Arsen kini tengah berada di lapas kota B, dia duduk berhadapan dengan sang bunda yang masih mengenakan baju pesakitan. Wanita yang dahulu terlihat cantik kini menjadi lusuh dengan wajah berjerawat. Tidak ada seorang anka yangvtega melihat ibu kandungnya mendekam di penjara. Kali ini pemuda tersebut membawakan buah-buahan untuk sang Bunda.
"Mama apa kabar?" tanya Arsen.
Sang Mama tersenyum kecut. Sudah hampir lima tahun wanita itu mendekam di jeruji besi. "Nak, bantu Mama keluar dari sini, Mama tidak bisa bertahan dengan semua ini lagi," keluh wanita tersebut.
"Mah, katakan apa yang sebenarnya terjadi, mengapa Papa memenjarakan Mama, tidak mungkin, kan, Papa memenjarakan Mama tanpa sebab?" tanya Arsen. "Arsen akan sangat kesulitan men
Obrolan Axelle dan juga Marvel Junior berlangsung cukup lama, Axelle sendiri terlihat menengok ke dalam takut sang istri terbangun. Mereka serius membahas langkah selanjutnya mengingat bencana besar di kediaman Marvel waktu itu. Tidak lupa Axelle menanyakan keadaan orang tua sang sahabat yang pastinya syok berat. Nyonya Marvel, nampak syok dia bahkan sempat dirawat di rumah sakit bersamaan dengan Freya."Bagaimana keadaan Frey?" tanya Axelle."Kondisinya sudah lebih baik, hanya saja dia selalu menangis dan terlihat rapuh. Kau tidak perlu khawatir, ada aku dan Mirza menemani. Meski dia lebih sering menanyakan dirimu," ujar Marvel."Katakan maaf padanya, aku tidak mungkin sering ke sana. Ada wanita yang harus aku jaga peras
Keduanya berjalan bergandengan memasuki kamar rawat inap. Freya menyambut keduanya dengan senyum kecut. Stela yang melihat ketidaksukaan Freya menarik tangan. Dia berjalan menghampiri Freya yang duduk di ranjang inap. Marvel dan Mirza tengah duduk di kursi sofa yang berada di sudut. Mereka langsung bangkit dan menghampiri Axelle. Entah apa yang diperbincangkan ketiganya hendak keluar ruang perawatan setelahnya."Sayang, aku tinggal sebentar ya Mereka berdua meminta makan," ucap Axelle menunjuk ke arah sepasang ayah dan anak di hadapannya. Stela mengangguk sebagai jawaban. "Ada yang ingin kalian titipkan?" Axelle menawarkan kepada kedua wanita yang terlihat canggung tersebut."Tidak," jawab Stela dan Freya kompak. Ketiga lelaki itu saling pandang dan tersenyum, kemudian berjalan keluar.
Stela cemberut menekuk wajah, bibirnya manyun sedikit ke depan. Tangannya bersedekap, Axelle menghela napas panjang. Roland yang tengah mengemudi melirik dari kaca spion bagian dalam mobil. Dia tersenyum, lucu melihat wajah frustrasi Axelle. Stela menahan amarah yang tidak terbendung. Ponsel baru yang diberikan Zayn, lelaki yang sudah Stela hormati seperti orang tuanya sendiri. Mengingat jasa besar lelaki itu untuk hidupnya, bahkan Zayn tidak malu mengambilkan raport di sekolahnya setelah kepergian kedua orang tuanya. Zayn tidak pernah mengizinkan orang lain mengambilnya. Lelaki yang dianggap monster oleh sebagian orang tersebut sangat lembut pada Stela. Axelle pun melihatnya, itu yang membuat dia cemburu buta. Semerbak pengharum mobil yang menguar tidak mendamaikan hati Stela. Gadis itu masih melelehkan air mata, tanpa berbicara. Buliran bening dari pelupuk mata sudah menjawab segalanya. Axelle menggaruk rambutnya yang tidak g
Rambut panjang Stela yang tergerai menari-nari dengan indah diterbangkan angin malam. Wanita muda tersebut masih setia duduk termenung di ayunan besi bercat putih, yang cukup untuk duduk dua orang. Depan pelataran rumahnya, di tengah bunga-bunga mawar yang merekah indah, harum semerbak tercium di hidung wanita muda yang mengenakan lingerie panjang ungu berbahan satin, dengan jaket yang terbuat dari benang wol warna biru muda. Lampu hias menerangi sepanjang sisi kanan kiri ayunan. Angannya melayang pada saat ia berkunjung ke kediaman orang tua mantan madunya. Keluarga Freya begitu ramah menyambut dia seorang wanita pengganti kedudukan seorang Freya. Stela tidak merebut tempat Freya dengan sengaja, dia lebih berhak atas sang suami. Stela berpikir demikian lantaran ia adalah istri sah dari seorang Axelle Zeroun, Freya adalah istri siri. Kehadiran Stela yang seperti seorang perebut suami orang membuat hatinya seakan teriris. Rasa bersala
