apalagi kisah romantis yang bisa dia kenang sepanjang hidupnya. Tapi penolakan.
Clarissa mengangkat tangan, memanggil pelayan. Dia minta disiapkan anggur. Clarissa bukan peminum, sesekali dia minum hanya untuk menghangatkan badan saja. Tapi kali ini dia sedang sangat gundah. Dia ingin meluapkan semua yang dia pendam.
Bayangan wajah tampan Diaz terus menari di depannya. Saat dia bicara di depan kelas, senyum menawan dosennya itu. Saat mereka duduk bersama bicara soal kuliah, bicara soal hidup, bicara soal Clarissa. Ternyata kedekatan selama ini yang terjalin tidak cukup kuat untuk memikat Diaz.
"Kamu benar, Yenny. Pak Diaz ga lihat aku. Aku yang terlalu yakin dia juga sayang aku makanya dia peduli." Clarissa bicara sendiri.
"Hei, tapi ini baru sekali coba. Aku ga akan nyerah, tahu!" Clarissa meneruskan. Seakan-akan Yenny ada di depan matanya.
Ya, setelah minum hampir dua gelas, Clarissa mulai melayang. Kepalanya sedikit pening dan pusing.
"Kak Diaz, jangan pikir ini sudah selesai. Aku akan menaklukkan kamu. Kamu harus jadi milikku. Harus." Clarissa memukul meja dengan tangannya. "Tunggu saja, aku akan datang lagi mencarimu."
Dan Clarissa meneguk lagi sisa minuman di gelasnya. Lalu dia berdiri, berniat pulang. Tubuhnya oleng, sedikit sempoyongan.
Pelayan yang berdiri tak jauh darinya segera mendekat. "Mbak, aku panggil taksi ya?"
Clarissa memegang pinggir meja, melihat pada pelayan itu. "Apa? Taksi? Aku bawa mobil ngapain bikin repot sopir taksi?"
"Tapi, Mbak, lagi kurang sehat ..."
"Matamu yang ga sehat! Kalau aku sakit ga mungkin aku di sini. Udah! Jangan ribut!" sentak Clarissa.
Clarissa berjalan meninggalkan ruangan itu. Posisi jalannya sudah tidak tegak. Clarissa meraih tembok di sisinya, berpegangan. Dia terus berjalan hingga sampai di tangga. Waktu hendak turun pandangan mulai terasa kabur.
"Mbak, ayo saya bantu." Pelayan itu ternyata masih mengekori. Dia tahu Clarissa tidak mungkin bisa jalan sendiri. Dia sudah mulai limbung.
"Sok baik. Mau tips?" Clarissa memandang pelayan itu.
"Ya, gitu deh. Ayo, nanti kasih tips kalau sudah di bawah. Boleh ya?" Pelayan itu membujuk Clarissa.
"Baiklah. Aku sedang baik hati." Clarissa tersenyum sinis.
Pelayan wanita yang kira-kira tiga puluhan itu memegang tangan Clarissa. Dia sedikit merangkulnya agar bisa membantu Clarissa turun. Tepat di bawah tangga, seorang pemuda tinggi, putih, dan berkacamata menghampiri.
"Mbak, biar sama saya." Pemuda itu meminta agar dia bisa membantu Clarissa.
Pelayan itu menoleh. "Oh? Mas kenal sama ..."
"Ya, dia teman saya. Terima kasih." Pemuda itu meraih bahu dan tangan Clarissa.
Clarissa melihat padanya. Matanya mengerjap-ngerjap.
"Hei, kamu ... Adi?! Kamu di sini?!" Clarissa masih bisa mengenali Adimasta.
"Ya, ini aku. Ayo, aku antar pulang." Adimasta menuntun Clarissa hingga ke mobilnya.
Clarissa mengeluarkan kunci mobil, dengan cepat Adimasta mengambil kunci dari tangan Clarissa. Lalu dia menolong Clarissa masuk dan duduk di dalam mobil. Adimasta dengan cepat masuk lewat pintu sebelah, lalu dia jalankan mobil. Adimasta sesekali menoleh pada Clarissa yang meracau.
"Pak Diaz ternyata cuma PHP. Dia sok baik dan peduli, padahal dia ga sayang aku, Di. Dia jahat. Aku sudah cinta beneran sama dia. Kenapa dia ga mau lihat aku?!" Clarissa mengeluarkan rasa kecewa di hatinya.
Adimasta tidak menanggapi. Dia fokus saja menyetir.
"Sejak dulu ga ada yang peduli padaku. Papa dan mama ribut terus. Merasa diri paling benar. Keluarga berantakan, aku ditinggal papa. Mama sibuk dengan hidupnya, aku cuma jadi beban saja." Luapan luka kembali terungkap dari bibir Clarissa.
