Pintu rumah besar itu terbuka perlahan, dan Alesha melangkah masuk dengan membawa kantong plastik berisi bubur hangat dan obat-obatan.
“Om Rayhan?” panggilnya pelan.
Tidak ada jawaban.
Alesha memijak pelan lantai marmer yang dingin. Rambutnya dikuncir setengah ke atas, poni jatuh sedikit ke dahi. Ia hanya memakai jeans ketat robek di lutut dan kaos putih ketat lengan pendek yang cukup tipis, memperlihatkan garis samar bra berenda yang berwarna hitam. Sederhana. Tapi tubuh Alesha sudah bukan anak-anak lagi, dan Rayhan melihat itu dengan sangat jelas … saat ia muncul dari balik pintu kamar dengan langkah malas dan suara serak.
“Lesha … kamu?”
Alesha berbalik dan langsung tersenyum manis, tulus. “Om Rayhan! Aku bawain bubur. Kata Zira Om sakit?”
Zira dan nenek sedang liburan ke Eropa selama dua minggu. Baru dua hari berlalu ketika Alesha menerima pesan itu.
[Papa aku sakit. Please dong, jagain sebentar. Asisten rumah tangga juga lagi pada mudik. Aku khawatir, Lesh .…]
Zira selalu manja soal ayahnya. Tapi justru itu yang membuat Alesha ragu. Menemani ayah sahabatnya sendiri?
Namun lidahnya seperti lebih dulu bicara sebelum pikirannya sempat menimbang.
“Iya.”
Dan sekarang ia di sini.
Rayhan berdiri dengan tubuh hanya dibalut kaus hitam tipis dan celana panjang kain. Matanya setengah merah karena demam, tapi saat melihat Alesha dari ujung kaki sampai dada yang tertutupi kaos tipis dan ketat itu … tubuhnya seolah terbangun oleh sesuatu yang lain.
“Oh … iya. Sedikit demam.”
Alesha mendekat tanpa curiga, lalu menuntun Rayhan duduk di sofa.
“Om kelihatan pucat banget … om udah minum obat belum?”
Rayhan menggeleng. Ia menunduk, berusaha fokus pada suara Alesha, bukan pada dada gadis itu yang kadang terlihat saat ia membungkuk menyusun bubur dan air mineral di meja.
Napasnya mulai tidak stabil. Bukan karena demam. Tapi karena menyadari bahwa gadis yang pernah ia antar-jemput saat SD itu … kini telah menjelma jadi wanita muda dengan tubuh yang menggoda dosa.
“Aku suapin ya?” tanya Alesha polos.
Rayhan tersentak. “Enggak perlu, Aku bisa sendiri.”
Tapi Alesha sudah duduk di sebelahnya, meraih sendok, membuka bungkus bubur, dan mulai menyuapinya dengan senyum lembut. Wajah mereka kini hanya berjarak sejengkal. Dan saat Rayhan menerima suapan itu, matanya menatap kulit dada Alesha yang halus di balik leher kaosnya yang sedikit melonggar.
Ia langsung memalingkan wajah. Tapi degup jantungnya tak bisa dibohongi.
“Om Rayhan?” Alesha menatapnya bingung.
“Heum?”
“Om … merah mukanya. Om makin demam ya?”
Rayhan menarik napas dalam-dalam, menahan gejolak dalam dirinya. Bukan, ini bukan demam. Ini bahaya yang tidak boleh tumbuh.
Tapi Alesha tidak tahu itu.
Dan ketidaktahuannya ... jauh lebih membunuh.
Alesha menatap Rayhan yang masih terbaring lemah di sofa. Wajah pria itu pucat, napasnya berat, tapi matanya menatap Alesha dengan sorot yang enggan ditinggal. Gadis itu menggigit bibirnya, menahan rasa bersalah.
“Aku harus pulang, Om … siang ini aku ada kuliah,” ucapnya pelan.
