Pernikahan. Adalah sesuatu hal yang sangat sakral dan sangat di harapkan oleh dua insan yang saling mencinta. Suatu pembuktian atas nama cinta yang disatukan oleh sebuah ikatan yang bernama PERNIKAHAN.
Haidar Bastian dan Helena Quirin baru saja melangsungkan pernikahan super megah di salah satu Hotel ternama kota Jakarta.
"Culun, bagaimanapun dia tetap culun dan jelek," gumam pengantin pria.
Tak sedikitpun dia memuji kecantikan Helena yang berdiri tegap di sampingnya. Kecantikan yang terpancar sangat natural. Ia terlihat sangat anggun dengan mengenakan gaun berwarna putih yang menjuntai panjang, dengan seikat bunga mawar putih di genggaman, menambah kadar kecantikan Helena mendekati kata sempurna.
"Kamu beruntung mendapatkan gadis secantik dia, Bastian," kata salah satu tamu undangan yang terkagum-kagum.
"Sangat beruntung," Bastian merangkul Helena sangat kasar, hingga ia meringis kesakitan namun ia tahan karna tak ingin pernikahan paksanya diketahui banyak orang.
"Kalau aku berontak, sama saja aku bunuh diri," gumamnya dalam hati. "Sabar, sabar."
Setelah tamu itu pergi, Bastian buru-buru menurunkan tangannya dari bahu Helena, lalu berbisik di dekat telinganya.
"Hanya satu tahun, jangan mengharapkan lebih dari pernikahan ini, Helena."
Tidak perduli dengan apa yang dibisikan Bastian, ia terus menatap ke depan dengan memalsukan senyumnya.
Pesta pernikahan mereka belum selesai, tapi Bastian memilih naik ke lantai atas menunju kamar pengantin yang sudah di siapkan oleh pihak hotel untuk beristirahat.
"Sangat cantik."
Helena berdecak kagum melihat isi kamarnya yang begitu megah dan indah. Ini terlalu luar diasa, ini mengagumkan. Ia terlena sampai tidak sadar langsung berbaring di atas tempat tidur tanpa izin dari suaminya.
"Siapa yang suruh kamu tiduran di situ?" kata Bastian dengan menatap tajam. Suaranya membentak, membuat Helena secepat kilat turun dari atas ranjang, dan berdiri jauh di depannya.
"Maaf Tuan," Helena menunduk hormat.
"Mark," panggil Bastian pada asistennya yang sedang tersenyum dengan tingkah Helena yang polos.
"Iya Tuan?" sautnya dengan senyum.
"Heh. Sejak kapan lo senyam senyum sama gue? lo suka sama gue?"
Mark langsung menggelengkan kepalanya keras.
"Ya nggak lah, Tuan. Saya kalaupun g*y, pilih-pilih kali," saut Mark sambil melirik Helena, dan mereka berdua malah terkikik lucu di hadapan Bastian yang masih kesal.
"Kampret lo," Bastian melempar bantal ke arah Mark.
"Maaf, Tuan. Maaf..."
Bastian duduk di ujung tempat tidur, lalu mengangkat satu kakinya ke atas.
"Lepas!" perintahnya pada Helena.
"Apanya yang dilepas, Tuan?" tanya Helena polos.
"Sepatu! apa lagi?" jawabnya ketus.
"Oh... iya Tuan," segera Helena menghampiri Bastian, lalu bersimpuh di depannya guna melepaskan sepatu bersama kaus kakinya, lalu menyimpan sepatu itu ke atas rak yang terletak di sudut dekat lemari pakaian.
"Kaus kakinya taruh di tempat cucian, Nyonya Helena!" kata Mark mengingatkan dengan lembut.
"Oh..iya," ia pun menaruh kaus kaki tadi di dalam keranjang yang sudah tersedia, lalu kembali berdiri di depan Bastian sambil menunduk, dan kali ini ia berdiri tepat di samping Mark.
