"Iya, Mas. Biar aku yang carikan wanita yang mau nikah kontrak dan melahirkan anak untuk kita," ucap Sandra.
"Sandra, ini bukan solusi yang baik. Wanita yang mau menikah kontrak seperti itu, pasti bukan wanita baik-baik, aku tidak mau punya anak dari wanita yang seperti itu," tolak Irsyad. "Ini satu-satunya solusi untuk kita, Mas. Dari pada kamu nikah sama wanita yang di pilih mama kamu, pernikahan itu pasti sungguhan. Aku gak bisa berbagi cinta selamanya dengan wanita lain," ucap Sandra. Irsyad menekan pangkal hidungnya, ia benar-benar pusing dengan situasi yang ada. Irsyad bukan lelaki yang mudah dekat dengan sembarang wanita, apalagi jika harus menikah. "Mas, kalau kamu cinta sama aku, ikuti saja semua rencanaku. Dengan menikah kontrak kamu tidak perlu berbagai cinta dengan wanita lain dan kita akan punya anak," ucap Sandra. Irsyad menghela nafas, lalu beranjak ke kamar mandi. Ia membasuh wajah nya, matanya memerah ia sudah tak tahu lagi harus berkata apa. Sementara Sandra sedang memikirkan seseorang yang ia anggap cocok untuk jadi istri kedua suaminya, tentu saja hanya istri kontrak untuk melahirkan anak. Satu nama yang tersirat dalah benak Sandra. 'Hana Ashadiya' Gadis cantik yang sudah 4 tahun bekerja sebagai asistennya, ia seorang gadis perantau yang tinggal di ruang kosong samping gudang produksi skincare demi menghemat biaya hidup. Sandra tahu dia gadis baik, rajin beribadah, dan selalu melakukan apapun yang di perintahkan Sandra. Ia yakin jika suaminya memiliki anak dari Hana maka anak itu akan menjadi anak baik juga. Keesokan harinya. Sandra dan Irsyad melakukan aktivitas seperti biasa. Irsyad berangkat ke kantor tempatnya bekerja sebagai asisten CEO, sementara Sandra ke kantor skincare nya. "Hana, barang yang mau di kirim sudah di cek?" tanya Sandra ketika sampai di kantor sekaligus pabrik pembuatan skincare miliknya. "Sudah, Bu. Sebentar lagi satu mobil jalan untuk pengiriman ke pihak ekspedisi," jawab Hana. "Oke, ke ruanganku sekarang!" ucap Sandra. Hana menganggukan kepala, gadis cantik itu adalah asisten Sandra yang sudah bekerja selama 4 tahun. Sejak Hana bekerja pada Sandra produk skincare itu semakin laris, wajah Hana yang cantik menjadi daya tarik pelanggan. Ia sering di tugaskan melakukan live promosi di beberapa sosial media milik perusahaan. "Pagi, Bu." ucap Hana saat masuk ke ruangan Sandra. "Pagi, Han. Saya mau bicara serius, tapi ini di luar pekerjaan, sebelumnya saya mau tanya apa kamu punya pacar?" tanya Sandra membuat Hana bingung. "Ehm ... Saya tidak mau pacaran, Bu." Sandra menganggukan kepala, ia menatap Hana dalam-dalam membuat gadis itu semakin kebingungan. "Hana, berapa tahun kamu bekerja pada saya?" tanya Sandra. "Kurang lebih 4 tahun, Bu." "Menurut kamu saya bos yang seperti apa?" tanya Sandra. "Ya baik, ibu bos yang baik," jawab Hana. Sandra tersenyum lalu duduk di samping Hana, ia menggenggam tangan Hana membuat gadis itu semakin kebingungan. "Han, saya punya masalah rumah tangga. Apa kamu mau membantu saya?" tanya Sandra. "Saya kan belum berumah tangga, jadi gak paham, tapi saya mau bantu jika saya bisa," ucap Hana. Sandra menghela nafas, lalu bercerita tentang dirinya yang pernah kecelakaan saat hamil tua hingga kehilangan anak dan rahimnya harus diangkat. Hana sebagai gadis baik sedih