LOGINAir ketuban mengalir membasahi kaki Anggi.
Di tengah hujan, lampu neon dari klub memantulkan warna merah seperti darah yang tersebar di atas trotoar. Tubuh Anggi gemetar hebat, tangan meremas lengan Raka seperti pegangan terakhir sebelum dunia runtuh. “Rak… tolong… sakit…” Suaranya lirih, terputus-putus. Raka langsung menunduk, wajahnya pucat. “Anggi, ini terlalu cepat. Kamu baru tujuh bulan…” Anggi menahan napas. Gelombang nyeri mencengkram bagian bawah perutnya, memaksa tubuhnya membungkuk. “Aku nggak siap… Rak… bayinya terlalu kecil.” Raka mengangkat Anggi, setengah memeluk, setengah menopang. Nafasnya terburu-buru, panik namun berusaha tenang. “Aku bawa kamu ke rumah sakit sekarang.” Anggi menggeleng lemah. “Uangku… kita nggak punya biaya…” “Aku nggak peduli soal biaya!” Raka hampir membentak. “Yang penting kamu dan bayinya selamat.” Raka menggendong Anggi menuju motor, hujan semakin deras seperti menertawakan keadaan mereka. Tetapi tepat saat ia hendak menghidupkan mesin— SRETTT! Sebuah mobil menghalangi jalan keluar dari area parkir. Bukan mobil sembarangan. Mobil Ardi. Jendela turun perlahan, memperlihatkan wajah Ardi yang gelap, datar, tanpa ekspresi. Tubuh Anggi membeku. Raka mengitari motor, berdiri di depan Anggi seperti perisai hidup. “Minggir, Ardi. Ini darurat.” “Tidak sebelum Anggi masuk mobil,” jawab Ardi dengan suara tenang—terlalu tenang. “Dia kontraksi,” Raka mengatupkan rahang. “Kalau kamu masih punya hati, minggir.” Ardi justru membuka pintu mobil, berjalan menghampiri. Tatapannya jatuh pada cairan di aspal. “Ketuban pecah?” gumamnya. Anggi menatap Ardi dengan mata penuh air. “Biarkan aku pergi.” Ardi mengulurkan tangan. “Aku bawa kamu ke rumah sakit. Mobilku lebih cepat.” Raka menepisnya. “Kamu pikir dia mau masuk mobil kamu setelah semua yang kamu lakukan?!” “Mau tidak mau,” kata Ardi datar, “dia tetap akan melahirkan anakku.” Anggi merasakan gelombang nyeri lain. Ia menggigit bibir sampai terasa darah. “Aku bukan barangmu…” suaranya pecah. Ardi menatapnya lama. Bukan tatapan seorang laki-laki yang peduli. Tapi tatapan seseorang yang ingin mengontrol. “Anggi, dengarkan aku,” suaranya menurun, hampir menjadi desahan manipulatif. “Kalau kamu pergi dengan dia, aku akan pastikan kamu melahirkan tanpa fasilitas. Tanpa dokter terbaik. Anak ini bisa—” “Berhenti.” Suara Anggi pelan, tapi tajam. Untuk pertama kalinya sejak hari itu, Anggi melihat jelas: Ardi bukan sedang mempertahankan anak. Ardi sedang mempertahankan ego. “Aku tidak butuh kamu,” Anggi bersuara dengan sisa tenaga. “Anak ini juga tidak.” Ardi mengepalkan tangan. Raka langsung memapah Anggi naik ke motor. Ia memasangkan helm ke kepala Anggi dengan tangan bergetar namun sigap. “Pegangan ke aku, jangan lepas.” Anggi mengangguk pelan, menahan rasa sakit yang membuat pandangannya buram. Raka menyalakan motor—dan langsung gas. Tapi BRAK! Ardi bergerak cepat, berdiri tepat di depan motor. “Kalau kamu pergi, aku akan laporkan kamu!” teriak Ardi pada Anggi. “Hentikan!” Anggi terisak. “Ardi, aku mohon…” Raka menatap Ardi dengan mata yang tidak lagi takut. “Naikkan laporanmu. Tapi