Share

Beberapa kejutan

Pagi hari. Sinar matahari menyeruak masuk menembus kaca. Menyinari wajah bening Helena yang cantik natural tanpa riasan seperti semalam.

Tenang... tidak menyangka kalau tidurnya akan setenang ini. Ia bahkan tersenyum walau mata masih terpejam, mungkin saat ini ia sedang bermimpi, mimpi indah menghabiskan malam pertama dengan pria yang ia cintai. Cinta yang mungkin tak sempat tersampaikan.

Dia terus tersenyum manis, terlarut dalam mimpi indahnya. Tapi sayang mimpi indah Helena tak berlangsung lama. Ia mengerjap terbangun saat mendengar suara bel di depan pintu kamar berbunyi berkali-kali. Ia pun bangkit dari tidurnya, melihat Bastian masih betah berkulum di bawah selimut. Helena tak berani membukakan pintu. Ia teringat akan pesan Bastian semalam.

"Jangan sembarangan membuka pintu! kamu belum mengenal semua anggota keluarga saya," ujarnya.

Patuh. Ia memilih merapihkan selimut dan bantal bekas ia pakai. Tapi seseorang di luar sana terus menekan Bel tanpa henti, sedang pria angkuh itu masih saja tidur, bahkan tak bergerak sedikipun.

"Ini orang tidur apa mati sih?" ujarnya kesal.

"Tuan." Helena memberanikan diri membangunkan suaminya tanpa menyentuhnya sedikitpun.

Tidak ada pergerakan, atau tanda-tada dia akan bangun, tapi suara bel itu terus berbunyi, hingga akhirnya ia memberanikan diri membangunkan Bastian dengan berteriak di dekat telinganya.

"Tuaaan... banguuun...!"

Sontak, teriakan Helena membuat Bastian terbangun dan langsung menarik tangan Helena hingga ia jatuh ke atas tubuhnya yang kekar.

"Berani kamu teriak-teriak, khah?" Bastian merubah posisi menjadi di atas tubuh Helena. Kedua tangannya mencengkram kuat tangan Helena di atas kepalanya.

"Maaf, Tuan. Apa anda tidak dengar?"

"Apa?" bertanya dengan suara membentak.

"Itu, suara bel, mungkin sudah lebih dari seratus kali bel itu berbunyi. Dan sekarang anda masih tidak mendengarnya?"

"Cek..cek..cek.." Helena menggelengkan kepalanya, lalu Bastian pun turun dari atas tubuh Helena.

"Sarapan Tuan. Spesial untuk pengantin baru," ucap pelayan itu ramah, setelah Bastian membukakan pintu

Bastian membiarkan pelayan itu masuk, dan menata semua menu makanan di atas meja dengan sangat rapih. Setelahnya pelayan itu pun pergi setelah mendapatkan tip dari dirinya.

"Lain kali, kalau ada yang datang, liat dulu siapa. Di sana kan ada door view. Kalau cuma pelayan, buka aja sendiri, gak perlu bangunin saya," Bastian mendudukan diri di atas sofa, menatap tak suka pada semua makanan yang disediakan pihak Hotel.

"Makanan spesial? seperti ini? buruk," ujarnya.

"Maaf," kata Helena sambil berdiri di samping Bastian, ia menundukan wajahnya menatap lantai.

"Saya gak suka masakan kayak gini, kita sarapan di luar," ia pun bangkit dari duduknya lalu mengambil handuk di dalam lemari yang sudah tersedia.

"Kamu udah mandi?" tanya Bastian sebelum masuk ke dalam kamar mandi.

Helena menggelengkan kepalanya, "Belum."

"Nanti habis mandi, kita cari sarapan di luar."

"Aku di ajak Tuan?"

"Iya lah, kalau kamu gak ikut, terus ada keluarga saya ke sini, kamu bisa apa? kalau dia nanya aku ke mana, kamu mau jawab apa? kalau mereka curiga kamu gak ikut, apa alasannya?"

"Iiss... pertanyaan satu, jawabannya segambreng," Helena memutar bola matanya jengah.

Tapi yang dikatakan  Bastian ada benarnya juga. Gak mungkin kan pengantin baru tapi beraktivitas masing-masing? selesai mandi, dan merapihkan diri, Bastian dan Helena keluar dari Hotel mencari sarapan sesuai dengan moodnya hari ini.

Helena tidak menyangka kalau Bastian akan memarkirkan mobilnya di sebuah warung nasi uduk di pinggiran ibu kota Jakarta. "PUAS HATI IBU TATI," tulisan yang ia baca di depan warung itu.

"Anda yakin tuan?" tanya Helena menatap tak percaya.