mendengar cerita bos nya, apalagi saat tahu bos nya itu tak bisa lagi memiliki anak setelah rahimnya diangkat. Hingga akhirnya Sandra pun bercerita tentang sang mertua yang ingin memiliki cucu, meminta suaminya menikahi wanita lain, cerita itu juga membuat Hana semakin sedih. "Saya pikir hidup ibu sudah sangat sempurna. Ibu cantik, punya suami tampan, bisnis sukses. Ternyata ibu punya ujian yang berat," ucap Hana. "Aku tidak mau mas Irsyad menikah dengan wanita pilihan mertuaku, Han." "Saya ngerti, Bu. Menerima hal itu pasti berat," ucap Hana. "Masalah ini sudah bertahun-tahun tak ada perubahan, hingga akhirnya aku berpikir mungkin suamiku harus menikah lagi dan memiliki anak dengan wanita lain, tapi aku sendiri yang akan mencari wanita itu," ucap Sandra. Hana meringis mendengar hal itu, sebagai seorang wanita ia tahu bukan hal mudah untuk berbagi cinta dengan wanita lain. Namun, ia tak bisa berkomentar apa-apa tentang masalah rumah tangga bos nya itu, sehingga ia memilih diam dan mendengarkan saja. "Hana, sekali lagi aku tanya. Kamu mau bantu aku menyelesaikan masalah?" tanya Sandra. "Ya kalau saya bisa, pasti saya bantu, Bu." jawab Hana tanpa curiga. "Memangnya apa yang bisa saya bantu?" tanya Hana. "Jadilah istri kedua suamiku!" Tubuh Hana menegang mendengar ucapan Sandra, ia menatap bosnya itu dengan tak percaya. Belum sempat ia menjawab, Sandra sudah berbicara kembali. "Hana, aku bisa berikan apa saja untuk kamu. Rumah, uang, dan kesejahteraan, asal kamu mau jadi istri kedua suamiku. Aku tidak mau suamiku menikah dengan wanita pilihan mama nya, karena takut wanita itu berniat menguasai suamiku. Jika dengan kamu, aku yakin kamu wanita baik jadi tidak mungkin berniat untuk menguasai suamiku." Hana menggelengkan kepalanya dengan cepat, lalu menarik tangannya yang sejak tadi di genggam Sandra. Sebagai seorang gadis yang Soleha, selalu menjaga kesuciannya, Hana selalu mendambakan pernikahan yang terjadi karena cinta. Pernikahan yang diniatkan karena ibadah, memiliki suami yang bisa menjadi imam yang baik untuknya, dan ia ingin pernikahan sekali seumur hidup tanpa poligami. "Maaf, Bu. Kalau ini saya gak bisa bantu," Hana menjawab dengan mantap. "Hana, Please. Cuma kamu yang bisa bantu aku, cuma kamu yang aku terima sebagai istri kedua suamiku, kita akan jadi istri yang akur," ucap Sandra. "Bu, maaf. Poligami itu tidak mudah, hanya wanita-wanita terpilih yang mampu menjalaninya dan saya belum mampu. Hati saya tidak seluas, tidak sesabar, dan tidak seikhlas wanita-wanita pilihan itu," jawab Hana. Hana berdiri dan pamit kepada Sandra untuk mengerjakan pekerjaan lain, ia menolak permintaan atasannya itu. "Saya tahu ibu adalah bos yang baik, jika ibu butuh bantuan saya usahakan untuk membantu, tapi kalau soal pernikahan seperti ini. Maaf Bu." Hana pun keluar dari ruangan Sandra dengan perasaan yang sudah tak karuan, ia sering bertemu dengan Irsyad, suami atasannya itu. Lelaki yang selalu menjaga pandangannya pada wanita lain, Hana juga tahu beberapa karyawan wanita di bagian produksi skincare bahkan berusaha mendekati dan menggodanya. Namun, Irsyad tak pernah merespon apalagi tertarik. "Semua orang tahu jika pak Irsyad begitu mencintai Bu Sandra, jika dia terpaksa menikah lagi karena Bu Sandra tak punya keturunan, aku gak yakin pak Irsyad