LOGINMalam hari di sebuah apartemen mewah dua pria sedang berbincang dengan sebuah dokumen di atas meja.
"Ini data yang lo minta" kata Arlo seraya menyodorkan sebuah dokumen ke atas meja. Arlo adalah asisten pribadi Shayne, jika berada di kantor, terlepas dari pekerjaan Arlo dan Shayne adalah teman dekat, mereka sudah berteman dari SMA. Arlo terlahir dari keluarga yang sederhana, selepas kuliah dia memasukan lamaran di Cullen dan perusahaan lainnya. Meskipun dua berteman dengan Shayne tetapi dirinya tidak mau mengandalkan koneksi dengan temannya itu. Dia ingin mencari pekerjaan dari hasilnya sendiri tanpa melibatkan orang dalam. Setelah menunggu beberapa minggu Arlo mendapatkan panggilan interview dari dua perusahaan dan salah satunya dari Cullen. Di perusahaan sebelumnya Arlo diterima sebagai Manager, namun dirinya memilih untuk bekerja di Cullen sebagai kepala divisi, dia ingin memulai dari bawah tidak ingin langsung memiliki jabatan tinggi karena dia belum memiliki pengalaman banyak. Setelah Shayne mengetahui jika temannya bekerja di Cullen barulah dia meminta temannya itu menjadi asisten pribadinya saat dia kembali ke Indonesia dan mengambil alih perusahaan, namun sebelumnya Shayne ingin Arlo menjabat dari sebelum dia kembali Shayne ingin Arlo terbiasa dan memiliki pengalaman sebagai Asisten CEO dan Shayne meminta sang ayah agar Arlo diangkat menjadi asisten Harist terlebih dahulu. Shayne membuka dokumen yang Arlo berikan, membaca setiap lembar mengenai data karyawan yang dia minta. Selama dia menjadi OB, Shayne meminta Arlo menyelidiki kembali orang-orang yang dia curigai, terutama pada petinggi Cullen yang dia pastikan banyak diantara mereka yang tidak bekerja dengan benar. Banyak petinggu Cullen yang menyalahgunakan jabatan mereka untuk menindas bawahan. "Monika ini sudah lama bekerja di Cullen, tetapi kenapa dia bersikap seenaknya kepada karyawan lain terutama kepada OB?" Tanya Shayne. "Dia sudah hampir 7 tahun bekerja di Cullen dan tujuan dia itu memang ingin naik jabatan agar bisa seenaknya kepada bawahan. Saat menjabat sebagai ketua divisi dia dikenal sebagai seorang yang bertanggung jawab dan memiliki kerjasama tim yang baik, ntah mengapa semenjak dia menjadi manager sikapnya berubah" "Siapa yang mempromosikan dia menjadi manager?" Tanya Shayne kembali. Arlo mengambil dokumen di tangan Shayne lalu membuka 2 lembar berikutnya. "Jonathan, dia adalah manager personalia dan dia yang merekomendasikan Monika menjadi manager pemasaran" "Apa hubungan keduanya?" Tanya Shayne kembali. "Gue belum tahu apa hubungan mereka, akan kita selidiki lebih lanjut" Shayne mengembuskan nafasnya. "Gue mau informasi ini sebelum acara besar perusahaan nanti" "Siap! Oia dan ini satu lagi data yang paling lo minta" kata Arlo seraya memberika selembar kertas yang berisikan data seorang perempuan. Shayne mengambilnya lalu membacanya dengan serius. "Kalau suka tuh deketin, perhatiin, nyatain bukan diam-diam minta data" ejek Arlo yang sudah