Mata Clarissa tak berkedip memandang Adimasta yang duduk di sebelahnya. Ingin sekali dia tertawa! Ternyata Adimasta punya nasib yang sama dengannya, diajak ke acara sosialita, lalu diberi waktu bebas berkenalan dengan anak-anak para mama itu. Bisa jadi Adimasta juga korban paksaan untuk mendapat jodoh atau dijodohkan di momen seperti ini, bukan?
"Kenapa bengong? Duduklah." Adimasta menepuk kursi di sebelahnya meminta Clarissa duduk.
Clarissa manut, segera dia duduk. Dan langsung dia sodorkan wajah mendekat pada Adimasta dan berbisik, "Kamu udah berapa kali diajak ke acara kayak gini? Kenapa baru sekarang aku melihat kamu? Pernah dijodohkan sama yang mana, hmm?"
Adimasta melihat Clarissa. Cantik. Sangat cantik. Kali ini rambutnya coklat terang, cocok sekali buatnya. Dengan kuncir ekor kuda, Clarissa makin menawan Adimasta.
Adimasta menaikkan kacamatanya, lalu menjawab, "Maksudnya gimana? Aku nggak ngerti. Ini kali pertama aku ikut. Bukan. Mama minta diantar."
"Ooh??" Clarissa tidak terkejut jika memang Adimasta baru sekali ikut acara para emak rempong itu.
Clarissa kembali berdiri. Dia berbisik lagi pada Adimasta, "Ikut aku."
Tanpa bertanya kenapa, Adimasta berdiri dan mengekori Clarissa. Clarissa menuju pojok ruangan, memilih meja yang hanya dengan dua kursi, agar bisa duduk berdua saja dengan Adimasta. Bagus juga cowok ini datang, Clarissa tidak perlu ikut sok baik sama anak-anak para emak itu.
Clarissa mengambil minuman rasa jeruk, salah satu kesukaannya. Dia meneguk beberapa kali, meletakkan gelas di meja, dan melihat Adimasta yang terus saja memandang padanya.
"Kenapa ngliatin terus? Aku ga kayak mama-mama itu, kan?" ujar Clarissa.
"Nggak la. Berpikir saja. Jadi kamu sering ikut acara seperti ini? Biar dapat jodoh?" tanya Adimasta.
"Mama. Dia paling getol tawarin aku sama teman-temannya. Pingin aku dapat pengusaha sukses. Menyeramkan." Clarissa menjawab sambil menggeleng-geleng.
Adimasta melebarkan bibirnya. Lucu melihat ekspresi Clarissa.
"Belum dapat juga jodoh?" Iseng Adimasta bertanya.
"Mana aku mau dijodohkan? Aku datang karena ga mau ribut terus sama mama." Cepat Clarissa menyahut. "Lalu kamu?"
"Salah satu mama-mama di situ teman lama mama. Mamaku yang pakai baju putih itu." Adimasta menoleh ke arah meja besar tempat para mama lagi seru ber-hahahihi.
Clarissa memperhatikan baik-baik. Mama dengan baju putih cuma satu. Cantik. Wajahnya lembut dan sangat sederhana. Tidak menor dan penuh seperti penampilan para mama yang lain. Clarissa mengangguk setelah yakin melihat mama Adimasta.
"Orang tuaku ga pernah mikir soal jodoh menjodohkan. Mereka terserah anak-anaknya mau cari pasangan seperti apa." Adimasta melanjutkan.
Tiba-tiba muncul ide gila di benak Clarissa. Daripada mamanya ribet cari jodoh buat dia, kenapa bukan sama Adimasta saja? Hei, tunggu dulu! Bukan sungguhan. Hanya sandiwara untuk menenangkan mamanya.
Clarissa tersenyum dan menatap Adimasta. Adimasta mengerutkan kening. Dari tatapan gadis itu Adimasta tahu, aura usil dan jahil sedang datang menyerang.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Adimasta.
"Dijodohkan ... kenapa bukan kamu saja?" Clarissa nyengir.
"Hah?!" Adimasta melebarkan mata sipitnya yang tetap saja tidak lebar juga.
"Iya, Di. Daripada terus terusan mama ribet cari cowok buat aku. Bantu aku, deh." Clarissa memainkan alisnya.
Dada Adimasta berdetak dengan cepat seketika. Rasanya seperti Clarissa sedang menembaknya. Gadis itu begitu santai tidak ada beban. Seperti tidak juga berpikir apa yang sedang dia ucapkan. Adimasta yang jadi gugup. Wajahnya sedikit memerah.