bisa adil, sudah pasti cinta dan kasih sayangnya akan lebih besar kepada Bu Sandra dari pada istri keduanya. Dan jika aku jadi istri keduanya, batinku bisa tersiksa," gumam Hana. Sementara di dalam ruangan, Sandra berpikir bagaimana caranya membujuk Hana agar gadis itu mau menjadi istri kedua suaminya. "Harus Hana, tidak boleh wanita lain. Dia gadis polos yang mudah di perintah, dia juga tidak akan membuat mas Irsyad menjauh dan meninggalkan aku. Hana, aku akan cari cara agar kamu mau jadi istri kedua suamiku!" ucap Sandra.Irsyad berdiri di depan pintu, menatap kayu tua yang memisahkan dirinya dari Hana. Nafasnya berat, dadanya seperti diremas. Ia mengangkat tangan, berniat mengetuk, tapi tangannya berhenti di udara. Ada rasa takut, takut jika ketukan itu akan membuat Hana semakin menjauh.Dari dalam, suara langkah cepat terdengar, lalu bunyi pintu kamar yang tertutup rapat. Irsyad tahu, Hana memilih mengurung diri.tiba-tiba seorang wanita paruh baya membuka pintu, menatap Irsyad membuat Irsyad menegakkan punggungnya. "Nak Irsyad, apa benar itu kamu?"Irsyad menarik napas, berusaha tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, Bu. Saya Irsyad, saya suami Hana. Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba. Saya… hanya ingin bertemu Hana."Bu Rum mendesah pelan, lalu menggeleng. "Dia… belum siap, Nak. Ibu tidak tahu apa yang sudah terjadi diantara kalian sebelumnya, tetapi dari cerita Hana, dia punya luka yang belum sembuh."Irsyad terdiam. Matanya mulai basah. Ia tahu benar siapa penyebab luka itu, dirinya sendiri dan Sand
Irsyad akhirnya memasuki gerbang kayu sederhana yang menandai batas desa kelahiran Hana. Jalanan tanah yang sedikit bergelombang membuat mobilnya berguncang pelan. Aroma sawah yang basah dan suara jangkrik mulai terdengar di sela-sela kesunyian desa itu.Irsyad melambatkan laju mobil, matanya menatap penuh rasa penasaran ke setiap rumah yang ia lewati. Di kepalanya, ada seribu tanya. "Apakah benar Hana ada di sini? Bagaimana keadaannya? Bagaimana wajah anaknya?"Tak jauh dari tikungan, ia melihat seorang bapak paruh baya sedang duduk di bangku bambu depan rumah, merokok sambil menatap ke jalan. Irsyad meminggirkan mobil, lalu turun."Permisi, Pak." ucap Irsyad dengan sopan.Bapak itu menoleh. "Iya, Nak? Ada yang bisa dibantu?""Saya, mencari seseorang. Namanya Hana. Dia baru-baru ini pindah ke desa ini."Bapak itu mengangguk pelan. "Ooh… Hana. Iya, saya tahu. Dia tinggal di ujung sana, rumahnya Bu Rum. Jalannya terus saja, nanti belok kiri di pohon mangga besar. Rumah kayu dengan ter
Pagi itu, rumah Irsyad masih tampak seperti biasa. Tak ada yang aneh. Sandra bersiap-siap ke kantor dengan wajah dingin yang sudah menjadi rutinitas. Ia tak menyapa Irsyad, tak juga menoleh meski suaminya duduk di meja makan. Irsyad tak peduli, pikirannya sedang dipenuhi oleh satu nama, Hana.Setelah memastikan Sandra benar-benar pergi bekerja, Irsyad segera bangkit dari duduknya. Ia naik ke kamar dan menarik koper kecil yang sudah ia siapkan malam sebelumnya. Pakaian secukupnya, berkas penting, dan foto kecil Hana dan bayinya yang dulu sempat diberikan oleh bi Piah, ia simpan rapi di dalam.Dengan langkah ringan tapi hati yang berat, ia keluar dari rumah tanpa suara. Ia sempat menatap rumah besar itu—tempat yang semestinya penuh cinta, tapi berubah jadi penjara bagi luka-lukanya.Di garasi, Irsyad memasukkan koper ke bagasi mobil. Setelah memastikan semuanya aman, ia masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan mulai melaju menuju alamat yang diberikan Arkan. Jalanan pagi itu cukup le
