Selamat membaca. Jangan lupa masukan ke Pustaka ya. Terima kasih.
“Apa?” suaranya menurun, menahan sesuatu.Alesha tersentak sadar. Jantungnya mencelos. Otaknya baru menyadari kesalahan besar: nama yang lolos dari bibirnya bukan “Papa” ... tapi “Om”.Arif menarik napas panjang. Mata tajamnya menatap lekat. Ada sesuatu yang berkecamuk—curiga, sakit hati, amarah.“Om siapa, Lesh?” tanyanya pelan tapi penuh tekanan.Alesha buru-buru membalikkan tubuh, memunggungi Arif. “Aku ... capek. Mau tidur.” Suaranya lirih, bergetar.Arif tidak menekan lebih jauh. Ia hanya duduk terdiam, menatap punggung putrinya. Tapi benaknya bergemuruh. Nama itu—Om. Ada siapa di balik kata itu?***Beberapa jam kemudian.Arif keluar untuk berbicara dengan dokter tentang perkembangan Alesha. Kamar kembali hening, hanya suara mesin infus yang berdetak ritmis.Alesha membuka matanya perlahan. Tubuhnya masih lemah, tapi pikirannya penuh kecemasan. Ia merasa bersalah telah menyebut nama itu. Apalagi di depan ayahnya sendiri.Ponsel di meja kecil bergetar.Dengan tangan lemah, ia mer
Udara di apartemen Alesha terasa begitu berat siang itu. Matahari bersinar garang, tirai jendela hanya sedikit terbuka, menebarkan cahaya kuning yang menusuk mata. Namun tubuhnya justru menggigil. Keringat dingin membasahi pelipis, rambutnya menempel lepek di dahi. Kepalanya berat, tubuhnya remuk seperti habis dipukuli. Semua ini imbas dari terlalu banyak masalah yang berputar di benaknya dalam beberapa hari terakhir.Ia terbaring miring di atas ranjang, memeluk guling seperti memeluk pelampung di lautan yang menenggelamkannya perlahan. Pandangannya kabur. Dunia terasa jauh. Dalam kepalanya hanya ada satu nama: Rayhan.Dengan tangan gemetar, Alesha meraih ponsel di meja kecil samping ranjang. Layarnya tampak buram. Butuh beberapa detik baginya untuk fokus. Ia membuka daftar kontak, jari-jarinya hampir menyentuh nama Rayhan—satu-satunya orang yang selama ini membuatnya merasa tidak sepenuhnya sendirian.Namun sebelum sempat menekan, ponselnya bergetar. Nama lain muncul di layar. Nama y
Udara pagi Jakarta masih lembap saat Alesha akhirnya berhasil merapikan dirinya. Blus putih yang lebih tertutup sudah terpasang rapi, rok diganti dengan yang sedikit lebih panjang, rambut diikat sederhana. Meski begitu, aura cantiknya tetap saja memikat.Rayhan memperhatikannya dari pintu kamar, lengan terlipat di dada. Ada kebanggaan, ada rasa lega, tapi juga ada api cemburu yang tak padam.“Kamu kelihatan lebih … cocok begini,” katanya pelan.Alesha melirik sekilas, mendesah jengkel. “Kamu puas sekarang?”Rayhan hanya mengangkat bahu, lalu meraih tasnya. “Ayo, aku antar. Kamu udah telat.”"Siapa yang buat aku telat?" gerutu Alesha. Tapi semakin membuat Rayhan mendengus tawa. Mobil hitam Rayhan meluncur keluar dari basement apartemen. Jalanan mulai padat, klakson bersahut-sahutan, tapi di dalam kabin terasa sepi. Hanya ada suara pendingin udara dan detak jantung Alesha yang ia coba kendalikan.Rayhan duduk di belakang kemudi dengan wajah serius, satu tangan menggenggam setir. Tapi t
Suara getar pelan dari meja nakas membangunkan Rayhan. Ia membuka mata dengan berat, kelopak masih lengket oleh kantuk. Sekilas ia mendengar napas teratur Alesha di sampingnya, tubuh mungil itu terbungkus selimut tipis, wajahnya damai dalam tidur.Rayhan tersenyum kecil—perasaan yang belakangan sering ia alami. Damai. Bahagia. Dan sekaligus takut.Ponsel bergetar lagi. Dengan hati-hati agar tidak membangunkan Alesha, Rayhan meraih benda itu. Layar menyala, menampilkan nama yang membuatnya tercekat: Zira.“Shit …,” bisiknya, duduk perlahan.Ia menekan tombol hijau, mencoba menetralkan suaranya.“Halo, Nak … ada apa pagi-pagi begini?”Suara Zira terdengar di seberang, agak serak karena baru bangun. “Papa … semalam nggak pulang?”Rayhan menelan ludah. Ia melirik sekilas ke arah Alesha yang masih terlelap. Selimut sedikit bergeser, menampakkan pundak telanjangnya. Seketika dadanya sesak, antara panik dan ingin lagi.“Papa … ada pasien gawat,” Rayhan akhirnya menjawab. “Operasi darurat. Ak
Alesha berdiri di depan cermin, tubuhnya hanya dibalut handuk. Rambutnya tergerai, wajahnya sedikit pucat, dan matanya masih merah karena beberapa hari terakhir sulit tidur. Sejak Zira mulai dingin padanya, Alesha merasa dadanya makin sesak. Rasa bersalah menempel seperti noda yang tak bisa dicuci bersih.Alesha keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah meneteskan air ke bahu. Handuk kecil ia tekan-tekan pelan ke helai panjangnya. Saat membuka pintu kamar, ia tertegun—Rayhan sudah duduk di tepi ranjang, jas kerjanya terlipat rapi di kursi, dasi tergantung begitu saja di sandaran.“Om …?” Alesha refleks merapatkan handuk di dada. “Kok bisa masuk?”Rayhan menoleh, tatapannya berat dan dalam. “Aku kangen kamu,” ucapnya tanpa menjawab apa yang Alesha tanyakan. “Aku—” kalimatnya terhenti ketika Rayhan berdiri, langkahnya mantap mendekat. Dengan mudah ia menarik handuk dari tangan Alesha, menjatuhkannya ke lantai. Jemarinya menyapu sisa tetesan air di kulit leher Alesha, lalu berhenti
Rayhan mengusap punggungnya, menenangkan. “Kamu luar biasa, Lesha.”Alesha tersenyum kecil, meski matanya berat. “Kamu juga … gila.”“Kegilaan yang gak akan aku sesali,” balas Rayhan, mengecup keningnya.Malam itu, mereka tak hanya tenggelam dalam dua ronde. Mereka tenggelam dalam perasaan yang terlalu dalam untuk dihapus.Dan meski dunia di luar bisa runtuh kapan saja, di kamar itu… hanya ada mereka berdua.Hanya candu.Hanya cinta.Yang tak bisa berhenti.***Beberapa hari terakhir, hidup Alesha terasa seperti berada di tepi jurang. Setiap langkah kecil yang ia ambil bisa membuatnya jatuh kapan saja. Zira semakin dingin, semakin sulit diajak bicara. Dan Rayhan… laki-laki itu seolah makin tak bisa menahan diri untuk selalu berada di dekatnya.Di rumah sakit, gosip mulai berembus. Nadya, suster yang terkenal cerewet di nurse station, tanpa sadar menambah beban pikiran Rayhan.“Dokter Rayhan kayaknya jatuh cinta lagi, ya?” Nadya menoleh pada rekannya sambil merapikan tumpukan berkas.S