Wajah Adimasta yang berubah itu membuat Clarissa ngakak. Cepat-cepat dia tutup mulut takut semua orang menoleh padanya karena tertawa.
"Kamu sembarangan. Hubungan kayak gitu buat main-main." Adimasta menetralkan hatinya. Memang dia cinta Clarissa, tapi jelas bukan dengan cara begini dia akan merebut hati gadis cantik di depannya ini.
"Beneran kamu ga mau?" tanya Clarissa, sedikit cemberut. Adimasta menggeleng. "Ga kasihan sama aku?"
"Kalau bohongan ga mau, Clay. Aku itu cinta sama kamu. Mending beneran aja. Gimana?"
"Apa? Kamu mau pacaran sama aku? Kamu cinta sama aku?! Ngaca!! Emang seganteng apa kamu, hah!??"
Clarissa menatap dengan mata melotot, wajah merah, tangan dua-duanya terkepal siap menonjok muka putih mulus Adimasta Cakradinata.
Tiba-tiba ada tangan melambai-lambai di depan muka Adimasta. Adimasta gelagapan. Dia melamun, membayangkan andai dia tembak Clarissa, bisa pecah perang yang ada.
"Bengong lagi?!" Clarissa menatap Adimasta. "Gimana?"
"Nggak. Sorry," tegas Adimasta. Karena dalam pikirannya, sekali bohong akan merembet pada bohong berikutnya dan seterusnya, dan seterusnya.
"Yaa ... Ga setia kawan." Clarissa makin cemberut.
Adimasta cuma senyum tipis. Dia meraih gelas di depannya, meneguk hingga isi gelas itu hampir kosong.
Sampai lebih sejam berikut, Clarissa pamitan pulang lebih dulu. Dia beralasan ada tugas mendesak harus diselesaikan. Rosita tak bisa menahan putrinya untuk tetap tinggal.
Adimasta memperhatikan Clarissa yang pamitan pada mamanya lalu berjalan meninggalkan resto mewah itu. Hati Adimasta makin meluap dengan rasa sayang. Clarissa gadis yang malang. Dia butuh perhatian dan dipedulikan. Hidupnya tidak kekurangan, tapi ada sisi dirinya yang kosong.
"Aku akan coba mendekat. Entah bagaimana Clarissa akan menerima aku. Aku juga belum tahu seperti apa nanti." Hati Adi bicara. Desiran halus kembali merambah hati Adimasta.
*****
Hari ini kembali kelas Pak Diaz. Clarissa masih akan memakai strategi lama, datang telat. Dia mau lihat reaksi dosen muda ganteng itu seperti apa. Yenny sudah masuk kelas duluan. Clarissa sengaja belok ke toilet lebih dulu.
Yenny gemas sekali, dosen sudah di kelas Clarissa belum juga nongol. Mana tidak bisa pakai HP lagi kalau sudah mulai kuliah. Yenny bolak balik menengok ke pintu, berharap Clarissa cepat nongol.
Hampir sepuluh menit kelas berjalan, Clarissa muncul. Seperti yang lalu, dengan santai dia masuk. Bedanya kali ini Clarissa menyapa, bukan langsung nyelonong.
"Hai, Pak Diaz. Maaf, aku telat lagi." Dengan senyum lebar, Clarissa melambai pada Diaz.
Mata Diaz langsung tajam menatap pada gadis itu. Kali ini rambutnya rada normal, berwarna coklat, meski agak terang.
"Saya sudah tegaskan tidak boleh ada yang telat datang kelas saya." Diaz bicara to the point.
"Pak, panggilan alam. Saya sakit perut. Ga mungkin ditahan, kan?" Clarissa beralasan. Beberapa teman sudah terkikik dengan tingkah Clarissa.
Diaz makin tajam memandang mata Clarissa. Dia bisa tahu kalau seseorang mengada-ada atau bicara benar.
"Pak ..."
"Kamu berbohong, Nona. Kali ini masih peringatan saja. Tapi yang terakhir kali. Jika sekali lagi kamu telat lebih baik tidak masuk, atau sekalipun kamu duduk di dalam kelas, saya tetap anggap kamu absen dari kelas saya." Diaz tidak mau ada mahasiswa sok akrab dan cari-cari alasan jika tidak serius dengan kelasnya.
"Ih, sadis juga." Clarissa menaikkan kedua alisnya.
"Kelas ini tanggung jawab saya. Saya tidak mau siapapun akan mengganggu kelancaran kelas. Saya hitung sampai sepuluh kamu harus sudah duduk. Paham?" Diaz mulai geram dengan tingkah Clarissa.