Rayhan tak berkata apa-apa, hanya mengangguk kecil. Ia paham. Ia tak punya hak untuk menahan gadis itu di sini lebih lama.
“Tapi besok aku datang lagi. Aku janji,” lanjut Alesha sambil merapikan selimut tipis yang menutupi tubuh Rayhan. “Biar aku yang rawat Om sampai sembuh.”
Rayhan hanya mengangguk lagi. Tidak sanggup bicara. Tenggorokannya tercekat oleh sesuatu yang tak bisa ia jelaskan—campuran antara kesepian dan … sesuatu yang lain.
Alesha akhirnya berdiri, mengambil tasnya, lalu melangkah ke pintu. Sebelum pergi, ia sempat menoleh sekali lagi, menatap Rayhan dengan mata teduh yang terasa terlalu dalam bagi seorang gadis seusianya.
Setelah pintu tertutup, suasana rumah itu kembali sunyi setelah Alesha pergi. Tapi keheningan itu justru memekakkan.
Rayhan duduk bersandar di sofa ruang tengah, napasnya berat. Kaus tipis yang ia kenakan sudah agak basah oleh keringat demam yang belum sepenuhnya turun. Tapi bukan hanya demam yang membuat tubuhnya panas.
Ada yang lain.
Bayangan itu.
Alesha.
Celana jeans ketat yang menonjolkan lengkungan pinggulnya. Kaos putih ketat yang ... oh Tuhan. Tipis dan menempel seolah melukis lekuk dadanya. Saat ia duduk bersimpuh merapikan bantal tadi, bagian leher kaos itu terbuka sedikit, memperlihatkan belahan payudara yang tak bisa Rayhan lupakan begitu saja.
Bukan karena Alesha menggoda. Tidak. Gadis itu sama sekali tak menunjukkan sinyal apa pun. Tatapannya jernih. Senyumnya hangat. Gaya bicaranya polos seperti dulu.
Tapi justru itu yang membuat Rayhan kehilangan pegangan.
“Alesha … kamu udah dewasa sekarang ya .…”
Suara lirihnya mengambang di udara. Tangannya terangkat, menyentuh pelipis yang panas—entah karena sisa demam, atau karena imajinasi yang tak pantas.
Dulu, dia hanya mengenal Alesha sebagai sahabat kecil Zira. Anak yang cerewet, rambutnya dikepang dua, penuh semangat dan selalu ceroboh. Tapi hari ini ... wanita itu berdiri di hadapannya. Dewasa. Matang. Cantik. Berisi.
Dan terlalu dekat.
Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir gambaran tubuh itu dari pikirannya. Tapi aroma parfum Alesha masih tertinggal samar di ruangan—aroma vanila lembut dan segar, bercampur dengan tubuh muda yang hangat.
"Gila."
Rayhan memejamkan mata, meremas tangan sendiri.
Ia tahu ini salah.
Dia pria dewasa. Sudah kepala empat. Ayah dari sahabat Alesha.
Tapi tubuhnya tak tahu batas moral.
Ia bangkit perlahan, berjalan ke dapur, mengambil segelas air dingin. Tangannya gemetar sedikit. Ia menyandarkan tubuh di dinding kulkas dan menggumam pelan, “Lo harus waras, Ray.”
Namun ... jika Alesha datang lagi besok?
Apakah dia masih bisa waras?
***
Esoknya.
Alesha menepati janjinya. Pagi-pagi sekali ia sudah ada di depan rumah Rayhan, membawa sebungkus bubur hangat yang masih mengepulkan aroma kaldu ayam.
Rayhan menyandarkan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Tubuhnya masih terasa lemas, keringat dingin mengalir di pelipisnya meski suhu ruangan cukup sejuk. Napasnya berat, wajahnya masih pucat. Ia belum punya tenaga untuk berdiri, apalagi menyiapkan sarapan.