"Kenapa? gak suka?" Bastian melepaskan setbelnya, lalu turun dari mobil lebih dulu.

"Turun!" titahnya kasar.

"I...iya," Helenapun turun, lalu mengikuti langkah Bastian masuk ke dalam warung itu. Sederhana, tidak ada kemewahan. Bastian nampak lahap dengan sarapannya, dan menu yang ia pilih saat ini cukup unik, tempe orek, telur dadar, dan yang paling mengejutkan adalah Semur jengkol.

Berapa biji yang dia makan? kalau dihitung dengan jari, mungkin ada sepuluh biji. Dan sungguh, pria muda tampan ini sangat menyukai Jengkol, dan itu diluar nalar Helena.

"Sesuka ini kah Tuan sama jengkol?"

"Hhmm..." jawabnya tanpa berkata. Ia terus melahap semua menu yang tersaji.

"Kamu gak suka?"

Helena menggelengkan kepalanya tidak suka.

"Belagu banget. Cewek cantik aja banyak yang suka jengkol, kamu yang tampang pas-pasan gak suka?"

"Rugi orang kalau gak suka jengkol," selorohnya sambil menuangkan teh hangat ke dalam gelas. Ia meminta air panas lagi pada si ibu pemilik warung, karna dirasa air teh miliknya kurang panas.

"Kurang panas ye?" kata Ibu itu sambil menuangkan air panas ke dalam gelasnya, Bastian pun mengangguk, iya.

Selesai sarapan di warung nasi uduk Ibu Tati, Bastian mengajak Helena mengunjungi butik langganan keluarga Kenan, yang letaknya lumayan jauh dari tempat ia sarapan tadi.

Semahal apapun baju yang ia beli, itu jauh lebih masuk akal dari pada memakan jengkol, sesuatu yang bau, tapi di sukai banyak orang, termasuk seorang CEO seperti Bastian.

Satu kata. Mewah, sangat mewah. Semua menunduk hormat saat Bastian masuk ke dalam. Dia bahkan mendapatkan pelayanan lebih dengan memasuki suatu ruangan khusus, dimana hanya terdapat satu sofa panjang yang menghadap langsung ke depan tirai putih yang menjulang tinggi ke atas.

"Saya mau beberapa gaun pesta, baju santai, dan beberapa baju tidur," pintanya sambil membuka-buka buku majalah yang sudah tersedia di sana.

"Untuk?"

"Istri saya," jawabnya singkat.

"Oh... jadi, gadis ini istri anda, Tuan?"

"Hhmm..."

Suatu kehormatan memang, seorang Bastian mengajak sang istri datang ke butik mereka, mereka melayani Helena dengan sangat baik. Semua baju yang direkomendasikan mendapat acungan jempol dari seorang Haidar Bastian.

"Ini terlalu banyak, Tuan," kata Helena sambil mengangkat betapa banyaknya kantung belanjaan ditangannya.

"Mulai nanti malam dan beberapa hari ke depan, kita akan banyak menghadiri pesta. Kamu punya gaunnya?"

Helena menggelengkan kepalanya, "Tidak."

"Ya udah, gak usah protes. Toh itu juga saya yang beli."

Saat akan pergi meninggalkan Butik, langkah mereka terhenti saat seorang Desainer butik memanggil namanya. Dia bahkan cukup mengenal masa lalu Bastian dengan wanita yang pernah ia bawa ke Butik Valentino.

"Bagaimana kabar anda?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.

"Baik," saut Bastian. Mereka berjabat tangan cukup akrab.

"Anda datang dengan siapa?"

"Ini istri saya, Helena," Helena mengangguk ramah.

"Oh... anda sudah menikah? tapi gaun itu? gaun yang anda pesan tidak di ambil, Tuan? katanya gaun itu akan anda ambil di hari pernikahan anda dengan..." ucapannya mengambang saat mengingat nama kekasih Bastian saat itu bukanlah Helena.

"Maaf..."

"Gaun itu sudah saya beli, saya tidak keberatan kalau anda akan menjualnya lagi,"

"Kenapa?"

"Saya sudah tidak membutuhkannya lagi."

"Gaun? gaun pernikahan? dia ternyata sudah memesan gaun pernikhan? untuk siapa?" batin Helena terus bergumam, pikirannya terus bekerja keras mencari tau.

"Iya, aku harus tau," di sela-sela kesempatan, Helena mengirim pesan pada seseorang yang jauh di sebrang sana.

"Banyak hal yang kita tidak tau tentang Bastian."

Pesan terkirim.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
pandaheroes
ga mau nikah pun juga jangan gitu2 amat atuh baaas,kesel bacanya o((>ω< ))o btw author ada sosmed g? aku mau follow dong
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status