Share

4. Kenapa Bukan Kamu Saja?

Mata Clarissa tak berkedip memandang Adimasta yang duduk di sebelahnya. Ingin sekali dia tertawa! Ternyata Adimasta punya nasib yang sama dengannya, diajak ke acara sosialita, lalu diberi waktu bebas berkenalan dengan anak-anak para mama itu. Bisa jadi Adimasta juga korban paksaan untuk mendapat jodoh atau dijodohkan di momen seperti ini, bukan? 

"Kenapa bengong? Duduklah." Adimasta menepuk kursi di sebelahnya meminta Clarissa duduk. 

Clarissa manut, segera dia duduk. Dan langsung dia sodorkan wajah mendekat pada Adimasta dan berbisik, "Kamu udah berapa kali diajak ke acara kayak gini? Kenapa baru sekarang aku melihat kamu? Pernah dijodohkan sama yang mana, hmm?"

Adimasta melihat Clarissa. Cantik. Sangat cantik. Kali ini rambutnya coklat terang, cocok sekali buatnya. Dengan kuncir ekor kuda, Clarissa makin menawan Adimasta. 

Adimasta menaikkan kacamatanya, lalu menjawab, "Maksudnya gimana? Aku nggak ngerti. Ini kali pertama aku ikut. Bukan. Mama minta diantar."

"Ooh??" Clarissa tidak terkejut jika memang Adimasta baru sekali ikut acara para emak rempong itu.

Clarissa kembali berdiri. Dia berbisik lagi pada Adimasta, "Ikut aku."

Tanpa bertanya kenapa, Adimasta berdiri dan mengekori Clarissa. Clarissa menuju pojok ruangan, memilih meja yang hanya dengan dua kursi, agar bisa duduk berdua saja dengan Adimasta. Bagus juga cowok ini datang, Clarissa tidak perlu ikut sok baik sama anak-anak para emak itu. 

Clarissa mengambil minuman rasa jeruk, salah satu kesukaannya. Dia meneguk beberapa kali, meletakkan gelas di meja, dan melihat Adimasta yang terus saja memandang padanya. 

"Kenapa ngliatin terus? Aku ga kayak mama-mama itu, kan?" ujar Clarissa. 

"Nggak la. Berpikir saja. Jadi kamu sering ikut acara seperti ini? Biar dapat jodoh?" tanya Adimasta. 

"Mama. Dia paling getol tawarin aku sama teman-temannya. Pingin aku dapat pengusaha sukses. Menyeramkan." Clarissa menjawab sambil menggeleng-geleng. 

Adimasta melebarkan bibirnya. Lucu melihat ekspresi Clarissa. 

"Belum dapat juga jodoh?" Iseng Adimasta bertanya. 

"Mana aku mau dijodohkan? Aku datang karena ga mau ribut terus sama mama." Cepat Clarissa menyahut. "Lalu kamu?"

"Salah satu mama-mama di situ teman lama mama. Mamaku yang pakai baju putih itu." Adimasta menoleh ke arah meja besar tempat para mama lagi seru ber-hahahihi.

Clarissa memperhatikan baik-baik. Mama dengan baju putih cuma satu. Cantik. Wajahnya lembut dan sangat sederhana. Tidak menor dan penuh seperti penampilan para mama yang lain. Clarissa mengangguk setelah yakin melihat mama Adimasta. 

"Orang tuaku ga pernah mikir soal jodoh menjodohkan. Mereka terserah anak-anaknya mau cari pasangan seperti apa." Adimasta melanjutkan. 

Tiba-tiba muncul ide gila di benak Clarissa. Daripada mamanya ribet cari jodoh buat dia, kenapa bukan sama Adimasta saja? Hei, tunggu dulu! Bukan sungguhan. Hanya sandiwara untuk menenangkan mamanya. 

Clarissa tersenyum dan menatap Adimasta. Adimasta mengerutkan kening. Dari tatapan gadis itu Adimasta tahu, aura usil dan jahil sedang datang menyerang. 

"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Adimasta. 

"Dijodohkan ... kenapa bukan kamu saja?" Clarissa nyengir. 

"Hah?!" Adimasta melebarkan mata sipitnya yang tetap saja tidak lebar juga. 

"Iya, Di. Daripada terus terusan mama ribet cari cowok buat aku. Bantu aku, deh." Clarissa memainkan alisnya. 

Dada Adimasta berdetak dengan cepat seketika. Rasanya seperti Clarissa sedang menembaknya. Gadis itu begitu santai tidak ada beban. Seperti tidak juga berpikir apa yang sedang dia ucapkan. Adimasta yang jadi gugup. Wajahnya sedikit memerah. 

Wajah Adimasta yang berubah itu membuat Clarissa ngakak. Cepat-cepat dia tutup mulut takut semua orang menoleh padanya karena tertawa. 

"Kamu sembarangan. Hubungan kayak gitu buat main-main." Adimasta menetralkan hatinya. Memang dia cinta Clarissa, tapi jelas bukan dengan cara begini dia akan merebut hati gadis cantik di depannya ini. 

"Beneran kamu ga mau?" tanya Clarissa, sedikit cemberut. Adimasta menggeleng. "Ga kasihan sama aku?"