dengar baik-baik.” Raka mendekat ke wajah Ardi, membisik tajam: “Kalau kamu terus menyakiti dia, aku yang akan membuat hidupmu hancur.” Ardi tidak sempat menjawab karena suara klakson memecah udara. “HEI! MAU MATI DI JALAN?!” Beberapa pengendara lain ikut memaki karena Ardi menghalangi jalan motor di tengah hujan. Seseorang berteriak, “MINGGIR! ADA ORANG MAU MELAHIRKAN!” Ardi tertegun. Hanya satu detik. Dan itu cukup. Dalam hitungan detik, Raka memutar motor dengan kecepatan penuh, menyelinap dari celah sempit antara Ardi dan mobil. Motor melaju menembus hujan. Ardi berdiri diam, membiarkan air hujan menetes di wajahnya yang marah. Tapi tatapannya tetap menempel pada motor yang membawa Anggi menjauh. Tatapan yang bukan menyerah, melainkan mengancam. JALAN RAYA — BEBERAPA MENIT KEMUDIAN Motor melaju tidak stabil di jalanan licin. Raka harus menghindari satu genangan besar agar tidak terpeleset. Anggi memeluk pinggang Raka dengan tangan gemetar. “Rak…” napasnya tersengal. “Aku takut…” “Aku di sini. Tarik napas. Tahan.” Raka memegang tangan Anggi sesaat, memastikan ia sadar. Tapi rasa sakit semakin kuat. Cairan hangat mengalir lagi. Anggi menunduk. Darah. “Rak… aku… berdarah…” Raka menoleh cepat, dan kepanikannya langsung meningkat. “Bertahan! Kita hampir sampai!” Namun saat mereka akan memasuki gerbang rumah sakit— MOTOR MELEWATI POLISI PATROLI YANG SEDANG MENYAPU RAZIA. Polisi mengangkat tangan, memerintahkan mereka berhenti. “Tepi! Razia kelengkapan kendaraan!” “Pak! Ini darurat! Dia mau melahirkan!” seru Raka. “STANDAR PROSEDUR. Tepi dulu!” Anggi hampir pingsan. Mulutnya bergetar. “Pak… tolong…” Polisi melihat darah di rok Anggi—dan akhirnya terkejut. “Ya Allah, Mbak… kamu pendarahan?” “Tolong buka jalan!” Raka sudah hampir menangis. Polisi memberi isyarat. “Lampu merah lurus! Masuk UGD sebelah kanan!” Raka mengangguk dan memacu motor lagi. Anggi mulai kehilangan fokus. Dunia menjadi kabur. “Aku… dengar suara bayi…” “Bukan, Anggi! Jangan tidur! Hei!” Raka menepuk pipinya pelan. “Buka mata!” MOTOR BERHENTI DI DEPAN PINTU UGD. Perawat berlari keluar, memindahkan Anggi ke atas brankar. “Kehamilan tujuh bulan! Ketuban pecah! Ada perdarahan!” teriak salah satu perawat. Anggi berusaha mencari tangan Raka. “Jangan… tinggalkan aku…” Raka menggenggam tangannya erat. “Aku di sini. Aku nggak pergi.” Tapi perawat menarik Raka menjauh dari ruang tindakan. “Maaf, Mas. Sampai sini saja.” Pintu ruang persalinan tertutup di depan wajah Raka. Raka menempelkan telapak tangan ke pintu kaca, suaranya pecah. “Anggi! Bertahan!” Dari balik pintu, suara dokter terdengar tegang. “Tekanan darah turun! Kita harus bersiap kemungkinan operasi darurat!” Detak jam di dinding terdengar seperti bom waktu. Raka berdiri di lorong, basah oleh hujan dan air mata, menatap pintu yang menelan Anggi. Dalam keheningan itu— Suara langkah kaki mendekat. Raka menoleh. Ardi berdiri di ujung koridor. Basah. Marah. Kosong. “Aku bilang,” ucap Ardi pelan, namun setiap katanya seperti pisau. “Kalau kamu bawa dia pergi… sesuatu buruk akan terjadi.” Raka mengepalkan tangan. “Aku bersumpah,” suaranya rendah