共有

Bab 4

作者: Novi R
last update 最終更新日: 2025-11-08 08:13:52

Air ketuban mengalir membasahi kaki Anggi.

Di tengah hujan, lampu neon dari klub memantulkan warna merah seperti darah yang tersebar di atas trotoar. Tubuh Anggi gemetar hebat, tangan meremas lengan Raka seperti pegangan terakhir sebelum dunia runtuh.

“Rak… tolong… sakit…”

Suaranya lirih, terputus-putus.

Raka langsung menunduk, wajahnya pucat. “Anggi, ini terlalu cepat. Kamu baru tujuh bulan…”

Anggi menahan napas. Gelombang nyeri mencengkram bagian bawah perutnya, memaksa tubuhnya membungkuk.

“Aku nggak siap… Rak… bayinya terlalu kecil.”

Raka mengangkat Anggi, setengah memeluk, setengah menopang. Nafasnya terburu-buru, panik namun berusaha tenang.

“Aku bawa kamu ke rumah sakit sekarang.”

Anggi menggeleng lemah. “Uangku… kita nggak punya biaya…”

“Aku nggak peduli soal biaya!” Raka hampir membentak. “Yang penting kamu dan bayinya selamat.”

Raka menggendong Anggi menuju motor, hujan semakin deras seperti menertawakan keadaan mereka. Tetapi tepat saat ia hendak menghidupkan mesin—

SRETTT!

Sebuah mobil menghalangi jalan keluar dari area parkir.

Bukan mobil sembarangan.

Mobil Ardi.

Jendela turun perlahan, memperlihatkan wajah Ardi yang gelap, datar, tanpa ekspresi.

Tubuh Anggi membeku.

Raka mengitari motor, berdiri di depan Anggi seperti perisai hidup. “Minggir, Ardi. Ini darurat.”

“Tidak sebelum Anggi masuk mobil,” jawab Ardi dengan suara tenang—terlalu tenang.

“Dia kontraksi,” Raka mengatupkan rahang. “Kalau kamu masih punya hati, minggir.”

Ardi justru membuka pintu mobil, berjalan menghampiri. Tatapannya jatuh pada cairan di aspal.

“Ketuban pecah?” gumamnya.

Anggi menatap Ardi dengan mata penuh air.

“Biarkan aku pergi.”

Ardi mengulurkan tangan. “Aku bawa kamu ke rumah sakit. Mobilku lebih cepat.”

Raka menepisnya. “Kamu pikir dia mau masuk mobil kamu setelah semua yang kamu lakukan?!”

“Mau tidak mau,” kata Ardi datar, “dia tetap akan melahirkan anakku.”

Anggi merasakan gelombang nyeri lain. Ia menggigit bibir sampai terasa darah.

“Aku bukan barangmu…” suaranya pecah.

Ardi menatapnya lama.

Bukan tatapan seorang laki-laki yang peduli.

Tapi tatapan seseorang yang ingin mengontrol.

“Anggi, dengarkan aku,” suaranya menurun, hampir menjadi desahan manipulatif. “Kalau kamu pergi dengan dia, aku akan pastikan kamu melahirkan tanpa fasilitas. Tanpa dokter terbaik. Anak ini bisa—”

“Berhenti.”

Suara Anggi pelan, tapi tajam.

Untuk pertama kalinya sejak hari itu, Anggi melihat jelas:

Ardi bukan sedang mempertahankan anak.

Ardi sedang mempertahankan ego.

“Aku tidak butuh kamu,” Anggi bersuara dengan sisa tenaga. “Anak ini juga tidak.”

Ardi mengepalkan tangan.

Raka langsung memapah Anggi naik ke motor. Ia memasangkan helm ke kepala Anggi dengan tangan bergetar namun sigap.

“Pegangan ke aku, jangan lepas.”

Anggi mengangguk pelan, menahan rasa sakit yang membuat pandangannya buram.

Raka menyalakan motor—dan langsung gas.

Tapi BRAK!

Ardi bergerak cepat, berdiri tepat di depan motor.

“Kalau kamu pergi, aku akan laporkan kamu!” teriak Ardi pada Anggi.

“Hentikan!” Anggi terisak. “Ardi, aku mohon…”

Raka menatap Ardi dengan mata yang tidak lagi takut.

