LOGINHujan semakin deras ketika pintu mobil hitam itu terbuka.
Ardi melangkah keluar—jas mahal, rambut rapi, aroma parfum mahal yang dulu Anggi hafal. Cahaya lampu parkiran memantulkan wajah yang pernah ia cintai selama tujuh tahun. Wajah yang kini terasa seperti mimpi buruk. Raka berdiri refleks di depan Anggi, melindungi. “Pergi,” suara Ardi datar. “Ini urusan kami berdua.” “Urusan kalian?” Raka mendengus. “Dua bulan dia berjuang sendirian. Di mana kamu waktu itu?” Ardi menatap Raka tajam, tapi kemudian pandangannya beralih ke perut Anggi yang membesar. “Kamu benar-benar akan kabur membesarkan anakku dengan laki-laki lain?” Nada suaranya merendahkan. “Kalian pikir aku tidak mencari kalian?” Anggi tertawa hambar. “Kau mencari, atau keluargamu takut skandal?” Ardi terdiam. Sebuah jawaban yang tidak terucap sudah cukup menjadi bukti. “Anggi masuk mobil,” perintah Ardi. “Kita bicara di tempat lain.” “Aku tidak ikut denganmu.” Anggi menggeleng. Tangannya mengepal di sisi tubuh. “Kau tidak punya pilihan.” Ardi memberi isyarat pada sopir. Raka bereaksi cepat. “Hei! Dia bilang tidak mau!” “Ini masalah keluarga,” sahut Ardi tajam. “Dia bukan keluargamu.” Raka berdiri tegak, sorot matanya tidak gentar. Dan untuk pertama kalinya Anggi melihat seseorang—selain dirinya—berani menghadapi Ardi. Ardi menatap Anggi lekat, kemudian bersuara pelan namun menusuk. “Aku ingin hakku sebagai ayah.” Kata itu menghantam dada Anggi lebih keras dari apa pun yang pernah ia dengar. Ayah? Tujuh tahun bersama Anggi, Ardi bahkan tidak pernah membicarakan ingin punya keluarga. Tapi sekarang, ketika kenyamanan dan reputasinya terancam… ia menuntut hak? Air mata Anggi memanas. “Kau menolak menikahiku. Kau memilih perempuan lain—demi uang, demi nama baik keluarga. Lalu sekarang kau mau anak ini?” “Aku tidak pernah bilang tidak mau anak ini. Aku hanya…” Ardi mengejap, mencari kata-kata. “…punya kewajiban lain.” “Ya. Jadi lakukan kewajibanmu di sana. Dengan istrimu.” Anggi membalas dengan suara pecah. Ardi melangkah ke depan, tapi Raka menahan dadanya. “Jangan sentuh dia.” Suara Raka dalam, hampir geraman. Ardi menatap Raka dengan tatapan menilai. “Kamu siapa? Pacarnya sekarang?” Bukan kalimat itu yang menyakiti Anggi. Tapi caranya mengucapkan kata pacar seperti ejekan, seperti Anggi perempuan murah yang berpindah dari satu laki-laki ke laki-laki lain. “Aku orang yang nggak akan ninggalin Anggi waktu dia jatuh,” jawab Raka mantap. Anggi mengepalkan tangan. Itu pertama kalinya seseorang membelanya dengan kata-kata sekuat itu. Ardi mendengus, tidak terima. “Kamu pikir kamu lebih baik? Kamu bisa kasih apa? Uang? Nama baik?” Raka menatap Ardi lurus. “Aku bisa kasih sesuatu yang kamu nggak punya—rasa hormat.” Anggi akhirnya bersuara di antara mereka berdua. “Ardi, dengarkan aku. Aku tidak butuh uangmu. Aku tidak butuh namamu. Aku hanya ingin damai.” “Damai?” Ardi mendekat selangkah. “Aku akan memberikan semuanya. Rumah, biaya persalinan, asuransi. Tapi kamu dan anak ini harus ikut aku.” Anggi menahan napas. Itu bukan tawaran. Itu ancaman dibungkus perhatian. “Aku tidak pergi denganmu,” Anggi mengucapkan setiap kata dengan jelas. “Aku tidak akan membesarkan anakku di rumah yang penuh kebohongan.” Nada Ardi berubah dingin. “Kamu pikir kamu bisa melarangku melihat anakku?” “Aku tidak melarangmu melihat,” Anggi membalas cepat. “Aku melarangmu menghancurkan hidupnya seperti kau menghancurkan hidupku.” Ardi kehilangan kendali, suara meninggi. “Aku bisa lapor polisi. Kamu membawa kabur anak di kandunganmu tanpa sepengetahuan ayah biologisnya.” Anggi menatapnya tak percaya. “Aku tidak kabur,” suaranya nyaris berbisik. “Aku diusir oleh keadaan yang kau ciptakan.” Hening. Hanya suara hujan dan lampu neon klub yang berkedip. Raka akhirnya bersuara, pelan tapi tajam. “Kalau kamu benar peduli sebagai ayah, kamu akan memastikan ibunya sehat. Bukan membuat dia