Andine memasuki kamar dan menatap ke arah sang suami yang sedang mengenakan kemeja. Kedua sudut bibirnya langsung tersenyum, membentuk senyum manis dan melangkah mendekat. Dia masih mengamati Arkan yang terus merapikan baju.
“Aku bantu, Mas,” kata Andine dengan senyum semeringah. Dia langsung memegang dasi yang tergantung di leher sang suami dan siap mengenakannya. Arkan melangkah mundur. Manik matanya menatap tajam, menunjukkan ketidaksukaannya dengan apa yang Andine lakukan. Entah kenapa, dia merasa begitu kesal setiap kali Andine mendekat ke arahnya. Padahal istrinya selalu melakukan yang terbaik dan dia tahu itu. “Aku bisa sendiri,” ucap Arkan dengan dingin. Dia pun langsung menatap kaca dan merapikan pakaiannya. Hening. Andine yang mendengar pun hanya diam. Mulutnya langsung tertutup rapat dengan senyum yang terasa canggung. Hatinya benar-benar merasa sakit setiap kali mendapat penolakan dari sang suami. Padahal awalnya dia pikir dengan perhatian yang diberikan, Arkan menjadi lembut dengannya. Sayang, pria itu seakan tidak memberikan kesempatan sama sekali. Namun, Andine mencoba menormalkan kembali perasaannya. Dia tidak boleh terbawa suasana hanya karena perlakuan Arkan. Dia yakin, Arkan tidak sengaja melakukannya. Mungkin ada masalah di kantor yang membuatnya banyak pikiran dan enggan diganggu. Memikirkan semua alasan tersebut, Andine mencoba mengukir senyum tulus. Dia berkata, “Kalau begitu, aku tunggu di bawah. Aku sudah siapkan sarapan untuk kamu.” Tidak terdengar jawaban, tetapi terdengar gumaman dari arah Arkan. Andine mencoba mengerti dan melangkah pergi. Jika membantu bersiap tidak diperbolehkan, tentu Arkan akan membolehkan membantu menyiapkan makanan. Iya, kan? Andine yang sudah sampai di lantai dasar segera menuju ke arah meja makan. Di sana, sudah ada banyak makanan tersedia. Begitu sabar, dia menyiapkan makanan, menuangkan satu per satu menu yang sudah dia buat. Sejak pagi dia hanya sibuk di dapur dan menyiapkan makanan untuk sang suami. Ketukan sepatu terdengar. Andine menolehkan kepala dan mendapati sang suami berjalan ke arahnya. Bibirnya langsung tersenyum manis kala melihat penampilan sang suami yang selalu rapi. “Sarapannya sudah aku siapkan, Mas,” ucap Andine lembut pada sang suami. Namun, lagi-lagi tidak ada jawaban. Arkan hanya duduk dan menyantap makanannya, disusul dengan Andine yang duduk tepat di sebelahnya. Suasana menjadi hening. Andine yang semula ingin mengatakan sesuatu menjadi terhenti. Dia mencoba menimang, apakah dia harus mengatakan atau tidak. Hingga dia menatap sang suami dan berdehem kecil. “Mas, kemarin Mama kesini,” ucap Andine setengah meragu. “Lalu?” tanya Arkan tanpa menatap sang istri. “Mama menanyakan mengenai hasil pemeriksaan. Terus aku merasa Mama sedikit kecewa. Jadi, aku kepikiran, bagaimana kalau kita mencoba bayi tabung saja? Mungkin hal itu akan berhasil,” jelas Andine menyuarakan isi hatinya. “Mungkin?” Arkan menghentikan makan dan menatap dingin ke arah Andine, “kamu sendiri saja belum yakin kok malah mau mencoba. Cukup aku mencoba denganmu satu tahun ini, Andine. Aku nggak mau berharap dengan wanita yang jelas-jelas nggak bisa hamil.” “Mas, tapi—” “Aku nggak mau membahas masalah ini lagi. Buat nggak nafsu makan saja,” sela