MasukRevan tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya memegang tangan Zira, membalikkan telapak tangan Zira, dan mencium lembut pergelangan tangannya. Ciuman itu adalah sebuah janji, sebuah izin, dan sebuah undangan. Ia mengerti bahwa Zira tidak butuh kata-kata; Zira butuh pelepasan. Ia butuh pelabuhan yang tidak akan menuntutnya untuk menganalisis atau merasionalisasi apa pun.Revan bangkit dari kursi balkon. Zira mengikutinya, tanpa kata-kata, langkah kakinya terasa ringan, seolah-olah ia baru saja membuang beban ribuan ton. Mereka bergerak masuk dari dinginnya malam di balkon ke kehangatan remang-remang kamar Zira.Revan memimpinnya ke tengah ruangan. Ia memegang kedua bahu Zira, tatapannya lembut namun dalam, menuntut keheningan total dari pikiran analitis Zira. Ia melihat Zira yang sebenarnya: seorang wanita yang sangat rentan di bawah lapisan keras kedewasaan dan logika.Ciuman itu dimulai dengan sangat lambat. Revan menyentuh bibir Zira, sebuah sapuan yang lembut, menguji. Zira menutup
Revan tersenyum lembut, senyum yang menunjukkan ia sudah memprediksi alur data ini sejak lama. Ia mencondongkan tubuh sedikit, membiarkan suaranya menjadi bisikan di tengah keheningan yang kian pekat. "Mungkin dia memang tidak manipulatif, Ra. Mungkin dia hanya seorang gadis yang mencintai Ayahmu dan terpaksa berpisah. Lalu kecelakaan itu terjadi, kalian kembali dekat, dan dia tidak mau merusak momen itu, makanya dia menjauh. Dia melakukan cut loss atas hubungannya demi menjaga hubunganmu dengan Ayahmu. Itu adalah pengorbanan yang sulit diukur dalam angka, Ra. Sebuah anomali yang harus kamu akui.""Tapi kenapa dia tidak menjawab 'ya' dengan lantang?" Zira menekan lagi, mencari titik definitif. "Kenapa dia memilih ambigu, padahal dia bisa saja berteriak bahwa dia mencintai Ayahku dan memenangkan debat kami saat itu juga? Dia punya momentum.""Karena dia menghormatimu, Ra. Dia tahu kamu benci dia. Dia tahu kalian berpisah demi dirimu, atau setidaknya, dia membiarkanmu berpikir begitu,
Malam itu, Alesha berbaring di apartemen mewah yang disewakan Rayhan khusus untuknya. Dindingnya berwarna krem lembut, dilengkapi kasur empuk dan perlengkapan studi yang sempurna. Rayhan menjadikannya sebuah sanctuary yang sangat aman dan terisolasi.Panggilan video dari Rayhan masuk. Wajah Rayhan langsung muncul di layar, matanya khawatir."Bagaimana di kampus, Sayang? Kamu sudah minum vitamin? Mualnya masih parah?" Rayhan menghujani pertanyaan layaknya dokter kandungan yang posesif dan panik.Alesha tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Dokter Rayhan. Jangan khawatir berlebihan. Tapi, aku bertemu Zira dan Revan hari ini."Wajah Rayhan langsung mengeras. "Apa?! Apa yang mereka lakukan? Apa Zira membuatmu stres? Jika dia mengganggumu, aku akan segera membatalkan semua janji dan pulang. Katakan padaku, Aster!""Ssstt," potong Alesha lembut. "Tidak, Om. Zira tidak mengganggu. Kami hanya bicara. Revan yang meminta kami bertemu. Zira ... dia bertanya apakah aku masih mencintaimu."
Revan berdeham keras, mencoba menguasai situasi. "Zira, cukup! Kita ke sini bukan untuk menghakimi. Aku bilang kita harus bicara baik-baik. Kalau kamu terus seperti ini, kita pergi sekarang."Revan menghela napas, lalu menghadap Alesha dengan tatapan tulus dan penuh pengertian. Revan adalah kuncinya, dia yang melunakkan Zira, karena Revan tahu Zira marah, tetapi ia juga tahu Zira merindukan Alesha, dan yang terpenting, ia menyadari Zira merasa terisolasi dalam harapannya yang tak mungkin."Lesha, jujur saja," Revan memulai dengan suara tenang dan rasional, bahasa yang menenangkan kedua wanita yang tegang itu. "Kami semua bingung. Awalnya kami tahu kalian putus, lalu Om Rayhan sangat terpuruk, kami melihatnya. Lalu Zira kembali, kami lihat Zira bahagia, tapi tiba-tiba kamu pingsan dan Om Rayhan muncul di hadapan semua orang. Kalian seolah-olah bermain-main dengan perasaan banyak orang, khususnya Zira.""Zira ... dia butuh kepastian. Dia merasa Ayahnya akan direbut lagi, dan itu mem
Alesha duduk di sudut kantin Fakultas Ekonomi, sebuah posisi strategis yang ia yakini menawarkan pengawasan minimal. Tangannya memegang buku tebal Ekonomika Moneter, namun matanya hanya melihat pantulan samar dirinya di jendela besar yang menghadap lapangan kampus. Kampus, yang seharusnya menjadi medan tempurnya untuk meraih gelar sarjana, kini terasa seperti lapangan ranjau. Setiap tawa, bisikan, atau pandangan curiga dari teman sekelas bagaikan detonator yang siap meledakkan sandiwara hidup normalnya.Sejak ia pindah ke apartemen pribadinya—yang ia sanggah sebagai alasan "kemacetan yang parah" kepada Ayahnya, Arif—hidupnya terbagi dua. Siang hari, ia adalah mahasiswi yang fokus pada skripsi, yang berjuang melawan revisi Prof. Handoyo. Namun, malam hari, ia adalah wanita hamil trimester pertama yang dirawat obsesif oleh Rayhan via video call rahasia, dan diperlakukan seperti pasien paling berharga.Mual yang datang tiba-tiba adalah musuh terbesarnya, sebuah sinyal pengkhianat yang
Alesha segera mengirim pesan ke Rayhan yang sedang sibuk di rumah sakit: [Alesha]: Zira kirim pesan. Minta maaf dan mau bicara soal persahabatan. Lampiran: Teks pesan Zira.Alesha tahu ia harus merespons dengan hati-hati. Ia yakin Revan berhasil membujuk Zira untuk melakukan cut loss pada harapan rujuk orang tuanya. Dan Revan pasti meyakinkan Zira bahwa Alesha tidak lagi menjadi ancaman karena ia dan Rayhan sudah putus. Kerahasiaan Rayhan—kekasihnya—dan kehamilan kini bergantung pada keyakinan Zira ini.Rayhan membalas cepat, memecah keheningan ruang operasinya: [Rayhan ke Alesha]: Responmu sempurna, Aster. Jangan balas lagi. Biarkan dia menunggu. Jika dia menghubungi lagi, katakan kau sibuk skripsi. Prioritas kita: kelulusan dan keamanan. Perubahan ini pasti karena Revan. Gunakan jeda ini untuk fokus. Zira mengira kau sudah tidak lagi menjadi ancaman. Aku mencintaimu.Mendapat izin dan strategi, Alesha membalas Zira dengan hati-hati.[Alesha]: Zira, terima kasih atas pesannya. Ak