Axelle masih berdiri dengan lesu, tubuhnya bersandar di pintu, menyaksikan sang ayah dengan wanita yang Axelle tahu adalah kepala pengurus rumah, Ibu Olivia. Mendengar percakapan sang ayah dengan wanita tersebut, Axelle kembali teringat kejadian tadi malam. Dimana Stela marah saat membaca pesan FastApp. Bukan hanya itu, ada panggilan dari seorang wanita yang memicu kemarahan Stela. Sang istri menangis sembari berlari keluar kamarnya. Menuruni tangga menuju kamar lama. Axelle berusaha mengetuk pintu, berharap Stela mau membukakan pintu dan mendengar penjelasannya. Sia-sia, pintu kamar lama Stela tetap terkunci, Axelle paham benar, Stela pasti terluka. Lelaki tersebut mengutuk diri sendiri karena ceroboh. Lesu, Axelle mirip anak kecil yang dimarahi sang ibu. Dia tak berdaya menyandarkan punggung pada pintu kamar bercat putih susu tersebut. Cukup lama, hingga lelah melanda juga kantuk membuat dia terlelap.
Axelle berusaha mengejar sang istri yang kabur. Lelaki itu paham benar, bagaimana perasaan Stela saat ini. Dalam hati dia merutuk diri sendiri. Kesalahpahaman makin bertumpuk membuat kepalanya berdenyut. Sayang, langkahnya tidak kalah cepat. Axelle melongo memandang ke arah Stela yang mulai menjauh. Entah dirinya yang lamban, atau karena kepalanya yang pusing yang membuat dirinya kesakitan bergerak.Stela semakin berlari menjauh dari pelataran kantor. Dadanya bergemuruh, panas, dingin campur aduk, amarah membludak. Sesakit inikah cemburu? Usianya yang masih labil membuat dia mudah meledak dalam amarahnya. Melihat Marvel dan juga Mirza berdiri di pojok pelataran. Stela seperti melihat kesempatan, dia berlari menghampiri Mirza."Mirza, antar Stela pulang, sekarang," sungutnya.
Beberapa tahun silam, di sudut kota K. Olivia beserta Zeroun tengah sepakat mengamati pemuda bernama Roland. Kota dengan banyak pengemis dan gelandangan. Pasar gelap maupun transaksi barang ilegal marak terjadi di tempat tersebut. Bar dan tempat judi merajalela hampir di kota kecil tersebut. Bahkan tempat prostitusi juga berkembang pesat. Entah karena kota ini yang miskin atau memang pemimpinnya yang banyak korup. Zeroun tidak ambil pusing. Dia dan juga Olf tetap pada tujuannya. Mencari informasi sekecil apapun tentang kematian sang istri. Bukan tanpa sebab mereka datang ke tempat kumuh ini. Sudah hampir puluhan tahun sejak meninggalnya sang istri. Namun, berkat penyusupan joy, pemuda gagah yang hampir seusia Roland membantunya dengan senang hati. Olivia begitu tegas mendidik putranya, hingga Joy tumbuh seperti dirinya. Sejak memasuki sekolah menengah atas. Olf mempercayakan dunia bawah tanah pada Joy. Tentu berkat pelatihan Joy yang lulus menerima ujian. Pemuda
Dengan tidak tahu malunya wanita tersebut mencibir Stela. Menantu dari keluarga Zeroun, tidak ada hal paling memalukan dibanding harga diri yang terinjak-injak. Ocehan wanita tersebut terngiang di telinga Stela. Gadis yang awalnya berwajah sendu berubah gahar. Dalam hati ingin rasanya Stela menarik bibir sexy itu hingga bengkak.Plak! "Aw," pekik wanita itu menerima tamparan keras di pipi. Matanya mendelik seketika. Stela lebih memilih menampar wanita tadi agar terdiam. Wajahnya tanpa ekspresi menatap calon perebut suaminya. "Kamu pikir aku akan takut, heh, jangan banyak nonton sinetron yang membuat anda bermimpi," cibir Stela bersedekap. "Kau, dasar anak ingusan kurang ajar!" pekik wanita tersebut memegangi pipinya yang sudah pasti terasa perih. Tanpa kedua wanita tersebut ketahui, Axelle telah terbangun. Dia yang baru saja meminum obat pemberian dokter Rafael, sempat