Clarissa mengangguk lalu berdiri. Bagaimanapun dia harus menghadapi ini. Diaz memang tidak akan pernah melihatnya sebagai seorang wanita yang bisa membuat jatuh hati. Tapi itu bukan salahnya. Cinta Diaz buat Anindita. Dan mereka memang serasi.
"Nanti jangan jauh-jauh dari aku." Clarissa berpesan pada Adimasta.
"Iya, tentu." Adimasta tersenyum tipis.
Keduanya melangkah menuju ke hall di samping gereja. Resepsi diadakan di sana. Tamu-tamu mulai masuk dan menunggu kehadiran mempelai. Suasana meriah dan menyenangkan. Senyum dan tawa terdengar di sana sini.
Adimasta menggandeng Clarissa masuk ke sana. Segera beberapa keluarga dan teman menyapa. Adimasta bicara dengan mereka dan mengenalkan Clarissa. Clarissa bersikap sewajar mungkin. Dia tidak boleh membuat keluarga Adimasta malu karena dia.
Lalu Adimasta mengajak Clarissa menuju pelaminan. Adimasta bahkan belum sempat mengucapkan selamat buat kakaknya dan Diaz. Sebelum upacara pernikah
Pertanyaan Yenny membuat Clarissa tersenyum kecut. Pernikahan Diaz. Semua baik, lancar, bagus. Tapi sempat membuat Clarissa sedikit galau. "Kamu baik-baik, kan?" Yenny melihat senyum Clarissa dan langsung tahu ada yang sesuatu. "Aku merasa aneh dengan diriku. Berat lihat Kak Diaz nikah. Serius. Aku ga tahu, bisa gini banget." Clarissa memang tidak bisa menyimpan apapun dari Yenny. Yenny memandang Clarissa. Jadi dosen itu belum hilang di pikiran Clarissa? Lalu, bukannya ada Adimasta bersamanya? Bagaimana perasaan Adimasta jika tahu ini? "Sekarang lupakan. Kak Diaz suami orang. Dan kamu, kamu pacar Adi. Ingat itu. Apa yang Adi pikir kalau dia tahu kamu galau gara-gara Pak Diaz? Sedih dia, Clay." Yenny berkata dengan tegas. "Adi tahu, kok," ucap Clarissa. "Hah?! Adi tahu?! Kamu bilang sama dia? Kamu galau karena Pak Diaz nikah dan kamu kasih tahu pacar kamu?! Clay!! Kamu keterlaluan." Yenny beneran kesal kare
Clarissa menarik lengan Yenny, meminta temannya itu berhenti tertawa. "Apa yang lucu?!" tukas Clarissa kesal. Dia mengurungkan melajukan mobil, memandang Yenny tajam. "Kamu, Clay. Kamu itu udah cinta sama Adi, tahu nggak?" Yenny menahan diri agar tidaki tertawa. Senyumnya melebar. "Cinta apa? Ihh." Clarissa melepaskan tangan Yenny sedikit keras. "Clay, kalau nggak cinta ngapain kamu marah ada yang ngomongin Adi? Bangga harusnya kita, punya teman sekelas keren dan digandrungi adik tingkat." Yenny menggoda Clarissa. "Hei, biar aku ga cinta, Adi bukan cowok jomlo. Ga bisa sembarangan dia jalan sama cewek. Enak saja." Clarissa mulai menjalankan mobilnya. Yenny menutup mulut dengan tangan. Clarissa masih tidak mau mengakui kalau dia mulai cinta sama Adimasta. Sisi angkuh Clarissa ternyata tidak mudah luluh. Yenny tidak habis pikir. Apa susahnya bilang ya, emang sayang. Dia bisa lebih tenang menjalani hubungannya dengan Adimasta. Tidak perlu
Dengan cepat Clarissa membuka pesan dari papanya. - Clarissa, bisakah kita bertemu? Papa ingin bicara, berdua. Dada Clarissa berdetak lebih cepat. Dia ingat terakhir kali bertemu, Arlon datang ke dengan keluarganya. Dan Clarissa sangat marah. Dia pergi begitu saja tanpa mau memberi kesempatan papanya bicara dengannya. Sejak itu pula Clarissa memilih tidak berkomunikasi dengan Arlon. Keyakinannya bahwa dia tidak lagi penting buat papany semakin dalam. Karena itu lebih baik dia tidak berkomunikasi lagi. Clarissa belum yakin apakah dia mau bertemu papanya. Dia tidak mau lagi-lagi papanya hanya PHP. Ternyata dia membawa istri dan anaknya yang tampan itu. - Clarissa, papa hanya butuh waktu 30 menit. Pesan Arlon kembali masuk. Clarissa mengacak rambutnya asal. Rasa kesalnya nongol lagi jika ingat siang hari itu, saat dia datang di hotel tempat papanya menginap. Ting! Pesan masuk lagi. Papanya benar-benar niat mau bertemu dengannya? S