Dia melihat pada Adi. "Kamu ga akan tahu, lelah aku dengan semua itu. Aku cuma mau keluarga utuh dan bahagia. Lalu ... Kak Diaz. Dia datang. Kukira dia akan membuat aku bahagia. Dia pria terbaik yang aku temui. Tapi ... Huuukkkhuukk ..." Clarissa menangis.
Adimasta meminggirkan mobil dan berhenti. Adimasta menghadapkan badannya pada Clarissa. Gadis itu bersandar pada jok sambil menutup muka dengan kedua tangan.
"Clay ..." Adimasta memegang bahu Clarissa.
Clarissa melepas tangannya dan sekarang melihat pada Adimasta. "Lihat aku, lihat aku ... Apa aku begitu buruk? Aku ga pantas dicintai?! Hah?!"
Adimasta tidak bicara apa-apa. Clarissa sedang mabuk. Otaknya tidak bekerja dengan baik, emosinya juga sedang kacau.
"Kamu bilang kamu cinta aku, kan? Lalu kamu mau kasih apa sama aku? Apa?! Kamu paling cuma mau ambil untung buat diri sendiri. Kalau akhirnya aku merepotkan kamu, kamu pasti akan pergi. Sama seperti yang lain. Uuhuukkk ... Uhuuukkk ...." Tangis Clarissa kembali meledak.
"Clay ..." Adimasta tidak tahu harus bicara apa. Dia ngomong juga tidak ada gunanya. Semua yang dia katakan Clarissa akan lupa saat dia sadar.
"Kamu bener sayang aku, Di? Kamu bener mau peduli sama aku?" Clarissa menarik tangan Adimasta. "Kamu akan di samping aku terus? Kamu bisa lakukan itu?"
"Ya, aku akan di samping kamu terus. Aku akan peduli sama kamu, Clay. Aku janji." Adimasta berkata dengan sepenuh hati. Meskipun Clarissa tidak akan ingat ini, tapi Adimasta berjanji akan selalu di samping Clarissa.
Clarissa menjatuhkan dirinya di pelukan Adimasta. Dia merasa lemas dan lunglai. Sedih, kecewa, marah, dan semua rasa membuat dia seakan kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.
Adimasta memeluk Clarissa. Dia usap lembut rambut panjang gadis itu. Yang kali ini berwarna merah kecoklatan. Senada dengan gaunnya, merah marun. Sangat manis. Tapi bertolak belakang dengan hatinya yang carut marut.
*****
"Ya Tuhan, Clarissa ..." Yenny membantu Adimasta membawa Clarissa masuk ke kamar. Adimasta hanya sampai di pintu. Dia tidak boleh masuk ke kamar wanita di tempat kos ini.
"Dia mabuk?" Yenny bertanya pada Adimasta.
"Ya. Dia ditolak Pak Diaz." Adimasta memandang Clarissa yang tergeletak di kasurnya dengan mata terpejam.
"Astaga. Jadi dia beneran nembak Pak Diaz?" Yenny menepuk jidatnya.
"Bagaimana kamu bisa pulang dengan Clarissa?" Yenny bertanya pada Adimasta.
Dia menutup pintu kamar Clarissa, mengajak Adimasta bciata di depan kamar. Ada kursi di sana buat menerima tamu. Yenny dan Adimasta duduk berdampingan.
"Pak Diaz menghubungi aku. Dia minta aku menengok Clarissa di kafe." Adimasta menjelaskan.
"Ooh ... Gitu. Kamu dekat dengan Pak Diaz?" Yenny menebak saja.
"Hm, gitu deh." Adimasta mengangguk.
"Terima kasih, Di. Maaf, Clarissa bikin kamu repot kayak gini." Yenny merasa tidak enak pada Adimasta.
"Ga apa. Cuma ngantar pulang aja." Adimasta berdiri. Dia pikir sudah saatnya dia kembali ke rumahnya.
"Eh, Di, kamu beneran cinta sama Clarissa?" Entah kenapa pertanyaan itu meluncur begitu saja di bibir Yenny.
Adimasta menatap Yenny. Dia mengurungkan niat melangkah pergi.