Di sisi lain.Irsyad tampak gelisah. Sejak pagi pikirannya tak tenang. Ia terus menunggu seseorang yang akan membawakan jawaban dari sebagian kegelisahannya selama ini. Tak lama kemudian, seorang pria berkemeja rapi menghampiri meja mereka dengan langkah pasti."Arkan," sapa Irsyad sambil berdiri dan menjabat tangan pria itu.Arkan, pria muda yang merupakan rekan kerja sekaligus penyelidik pribadi Marco, mengangguk sopan. Ia duduk dan tanpa banyak basa-basi mengeluarkan sebuah amplop cokelat tebal dari tas kerjanya, lalu menyerahkannya kepada Irsyad."Semua data tentang Hana ada di sini, seperti yang Anda minta," ujar Arkan tenang.Irsyad menatap amplop itu sejenak, lalu dengan tangan gemetar ia membukanya. Marco hanya diam, memperhatikan dengan seksama ekspresi wajah bawahannya itu.Satu per satu lembaran dalam dokumen itu dibuka oleh Irsyad. Semakin ia membaca, semakin dalam kerutan di dahinya. Dan saat sampai pada halaman yang menceritakan tentang masa lalu Hana, tangannya terhenti
Hilman ragu sejenak, sebelum akhirnya bertanya dengan suara rendah, "Kamu sudah menikah, Han?"Hana mengangguk pelan. "Sudah.""Jadi,banak yang kamu gendong itu, anakmu?" lanjut Hilman, kali ini nadanya lebih pelan, seolah tak ingin melukai."Iya," jawab Hana sambil membelai kepala bayinya dengan lembut.Hilman terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi ia berusaha tetap tenang. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, tapi ia tak ingin melukai hati perempuan yang duduk di sampingnya itu."Lalu… suamimu mana?" tanyanya akhirnya. "Kenapa kamu sendiri?"Hana menghela napas panjang, matanya kembali menerawang ke kejauhan."Kami sudah berpisah," katanya singkat.Hilman mengernyit. "Berpisah?""Iya," Hana mengangguk, masih menatap lurus. "Maaf, Hilman, aku tak bisa cerita banyak. Itu aib rumah tanggaku. Aku tidak ingin mengungkit-ungkitnya."Suara Hana lirih, tapi jelas terasa getirnya. Hilman merasakan ada dinding tinggi di antara mereka yang tak bisa ia tembus.Ia menunduk, menghela na
Di saat Irsyad masih menanti kabar dari Arkan, menunggu dengan cemas dan harap di tengah keheningan kamar kosong yang pernah dipenuhi tawa anak dan suara lembut Hana, jauh di sebuah desa yang tenang dan terasing dari hiruk-pikuk kota, Hana mencoba membangun kembali hidupnya dari puing-puing yang berserakan. Ketika dunia menolaknya, kampung itulah satu-satunya tempat yang mau memeluknya kembali.Rumah Bu Rum yang sederhana, berdinding kayu, tapi bersih dan hangat. Di beranda kecil rumah itu, Hana mulai membuka warung kecil. Ia menjual gorengan, minuman, mi instan, dan kebutuhan harian lain yang mudah dicari. Ia menata dagangannya dengan penuh kasih sayang, seolah-olah itu adalah caranya berbicara pada dunia bahwa ia belum menyerah.Pagi itu seperti biasa, Hana menggendong bayinya, sambil membuka lapak warung yang makin hari makin dikenal warga sekitar. Para ibu yang lewat menyapa, membeli gula atau telur, dan memuji senyumnya yang ramah."Sejak ada warung Hana di sini kita gak perlu re