Love Puzzle Painting

Love Puzzle Painting

Oleh:  04. Aura Pitaloka  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
Belum ada penilaian
19Bab
1.2KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Hidup adalah perjuangan dan menyerah adalah pantangan. Untuk itulah manusia harus rela berkorban untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Termasuk kebenaran. Apakah kebenaran akan terungkap? Dan bagaimana jika kebenaran itu sangat menyakitkan? Sanggapkah Gaffar menjalani ini semua ditengah keadaanya yang begitu terbatas? Mari, berkelana untuk menyusun puzzle painting atau teka-teki lukisan bersama Gaffar. Hingga hadir kata 'love' yang menjadikanya Love Puzzle Painting.

Lihat lebih banyak
Love Puzzle Painting Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
19 Bab
Bab 1 : Hallo, Gaffar!
"Panggilan kepada Gaffar Adi Pratama kelas 12-IPS 5 harap segera menuju ruang kepala sekolah. Sekali lagi, panggilan kepada Gaffar Adi Pratama kelas 12 IPS-5 harap segera menuju ruang kepala sekolah. Terima kasih."Seorang lelaki yang kini sedang duduk sendirian di meja pojok kantin yang tengah menikmati gorengan, bersikap seolah tak terjadi apa-apa pada dirinya. Padahal, baru saja namanya dipanggil menggunakan pengeras suara yang bisa didengar pada tiap sudut sekolah."Woi, Gaffar. Selain brandalan, ternyata lo budek juga, ya?" Teriak seorang lelaki bernama Putra yang dikenal sebagai rival Gaffar.Teriakkan Putra tak menghasilkan sahutan dari Gaffar yang justru tetap menikmati gorengannya dengan lahap.Brak!Mendengar suara gebrakan pada mejanya itu, Gaffar terlonjak kaget. Untung saja, tidak tersedak.Gaffar memandang Yoga yang notabene adalah ketua osi
Baca selengkapnya
Bab 2 : Frustasi
Mendengar perkataan Bu Diah, Gaffar benar-benar merasa terpojokan. Ia pun mencari alibi sebagai pembelaan dan untuk menepis perkataan dari Bu Diah. "Ibu kan tau, kalau saya ini biasa nggambar dan melukis pake cat semprot bukan cat air seperti ini. Mana ada duit Bu saya buat beli cat air ini," bela Gaffar."Kamu fikir saya percaya?!" Seru Bu Diah yang kini sudah terpancing emosi."Males ah kalo disuruh mikir!" Jawab Gaffar seolah tak peduli dengan amarah Bu Diah yang sudah di ubun-ubun."Gaffar!""Apa sih?"Bu Diah terlihat mengelus dada meladani manusia setengah waras seperti Gaffar."Bicara dengan nada sopan dan nggak boleh ngegas. Inget?!" Bu Diah memperingatkan Gaffar untuk berperilaku santun."Iya iya iya, Bu.""Jadi ini mau gimana? Masalahnya, kepala sekolah mengancam pelaku pembuat mural ini akan dikeluarkan dari sekolah, Gaffar!" Bu Diah pun ikut pusing meladeni masalah ini."Hanya karena sebuah
Baca selengkapnya
Bab 3 : Misi Penyelesaian
Gaffar memih melanjutkan merapihkan cat semprotnya. Setelah semua tersusun dalam kardus, ia letakkan di lemari penyimpanan khusus yang digunakan untuk mengoleksi spray paint. Setelah semuanya usai, Gaffar kembali melanjutkan niat awalnya untuk makan yang tertunda karena ulah sang Kakak. Saat berada di meja makan, Gaffar membuka tudung saji disana dan hasilnya zonk. Ia tidak menemukan makanan pun disana. "Mba Mei!" Dengan tidak tahu dirinya, Gaffar berteriak mencari keberadaan sang Kakak seolah tidak terjadi apa-apa setelah kemarahan Mei tadi. Ia melangkah ke ruang tamu, kamar milik Mei hingga halaman belakang tapi tak kunjung menemukan sang Kakak. "Udah berangkat kerja nih pasti," tebaknya.Gaffar melangkah kembali menuju ruang makan dan terduduk lesu disana. "Laper, nggak ada makanan. Nggak bisa masak lagi, gue. Sialan." Keluh Gaffar.Gaffar merogoh sakunya dan menemukan selembar uang 20.000,- dan menatapnya dengan i