"Iya, iya ..." Clarissa segera mencari bangku kosong. Dan sebelum Diaz menyebut angka sepuluh, Clarissa sudah duduk. Tepat, di sisi Adimasta.
Adimasta geleng-geleng pada Clarissa. Diperhatikan begitu Clarissa menjulurkan lidah pada Adimasta, kesal.
Diaz pun melanjutkan kelasnya. Dia tahu Clarissa tidak akan berhenti mengerjai kelas. Karena memang seperti itu tabiat gadis itu. Tapi Diaz bertekat sebelum semester berakhir, Clarissa akan bertobat.
Sementara, Clarissa kembali memutar otak agar bisa mendekati guru itu. Di kelas tidak efektif. Padahal wajah tampannya itu makin sering mengganggu hari-hari Clarissa.
"Aha!! Tugas kuliah, tempat kosnya!!" Di kepala Clarissa muncul ide lain lagi.
Seperti apa rencana Clarissa? Apa dia berhasil menarik perhatian dosennya itu?
Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik
Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.
Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.
Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari
Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap
Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb
Beberapa saat lamanya, Clarissa menangis di pelukan Adimasta. Dia merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Sesekali Adimasta mengusap atau menepuk, berusaha menenangkan Clarissa. Hal yang sama yang dulu Adimasta lakukan, sama seperti yang papa Clarissa lakukan. Adimasta sedang berperan jadi Arlon dalam pikirannya. Sedang Clarissa, di tengah tangisnya, terus berdoa, Adimasta akan kembali pada dirinya. Dirinya yang saat ini bersama Clarissa. Yang menyadari kalau Clarissa sudah cinta dan jatuh cinta padanya. Clarissa yang marah dan cemburu buta karena Adimasta peduli dengan cewek lain. "Katakan semuanya. Apapun itu. Anggap aku papa kamu." Kata-kata yang sama Adimasta ucapkan lagi. Perlahan, tangis Clarissa mereda. Dia angkat wajahnya, memandang Adimasta. Rasa sayang yang besar menyelimuti hati Clarissa. Apa yang akan dia katakan agar Adimasta tahu posisi mereka sebenarnya seperti apa? "Papa dan aku sudah baikan, Adi. Kamu tidak ingat, kalau kita bahkan
Dengan kesal Clarissa meletakkan ponselnya. Dia menelpon Yenny ingin dibelikan buah, malah Yenny bicara tidak jelas. "Siapa yang mau pergi ke club? Ngaco nih orang! Lagi sakit kepala apa si Yenny?" gerutu Clarissa.Duduk di depan meja belajar. melipat kedua tangannya ngedumel sendiri. Dering suara panggikan masuk. Clarissa melirik pada ponsel yang ada di depannya. Yenny. Masih kesal, Clarissa mengangkatnya. "Kamu kenapa, sih? Aku ngomong soal buah, kamu kok ga nyambung gitu," tukas Clarissa. "Clay, kamu ke club cepetan. Aku dan Adi nyusul ke sana." Yenny bicara dengan cepat "Hah??!" Clarissa seketika melotot mendengar itu. Aneh sekali sahabatnya itu. Gimana bisa dia menyuruh Clarissa pergi ke club. Ini juga masih belum beneran sore. Yenny mengatakan apa yang dia pikirkan saat bicara dengan Adimasta. Ternyata ini seperti sebuah pintu membawa Adimasta mengingat kembali pada Clarissa dan dirinya. Clarissa masih belum begitu pah
Mata Clarissa nanar memandang keluar kamarnya. Bukan taman cantik di halaman yang dia perhatikan. Wajah Adimasta yang menatap dingin kepadanya yang tampak. Ucapan Adimasta yang penuh kekecewaan yang melingkupi hati Clarissa. Yenny duduk di sisinya, mengusap pundak Clarissa. Gundah juga menyapa Yenny setelah mendengar penuturan Clarissa. Adimasta menolak kekasihnya. Yang dia ingat Clarissa hanya bertingkah menyebalkan dan Adimasta tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Semua bayangan kisah manis dan romantis yang sudah terjadi hilang dari kepala Adimasta. Dua hari, Clarissa tidak datang ke rumah Adimasta. Gadis itu tidak mau berbuat apa-apa. Hanya rebahan, duduk, main ponsel, bahkan enggan keluar kamar sekedar mengambil makanan online yang dia pesan. "Kamu benar-benar sayang Adi. Justru sekarang Adi yang begini." Hati Yenny bicara. Dia merasa pilu juga merasakan kedua teman baiknya. Dia harus melakukan sesuatu. Yenny Yakin, Adimasta dan Clarissa pasti bisa b