Setelah melepaskan sepatunya, Bastian melepas jas, dasi, juga kemejanya, lalu melempar semua itu ke arah wajah Helena, "Tepat," semua yang ia lempar mendarat tepat di wajah istri culunnya.
Helena memaki pelan.
"Suami kurangajar, tidak ada rasa hormat," bergumam, yang mana gumaman itu hanya didengar oleh Mark karna dia yang berdiri di dekatnya.
"Ngomong apa kamu barusan? berani marah?"
"Ng... nggak Tuan," jawabnya terbata.
"Awas, kalau kamu berani maki saya di belakang. Habis kamu!"
Ia beringsut naik ke atas tempat tidur, menyandarkan tubuhnya pada ujung kepala ranjang. Ia menyilangkn kedua kakinya, lalu tangannya berada di belakang leher sebagai penyangga.
"Mark!"
"Iya Tuan?"
"Kaluarkan isi surat perjajian dalam pernikahan kita! aku dan gadis culun ini," kata Bastian dengan santainya.
"Baik Tuan," Mark segera mengeluarkan surat perjanjian itu, dan mulai membacanya.
"Tidak ada malam pertama di antara kalian," Mark melirik ke arah Helena.
Helena menghela nafas lega, sambil mengelus dadanya, "Aman."
"Kedua. Uang jatah bulanan akan ditransfer setiap tanggal satu sejumlah seratus juta rupiah, dan itu langsung ditransfer ke rekening pribadi anda, Nonya Helena."
"Apa? uang?"
"Bukannya dari awal tidak ada uang, atau... jatah bulanan?" tanya Helena terheran, karna awal Mark melamarkan Bastian, mengatakan tidak akan ada jatah bulanan agar tidak ada keterikatan selama mereka menjadi sepasang suami istri.
"Kenapa sekarang ada?" Keningnya mengerut heran.
"Apa akan ada keterikatan setelahnya?" lanjutnya lagi.
"Jangan mimpi kamu! Jelaskan Mark!" timpal Bastian masih dalam posisi yang sama.
"Bukan begitu, Nyonya Helena. Tuan memberikan jatah bulanan, karna dia tidak mau melihat penampilan anda yang..."
Rasanya sangat jahat kalau harus bilang dia culun. Tapi, ya begitulah penampilannya, sedikit culun, tidak pantas bersanding dengan seorang Bastian kalau gaya pakaiannya tidak dirubah. Terpaksa Mark harus mengatakan yang sebenarnya.
"Maaf, culun," ucapnya sangat pelan.
"Ya. Culun," Bastian menekankan kata culun.
"Wajah kamu, penampilan kamu, itu samasekali tidak cocok menjadi istri seorang Haidar Bastain. Saya gak mau ya, saat ada acara keluarga, kamu berpenampilan memalukan."
"Dan satu lagi, jaga sikap kamu saat di depan umum, saya tidak mau pernikahan sementara ini terbongkar!"
"Isshh..." Helena mendesis menatap tajam ke arah Bastian.
"sudah jelas Nyonya Helena?" tanya Mark sambil melirik Helena dari samping.
"Hhmm.." jawabnya tanpa berkata.
"Kalau begitu kita lanjut."
terus dan terus Mark membacakan banyaknya isi perjanjian pra pernikahan, yang mana perjanjian itu dibuatnya secara sepihak, karna pendapatnya samasekali tidak diterima, bahkan sangat tidak dibutuhkan.
"Kalian yang butuh gue, ko jadi kayak gue yang butuh kalian sih," bergumam, dan kali ini bukan cuma Mark yang mendengar, Bastian yang posisinya lebih jauh pun bisa mendengar oceha Helena.
"Sekalian aja kamu ngomong pake toa!"
"Saya tidak tuli."
"Maaf, Tuan," lagi dan lagi Helena harus merendahkan diri di depan suami angkuhnya itu.
"Lanjut baca gak nih?" tanya Mark masih memegang beberapa lembar surat perjanjian.