“Naikkan laporanmu. Tapi dengar baik-baik.”

Raka mendekat ke wajah Ardi, membisik tajam:

“Kalau kamu terus menyakiti dia, aku yang akan membuat hidupmu hancur.”

Ardi tidak sempat menjawab karena suara klakson memecah udara.

“HEI! MAU MATI DI JALAN?!”

Beberapa pengendara lain ikut memaki karena Ardi menghalangi jalan motor di tengah hujan. Seseorang berteriak, “MINGGIR! ADA ORANG MAU MELAHIRKAN!”

Ardi tertegun.

Hanya satu detik.

Dan itu cukup.

Dalam hitungan detik, Raka memutar motor dengan kecepatan penuh, menyelinap dari celah sempit antara Ardi dan mobil.

Motor melaju menembus hujan.

Ardi berdiri diam, membiarkan air hujan menetes di wajahnya yang marah.

Tapi tatapannya tetap menempel pada motor yang membawa Anggi menjauh.

Tatapan yang bukan menyerah, melainkan mengancam.

JALAN RAYA — BEBERAPA MENIT KEMUDIAN

Motor melaju tidak stabil di jalanan licin. Raka harus menghindari satu genangan besar agar tidak terpeleset.

Anggi memeluk pinggang Raka dengan tangan gemetar.

“Rak…” napasnya tersengal.

“Aku takut…”

“Aku di sini. Tarik napas. Tahan.”

Raka memegang tangan Anggi sesaat, memastikan ia sadar.

Tapi rasa sakit semakin kuat.

Cairan hangat mengalir lagi.

Anggi menunduk.

Darah.

“Rak… aku… berdarah…”

Raka menoleh cepat, dan kepanikannya langsung meningkat.

“Bertahan! Kita hampir sampai!”

Namun saat mereka akan memasuki gerbang rumah sakit—

MOTOR MELEWATI POLISI PATROLI YANG SEDANG MENYAPU RAZIA.

Polisi mengangkat tangan, memerintahkan mereka berhenti.

“Tepi! Razia kelengkapan kendaraan!”

“Pak! Ini darurat! Dia mau melahirkan!” seru Raka.

“STANDAR PROSEDUR. Tepi dulu!”

Anggi hampir pingsan. Mulutnya bergetar. “Pak… tolong…”

Polisi melihat darah di rok Anggi—dan akhirnya terkejut.

“Ya Allah, Mbak… kamu pendarahan?”

“Tolong buka jalan!” Raka sudah hampir menangis.

Polisi memberi isyarat.

“Lampu merah lurus! Masuk UGD sebelah kanan!”

Raka mengangguk dan memacu motor lagi.

Anggi mulai kehilangan fokus. Dunia menjadi kabur.

“Aku… dengar suara bayi…”

“Bukan, Anggi! Jangan tidur! Hei!” Raka menepuk pipinya pelan. “Buka mata!”

MOTOR BERHENTI DI DEPAN PINTU UGD.

Perawat berlari keluar, memindahkan Anggi ke atas brankar.

“Kehamilan tujuh bulan! Ketuban pecah! Ada perdarahan!” teriak salah satu perawat.

Anggi berusaha mencari tangan Raka.

“Jangan… tinggalkan aku…”

Raka menggenggam tangannya erat. “Aku di sini. Aku nggak pergi.”

Tapi perawat menarik Raka menjauh dari ruang tindakan.

“Maaf, Mas. Sampai sini saja.”

Pintu ruang persalinan tertutup di depan wajah Raka.

Raka menempelkan telapak tangan ke pintu kaca, suaranya pecah.

“Anggi! Bertahan!”

Dari balik pintu, suara dokter terdengar tegang.

“Tekanan darah turun! Kita harus bersiap kemungkinan operasi darurat!”

Detak jam di dinding terdengar seperti bom waktu.

Raka berdiri di lorong, basah oleh hujan dan air mata, menatap pintu yang menelan Anggi.

Dalam keheningan itu—

Suara langkah kaki mendekat.

Raka menoleh.

Ardi berdiri di ujung koridor.

Basah.

Marah.

Kosong.

“Aku bilang,” ucap Ardi pelan, namun setiap katanya seperti pisau.