stress seperti ini.” Ardi menatap Raka, wajahnya mengeras. “Sudah selesai ceramahnya?” Tanpa peringatan, Ardi meraih tangan Anggi—keras. “Aku bilang ikut aku.” “Lepaskan!” Anggi mencoba menarik tangannya, tapi genggaman Ardi kuat. Raka spontan menarik Ardi dari Anggi. “Dia tidak mau ikut.” Dalam sepersekian detik, kedua laki-laki itu saling dorong. “Tanganmu—LEPASKAN!” seru Anggi. Ardi menoleh ke Anggi… dan dalam sorotan matanya, ada sesuatu yang lebih gelap daripada ambisi: “Aku tidak akan membiarkan anakku lahir tanpa namaku. Aku tidak akan dipermalukan.” Anggi terpaku. Jadi ini intinya—reputasi Bukan anak. Bukan cinta. Bukan tanggung jawab. BRAK! Raka mendorong Ardi hingga terhuyung. “Kalau kamu sentuh dia lagi,” suara Raka rendah, bergetar, “aku akan pastikan kamu menyesal.” Ardi menyeka rahangnya yang terkena dorongan, lalu menatap Anggi. “Kalau kamu pergi bersama dia…” Ardi menunjuk Raka dengan tatapan dingin. “…kau tidak akan pernah melihat anakmu hidup tenang.” Anggi menegang, seluruh tubuh gemetar. Ardi masuk ke mobil. “Anggi. Ini peringatan terakhir.” Pintu mobil tertutup keras. Mobil hitam itu melaju pergi, menembus hujan—meninggalkan ancaman yang menggantung di udara. Anggi jatuh terduduk di trotoar. Raka cepat menunduk di sampingnya. “Anggi, lihat aku.” Tangan Raka di bahunya, hangat, stabil. “Aku ada di sini. Aku nggak ke mana-mana.” Perut Anggi tiba-tiba mengeras. Rasa sakit merambat di bagian bawah perutnya. “Rak…” napasnya memburu. “Aku… sakit…” Raka panik. “Anggi? Anggi, lihat aku. Apa kamu kontraksi?” Anggi menggenggam lengan Raka kuat-kuat, wajahnya pucat. “Aku… air… sesuatu keluar…” Mata Raka membesar. “Anggi. Jangan bilang—” Anggi terisak, tubuhnya lemas. “Rak… ketuban aku pecah.”Pernikahan tidak mengubah ritme hidup secara drastis. Tidak ada bulan madu panjang, tidak ada rumah baru yang langsung terasa sempurna. Anggi tetap bangun pagi untuk menyiapkan Rafa, tetap mengecek email kantor sebelum matahari benar-benar naik. Rendra tetap menyesap kopi dengan kebiasaan lamanya, hanya kini ada dua cangkir di meja. Yang berubah adalah kesadaran: mereka tidak lagi berjalan sejajar tanpa ikatan. Kini langkah mereka saling terkait. Dan keterikatan itu, pelan-pelan, menguji batas. Suatu sore, Anggi pulang lebih lambat dari biasanya. Rapat molor, klien meminta revisi mendadak. Ketika ia sampai rumah, Rafa sudah tertidur. Rendra menunggunya di ruang tamu, lampu temaram. “Kamu belum makan,” kata Rendra. “Aku nggak lapar,” jawab Anggi sambil melepas sepatu. Nada suaranya datar. Terlalu datar. Rendra memperhatikannya. “Kamu capek.” Anggi mengangguk, tapi tidak duduk. Ia mondar-mandir kecil, lalu berhenti. “Ren… aku takut kehilangan diriku lagi.” Kalimat itu jatuh ti
Enam bulan setelah promosi itu, hidup Anggi terasa penuh. Terlalu penuh, jika ia jujur pada dirinya sendiri. Pagi dimulai lebih awal, malam berakhir lebih larut. Ada rapat yang tak bisa ditunda, ada tugas sekolah Rafa yang harus diperiksa, ada kontrol dokter yang menuntut perhatian penuh. Di sela-selanya, ada Rendra—hadir tanpa meminta, membantu tanpa menghitung. Anggi mulai belajar satu hal yang dulu ia anggap kelemahan: meminta bantuan. Namun ada satu keputusan yang terus ia tunda. Pernikahan. Bukan karena Rendra mendesak. Justru karena ia tidak pernah mendesak sama sekali. Dan diam itu membuat Anggi harus berhadapan dengan suaranya sendiri. Suatu malam, saat hujan turun tipis, Anggi berkata tiba-tiba, “Rendra… kamu pernah ingin menikah lagi?” Pertanyaan itu menggantung di ruang tamu kecil mereka. Rendra menatap Anggi, tidak terkejut. “Pernah. Tapi bukan karena status. Karena ingin pulang ke orang yang sama.” Anggi menunduk. “Aku takut.” “Apa yang paling kamu takutkan?” tan