dan dingin. “Kalau Anggi atau bayinya tidak selamat… itu semua salahmu.” Ardi tidak bergerak. Tidak menyesal. Dan dari balik pintu ruang tindakan—** sirene monitor jantung bayi berbunyi tidak stabil.Pernikahan tidak mengubah ritme hidup secara drastis. Tidak ada bulan madu panjang, tidak ada rumah baru yang langsung terasa sempurna. Anggi tetap bangun pagi untuk menyiapkan Rafa, tetap mengecek email kantor sebelum matahari benar-benar naik. Rendra tetap menyesap kopi dengan kebiasaan lamanya, hanya kini ada dua cangkir di meja. Yang berubah adalah kesadaran: mereka tidak lagi berjalan sejajar tanpa ikatan. Kini langkah mereka saling terkait. Dan keterikatan itu, pelan-pelan, menguji batas. Suatu sore, Anggi pulang lebih lambat dari biasanya. Rapat molor, klien meminta revisi mendadak. Ketika ia sampai rumah, Rafa sudah tertidur. Rendra menunggunya di ruang tamu, lampu temaram. “Kamu belum makan,” kata Rendra. “Aku nggak lapar,” jawab Anggi sambil melepas sepatu. Nada suaranya datar. Terlalu datar. Rendra memperhatikannya. “Kamu capek.” Anggi mengangguk, tapi tidak duduk. Ia mondar-mandir kecil, lalu berhenti. “Ren… aku takut kehilangan diriku lagi.” Kalimat itu jatuh ti
Enam bulan setelah promosi itu, hidup Anggi terasa penuh. Terlalu penuh, jika ia jujur pada dirinya sendiri. Pagi dimulai lebih awal, malam berakhir lebih larut. Ada rapat yang tak bisa ditunda, ada tugas sekolah Rafa yang harus diperiksa, ada kontrol dokter yang menuntut perhatian penuh. Di sela-selanya, ada Rendra—hadir tanpa meminta, membantu tanpa menghitung. Anggi mulai belajar satu hal yang dulu ia anggap kelemahan: meminta bantuan. Namun ada satu keputusan yang terus ia tunda. Pernikahan. Bukan karena Rendra mendesak. Justru karena ia tidak pernah mendesak sama sekali. Dan diam itu membuat Anggi harus berhadapan dengan suaranya sendiri. Suatu malam, saat hujan turun tipis, Anggi berkata tiba-tiba, “Rendra… kamu pernah ingin menikah lagi?” Pertanyaan itu menggantung di ruang tamu kecil mereka. Rendra menatap Anggi, tidak terkejut. “Pernah. Tapi bukan karena status. Karena ingin pulang ke orang yang sama.” Anggi menunduk. “Aku takut.” “Apa yang paling kamu takutkan?” tan
Keberanian yang tenang itu tidak datang sebagai sesuatu yang selalu terasa kuat. Kadang ia hadir justru sebagai kelelahan yang diterima, bukan dilawan. Anggi belajar itu pelan-pelan, setelah operasi Rafa, setelah malam-malam panjang di rumah sakit berubah menjadi rutinitas kontrol dan obat-obatan kecil yang harus diminum tepat waktu. Hidup tidak kembali “normal”. Ia menjadi versi baru dari normal—lebih rapuh, tapi juga lebih jujur. Rafa kembali ke sekolah dengan jadwal terbatas. Ia tidak boleh terlalu capek, tidak boleh ikut olahraga berat. Anak itu menerima semua larangan dengan kedewasaan yang membuat Anggi sering menoleh diam-diam, menahan rasa bersalah. Suatu sore, Rafa pulang dengan wajah murung. “Teman-teman latihan bola,” katanya pelan. “Aku cuma nonton.” Anggi jongkok di depannya. “Kamu sedih?” Rafa mengangguk. “Sedikit. Tapi aku juga senang… soalnya aku masih ada.” Kalimat itu membuat napas Anggi tersendat. “Ibu minta maaf,” ucapnya lirih, refleks lama yang masih ters
Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Anggi menerima kabar yang membuatnya terdiam lama di depan layar ponsel. Pesan singkat dari nomor rumah sakit. “Ibu Anggi, mohon datang. Ini tentang Rafa.” Jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia berlari—tanpa sempat berpikir. Di rumah sakit, dokter menjelaskan dengan suara tenang namun tegas: Rafa mengalami kelainan jantung bawaan yang baru terdeteksi. Tidak langsung berbahaya, tapi perlu pemantauan ketat. Mungkin operasi di masa depan. Anggi mendengarkan dengan kepala berdenyut. Kata-kata dokter seperti gema jauh. Yang ia lihat hanya Rafa terbaring di ranjang kecil, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum saat melihat ibunya. “Bu, aku nggak apa-apa,” kata Rafa lirih. Kalimat itu mematahkan sesuatu di dalam diri Anggi. Ia mengangguk, menggenggam tangan anaknya erat-erat. “Iya. Ibu di sini.” Malam itu, Anggi duduk sendirian di koridor rumah sakit. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang terlalu lama ia kenal. K
Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Anggi menerima kabar yang membuatnya terdiam lama di depan layar ponsel. Pesan singkat dari nomor rumah sakit. “Ibu Anggi, mohon datang. Ini tentang Rafa.” Jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia berlari—tanpa sempat berpikir. Di rumah sakit, dokter menjelaskan dengan suara tenang namun tegas: Rafa mengalami kelainan jantung bawaan yang baru terdeteksi. Tidak langsung berbahaya, tapi perlu pemantauan ketat. Mungkin operasi di masa depan. Anggi mendengarkan dengan kepala berdenyut. Kata-kata dokter seperti gema jauh. Yang ia lihat hanya Rafa terbaring di ranjang kecil, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum saat melihat ibunya. “Bu, aku nggak apa-apa,” kata Rafa lirih. Kalimat itu mematahkan sesuatu di dalam diri Anggi. Ia mengangguk, menggenggam tangan anaknya erat-erat. “Iya. Ibu di sini.” Malam itu, Anggi duduk sendirian di koridor rumah sakit. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang terlalu lama ia kenal. Ke
Anggi mulai merasakan perubahan pada dirinya sendiri. Bukan perubahan besar yang bisa ditunjuk dengan jari, melainkan pergeseran halus di dalam dada. Ia lebih sering tertawa—bukan karena terhibur, tapi karena merasa aman. Ia mulai bercerita tanpa merasa harus menyensor setiap kalimat. Dan yang paling mengejutkan: ia tidak lagi merasa bersalah ketika bahagia. Namun justru di titik itulah ketakutan lama menyelinap. Suatu malam, setelah Rafa tertidur, Anggi duduk di meja makan sambil menatap secangkir teh yang sudah dingin. Rendra baru saja pulang setelah mengantar mereka makan malam. Tidak ada yang salah dengan malam itu—dan itulah yang membuat Anggi gelisah. “Kamu kenapa?” tanya Rendra sebelum pamit, seolah membaca raut wajahnya. “Tidak apa-apa,” jawab Anggi refleks. Kebohongan kecil itu menggantung di udara. Setelah pintu tertutup, Anggi memejamkan mata. Ia mengenali perasaan ini. Ketika semuanya mulai terasa baik, otaknya mencari ancaman. Seolah kebahagiaan selalu harus dibayar