Arkan dengan sorot mata sinis. Setelah melontarkan kalimat menyakitkan itu, Arkan langsung bangkit dan meninggalkan sang istri. Sementara Andine yang merasa sakit hati hanya bisa diam dan menggenggam sendok erat. Mulutnya tertutup rapat, mencoba menahan agar air matanya tidak terjatuh. Sayangnya hal itu tidak berlangsung lama karena pada akhirnya, semua air matanya terjatuh dengan tubuh yang bergetar. *** “Pagi-pagi sudah ngomongin anak. Bikin kesal saja,” gumam Arkan dengan wajah masam. Sejak semalam dia tidak bisa tidur dengan nyenyak karena memikirkan mengenai ucapannya dengan Reva tempo hari. Sementara pagi ini sudah dihebohkan dengan Andine yang meributkan anak. Padahal wanita itu yang mandul, tapi kenapa semua harus menanggung. Arkan menarik napas dalam dan membuang perlahan. Dia mencoba mengontrol emosinya kali ini. Dia tidak ingin kalau nantinya semua mempengaruhi pekerjaan. Hingga mobil yang dinaikinya berhenti, membuat Arkan segera turun dan melangkah. “Arkan.” Arkan yang mendengar hal itu berhenti dan menatap ke asal suara. Di sana terlihat Reva dengan pakaian minim melangkah mendekat. Bibirnya pun mengulas senyum, seperti yang dilakukan wanita di hadapannya. “Kamu baru berangkat?” tanya Reva basa-basi. “Iya,” jawab Arkan. “Kamu kenapa di sini? Masih ada pemotretan yang belum selesai?” lanjutnya bertanya. “Hari ini pengambilan video. Jadi, aku kesini pagi. Soalnya siang nanti aku ada acara di luar,” jelas Reva. Arkan hanya menganggukkan kepala dan bergumam pelan. Dia masih merasa canggung dan tidak enak hati karena ucapannya kemarin, tetapi Arkan bingung harus memulai darimana. Haruskah dia meminta maaf? “Kopi,” tawar Reva sembari mengulurkan gelas berisi kopi. Hal yang membuat Arkan menaikkan sebelah alis. “Tadi aku beli untuk temanku, tapi ternyata dia tidak minum kopi. Jadi, daripada terbuang, aku kasih ke kamu saja,” jelas Reva. Arkan yang mendengar tertawa kecil dan menerima kopi tersebut. Dengan tenang, dia menyeruput minuman di tangannya dan mulai melangkah. Sesekali, Arkan melirik ke arah Reva yang masih berada di sebelahnya. Wanita yang tampak tenang, membuat Arkan mendesah kasar. “Reva, aku minta maaf,” ucap Arkan setelah yakin dengan keputusannya. Dia tidak mungkin terus-menerus merasa tidak enak hati. Reva yang sedang meneguk minuman berhenti dan menatap Arkan. Dia bertanya, “Kenapa kamu tiba-tiba minta maaf?” “Untuk perkataanku kemarin,” jawab Arkan dingin, dan datar. Hening. Reva tidak langsung menjawab. Dia memperhatikan Arkan dalam. Sudah lama dia mengenal pria di hadapannya. Bukan hanya satu atau dua bulan, tetapi bertahun-tahun dan dia sangat mengenalnya. Dengan tenang, Reva kembali mengulas senyum. Hanya saja kali ini tampak canggung dan terkesan dibuat-buat. “Sebenarnya kemarin aku cukup merasa sakit hati, Arkan. Aku kira kamu masih memiliki rasa denganku. Aku kira kamu mau melanjutkan rencana pernikahan kita, tapi siapa sangka kamu menolakku secara terang-terangan,” ucap Reva terdengar memiliki kekecewaan mendalam. Arkan tak suka melihat raut wajah kecewa Reva. “Mengenai itu, sebenarnya aku—” “Tapi nggak masalah sama sekali. Aku akan tetap perjuangkan cintaku. Kamu tahu? Aku bukan orang yang mau menyerah. Jadi, aku akan berjuang lagi,” sela Reva dengan