Suara pintu diketuk pelan. Tak lama, suara ceria menyusul.
“Om .…”
Rayhan menoleh malas, dan mendapati Alesha berdiri di ambang pintu dengan wajah cerah, rambut dikuncir tinggi, kaus lengan panjang oversized dan celana training longgar. Sederhana. Tapi entah kenapa … terasa berbeda pagi ini.
"Selamat pagi, Om pasti belum sarapan ya?” Alesha langsung masuk dan menuju dapur yang tak jauh dari ruang makan, menyisakan aroma sabun mandi dan white musk entah dari mana.
Rayhan mengangguk pelan, matanya mengikuti gerakan gadis itu. Kakinya lincah tapi tidak terburu-buru, tubuhnya ringan, hampir seperti menari. Ia membuka lemari dapur seperti sudah hafal letaknya, mengambil sendok, menata mangkuk bubur ke nampan, menyeduh teh manis.
"Oh, iya," katanya santai, "dua hari ini aku libur kuliah. Jadi aku bisa nginep. Jaga Om sampai sembuh."
Rayhan langsung memutar kepalanya, menatapnya dari balik sofa.
“Kamu … nginep?” suaranya serak.
“Iya,” jawab Alesha ringan, seolah hal itu sangat wajar. “Aku janji sama Zira. Aku juga kasihan, Om. Sendirian, sakit, gak ada yang jagain. Jadi aku nginep aja, ya?”
Rayhan terdiam.
Nginep?
Di rumah ini?
Dua hari?
Berdua?
Ketika Rayhan naik lagi, mereka saling menatap. Napas masih memburu. Tubuh sama-sama lelah, tapi hasrat tak juga reda.“Sekarang, aku pengen kamu yang pimpin. Kamu yang gerak.”Alesha diam sejenak, napasnya tak beraturan. Matanya tetap terkunci pada Rayhan, mencari jawaban yang tak ada. Perlahan, dengan gerakan kaku, ia duduk. Tangannya menyentuh dada Rayhan, lalu turun … dan menyatukan tubuh mereka.Gerakan pertama membuatnya terengah. Tapi ia tak berhenti. Kali ini, ia yang memimpin. Namun dengan itu, ia juga menyadari satu hal:Ia bukan cuma menyerah. Ia mulai ketagihan. Dan kesadaran itu adalah cambuk paling menyakitkan.“Aku ngerasa … kayak mimpi,” bisik Alesha di tengah goyangan tubuh mereka yang lebur.Rayhan menatap dari bawah, suaranya berat, dalam, penuh. “Kalau ini mimpi … jangan bangunin aku.”Dan malam itu, sekali lagi, mereka larut—dalam tubuh, dalam nafsu, dalam ketagihan yang belum tentu bisa mereka hentikan. Sebuah lingkaran setan yang baru saja dimulai.Alesha memeja
Rayhan menatapnya dalam diam. Di detik itu, dunia di luar seolah tak ada. Yang tersisa hanya mereka berdua—dan dosa yang tak bisa mereka hentikan.“Aku sayang kamu, Lesha …,” ucapnya, penuh keyakinan. “Malam ini … biarkan aku tunjukkan pakai tubuhku. Bukan kata.”Dan malam itu pun milik mereka.Tertutup rapat oleh dinding-dinding rumah besar yang sunyi.Namun di dalam kamar itu, antara dada, bibir, napas, dan kulit—mereka tak lagi berpikir. Tak lagi menimbang. Tak lagi bisa lari.Mereka meleleh dalam satu rasa yang tak bisa didefinisikan: ingin.Alesha terbaring diam, memeluk tubuh Rayhan dengan perasaan bercampur. Tubuhnya menyatu dalam pelukan hangat pria itu, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Antara rasa bersalah yang menusuk dan kenikmatan yang memabukkan.Selimut menutupi sebagian tubuh mereka. Tapi hawa panas di kamar belum reda. Bukan hanya dari sisa-sisa keintiman—melainkan dari guncangan batin yang belum reda sepenuhnya.Kepalanya bersandar di dada Rayhan, mendengarkan
