Share

11. Aku Cinta Kakak

Tiga hari Clarissa tinggal dengan Rosita. Setelah kondisi mamanya membaik, Clarissa kembali ke tempat kosnya. Tapi komunikasi dengan Rosita lebih intens. Clarissa mau memastikan mamanya tidak drop lagi. 

Yenny juga lega, Clarissa sekarang kembali ceria. Kembali jutek dan seenaknya. Memang bikin kesal kelakuan temannya itu. Tapi begitulah Clarissa. 

"Gimana mama kamu? Masih maksa buat cari calon suami buat kamu?" Yenny bertanya. Mereka sedang menunggu kelas berikutnya. Kelas Diaz. 

"Ya, tapi ga ngotot. Aku bilang sama Mama, aku pasti bisa cari calon suami sendiri. Aku akan segera kenalkan pada mama kalau sudah jadian sama dia." Clarissa menjawab sambil membuka botol minumnya. 

"Ooh? Mama kamu sepakat?" tanya Yenny lagi. 

"Hmm-mm. Aku bilang paling lama tiga bulan aku akan bawa calon mantu buatnya." Dengan santai Clarissa menjawab lagi. Lalu dia meneguk air di botolnya. 

"What? Tiga bulan? Kamu yakin?" Yenny mengangkat kedua alisnya. Heran, kenapa Clarissa bisa bilang seperti itu? 

"Yalah. Pasti bisa. Aku sudah makin dekat sama Kak Diaz. Tinggal selangkah lagi aku pasti jadi sama dia." Dengan penuh percaya diri Clarissa mengatakannya. 

"Clay, kamu jangan sembarangan. Pak Diaz itu dosen kita." Yenny mengingatkan Clarissa. 

"Terus, kenapa? Dia pria yang baik, juga tampan. Pintar, cerdas, punya masa depan bagus. Ini dia lanjut studi, ga lama lagi jadi profesor. Kurang apa coba?" sahut Clarissa yakin. 

Yenny menepok jidatnya. Clarissa masih saja berusaha mengejar dosen itu. Padahal jelas, Diaz baik pada semua mahasiswanya. Bukan hanya Clarissa, bukan hanya yang cewek. Semua dia perhatikan. Sudah jadi rahasia umum, dosen itu seperti teman buat mahasiswa jika di luar kelas. Kalau karena itu Clarissa merasa Diaz juga ada hati padanya, menurut Yenny, Clarissa kepedean. 

"Iya. Itu benar. Tapi, Clay, sadar diri. Ih, kamu jangan sampai nyesel karena maksa sesuatu yang bukan buat kamu." Yenny tak bisa berusaha menyadarkan temannya yang mulai buta karena tertarik pada Diaz. 

"Kamu bukannya mendukung sahabat kamu biar hidup bahagia mendapatkan cinta sejatinya. Gimana, sih?" Clarissa mencibir. 

Dari pintu masuk Diaz muncul. Di belakangnya Adimasta mengikuti. Keduanya bicara sebentar, lalu Adimasta meneruskan langkah menuju ke salah satu bangku di depan. 

"Kalau aku, mending sama Adi." Yenny berbisik. 

"Hm?" Clarissa melirik Yenny. 

"Tapi terus terang aja, kasihan Adi kalau sama kamu." Yenny melanjutkan. 

"Kenapa?" Clarissa menatap dengan ekor matanya. 

"Merana ngladeni cewek aneh kayak kamu." Yenny memajukan bibirnya. 

"Kalau ngomong, penghinaan," tukas Clarissa. 

"Selamat pagi semuanya!" Diaz membuka kelas

Semua mata memandang padanya. Penasaran, dosen itu akan buat apa di kelas hari ini. Karena Diaz selalu saja membawa hal yang baru, menarik, membuat kelas menyenangkan.

Waktu berjalan dengan laju. Clarissa selalu punya waktu bisa bersama Diaz. Bahkan seminggu sekali dia minta waktu bertemu untuk bimbingan belajar, meskipun itu hanya alasan saja, agar dia bisa lebih dekat dan kenal dosennya. Diaz melakukan itu tidak lebih karena dia peduli pada mahasiswa yang dia ajar. Dan bukan hanya Clarissa. Ada beberapa yang lain yang dia perhatikan khusus. 

Baginya, dia tidak akan melebihi batas dalam kontak fisik atau bicara hal pribadinya. Jika mahasiswa curhat, itu kesempatan dia membantu mereka kuat menghadapi masalah hidup. Dia akan membimbing mereka mengambil sikap benar saat menyelesaikan masalah. 

Bagi Clarissa, semakin dia yakin dia bisa merebut hati pria tampan yang mampu membuat dia takluk. Dan Clarissa sudah menyiapkan waktu khusus dia akan mengungkapkan isi hatinya. Saat akhir semester usai ujian dia akan minta bertemu Diaz. Alasannya ingin mengucapkan terima kasih atas semua bimbingan dosennya itu. 

"Lumayan kamu semester ini. Sedikit lebih semangat." Yenny tersenyum pada Clarissa. Tetap perlu diakui, ada Diaz membuat Clarissa lumayan giat belajar, meski motivasiya kurang tepat. Demi cinta. 