“Kalau kamu bawa dia pergi… sesuatu buruk akan terjadi.”

Raka mengepalkan tangan.

“Aku bersumpah,” suaranya rendah dan dingin.

“Kalau Anggi atau bayinya tidak selamat… itu semua salahmu.”

Ardi tidak bergerak. Tidak menyesal.

Dan dari balik pintu ruang tindakan—**

sirene monitor jantung bayi berbunyi tidak stabil.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Luka di Ujung Senja   Bab 7

    "DI MANA ANAKKU?!”Jeritan itu menggema di seluruh lorong rumah sakit.Anggi terbangun dari koma dengan napas terengah, tubuhnya lemah, selang oksigen menghalangi geraknya. Namun tatapan matanya tajam—penuh kepanikan liar. Ia mencoba bangkit dari ranjang, tapi rasa sakit di perut akibat operasi membuatnya meringis.Perawat menahan bahunya.“Ibu belum boleh bangun, jahitannya baru—”“Aku mau anakku! Sekarang!”Pintu kamar terbuka. Raka masuk tergesa.“Anggi, kamu bangun… puji Tuhan.” Ia mendekat, hendak memegang tangan Anggi.Namun Anggi menepisnya dengan sisa tenaga.“Mana anakku, Raka? Aku dengar alarm NICU barusan. Kenapa kamu tidak ada di sana?!”Pertanyaan itu menghantam dada Raka seperti pisau. Ia menunduk, tak sanggup menatap Anggi.“Bayi kita… sedang kritis.”Anggi terdiam sejenak. Dunia seolah membeku. Tubuhnya menjadi dingin—dingin yang menusuk jantung.“Aku harus ke sana.” Ia mencoba bangun lagi.Raka menahan. “Anggi, kamu baru sadar. Kamu masih—”“AKU IBU NYA!” Anggi berter

  • Luka di Ujung Senja   Bab 6

    Bip.Bip.Bip.Lalu… sunyi.Hanya suara mesin ventilator yang mendorong napas untuk bayi mungil di inkubator. Ruang NICU dingin seperti ruang antara dunia dan kematian.Raka berdiri tepat di depan kaca transparan, menatap tubuh kecil itu. Tubuh bayi perempuan yang belum pernah sekalipun merasakan pelukan ibunya.Tiba-tiba alarm berbunyi keras.“Detak jantung turun!”Dua perawat berlari masuk, mendorong dokter yang menyusul dari belakang. Raka terlonjak, napasnya tercekat.“Dok?! Apa yang terjadi?!”“Bayi mengalami henti napas sesaat!”Raka memukul kaca, putus asa. “Lakukan sesuatu! Tolong selamatkan dia!”Ardi baru muncul di pintu NICU, wajahnya kaget melihat keributan. Ia melangkah mendekat, tapi tubuhnya seakan memberat.Raka ingin berlari masuk, tapi perawat menahan dadanya.“Tidak boleh masuk. Harap tunggu di luar.”Raka meronta. “Itu anakku!”Ardi menahan lengan Raka. “Bukan. Itu anak Anggi.”Suara itu mematikannya.Mata Raka menyala penuh amarah.“Kalau kamu tidak peduli, mundur

  • Luka di Ujung Senja   Bab 5

    Bip. Bip. Bip— BIP BIP BIP!!! Alarm monitor detak jantung bayi memekik dari balik pintu ruang tindakan. Suaranya tajam, menusuk, seakan menyayat udara penuh ketegangan. “Tekanan darah ibu turun!” teriak dokter dari dalam. Raka terpaku. Tubuhnya kaku seperti batu. Yang bisa ia lakukan hanya menatap pintu putih itu, berharap Anggi mendengarnya dari balik dinding besi. Bertahan, Anggi. Tolong bertahan. Ardi berdiri di ujung lorong rumah sakit, basah oleh hujan dan kemarahan. Tatapannya terfokus pada lampu “EMERGENCY SURGERY” yang terus berkedip. Raka tak tahan lagi. “Apa kamu puas sekarang?” suaranya serak. “Jika sesuatu terjadi pada Anggi atau bayinya… itu salahmu.” Ardi tidak menoleh. “Aku tidak memintanya lari.” Raka maju dan mendorong Ardi sampai punggungnya membentur dinding. “Kamu tidak pernah memberi dia pilihan!” Perawat muncul terburu-buru dari ruang tindakan. “Siapa keluarga pasien Anggi Pramesti?” Raka dan Ardi menjawab bersamaan: “Aku!” Perawat menatap keduan