Rayhan menunduk. Bibir mereka bertemu, pertama kali, dalam ciuman yang sangat pelan, sangat hati-hati. Seolah mereka berdua takut membuat dunia runtuh, atau mungkin, takut mengakui betapa rapuhnya batas yang selama ini mereka bangun.Dan untuk pertama kalinya, bibir mereka bersatu dalam ciuman yang mulai kasar, terburu, dan terlalu panas untuk disebut ragu-ragu. Sebuah badai yang sudah lama tertahan, kini tumpah ruah.Tangan Rayhan berpindah, menyentuh pipi Alesha, menelusuri garis rahangnya. Napas mereka bertaut, beradu di antara ciuman yang makin dalam, makin dalam lagi. Setiap sentuhan terasa seperti sebuah pengakuan terlarang.“Alesha …,” bisik Rayhan di sela-sela ciuman, suaranya serak, penuh perih dan ingin. “Aku … terlalu lama ingin ini.”Alesha tak menjawab. Lidahnya terasa kelu, seolah ada suara peringatan yang menahan di tenggorokannya. Tapi ia tak menjauh. Justru matanya menutup perlahan—dan itu jawaban yang paling jujur malam itu, sekaligus pengkhianatan pada akal sehatnya
Pikirannya segera penuh kemungkinan. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menyuarakan protes yang sepenuhnya juga tak yakin ingin ia sampaikan.Alesha sudah kembali, membawa nampan. Dia menurunkan nampan ke meja kecil di depan sofa, lalu duduk di karpet dekat kaki Rayhan. Kakinya bersila, posisi nyaman sekali—dan sangat dekat. Ia membuka tutup mangkuk, aroma bubur ayam langsung memenuhi udara.“Makannya pelan-pelan ya. Panas.”Rayhan mengerjap. Matanya diam-diam memperhatikan wajah Alesha yang serius menyendokkan bubur, bibirnya sedikit mengerucut saat meniup uap panas. Pipinya halus, bersih, lehernya panjang. Ia kelihatan sangat muda … dan sangat … hidup.Dan untuk pertama kalinya sejak demam itu datang, Rayhan merasa tubuhnya sedikit lebih hangat—bukan karena bubur, tapi karena seseorang ada di situ, terlalu dekat. Terlalu nyaman.Dan mungkin …Terlalu berbahaya.“Aku tidur di kamar Zira aja, ya. Tadi aku ambil piyamanya sekalian. Badan kami kan mirip-mirip.”Rayhan tercekat.Zira.Put
Pintu rumah besar itu terbuka perlahan, dan Alesha melangkah masuk dengan membawa kantong plastik berisi bubur hangat dan obat-obatan.“Om Rayhan?” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban.Alesha memijak pelan lantai marmer yang dingin. Rambutnya dikuncir setengah ke atas, poni jatuh sedikit ke dahi. Ia hanya memakai jeans ketat robek di lutut dan kaos putih ketat lengan pendek yang cukup tipis, memperlihatkan garis samar bra berenda yang berwarna hitam. Sederhana. Tapi tubuh Alesha sudah bukan anak-anak lagi, dan Rayhan melihat itu dengan sangat jelas … saat ia muncul dari balik pintu kamar dengan langkah malas dan suara serak.“Lesha … kamu?”Alesha berbalik dan langsung tersenyum manis, tulus. “Om Rayhan! Aku bawain bubur. Kata Zira Om sakit?”Zira dan nenek sedang liburan ke Eropa selama dua minggu. Baru dua hari berlalu ketika Alesha menerima pesan itu.[Papa aku sakit. Please dong, jagain sebentar. Asisten rumah tangga juga lagi pada mudik. Aku khawatir, Lesh .…]Zira selalu manja s