"Gak usah, udah lo kasihin aja surat perjanjiannya, biar dia baca sendiri."
"Kenapa gak dari tadi Tuan?" kata Mark pelan. Ia pun memberikan semua surat perjanjian itu pada Helena. Setelahnya ia meninggalkan kamar atas perintah tuannya.
"Kamu tidur di sofa, dan jangan berisik! Saya mau tidur. Cape."
Bastian merebahkan diri, mematikan lampu di atas nakas, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut, sedang Helena mendudukan dirinya di atas sofa depan TV, sambil memainkan ponselnya.
"Langkah awal. Aku berhasil masuk," pesan yang Helena kirim pada seseorang. Ia terus disibukan dengan membalas pesan, sampai tidak menyadari Bastian berdiri di hadapannya.
"Hei...!" suaranya menggema, membuat Helena terkejut bahkan ia sampai tersungkur ke lantai, dan membuat dres yang ia kenakan menyibak ke atas, hingga menampakan paha putih mulus nan indah, membuat Bastian menelan ludahnya kasar.
Sejurus kemudian, Helena mendorong Bastian sampai jatuh ke lantai. "Apa-apaan ini?" ucapnya tanpa merubah posisi, mengangkat kedua kakinya ke atas. "Turunkan kaki anda, Tuan! Anda seperti mau melahirkan," Ha.. ha.. ha.. dia tertawa lepas sambil menutup mulutnya dengan tangan, melihat posisi jatuh suaminya yang lucu, membuat Helena sulit berhenti tertawa. "Berhenti tertawa, atau saya akan menerkam kamu lebih ganas dari semalam." Uuh.. itu sangat mengerikan. Luka bekas semalam saja belum sembuh, bagaimana rasanya senjata Bastian yang berukuran 14,5cm itu kembali masuk ke dalam lubang sempit miliknya? Helena langsung merapatkan kakinya naik ke atas, juga kedua tangan yang ia letakan di atas pangkuan. "Awas saja kalau anda berani!" kata Helena memperingatkan. "Gak jamin ya. Saya kan bisa lakuin kapan aja. Bahkan tanpa sepengetahuan kamu," senyumnya menyeringai. Helena melempari Bastian dengan bantal yang sedang ia pegang. "Pergi! S
Sinar matahari yang masuk melalui kaca jendela kamar, mulai menerpa wajah cantik Helena yang sedang tertidur pulas di samping suaminya, Bastain. Ia mengerjap terbangun, mengucak matanya untuk memastikan sosok yang ada di sebelahnya sedang melingkarkan tangan ke atas perutnya. Begitu sadar kalau pria yang ada di sebelahnya adalah Bastian, Helena langsung beranjak dari tempat tidur sambil tertatih-tatih menjauh menahan rasa sakit di sana. "Apa ini? kenapa sangat perih?" Ia terus merangkak menuju kamar mandi, karna tak ada pilihan lagi selain pergi mengumpat di dalam sana. Gemericik air juga suara tangis Helena membangunkan Bastian yang baru saja tidur sejak dua jam yang lalu. Ia beranjak dari tempat tidur, lalu mengetuk pintu kamar mandi, memastikan kalau Helena baik-baik saja dia dalam. Namun yang di panggil tak menyahut hanya raungan tangisan yang semakin kencang, membuat Bastian semakin khawatir. "Helena. Kamu gak apa-apa kan?"