tahu isi pikiran temannya ini. Shayne memberikan tatapan tajamnya pada asisten pribadinya ini yang ditatap pun tidak merasa terintimidasi dia dengan santainya malah menyandarkan punggung pada sofa. "Dia baru 1 bulan bergabung dengan perusahaan?" Tanya Shayne. Arlo mengangguk. "Yes, dan lebih tepatnya berbarengan sama lo" jawabnya. Shayne terdiam dengan sorot mata yang fokus pada data di atas kertas ini. ** Minggu pagi ini Alana dan Ayra sedang joging di taman kota, mereka berlari keliling taman yang dipenuhi oleh para warga ibu kota yang sedang berolahraga. "Huh, capek banget!" Keluh Alana dia pun menghentikan larinya seraya membungkukan tubuhnya dengan kedua tangan yang memegangi lutut. "Baru 5 putaran, ayok dong katanya mau sampai 7 putaran, 2 lagi ni" ucap Ayra. Alana pun menatap sang kakak dengan nafas yang terengah-engah. "No, aku udah lelah, kakak aja lanjut sendiri aku istirahat dulu di sini" sahutnya. Ayra pun menggelengkan kepalanya. "Dasar anak kecil!" Ledeknya. Alana mengibaskan tangannya menyuruh sang kakak pergi untuk melanjutkan lari paginya ini, sedangkan dia menepi ke pinggiran taman lalu menselonjorkan kakinya. Meneguk air mineral yang dia bawa dari rumah hingga tersisa setengah botolnya. "Hah, lemah banget sih gue hari ini!" Gumamnya. "Mba Alana" sapa seseorang membuat Alana menolehkan wajahnya pada asal suara. Alana memicingkan kedua matanya lalu tersenyum. "Mas John" tunjuknya. Ya, yang menyapa Alana adalah John. Sebenarnya dia tidak berniat menjadi John hari ini, hanya saja karena melihat Alana Shayne pun merubah mode rambutnya menjadi John. "Joging juga atau lagi nongkrong pagi?" Tanya Alana yang terlihat akrab dengan John. "Joging dong mba, kan biar sehat" jawabnya. Alana tersenyum sambil menganggukan kepalanya. "Sendirian?" Tanyanya lagi. "Sama temen" "Oh. Terus, udahan larinya?" "Saya sudah 10 putaran, mba, jadi istirahat dulu" jawab John tetapi memang benar dia sudah berlari 10 putaran taman ini. "Waw, keren banget mas John ini ternyata, pantas saja punya badan yang sehat" puji Alana. Memang benar badan Shayne ini terlihat atletis sekali, bagaimana tidak dia sering berolahraga dan gym juga dia selalu memakan makanan sehat terlebih sayur-sayuran, dia sangat menyukainya. John hanya tersenyum saja, mengingat jika dirinya adalah seorang Shayne Rafa Cullen. "Dan mba Alana, sendiri atau sama pacar?" Tanya John yang sedikit memancing. "Pacar!" Ulang Alana lalu tertawa. "Saya sama kakak, itu dia masih lari" jawabnya seraya menunjuk ke arah sang kakak. "Ya, siapa tahu kan olahraga pagi bareng pacar biar lebih semangat lagi sehatnya" ucapnya. "Mas John sendiri gak ada pacar yang mau diajak sehat bersama?" Kali ini Alana yang bertanya balik. "Gak ada yang mau sama saya loh, mba. Apalagi kalau mereka tahu saya hanya seorang OB" jawabnya. "Ada yang salah sama pekerjaan seorang OB?" Tanya kembali Alana. "Ya, kan para wanita sekarang seperti itu memandang pekerjaan prianya" "Tidak semua wanita seperti itu. Ya, tapi