Baca selengkapnya
Bab 4 : Drama
Setelah dengan susah payah membujuk Sandra, akhirnya Sandra bersedia untuk membantu Gaffar. Tidak dengan cuma-cuma, namun dengan beberapa persyaratan diantaranya yaitu Sandra meminta saat penilaian seni rupa nanti, Gaffar harus membuat gambar untuknya namun atas nama sandra. Mengingat Sandra sangat tidak bisa dalam hal seni. Hal itu diterima dengan senang hati oleh Gaffar."Ehh, ada Gaffar," ujar seorang perempuan paruh Nara yang datang dari pintu belakang warteg.Mendengar perkataan tersebut, sontak membuat Gaffar dan Sandra mengalihkan pandang ke sumber suara yang muncul dari pintu belakang warteg."Ehh, iya bu." Gaffar terseyum dan tanpa ragu menyalami tangan yang dipangil ibu tersebut."Sudah selesai beres-beresnya, bu?" Tanya Sandra."Sudah, mending kamu ke rumah aja gih. Ajak Gaffar sekalian, biar ibu yang jaga wartegnya.""Gaffar udah mau pulang kok, bu." Bukan Gaff
Baca selengkapnya
Bab 5 : Drama (2)
Keesokkan harinya, saat di sekolah Gaffar tak bisa berhenti memikirkan kasus yang sedang dihadapi olehnya. Sebenarny, Gaffar bisa saja bersikap bodoamat. Namun, masalahnya ia harus memikirkan perasaan sang kakak yang pasti akan marah besar jika ia dikeluarkan dari sekolah. "Gimana, rencana kita nanti?" Tanya Gaffar kepada Dani yang kini sedang berada di kantin menikmati bakso dari mang Dede. "Gas, udah lama juga gue nggak ngelakuin hal nekat," sahut Dani dengan santainya."Keseringan bucin sama si Caca sih lo," ejek Gaffar. "Banyak omong, lo. Yang penting nanti pulang sekolah kita jalanin sesuai rencana." Gaffar mengangguk dan mengacungkan jempolnya. Saat mereka tengah asik dan terfokus pada makanannya. Tiba-tiba seorang perempuan duduk di sebelah Gaffar tanpa permisi. Sudah dipastikan, siapa pelakunya. "Kenapa lo?" Tanya Gaffar dengan raut wajah yang bingung."Benci banget gue sama Pak Rian, masa gue dis
Baca selengkapnya
Bab 6 : Action
"Ruang TU jam segini biasanya udah sepi, San. Jadi tenang aja. Nanti kalo ada guru yang tanya, gue tinggal bilang, saya lagi nyari berkas yang disuruh Ibu saya. Gampang kan?" Sandra menganggukan kepalanya. Benar juga yang diucapkan oleh Dani. Tumben sekali dia cerdas. Biasanya di otak dia hanya berisi tentang Caca. "Ya udah, tapi gue jaga di depan ruangan aja, ya. Lo berdua yang masuk." Akhirnya Sandra menyetujui ajakan dari Gaffar."Nah gitu dong dari tadi, yuk." Mereka bertiga pun langsung menuju ruang TU untuk mengambil berkas data siswa.Setelah meninggalkan ruang kelas, mereka langsung bergegas menuju ruang TU yang terlihat sepi dari luar."Sana masuk, gue jaga disini." "Ya udah kita masuk, kalau ada yang mencurigakan, langsung kasih aba-aba ya, San. Jadi, gue sama Dani bisa ngumpet." Sandra menganggukan kepala dan mengacungkan jempolnya. Untungnya, kamera pengintai CCTV di ruang TU tidak berfungsi dengan baik, j
Baca selengkapnya
Bab 7 : Panik
Setelah kepergian Gaffar, Sandra menatap Dani dan Caca yang dengan santainya masih duduk manis di rumah Sandra tanpa menghiraukan Sandra yang sudah muak.  "Terus lo berdua kenapa masih disini? Rumah gue bukan tempat pacaran. Jadi, mending lo berdua pulang juga gih. Masalah ini kita lanjut besok," usir Sandra dengan raut wajah yang tidak suka. Gaffar pulang dengan keadaan kepala pusing karena memikirkan hal yang sebenarnya tidak perlu dipusingkan. Awalnya Gaffar merasa tidak enak kepada Sandra, Dani dan Caca yang harus terlibat juga untuk membantu kasus Gaffar. Namun, Gaffar menepis rasa tidak enak itu, toh apa gunanya teman jika tidak bisa dimintai tolong saat salah satu diantara mereka sedang kesusahan. "Ini semua gara-gara Kakek tua sialan." Gaffar membuka pintu rumahnya dengan keras sehingga membuat Mei, Kakak Gaffar tersentak."Apaan sih lo, dateng-dateng teriak nggak jelas. Salam kek, sopan dikit dong. Jangan mancing keributan!" Ser