Keberanian yang tenang itu tidak datang sebagai sesuatu yang selalu terasa kuat. Kadang ia hadir justru sebagai kelelahan yang diterima, bukan dilawan. Anggi belajar itu pelan-pelan, setelah operasi Rafa, setelah malam-malam panjang di rumah sakit berubah menjadi rutinitas kontrol dan obat-obatan kecil yang harus diminum tepat waktu. Hidup tidak kembali “normal”. Ia menjadi versi baru dari normal—lebih rapuh, tapi juga lebih jujur. Rafa kembali ke sekolah dengan jadwal terbatas. Ia tidak boleh terlalu capek, tidak boleh ikut olahraga berat. Anak itu menerima semua larangan dengan kedewasaan yang membuat Anggi sering menoleh diam-diam, menahan rasa bersalah. Suatu sore, Rafa pulang dengan wajah murung. “Teman-teman latihan bola,” katanya pelan. “Aku cuma nonton.” Anggi jongkok di depannya. “Kamu sedih?” Rafa mengangguk. “Sedikit. Tapi aku juga senang… soalnya aku masih ada.” Kalimat itu membuat napas Anggi tersendat. “Ibu minta maaf,” ucapnya lirih, refleks lama yang masih ters
Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Anggi menerima kabar yang membuatnya terdiam lama di depan layar ponsel. Pesan singkat dari nomor rumah sakit. “Ibu Anggi, mohon datang. Ini tentang Rafa.” Jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia berlari—tanpa sempat berpikir. Di rumah sakit, dokter menjelaskan dengan suara tenang namun tegas: Rafa mengalami kelainan jantung bawaan yang baru terdeteksi. Tidak langsung berbahaya, tapi perlu pemantauan ketat. Mungkin operasi di masa depan. Anggi mendengarkan dengan kepala berdenyut. Kata-kata dokter seperti gema jauh. Yang ia lihat hanya Rafa terbaring di ranjang kecil, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum saat melihat ibunya. “Bu, aku nggak apa-apa,” kata Rafa lirih. Kalimat itu mematahkan sesuatu di dalam diri Anggi. Ia mengangguk, menggenggam tangan anaknya erat-erat. “Iya. Ibu di sini.” Malam itu, Anggi duduk sendirian di koridor rumah sakit. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang terlalu lama ia kenal. K
Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Anggi menerima kabar yang membuatnya terdiam lama di depan layar ponsel. Pesan singkat dari nomor rumah sakit. “Ibu Anggi, mohon datang. Ini tentang Rafa.” Jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia berlari—tanpa sempat berpikir. Di rumah sakit, dokter menjelaskan dengan suara tenang namun tegas: Rafa mengalami kelainan jantung bawaan yang baru terdeteksi. Tidak langsung berbahaya, tapi perlu pemantauan ketat. Mungkin operasi di masa depan. Anggi mendengarkan dengan kepala berdenyut. Kata-kata dokter seperti gema jauh. Yang ia lihat hanya Rafa terbaring di ranjang kecil, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum saat melihat ibunya. “Bu, aku nggak apa-apa,” kata Rafa lirih. Kalimat itu mematahkan sesuatu di dalam diri Anggi. Ia mengangguk, menggenggam tangan anaknya erat-erat. “Iya. Ibu di sini.” Malam itu, Anggi duduk sendirian di koridor rumah sakit. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang terlalu lama ia kenal. Ke
Anggi mulai merasakan perubahan pada dirinya sendiri. Bukan perubahan besar yang bisa ditunjuk dengan jari, melainkan pergeseran halus di dalam dada. Ia lebih sering tertawa—bukan karena terhibur, tapi karena merasa aman. Ia mulai bercerita tanpa merasa harus menyensor setiap kalimat. Dan yang paling mengejutkan: ia tidak lagi merasa bersalah ketika bahagia. Namun justru di titik itulah ketakutan lama menyelinap. Suatu malam, setelah Rafa tertidur, Anggi duduk di meja makan sambil menatap secangkir teh yang sudah dingin. Rendra baru saja pulang setelah mengantar mereka makan malam. Tidak ada yang salah dengan malam itu—dan itulah yang membuat Anggi gelisah. “Kamu kenapa?” tanya Rendra sebelum pamit, seolah membaca raut wajahnya. “Tidak apa-apa,” jawab Anggi refleks. Kebohongan kecil itu menggantung di udara. Setelah pintu tertutup, Anggi memejamkan mata. Ia mengenali perasaan ini. Ketika semuanya mulai terasa baik, otaknya mencari ancaman. Seolah kebahagiaan selalu harus dibayar