"Iya, dong. Harus." Clarissa bertepuk tangan senang. "Tuntas sudah, bentar lagi libur. Leganya." 

"Aku juga udah kangen rumah. Lumayan hampir sebulan nanti bisa kumpul keluarga." Yenny tersenyum lebar. Sudah terbayang di mata, dia bisa bersama orang tua dan dua adiknya. 

"Suka ngiri kalau lihat keluarga lengkap. Ada ayah ibu dan juga saudara. Aku anak semata wayang saja ortu sampai pisah. Ketemu juga ga bisa gitu akur. Ajaib, kan?" Clarissa merasa ada rasa miris di dada Clarissa. 

"Clay, sorry ... Bukan maksud aku ..."

"Nggak. Kamu ga salah. Aku aja yang baperan. Ah, aku siap-siap dulu." Clarissa meninggalkan Yenny di ruang depan. Clarissa memilih masuk ke kamar dan menyiapkan diri buat kejutan yang dia sudah rencanakan buat Diaz. 

Dia menghubungi Diaz. Ternyata dia masih di bimbel. Clarissa bilang akan nyusul ke sana. Diaz bertanya balik ada perlu apa, dengan pintar Clarissa bilang ga bisa ngomong, mesti ketemu. Akhirnya Diaz yang memutuskan jam berapa mereka akan ketemu dan Clarissa yang menetapkan tempatnya. Clarissa tersenyum senang. Rasanya dewi keberuntungan seperti terus di pihak dia kali ini. 

Satu jam kemudian Clarissa sudah berada di sebuah kafe yang dia tetapkan sebagai tempat bertemu Diaz. Dia yakin ini akan jadi momen paling mengasyikkan buat hidupnya. Diaz, dosen tampan itu akan jadi kekasihnya. Dengan bangga dia akan ajak Diaz menemui mamanya, menunjukkan dia bisa mendapatkan calon pendamping hidup yang berkualitas. 

Jam tujuh lewat lima, Clarissa makin berdebar. Diaz belum juga muncul. Dia mengeluarkan cermin kecil, memastikan wajahnya masih berbinar, tidak kusam. Ya, cantik dan segar. Clarissa menarik nafas dalam, menyimpan lagi cermin dalam tasnya. 

Diaz berjalan ke arah Clarissa. Clarissa menyewa tempat khusus untuk pertemuan malam ini. Rumah VIP di kafe berkelas. Gadis itu berdiri dengan anggunnya menunggu Diaz mendekat. 

"Malam, Clarissa." Diaz menyapa ramah. 

"Malam, Kak. Terima kasih Kakak mau datang menemuiku." Clarissa duduk. Diaz mengambil tempat di depan Clarissa. 

"Sedang merayakan sesuatu? Ruangan ini kamu pesan khusus?" Diaz melihat sekeliling, lalu memandang Clarissa. 

"Ya, aku menyiapkan semuanya buat Kakak." Clarissa tersenyum, cantik. 

"Oh? Terima kasih." Diaz mengangkat kedua alisnya. 

"Sejak bertemu Kak Diaz di kelas, aku merasa ada sesuatu yang mendorong aku ingin  dekat Kak Diaz. Dan semakin kenal Kakak, aku merasakan hidup aku jadi lengkap." Clarissa memandang Diaz. 

Diaz sekarang mulai bisa membaca, apa yang akan Clarissa katakan padanya. 

"Aku ga pernah merasa seperti ini dengan seorang pria. Kak Diaz telah merebut hatiku." Clarissa makin lekat menatap Diaz. 

"Clarissa ..." Diaz tidak menduga Clarissa benar-benar berani. 

"Aku, dengan sepenuh hati aku mau bilang, aku cinta Kakak." Mata bulat dan indah itu menatap Diaz. 

Jujur, Clarissa memang sangat cantik dan menarik. Penampilannya unik tapi cocok dengan dirinya. Tapi tentu bukan Clarissa yang bisa membuat Diaz jatuh hati. 

"Clarissa, aku berterima kasih untuk perhatian kamu. Tapi aku menganggap kamu adikku. Sama seperti yang lain, jika di luar kelas. Tidak lebih." Dengan tenang, tapi mantap Diaz bicara. 

"Kak, beri aku kesempatan. Aku perlu pria seperti Kakak untuk mendampingi aku. Kakak tahu seperti apa hidupku. Dan, mama, dia ..."

"Clarissa, aku tahu yang kamu maksud. Mama kamu ingin segera kamu mendapatkan seorang pria yang tepat untuk mendampingi kamu kelak. Tapi maaf, aku tidak bisa. Kamu adikku. Sampai di situ batasnya. Oke?" Diaz berdiri. 

"Kak!" Clarissa ikut berdiri menatap Diaz dengan rasa marah dan kecewa. 

"Ada seseorang yang sangat cinta kamu. Dan dia yang bisa menjadi pendamping kamu. Terima kasih. Selamat malam, Clarissa." Diaz menepuk bahu Clarissa dan melangkah meninggalkan gadis itu dengan hati hampa. 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status