cepat. Arkan membuka mulut dan siap mengatakan sesuatu, tetapi hal itu terhenti karena Reva yang tiba-tiba mencium pipinya. Jantungnya berdegup cukup keras karena hal itu, membuat pikiran Arkan buyar seketika. Dia lupa apa yang akan dikatakannya. Sementara Reva yang melihat respon tersebut malah tersenyum lebar. Tanpa malu dia mendekat ke arah Arkan dan berkata penuh percaya diri yang terlihat jelas. “Aku akan membuat kamu percaya denganku lagi, Arkan. Aku janji akan itu.”Arkan tak bisa tenang memikirkan perkataan Dimas. Pria tampan itu sejak tadi mengumpat kesal, karena Dimas terlalu ingin ikut campur dalam urusannya. Jika saja Dimas tak ikut campur, maka dia tidak akan seperti ini. Tatapan Arkan teralih pada foto pernikahannya dengan Andine di atas meja. Dia meraih bingkai foto itu, dan menatap penuh arti foto itu. Rasa kesal semakin timbul di dalam dirinya. Dia segera menyimpan foto itu ke dalam laci meja kerjanya. “Kenapa harus mikirin ucapan Dimas?” gerutu Arkan kesal pada dirinya sendiri. Tanpa mau lagi berpikir lebih, Arkan memutuskan bangkit berdiri seraya menyambar kunci mobil dan ponselnya. Lantas, dia hendak meninggalkan ruang kerjanya, tetapi seketika langkahnya terhenti di kala ada yang menerobos masuk ke dalam ruang kerjanya. “Pak, maaf, Bu Reva maksa masuk,” ucap sang sekretaris buru-buru, dengan nada panik. Hal yang membuatnya ketakutan adalah karena tadi tepat di kala Dimas pergi, Arkan berpesan padanya agar tidak membiarkan orang
Arkan duduk di kursi kebesarannya seraya membubuhkan tanda tangan yang diberikan oleh asisten pribadinya. Banyak project baru membuatnya harus berhati-hati dalam membaca laporan yang diberikan oleh asistennya itu. Sebab, jika salah langkah sedikit, maka semua akan kacau. “Laporan sudah selesai aku tanda tangani. Kau boleh selesaikan pekerjaanmu yang lain,” ucap Arkan dingin, seraya menyerahkan dokumen di tangannya pada sang asisten. “Baik, Pak. Saya permisi.” Sang asisten menundukkan kepala, lalu pamit undur diri dari hadapan Arkan. Arkan menyandarkan punggungnya seraya memejamkan mata singkat. Umpatan pelan lolos di bibirnya. Pria itu kesal pada diri sendiri yang belakangan ini memikirkan Andine. Entah, dia tak mengerti ada apa dengan dirinya sendiri. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, Arkan langsung berdecak tak suka. Padahal dia sudah mengatakan pada sang asisten untuk tidak mengganggunya. Namun, masih saja ada yang mengganggunya. “Masuk!” seru Arkan memberikan perintah
Andine sudah diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Beruntung dokter kandungan mengizinkannya. Sungguh, dia tak tahu bagaimana jadinya kalau sampai dokter kandungan tak mengizinkannya pulang. Jika dirinya berada di rumah sakit, maka pasti Arkan akan tahu tentang kondisi yang menimpa dirinya. Andine masih belum ingin menceritakan pada Arkan tentang kehamilannya. Wanita cantik itu ingin tetap merahasiakan lebih dulu. Bukan tak ingin bercerita, tetapi karena dirinya masih memilih untuk merahasiakan semua ini untuk sementara waktu. Andine bersyukur dirinya mendapatkan pertolongan dari Dimas. Dia tak tahu bagaimana dirinya jika tidak ada Dimas yang membantunya. Bukan hanya membantu saja, tetapi Dimas juga merahasiakan kehamilannya sesuai apa yang diinginkannya. Malam itu, Andine berkutat di dapur membuatkan makanan untuk dirinya dan Arkan. Dia tak terlalu banyak memasak, karena takut kelelahan. Menu makanan hanya sederhana. Cukup tiga menu saja, itu pun belum tentu Arkan akan maka