Clarissa tidak segera membalas perkataan Arlon. Dadanya mulai terasa penuh. Dan dia ingat Adimasta. Rasanya dia mau cowok sipit berkacamata itu ada di dekatnya dan menenangkan dia. "Sayang, hidup terus berjalan. Aku ingin menemukan tujuan hidupku. Bersama istri dan anakku sekarang, semua berbeda. Aku merasa lengkap." Arlon memandang Clarissa. Dia ingin juga Clarissa memahami dirinya dan bukan hanya melihat masa lalu. "Lengkap? Jika aku masuk, aku jadi pengganggunya!" Suara Clarissa mulai naik. "Itu tidak benar," bantah Arlon. "Kamu putriku. Sampai kapanpun, tidak akan berubah." "Putri yang tidak terlihat," sahut Clarissa dengan nada kesal. "Itu kesalahanku. Aku minta maaf, Clarissa. Aku menganggap kamu baik-baik saja. Karena kamu gadis yang kuat." Arlon berusaha menjelaskan apa yang dia pikirkan. "Kuat? Gadis dua belas tahun, melihat papa dan mamanya berpisah dengan pertengkaran tak kunjung berakhir? Lalu ditinggal sendirian. Sekalipun
Wajah Adimasta sedikit memerah karena dia masih panas. Tapi hatinya girang, Clarissa manis sekali hari ini. Kekasihnya itu gembira setelah bertemu papanya, dan sedikit sendu karena rasa haru. "Kamu ga usah ikut repot ngurusin mahasiswa baru lagi. Buat apa kalau ujung-ujungnya kamu sakit?" Clarissa masih memandang Adimasta. "Yang kita lakukan itu pasti ada baiknya. Ga sia-sia. Dan semua yang kita kerjakan ada resikonya. Cuma demam juga. Ntar sore pasti udah baikan." Adimasta tersenyum dengan bibir tipisnya. "Beneran, harus baikan. Kalau kamu ga bisa kuliah, yang aku usilin siapa?" Clarissa nyengir. "Hee ... hee ..." Adimasta terkekeh. "Aduh, pusing." Adimasta memegang kepalanya. Ada yang berdenyut rasanya. "Masih sakit? Udah kamu tiduran aja." Clarissa memegang lengan Adimasta. Adimasta manut. Dia merebahkan badan dan kembali berbaring. "Tapi aku senang sakit gini." Adimasta tersenyum sa
Clarissa masih belum bergerak dari tempatnya berdiri. Dia makin menajamkan telinga agar lebih jelas mendengar pembicaraan Arlon dengan istrinya. Ada sesuatu yang membuat Clarissa mulai penasaran seperti apa wanita yang sekarang dicintai papanya. "Aku akan ceritakan semua nanti saat aku pulang. Clarissa dan aku bersenang-senang malam ini. Terima kasih buat dukungan kamu, Honey ... Hmmm ... oke. Cium sayang buat Calvin. Bye." Akhirnya sambungan telpon Arlon putus. Clarissa menarik nafas dalam, lalu dia melangkah lagi mendekati papanya. "Minuman sudah siap!" Clarissa bicara dengan ceria, dia sisihkan semua rasa yang mengaduk-aduk hatinya setelah mendengar pembicaraan Arlon tadi. "Hei, makin seru, nih." Arlon tersenyum. Dia mengulurkan tangan mengambil satu cangkir dari tangan Clarissa. Clarissa duduk di sisi Arlon. Dia pandangi wajah papanya yang tampan dan terlihat sedikit lebih muda dibanding usianya. Ada kebahagiaan di sana, seperti saat Clari
Arlon melihat pada pria yang ada di depannya. Beberapa tahun lebih muda darinya. Pria ini yang menjadi pendamping Rosita. "Ini papa, Om. Aku bertemu papa hari ini dan papa mengantar aku ke sini." Clarissa mengenalkan Arlon pada Bramantyo. "Selamat sore, aku Bramantyo." Segera Bramantyo mengulurkan tangan pada Arlon. "Aku Arlon. Senang bertemu denganmu." Arlon membalas dengan menjabat tangan Bramantyo. "Om, mama ..." Clarissa menyela. Dia tidak sabar ingin tahu kondisi Rosita. "Sejak kemarin dia mulai tidak sehat. Aku minta dia istirahat, tapi sembunyi-sembunyi masih juga mengerjakan proyek. Katanya hanya proyek kecil. Tapi tetap saja pikirannya terkuras. Dia harus banyak duduk mengerjakan itu. Akhirnya dia tidak bisa menahan sakit yang mendera." Bramantyo menjelaskan. "Apa aku bisa ketemu mama?" tanya Clarissa. "Ya, masuklah. Mungkin Rosi sudah tidur. Tapi tidak apa, kamu bisa melihatny
Bramantyo memandang Clarissa. Dia tersenyum dengan tatapan yang sengaja dia buat seolah dia kesal. Clarissa menggembungkan pipinya. Clarissa pikir masalah baru akan segera muncul. "Ya, aku kesal. Aku cemburu," kata Bramantyo. "Upss ..." Clarissa menepuk kedua pipinya. Dadanya tiba-tiba degdegan. "Maunya begitu." Secepat kilat Bramantyo melanjutkan. Nada suaranya berubah, kembali normal. "Hah?" Clarissa mengangkat kedua alisnya dan melebarkan mata. "Aku bukan anak baru gede, Clarissa. Kamu pikir apa? Kalau aku cemburu, aku masuk ke dalam kamar lalu aku damprat papa kamu, begitu? Atau lebih ekstrim aku tonjok mukanya ..." Clarissa tersenyum lebar. Ucapan Bramantyo kembali dilepaskan dengan nada lucu. Clarissa lega, Bramantyo hanya mengerjai dia. "Om, bisa aja becanda," ujar Clarissa. "Kamu itu, seperti keponakan aku. Umur kalian ga jauh beda. Dia mirip kamu, gayanya. Kalau melihat kamu aku jadi ingat keponakanku itu. Maka