memang realistis sih kalau wanita sekarang memandang pekerjaan prianya. Tetapi asalkan si pria itu memiliki pekerjaan yang tetap dan memiliki penghasilan serta bertanggung jawab, maka apa yang harus dipermasalahkan lagi" ucap Alana membuat John merasa sedikit shock mendengarnya karena biasanya John selalu bertemu dengan wanita-wanita matrealistis, yang tidak bisa menerima dia sebagai John tetapi jika dia sudah kembali menjadi Shayne para wanita itu pun akan rela melakukan apa saja demi bisa bersama dirinya. "Mba Alana yakin belum punya pacar?" Tanya John kembali yang membuat Alana tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. "Wah, pria-pria di sini tidak memiliki mata yang sempurna ternyata" "Alana" panggil Ayra yang sepertinya sudah menyelesaikan 2 putarannya. "Siapa?" Tanya Ayra begitu tersadar jika ada seorang pria bersama sang adik. "Oh dia John, karyawan di Cullen juga" kata Alana memperkenalkan John pada Ayra begitu pun sebaliknya. "Dan ini Kak Ayra, kakak saya""Kamu akan sangat terkejut kalau kakak sebutkan namanya?" Alana dengan setia masih terdiam mendengarkan Ayra, dia penasaran sekali dengan nama si pria. Pria mana yang sudah membuat Ayra jatuh cinta. "Shayne!! "Kakak jatuh cinta pada Shayne, Al!" Serunya seraya melompat kegirangan. Sungguh tidak bisa dipungkiri rasa bahagianya. Deg.... Namun Alana menampakkan ekspresi yang suliat diartikan. Seketika tubuhnya membeku, otaknya mendadak menghitam, hatinya mencelos begitu saja. Apakah Alana salah dengar, atau Ayra yang salah menyebutkan nama pria. "Kakak jatuh cinta pada Shayne!" Serunya kembali dan itu sudah cukup untuk meyakinkan rungu Alana, bahwa dia tidak salah mendengar. Mendadak sekali kedua matanya berembun, dia lirikan bola matanya kesembarang arah, agar cairan yang sudah mulai menumpuk di pelupuk matanya tidak meluncur. "Al, kamu kenapa?" Tanya Ayra kala melihat reaksi Alana yang diam saja. Lantas Alana pun tersadar, lalu mencoba menarik kedua sudut bibirnya.
Setelah dari ruangan Shayne, kini Alana kembali berkutat dengan segudang pekerjaannya. Berkas-berkas yang menggunung, serta berbagai laporan yang harus dia kerjakan. Namun sedari tadi pula, temannya ini tak henti hentinya terus bertanya mengenai apa yang terjadi dengan Shayne, kenapa dia bisa begitu berubah. Alana memilih untuk tidak menjawabnya, sungguh Clara mendadak menjadi seorang wartawan, yang terus menerus mengajukan pertanyaan pada Alana. Tanpa terasa waktu pun sudah menunjukkan pukul 17.30, sudah waktunya bagi mereka untuk pulang ke rumah. Alana merenggangkan ototnya terlebih dahulu, dengan mengangkat kedua tangannya ke atas. Setelahnya dia pun merapihkan barang-barangnya di atas meja, memasukkannya ke dalam tas. "Ra, udah beres?" Terlihat Clara tengah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. "Udah.. ayok!" Keduanya pun melangkahkan kaki menuju lift. Clara tak lagi banyak bertanya, sepertinya wanita itu pun kelelahan efek dari pekerjaannya yang menumpuk tadi.
