Share

Bab 2 : Frustasi

Mendengar perkataan Bu Diah, Gaffar benar-benar merasa terpojokan. Ia pun mencari alibi sebagai pembelaan dan untuk menepis perkataan dari Bu Diah. 

"Ibu kan tau, kalau saya ini biasa nggambar dan melukis pake cat semprot bukan cat air seperti ini. Mana ada duit Bu saya buat beli cat air ini," bela Gaffar.

"Kamu fikir saya percaya?!" Seru Bu Diah yang kini sudah terpancing emosi.

"Males ah kalo disuruh mikir!" Jawab Gaffar seolah tak peduli dengan amarah Bu Diah yang sudah di ubun-ubun.

"Gaffar!"

"Apa sih?"

Bu Diah terlihat mengelus dada meladani manusia setengah waras seperti Gaffar.

"Bicara dengan nada sopan dan nggak boleh ngegas. Inget?!" Bu Diah memperingatkan Gaffar untuk berperilaku santun.

"Iya iya iya, Bu."

"Jadi ini mau gimana? Masalahnya, kepala sekolah mengancam pelaku pembuat mural ini akan dikeluarkan dari sekolah, Gaffar!" Bu Diah pun ikut pusing meladeni masalah ini.

"Hanya karena sebuah lukisan mural dia mau ngeluarin si pelaku? Gila! Nggak punya otak! Meskipun ini bukan saya yang gambar, tapi saya tetap nggak setuju! Menggambar itu seni. Sebuah kreatifitas yang harus diasah. Jadi, bukan menjadi patokan untuk menjadi aturan!" Seru Gaffar dengan bijaknya.

"Ini bukan tentang nilai seni Gaffar. Ini tentang penempatan dan caranya yang salah. Kamu menggambar di arena sekolah yang belum mendapat izin dari pihak yang bersangkutan," ujar Bu Diah membela diri.

"Berapa kali saya harus bilang kalau ini bukan karya saya bu?!"

"Apa ada suatu hal yang membuat saya percaya dengan omongan kamu?" Tanya Bu Diah seolah meremehkan.

Gaffar nampak berfikir sejebak dan memandangi lukisan pad tembok itu. Berkat ketelitiannya, Gaffar menemukan titimangsa pada gambar tersebut.

-Ky

"Ibu bisa lihat, disini terdapat tulisan ky yang mungkin inisial nama si pembuat lukisan. Dan Ibu tau kan nama saya Gaffar Adi Pratama yang nggak ada sangkut pautnya sama sekali dengan huruf k dan y?!"

Bu diah nampak memandangi kode ky itu.

"Oke, saya beri kamu tantangan. Buktikan jika ini bukan kamu yang menggambar, saya tunggu selama 1 minggu."

"Hah? Seminggu?! Gila! Terlalu sebentar bu!"

"Oke, 5 hari."

"Nggak jadi deh bu, satu minggu aja udah nggak apa-apa."

"Bagus, saya suka semangat kamu. Karena saya juga yakin, ini bukan karya kamu." Setelah mengatakan hal tersebut, Bu Diah langsung pergi meninggalkan Gaffar.

"I love you Bu .... " Teriak Gaffar saat Bu Diah sudah melangkah pergi.

Setelah kepergian Bu Diah, Gaffar memandangi lukisan huruf kecil yang berada pada pojok kanan atas yang sangat kecil.

"Siapa K Y?" Tanya Gaffar dengan dirinya sendiri.

"Apa mungkin, Komisi Yudisial?" Gumam Gaffar. 

Gaffar kebali memandangi lukisan mural tersebut dan berjanji akan menemukan pelaku yang sebenarnya. 

----

"Muka lo kenapa? Kusam banget kaya cucian belum kering." 

Saat Gaffat pulang ke rumahnya, justru bukan sambutan baik yang didapatkan. Melainkan ejekan dari sang Kakak yang biasa ribut dengannya. 

"Berisik banget sih, lo. Mending diem kalo nggak bisa bantu."

"Kenapa jadi marah, dih? Dasar, aneh." Perempuan yang kini menggunakan setelan daster khas rumahan tersebut mendengus dan langsung meninggalkan Gaffar yang kini sedang termenung di ruang tamu. 

"Lo nggak kerja, Mba?" Teriak Gaffar yang melihat sang Kakak menuju dapur.

"Kerja dong, kalo gue nggak kerja, mau makan apa lo nanti? Shift malem gue," sahutnya yang kini masih belum nampak di hadapan Gaffar.

"Sial, kenapa gue mikirin kaya gini, sih?!" Seru Gaffar seraya mengacak rambutnya dengan penuh emosi dan frustasi.

Akhirnya, Gaffar bangkit dari ruang tamu dan masuk menuju ruang tengah hendak menyusul sang Kakak. Barangkali ada makanan yang bisa ia makan sedikit bisa meredakan pusingnya.

Perlu diketahui, Gaffar hanya tinggal bersama sang kakak. Kedua orang tuanya sudah berpisah sejak Gaffar berusia 5 tahun. Ia sudah terbiasa hidup dengan sang Kakak. Dari dulu, Gaffar selalu mengikuti kemana pun Mei-- sang kakak main. Untuk itulah, ia selalu berusaha baik-baik saja. Karena sang kakak jauh lebih besar menanghung bebannya. 

Brakk

Lemparan kardus dengan ukuran sedang mengenai tubuh Gaffar yang kini sedang berjalan mendekat ke meja makan.

"Apa-apaan nih," seru Gaffar dan menatap emosi kepada si pelaku yang kini tangganya bersilah dada dan siap menyidak sang adik.

"Apaan sih, Mba?!" Lanjutnya. 

"Yang sopan kalo ngomong sama orang tua! Tuh pesenan lo, kan? Bagus, terus aja. Disini cari duit hampir gila, lo malah seenaknya hambur-hamburin." Dengan sorot mata tajam dan tangan yang menunjuk alat-alat lukis yang kini sudah berhamburan, Mei marah besar karena kelakuan Gaffar yang memesan sebuah paket untuk melukis.

"Ini gue beli dari uang gue sendiri mba, dari hadiah event mural bulan kemarin," bela Gaffar yang merapihkan barang-barangnya tersebut yang kini berhamburan.

"Iya gue tau itu uang lo, tapi mikir dong! Itu masih banyak, Gaff!" Mei menunjuk cat semprot milik Gaffar yang sudah sangat banyak. Bahkan rak untuk tempat menyimpannya pun terlihat sudah tidak muat.

"Belum yang dikamar lo. Terus di ruang belakang. Mau lo apa sih sebenernya? Cape gue lama-lama nanggepin lo. Lama-lama makin seenaknya."

Mei langsung meninggalkan Gaffar dan menutup pintu dengan keras sehingga membuat Gaffar tersentak. 

Gaffar memandangi pintu yang tertutup dengan raut wajah bersalah. 

"Bener juga ya yang dibilang mba Mei. Tapi udah terlanjur dibeli. Nggak papa deh."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status