Baca selengkapnya
Bab 8 : Tekanan
Selama pelajaran berlangsung, Gaffar tidak terfokus pada guru yang menjelaskan materi di dalam kelas. Ia sibuk melamun memikirkan perkataan dari Bu Diah tadi. Bagaimana jika dalam 2-4 hari ke depan ia belum menemukan pelaku dari pembuat mural itu? Sudah dipastikan ia akan dikeluarkan dari sekolah. Gaffar takut membuat Mei, sang Kakak marah dan kecewa karena perlakuannya. "Woy, Gaff. Kantin, yuk," ajak Dani yang tidak ditanggapi oleh Gaffar. "GAFFAR!" Seru Dani yang tak kunjung digubris oleh Gaffar.  "Apaan sih?" Tanya Gaffar yang menatap Dani tak suka. "Ngelamun terus. Kemasukan jin tau rasa lo," ejek Dani menatap Gaffar yang seperti orang kebingungan. "Kemarin data siswa yang udah dicatet gue simpen dimana, ya? Kok nggak ada sih?" Tanya Gaffar yang kini tengah membuka tas miliknya dan mencari note book yang digunakan untuk mencatat nama-nama yang dicurigai. "Nah kan, makanya jangan sembarangan kalo nyimpe
Baca selengkapnya
Bab 9 : Tekanan
Banyak yang menganggap Gaffar adalah pemuda yang urakan, brandalan dan nakal. Benar, memang begitulah kenyataannya. Namun, tak jarang diketahui pula, Gaffar adalah seorang yang sangat tulus dan sedikit sensitif. Dari sana, emosinya tidak stabil dan membuat kegaduhan. Tidak ada asap jika tidak ada api. Begitulah Gaffar. Tidak akan membuat masalah jika tidak ada penindasan. Ini bermula saat Gaffar masih duduk di bangku SMP, saat itu ia sering bergaul dengan kakak kelasnya yang berandalan. Mulai dari membolos, tawuran, bahkan mengikuti konvoi saat kakak kelasnya merayakan kelulusan. Benar, Gaffar memang sangat nakal pada saat itu. Mungkin karena dia masih remaja labil yang belum memikirkan masa depan. Ditambah lagi, pada saat itu ia tidak diperhatikan. Dimana kondisi keluarganya yang hancur. Kedua orangtuanya tewas dalam sebuah kecelakaan dan sang kakak terpaksa banting tulang bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan Gaffar demi menyambung kehidupan. 
Baca selengkapnya
Bab 10 : Beban
Kini Gaffar memasuki rumah dengan lesu. Ia kembali teringat akan ketakutannya tersebut. Saat melewati kamar Mba Mei, Gaffar mendengar suara tangis. Hatinya tersentuh, bahkan seketika ia merasa darah dalam tubuhnya berhenti mengalir. Satu tetes air matanya jatuh begitu saja. Rasa bersalahnya kian bertambah besar mendengar suara tangis sang Kakak. Dirinya hancur membiarkan malaikat tak bersayap pengganti Ibu kini tumbang. Terlebih, penyebab utamanya adalah dirinya. Ingin sekali Gaffar mengetuk pintu, menghampiri sang Kakak dan menanyakan ada apa. Lalu memeluk tubuhnya yang hangat itu. Namun, nyali Gaffar tak lebih dari seorang pecundang. Ia memilih masuk ke kamarnya sendiri dan ikut terhanyut dalam tangis diamnya. "Arghh!"Gaffar mengacak rambutnya, bahkan melempar helm yang sedari tadi berada di tangannya. Ia benar-benar merasa gagal menjadi laki-laki. "Ini semua gara-gara Kepala sekolah sialan. Kalau aja dia nggak nuduh semb
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status