"Jadi, seseorang yang anda maksud itu, mereka?" Tanya Shayne pada Ezra. Ezra tersenyum. "Bukan, lebih tepatnya Alana. Dia teman terdekat saya sejak kita kecil" jawab Ezra membuat kobaran api dalam hatinya menyala. "Oh, seperti itu" malasnya. "Apa anda biasa makan bersama karyawan seperti ini?" Heran Ezra, karena seorang CEO jarang sekali mau berbaur dengan karyawannya, di kantin perusahaan lagi. Bukankah bisa saja, pria itu pergi keluar mencari restoran mahal, atau memesan makanan dan menikmatinya di ruangan sendiri. "Saya ingin makan siang bersama kekasih saya" Sontak saja jawaban Shayne membuat Alana tersedak makanannya. Wanita yang tengah anteng menikmati makan siangnya itu pun harus merasakan tenggorokannya memanas dengan matanya yang mengeluarkan air mata, karena tersedak pasta yang sedang dia nikmati. Uhuk.. uhuk.. Refleks Ezra dan Shayne berkata. "Kamu tidak apa-apa?" Keduanya lantas saling memandang satu sama lain. Clara dengan cekatan memberikan minumannya pa
"Tim.. hari ini saya akan memperkenalkan kalian dengan seseorang yang akan menjadi bagian dari tim kita. Beliau akan membantuk kita dalam mempromosikan produk terbaru dari Cullen" ucap Loren di hadapan tim Marketing. Mereka lantas bertanya-tanya, siapa yang akan menjadi bagian dari tim mereka. "Apakah kali ini aktor tenama?" Tebak Gladis. Loren sedikit mengangguk. "Untuk menjawab pertanyaan Gladis, saya akan panggilkan seseorang yang akan menjadi bagian dari tim kita dan juga Cullen" "Silakan masuk" seru Loren oada seseorang yang sudah berada di ruangannya. Seorang pria tampan yang menjadi idola banyak kaum hawa pun keluar dari ruangan Loren. Membuat para wanita terpesona, terkecuali Alana, dia merasa terkejut kala melihat seseorang yang dia kenali berada disini. Keningnya berkerut. "Ezra!" Serunya tanpa suara. Sementara Clara, dia sudah merasa kegirangan sendiri, karena idolanya kini menjadi teman satu timnya. "Oh my god!" Ucapnya tak percaya. "Perkenalkan, saya Ez
"Syukurlah, kondisi kamu sudah membaik" ucap Shayne kala mereka keluar dari ruang dokter yang memeriksa kondisi Ayra. Ya.. mereka baru saja selesai dengan jadwal kontrol Ayra. Sesuai janjinya, dia akan menemani Ayra sebagai bentuk rasa tanggung jawabnya. Ayra hanya tersenyum menaggapinya. Namun dalam hatinya dia merasa sedih, karena kini bearti Shayne tidak akan datang untuk menjenguknya kembali ke rumah. "Terimakasih ya, sudah mau nemenin aku kontrol" "Sama-sama" "Em.. Shayne, apa kamu sibuk hari ini?" Tanyanya pelan. Shayne menggelengkan kepalanya. "Kenapa?" "Bisa kita, makan siang dulu?" Pintanya. Shayne terlihat seolah berpikir, detik selanjutnya dia pun mengangguk. Membuat Ayra tersenyum padanya. Pria itu mengajak Ayra makan di restoran ternama di Ibu Kota. Jangan tanyakan bagaimana kondisi hati Ayra saat ini, dia merasa amat senang sekali, seolah banyak bungan bermekaran disana. Seorang waiters menghampiri meja keduanya, lalu memberikan buku menu untuk merek
"Dia sudah mau membuka suaranya?" Tanya Shayne begitu turun dari mobilnya. Kacamata hitam masih bertengger di hidungnya, tak lupa kedua tangan yang ia selipkan dalam saku celananya. Arlo menganggukkan kepalanya. "Dia ingin bertemu denganmu" Shayne pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam sebuah bangunan yang orang pikir dari luar ini adalah sebuah pabrik. Derap langkah kaki Shayne begitu menggeman Si pria yang berada di dalam pun menegakkan kepalanya, dengan kondisi tangan dan kaki masih terikat. Shayne menatapnya dengan dingin, tak ada belas kasih di dalamnya. "Lo gak sentuh dia kan?" Tanyanya begitu melihat Shayne berada di hadapannya. Shayne mengedikkan bahunya. "Tergantung lo!" Terlihat dadanya naik turun. Dia tidak bisa membiarkan Shayne menyentuh adiknya. "Apa yang akan gue dapetin kalau gue mengatakan semuanya?" "Semua tergantung sama lo!" Lagi-lagi ucapan Shayne membuat pria itu terdiam. "Mario. Pemiliki PT AR, dia yang udah bayar gue buat hancurin lo, buat