Hidup satu atap dengan seorang Haidar Bastian buka lah perkara yang mudah. Lihat saja, walaupun sudah memutuskan untuk berteman sejak tadi sore, Bastian tetap tidak mengizinkan Helena tidur di atas ranjang bersama dengan dirinya. Padahal kasur itu memiliki ukuran yang sangat luas. Jangankan dua orang, tiga sampai empat sekalipun masih cukup. Helena yang terus mendapat penolakan, akhirnya pasrah dengan kenyataan kalau malam ini dan seterusnya, tidak akan pernah bisa tidur di tas ranjang. Buka karna mau dekat dengan suaminya. tapi sungguh, semahal apapun sofa, tetap lebih nyaman tidur di atas kasur. Apa lagi kasur itu bernilai fantastis. 200juta? wow. sungguh penasaran dengan kenyamananya. pasti sangat nyaman. "Fix. Dia itu sangat pelit," berucap sambil membetulkan bantal di atas sofa. Hanya bantal, tidak ada selimut. Padahal AC di kamar itu terasa sangat dingin. Bagaimana tidak, ruangan itu bersuhu 16°c? Dia benar-benar gila. "Kita berteman satu kamar, t
Helena terkejut dengan kedatangan Bastian yang tiba-tiba. Alasan yang sudah tersusun rapih di dalam otak, hilang menguap begitu saja bersamaan dengan munculnya sosok pria yang menurutnya memiliki kepribadian ganda."Tuan, bisa gak sih ketuk pintu dulu sebelum masuk?""Siapa pria yang kamu bilang memiliki kepribadian ganda itu?" membalas pertanyaan Helena dengan pertanyaan lagi. Ia masuk menghampiri sang istri yang tengah duduk di depan cermin rias, lalu meletakan kedua tangannya di atas meja, seolah sedang memeluknya dari belakang.Tak ingin luka di dahinya terekspos, Helena memalingkan wajahya menatap ke arah lain. Tapi sayang, mata elang pria arogan itu keburu menangkap sesuatu yang berusaha ia tutupi."Ada apa dengan wajah mu?" tanya Bastian saat luka di keningnya terlihat jelas di depan mata."Tidak ada," jawabnya singkat."Hei..." sedikit kasar Bastian menarik dagu Helena, memintanya untuk menatap lurus ke depan, lalu ia menyibakan poni
Terlalu asik memilah-milah jenis mainan yang akan di beli, Mark sampai tidak menyadari kalau sudah hampir lima belas menit Helena tidak ada di sana. Ia disibukan oleh Stela yang keinginannya terus berubah saat melihat jenis mainan yang berbeda. Karna lelah, ia pun memilih duduk dan membiarkan Stela megaduk-aduk semua mainan yang sudah diturunkan si abang penjual itu. Merasa haus, saat akan meminta izin pada Helena untuk membeli minum, ia baru menyadari kalau Helena tidak ada di sana. "Kemana dia?" Mark mengeluarkan benda pipih berwarna hitam dari saku jasnya, lalu menghubungi Helena dalam sambungan telepon. "Tuut. "Tuut. Beberapa kali mencoba, akhirnya Helena merespon panggilan dari Mark. "Nyonya, anda di mana?" tanya Mark sambil memperhatiakan Stela masih asik memilah-milah mainan. "Kak.." suara Helena terdengar seperti merintih kesakitan. "Ada apa dengan anda, Nyonya?" Wajah Mark berubah panik. "Aku di
"Berani kamu mengancam saya?"Tangannya mencengkram kuat rahang Helena, dia salah menduga, ternyata apa yang dikatakan kakaknya adalah benar, dia kejam."Lepaskan saya Tuan!"Kedua tangan Helena berusaha melepaskan tangan Bastian yang malah semakin mengeratkan cengkramannya."Melepaskan mu? jangan harap saya akan melepaskan mu, gadis culun.""Saya ada janji dengan keponakan anda," kata Helena dengan susah payah."Saya tidak perduli. Itu janji kamu dengan Stela.""Lepaskan saya, saya mohon! sakit," wajahnya benar-benar terlihat kesakitan.Bastian memang melepaskannya, tapi sangat kasar ia menghempaskan tubuh Helena ke atas ranjang. Ia memegangi rahangnya yang terasa sakit."Jangan coba-coba bermain dengan ku! apa lagi mengancam ku," setalahnya ia pun keluar dari kamar, meninggalkan Helena dalam kesakitan."Dasar gila," sungutnya memaki, melempar pintu dengan bantal."Pria berwajah dua. Bersikap manis seperti