  • Luka di Ujung Senja   Bab 4

    Air ketuban mengalir membasahi kaki Anggi. Di tengah hujan, lampu neon dari klub memantulkan warna merah seperti darah yang tersebar di atas trotoar. Tubuh Anggi gemetar hebat, tangan meremas lengan Raka seperti pegangan terakhir sebelum dunia runtuh. “Rak… tolong… sakit…” Suaranya lirih, terputus-putus. Raka langsung menunduk, wajahnya pucat. “Anggi, ini terlalu cepat. Kamu baru tujuh bulan…” Anggi menahan napas. Gelombang nyeri mencengkram bagian bawah perutnya, memaksa tubuhnya membungkuk. “Aku nggak siap… Rak… bayinya terlalu kecil.” Raka mengangkat Anggi, setengah memeluk, setengah menopang. Nafasnya terburu-buru, panik namun berusaha tenang. “Aku bawa kamu ke rumah sakit sekarang.” Anggi menggeleng lemah. “Uangku… kita nggak punya biaya…” “Aku nggak peduli soal biaya!” Raka hampir membentak. “Yang penting kamu dan bayinya selamat.” Raka menggendong Anggi menuju motor, hujan semakin deras seperti menertawakan keadaan mereka. Tetapi tepat saat ia hendak menghidupkan mes

  • Luka di Ujung Senja   Bab 3

    Hujan semakin deras ketika pintu mobil hitam itu terbuka. Ardi melangkah keluar—jas mahal, rambut rapi, aroma parfum mahal yang dulu Anggi hafal. Cahaya lampu parkiran memantulkan wajah yang pernah ia cintai selama tujuh tahun. Wajah yang kini terasa seperti mimpi buruk. Raka berdiri refleks di depan Anggi, melindungi. “Pergi,” suara Ardi datar. “Ini urusan kami berdua.” “Urusan kalian?” Raka mendengus. “Dua bulan dia berjuang sendirian. Di mana kamu waktu itu?” Ardi menatap Raka tajam, tapi kemudian pandangannya beralih ke perut Anggi yang membesar. “Kamu benar-benar akan kabur membesarkan anakku dengan laki-laki lain?” Nada suaranya merendahkan. “Kalian pikir aku tidak mencari kalian?” Anggi tertawa hambar. “Kau mencari, atau keluargamu takut skandal?” Ardi terdiam. Sebuah jawaban yang tidak terucap sudah cukup menjadi bukti. “Anggi masuk mobil,” perintah Ardi. “Kita bicara di tempat lain.” “Aku tidak ikut denganmu.” Anggi menggeleng. Tangannya mengepal di sisi tubuh. “

  • Luka di Ujung Senja   Bab 2

    "Tunggu!” Suara itu menghentikan langkah Anggi seperti rem mendadak di tengah jalan tol. Ia menoleh pelan—setengah berharap itu hanya halusinasi akibat lapar dan putus asa. Tapi bukan. Sosok itu berdiri di bawah lampu neon merah klub, membuat wajahnya terlihat separuh gelap, separuh muram. Rambutnya sedikit basah karena gerimis. Napasnya terengah seakan sudah berlari jauh hanya untuk mengejar Anggi. Raka. Sahabat SMA yang dulu selalu membela Anggi dari segala ejekan temannya Orang yang pergi ke kota besar mengejar mimpi. Orang yang Anggi kira tak akan pernah ia temui lagi. Dan sekarang, berdiri di depan sebuah klub malam. Di saat Anggi hampir masuk ke tempat yang bisa mengubah hidupnya selamanya. “Kamu ngapain di sini?” suara Anggi patah. Raka mendekat, matanya turun ke perut Anggi yang sudah membuncit. Ia terdiam beberapa detik, seolah mencoba memproses kenyataan yang terpampang jelas. “Kamu hamil?”tanya Raka Anggi menelan ludah yang terasa seperti pecahan

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status