"Kalau bohongan ga mau, Clay. Aku itu cinta sama kamu. Mending beneran aja. Gimana?"

"Apa? Kamu mau pacaran sama aku? Kamu cinta sama aku?! Ngaca!! Emang seganteng apa kamu, hah!??" 

Clarissa menatap dengan mata melotot, wajah merah, tangan dua-duanya terkepal siap menonjok muka putih mulus Adimasta Cakradinata. 

Tiba-tiba ada tangan melambai-lambai di depan muka Adimasta. Adimasta gelagapan. Dia melamun, membayangkan andai dia tembak Clarissa, bisa pecah perang yang ada. 

"Bengong lagi?!" Clarissa menatap Adimasta. "Gimana?" 

"Nggak. Sorry," tegas Adimasta. Karena dalam pikirannya, sekali bohong akan merembet pada bohong berikutnya dan seterusnya, dan seterusnya. 

"Yaa ... Ga setia kawan." Clarissa makin cemberut. 

Adimasta cuma senyum tipis. Dia meraih gelas di depannya, meneguk hingga isi gelas itu hampir kosong. 

Sampai lebih sejam berikut, Clarissa pamitan pulang lebih dulu. Dia beralasan ada tugas mendesak harus diselesaikan. Rosita tak bisa menahan putrinya untuk tetap tinggal.

Adimasta memperhatikan Clarissa yang pamitan pada mamanya lalu berjalan meninggalkan resto mewah itu. Hati Adimasta makin meluap dengan rasa sayang. Clarissa gadis yang malang. Dia butuh perhatian dan dipedulikan. Hidupnya tidak kekurangan, tapi ada sisi dirinya yang kosong. 

"Aku akan coba mendekat. Entah bagaimana Clarissa akan menerima aku. Aku juga belum tahu seperti apa nanti." Hati Adi bicara. Desiran halus kembali merambah hati Adimasta. 

*****

Hari ini kembali kelas Pak Diaz. Clarissa masih akan memakai strategi lama, datang telat. Dia mau lihat reaksi dosen muda ganteng itu seperti apa. Yenny sudah masuk kelas duluan. Clarissa sengaja belok ke toilet lebih dulu. 

Yenny gemas sekali, dosen sudah di kelas Clarissa belum juga nongol. Mana tidak bisa pakai HP lagi kalau sudah mulai kuliah. Yenny bolak balik menengok ke pintu, berharap Clarissa cepat nongol.

Hampir sepuluh menit kelas berjalan, Clarissa muncul. Seperti yang lalu, dengan santai dia masuk. Bedanya kali ini Clarissa menyapa, bukan langsung nyelonong. 

"Hai, Pak Diaz. Maaf, aku telat lagi." Dengan senyum lebar, Clarissa melambai pada Diaz. 

Mata Diaz langsung tajam menatap pada gadis itu. Kali ini rambutnya rada normal, berwarna coklat, meski agak terang. 

"Saya sudah tegaskan tidak boleh ada yang telat datang kelas saya." Diaz bicara to the point. 

"Pak, panggilan alam. Saya sakit perut. Ga mungkin ditahan, kan?" Clarissa beralasan. Beberapa teman sudah terkikik dengan tingkah Clarissa. 

Diaz makin tajam memandang mata Clarissa. Dia bisa tahu kalau seseorang mengada-ada atau bicara benar. 

"Pak ..."

"Kamu berbohong, Nona. Kali ini masih peringatan saja. Tapi yang terakhir kali. Jika sekali lagi kamu telat lebih baik tidak masuk, atau sekalipun kamu duduk di dalam kelas, saya tetap anggap kamu absen dari kelas saya." Diaz tidak mau ada mahasiswa sok akrab dan cari-cari alasan jika tidak serius dengan kelasnya. 

"Ih, sadis juga." Clarissa menaikkan kedua alisnya. 

"Kelas ini tanggung jawab saya. Saya tidak mau siapapun akan mengganggu kelancaran kelas. Saya hitung sampai sepuluh kamu harus sudah duduk. Paham?" Diaz mulai geram dengan tingkah Clarissa. 

"Iya, iya ..." Clarissa segera mencari bangku kosong. Dan sebelum Diaz menyebut angka sepuluh, Clarissa sudah duduk. Tepat, di sisi Adimasta. 

Adimasta geleng-geleng pada Clarissa. Diperhatikan begitu Clarissa menjulurkan lidah pada Adimasta, kesal. 

Diaz pun melanjutkan kelasnya. Dia tahu Clarissa tidak akan berhenti mengerjai kelas. Karena memang seperti itu tabiat gadis itu. Tapi Diaz bertekat sebelum semester berakhir, Clarissa akan bertobat. 

Sementara, Clarissa kembali memutar otak agar bisa mendekati guru itu. Di kelas tidak efektif. Padahal wajah tampannya itu makin sering mengganggu hari-hari Clarissa. 

"Aha!! Tugas kuliah, tempat kosnya!!" Di kepala Clarissa muncul ide lain lagi. 

Seperti apa rencana Clarissa? Apa dia berhasil menarik perhatian dosennya itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status