Yenny menatap Adimasta. Pemuda sipit dengan kacamata itu kembali menghadap ke arahnya. Adimasta tidak salah dengar yang Yenny tanyakan. Ya, Yenny pasti tahu soal dia cinta Clarissa. Clarissa tidak mungkin tidak menceritakan kejadian dia di taman belakang kampus, terpaksa mengakui hatinya pada gadis nyentrik itu. "Ya. Aku sayang dia, Yenny." Akhirnya Yenny mendengar sendiri dari bibir tipis Adimasta. Yenny mengembuskan nafasnya, masih tidak bisa percaya. Sampai sekarang, Yenny merasa aneh Adimasta bisa jatuh cinta pada Clarissa. Karena di pandangan Yenny, karakter mereka ke mana-mana dan sampai kapan juga tidak akan mungkin nyambung. "Aku juga ga tahu, gimana bisa kayak gini." Adimasta menaikkan kacamatanya ke posisi semula. "Kamu tahu dia cinta Pak Diaz." Yenny masih memandang Adimasta. "Aku tahu. Dan Pak Diaz ga mungkin cinta Clarissa. Aku mau dia baik-baik saja." Adimasta tersenyum tipis. "Kamu yakin sanggup tetap sayang Clarissa? Dia kelakuan kayak gitu," ucap Yenny. "Aku pin
Meskipun sudah dua kali Diaz dengan tegas menolaknya, Clarissa tidak mau menyerah. Dia tidak akan mundur. Dia ingin membuktikan pada mamanya kalau dia bisa mendapatkan pria yang tepat buat dirinya. Dengan begitu, dia tidak akan dipaksa untuk menerima salah satu anak teman mamanya. Selain itu, Clarissa bisa membuat mamanya lebih tenang, seandainya kondisi kesehatannya memburuk. Clarissa baru saja masuk ke dalam mobil saat mamanya menelpon. Rosita ingin bertemu putrinya. Clarissa mengurungkan niat akan ke tempat kos, dia memutar haluan menuju rumah. Belakangan Rosita lebih banyak bekerja dari rumah. Perusahaan tempatnya bekerja mengerti kondisinya dan mengalihkan tugas yang harus dia selesaikan dengan lebih leluasa, yang bisa dikerjakan tanpa harus setiap hari datang ke kantor. Rosita tersenyum melihat putrinya datang. Clarissa sudah tidak enggan pulang, meski memang dia merasa lebih nyaman di tempat kos karena kesibukan gadis itu di kampus dan di sekitarnya. Clarissa berjalan mendekat
Mata Clarissa masih memandang mama dan kakak Adimasta. Entah kenapa mereka tertawa. Yang Clarissa yakin mereka menertawakan Adimasta. "Maaf, Clarissa. Aku suka bercanda kayak gitu. Adimasta terlalu datar dan kaku. Makanya aku juluki dia kayu." Senyum lebar masih di bibir Anindita, dia menjelaskan apa maksud kata-katanya tadi. "Ohhh ..." Clarissa ikut tersenyum. "Tapi dia baik. Anaknya rajin dan tekun. Ga pernah bikin repot dari kecil. Tante bersyukur punya anak laki-laki tapi ga buat sakit kepala." Mama Adimasta sekarang ikut berkomentar. "Aihh, promosi. Mama ini!" Anindita melirik mamanya. "Hee hee ..." Mama Adimasta kembali tersenyum lepas. "Nggak maksud, Anin. Mama cuma bilang apa adanya." Clarissa kembali tersenyum, tipis. Dalam hatinya dia bicara sendiri. Apa reaksi ibu dan anak ini kalau tahu Adimasta cinta pada Clarissa? Kira-kira mereka akan senang atau marah-marah? "Tante, Kak, aku balik ke tempatku. Mari." Clarissa memilih minggir. "Ya, silakan. Kami juga balik ke mej
Tangan Diaz terulur pada Clarissa. Gadis itu hanya menatap dosen tampan pujaannya, tidak mau bergeming. "Clarissa ... please ... Kita bicara, ayo ... Ulurkan tangan kamu ..." Diaz membujuk Clarissa. Gadis itu masih nemplok di pagar, sebelah atas. Sedikit saja dia pasti melompat dan jatuh di aspal di luar pagar tinggi rumah ini.Clarissa memandang Diaz. Tatapannya terlihat begitu cemas. Clarissa mengulurkan tangannya. Begitu tangan mereka menyatu, Diaz menarik Clarissa dan gadis itu jatuh dalam dekapannya."Kenapa kamu nekat? Kenapa?" Diaz memeluk Clarissa erat. Debaran di dadanya karena cemas perlahan terurai.Adimasta dan Yenny, juga Bu Tirah lega, Clarissa akhirnya turun dari pagar tinggi itu. Mereka melihat Diaz masih memeluk Clarissa di rumah pohon itu."Syukurlah ... Dia baik-baik saja." Yenny melipat kedua tangannya seperti berdoa. Lega, lega sekali, Clarissa selamat.Adimasta tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia juga lega Clarissa tidak cidera. Tidak terlambat mereka tahu di mana