Reva bersembunyi di balik dinding, melihat Dimas yang kini melangkah. Hatinya mulai merasakan penasaran luar biasa. Detik itu juga, yang dilakukannya mengikuti Dimas, mengawasi dari kejauhan agar Dimas tak melihat keberadaannya. Namun, seketika raut wajah Reva berubah melihat Dimas masuk ke dalam ruang dokter kandungan. Kening wanita itu mengerut dalam, penasaran dalam dirinya semakin menjadi, menimbulkan kebingungan yang melanda. “Kenapa Dimas ke dokter kandungan?” gumam Reva bingung. Beberapa menit Reva tetap memilih menunggu di balik dinding, dia ingin menunggu sampai Dimas keluar dari ruang dokter kandungan. Hatinya benar-benar menjadi penasaran. Jika Dimas mememui dokter umum, maka dia tidak akan mungkin sampai menunggu Dimas seperti ini. Tak selang lama, Reva melihat Dimas keluar dari ruang dokter. Buru-buru, dia semakin bersembunyi, agar tidak ketahuan Dimas. Dia tak mau sampai Dimas melihat dirinya. “Pak, kondisi Bu Andine sebenarnya kurang baik. Kandungannya lemah. Teka
Reva mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Kedua tangannya memegang kemudi dengan erat, membuat otot di tangannya tercetak dengan jelas. Emosinya juga meningkat saat tadi Arkan yang awalnya ingin istirahat di rumahnya, malah memilih untuk pergi, dan dia yakin besar kemungkinan Arkan pulang ke rumah bukan ke kantor. Reva masih menatap jalanan dengan tatapan dingin, dan tersirat memancarkan emosi yang berkobar di dalam diri. Sungguh, dia ingin sekali memberi tahu Andine, tentang hubungannya dengan Arkan, tetapi semua itu tidak akan bisa dia lakukan. Bukan karena takut, tapi karena dia tak ingin nanti menimbulkan sebuah masalah. Reva mengumpat dalam hati, dan berusaha untuk tetap berjuang menenangkan emosi di dalam dirinya. Wanita itu terus melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Emosi di dalam diri, membuatnya memilih untuk mengebut di jalanan. Namun tiba-tiba … Brakkkk … Reva menabrak trotoar di kala dirinya tak mampu mengendalikan kemudi. Dia langsung merutuki d
Arkan mengendarai mobil dengan sangat cepat. Pikirannya cukup kacau karena Andine mulai berani menentang dirinya. Padahal sebelumnya itu istrinya adalah sosok yang sangat penurut, dan tidak berani menentang dirinya. Namun entah kenapa sekarang istrinya mulai berani padanya. Hal paling tergila adalah Arkan mulai memikirkan Andine. Seharusnya dia tak peduli sama sekali pada Andine, tapi dia tak mengerti kenapa belakangan ini dia memikirkan tentang Andine. Bahkan di kala istrinya itu mendiaminya saja, dia sangat tidak suka. “Shit!” umpat Arkan seraya memukul setir mobilnya. Pria tampan itu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, guna menangkan segala pikirannya yang kacau. Tiba-tiba sesuatu hal muncul dalam benak Arkan. Pria itu langsung memutar balik, dan kini menuju rumah Reva. Dia ingin mencoba menenangkan dirinya dengan bertemu dengan Reva. Dia harap setelah bertemu dengan Reva akan membuat emosi di dalam dirinya terkendali. Tak selang lama, mobil yang dilajukan Arkan mulai tiba