Clarissa dan Yenny melihat Bu Tirah di depan pintu kamar. Wanita tua itu terlihat sangat cemas. Tatapannya menunjukkan ada sesuatu yang mengkuatirkan terjadi. "Ada apa, Bu?" tanya Clarissa. "Nyonya ..." Satu kata itu yang Bu Tirah katakan, Clarissa langsung tahu, ada yang terjadi pada Rosita. "Mama kenapa?" Clarissa dengan cepat turun dari kasur dan menghampiri Bu Tirah. "Di rumah sakit. Tadi pingsan di kantor. Pak Bram menghubungi aku. Nyonya harus dirawat." Bu Tirah menjelaskan dengan suara sedikit gemetar. "Ya Tuhan." Clarissa mengusap kepalanya. Dia menoleh pada Yenny. "Ikut aku. Aku harus lihat mama." "Oke." Yenny mengangguk. Dengan cepat kedua gadis itu meninggalkan rumah dan meluncur menuju ke rumah sakit. Sampai di sana setengah berlari Clarissa dan Yenny mencari ruangan Rosita dirawat. Di dalam kamar ada dokter dan perawat yang menolong. Bramantyo berdiri di dekat pintu melihat apa yang terjadi di dalam. "Om," panggil Clarissa. Bramantyo menoleh dan melihat pada kedua
Yenny mengangkat telpon Adimasta, tetapi dia memilih agak menjauh dari Clarissa agar bisa bicara dengan leluasa. Adimasta menanyakan bagaimana keadaan Clarissa. Apakah gadis itu sudah tenang atau masih galau. Jawaban Yenny tentu saja membuat Adimasta terkejut. Bagaimana mungkin kejadian buruk menyusul? Mama Clarissa tiba-tiba masuk rumah sakit? Adimasta bisa membayangkan Clarissa makin sedih. "Yenny, apa Clarissa menangis?" tanya Adimasta. "Ya, sempat menangis. Tapi dia sekarang bingung tentang hal lain." Yenny menjawab dengan sedikit resah dan ragu. "Soal apa lagi? Ada masalah lain lagi?" tanya Adimasta. "Mama Clarissa memaksa Clarissa mengenalkan kekasihnya. Dia mau bertemu besok," jawab Yenny. "Apa?" Adimasta makin kaget. Astaga! Mama Clarissa ini sedang sakit tapi ada saja permintaannya. Yenny mengatakan hal yang mengejutkan kemudian pada Adimasta, yang membuat cowok itu terbelalak, meskipun tetap saja matanya tidak bisa lebar. Yenny minta Adimasta datang dan meminta Clarissa
Rosita dan Bramantyo memandang dua anak muda tampan dan cantik yang berjalan ke arah mereka. Adimasta, tampan, berkulit putih bersih, rapi, dan keren. Dari sikapnya sopan dan terlihat seorang pria cerdas. Rosita menyunggingkan senyum kepada keduanya yang sudah ada di dekat ranjang. Clarissa berdiri di sebelah Adimasta memandang pada Clarissa. Dia menunggu putrinya bicara. "Selamat sore, Tante, Om. Aku Adimasta." Adimasta memperkenalkan diri, mengulurkan tangan pada Rosita dan Bramantyo, bergantian menyalami mereka. Clarissa menoleh pada Adimasta. Belum dikenalkan, dia sudah langsung berinisiatif mengenalkan dirinya. "Sepede itu nih cowok?!" batin Clarissa. "Sore, Adi." Bramantyo tersenyum pada Adimasta, ramah. Dia memperhatikan wajah Adimasta yang tenang. Lalu ke Clarissa yang justru terlihat tidak begitu nyaman. Entah kenapa Bramantyo merasa Clarissa tidak beneran cinta pada cowok ganteng ini. "Aku minta Clarissa ajak kekasihnya kemari besok. Kaget juga, kamu datang hari ini," k
Malam mulai terasa dingin. Clarissa merapatkan jaketnya yang tipis. Angin menerpa dari arah depan, taman di depan kamar Rosita dirawat. Clarissa duduk di sisi Bramantyo. Dia menunggu pria itu bicara. "Rosita sedikit banyak sudah bercerita padaku tentang kamu. Kamu ..." "Tunggu dulu, Om." Clarissa memotong kata-kata Bramantyo. "Mama ga cerita yang aneh-aneh soal aku, kan?" Bramantyo tersenyum. Dia tahu Clarissa ini gadis sok jaim dan sedikit angkuh. Dia pasti akan sangat kesal jika orang lain mengatakan hal yang buruk tentang dirinya. "Baik atau buruk memangnya kenapa? Aku akan jadi papa kamu. Harus bisa terima kamu, apa adanya dirimu," kata Bramantyo. Clarissa menatap Bramantyo dengan pandangan tidak lega. "Mama kamu sangat sayang kamu, Clarissa. Dia selalu kuatir jika kamu tidak bahagia dengan hidupmu. Dia akan merasa gagal sebagai seorang ibu." Bramantyo mengucapkan sesuatu yang sedikit menyayat di hati. Clarissa memandang Bramantyo. Jadi sampai hal itu Rosita pun bercerita pa