共有

Bab 5

作者: Novi R
last update 最終更新日: 2025-11-08 08:13:57

Bip.

Bip.

Bip— BIP BIP BIP!!!

Alarm monitor detak jantung bayi memekik dari balik pintu ruang tindakan. Suaranya tajam, menusuk, seakan menyayat udara penuh ketegangan.

“Tekanan darah ibu turun!” teriak dokter dari dalam.

Raka terpaku. Tubuhnya kaku seperti batu. Yang bisa ia lakukan hanya menatap pintu putih itu, berharap Anggi mendengarnya dari balik dinding besi.

Bertahan, Anggi. Tolong bertahan.

Ardi berdiri di ujung lorong rumah sakit, basah oleh hujan dan kemarahan. Tatapannya terfokus pada lampu “EMERGENCY SURGERY” yang terus berkedip.

Raka tak tahan lagi.

“Apa kamu puas sekarang?” suaranya serak. “Jika sesuatu terjadi pada Anggi atau bayinya… itu salahmu.”

Ardi tidak menoleh. “Aku tidak memintanya lari.”

Raka maju dan mendorong Ardi sampai punggungnya membentur dinding.

“Kamu tidak pernah memberi dia pilihan!”

Perawat muncul terburu-buru dari ruang tindakan.

“Siapa keluarga pasien Anggi Pramesti?”

Raka dan Ardi menjawab bersamaan:

“Aku!”

Perawat menatap keduanya, bingung. “Kami butuh persetujuan operasi caesar darurat. Kondisi ibu dan bayi kritis.”

Raka langsung mengangguk. “Aku tanda tangan!”

Ardi memotong dengan suara dingin. “Tidak. Aku ayah biologis. Aku yang tanda tangan.”

“Anak itu dalam kandungan Anggi, bukan kamu!” seru Raka.

Ardi menatap Raka seolah ingin menghancurkannya. “Secara hukum, yang punya hak adalah aku.”

Perawat menatap mereka—waktu terus berjalan.

“Kalau tidak ada yang tanda tangan dalam satu menit, nyawa ibu dan bayi terancam.”

Detak jam terdengar seperti bom.

Raka mengambil pulpen dari meja dan menuliskan namanya dengan cepat.

Tapi sebelum pulpen menyentuh kertas—

SNATCH.

Ardi merebut formulir itu, merobeknya di tengah.

DUARRR—kertas itu terbelah dua.

Raka membeku. “Kamu gila?!”

Ardi menahan napas, rahangnya mengeras. “Kalau aku tanda tangan, aku punya hak atas anak itu. Kalau kamu, kamu akan membesarkannya tanpa aku tahu di mana dia.”

Raka mengepalkan tangan. “Ardi, ini soal nyawa! Bukan soal hak!”

“Segala sesuatu yang menyangkut anakku adalah urusanku.”

“Kamu tidak layak disebut ayah!”

Ardi balas menatap Raka dengan sorot tajam. “Aku tidak akan membiarkan Anggi mengambil anakku dariku.”

Raka menubruk Ardi.

Mereka saling dorong, hampir memukul—hingga suara perawat memecah keadaan:

“DETEK JANTUNG JANIN TURUN!!”

Semua berhenti seketika.

Waktu membeku.

Perawat menatap mereka dengan mata panik. “Tolong… pilih sekarang. Tinggal detik.”

Raka memejamkan mata, dadanya naik turun cepat.

Anggi pernah bilang sesuatu saat malam ia meninggalkan rumah:

“Aku akan melahirkan anak ini dengan damai.”

Damai.

Ardi menatap formulir yang sudah setengah robek. Ia meremas rambutnya frustasi, rahangnya mengunci.

“Tandatangan sekarang,” Raka berkata pelan tetapi tajam.

“Aku tanda tangan,” Ardi akhirnya bersuara, dingin. “Dengan syarat: setelah dia lahir, bayi itu ikut aku.”

Raka mendekat, wajahnya gelap. “Ini bukan transaksi.”

Ardi menatap mata Raka.

“Dari awal semuanya transaksi.”

Perawat menjerit lagi dari dalam:

“Kami kehilangan detak jantung janin! Kami butuh persetujuan operasi… SEKARANG!”

Raka ingin menghantam wajah Ardi, tapi ini bukan waktu untuk ego.

Raka mengambil kertas baru, mendorongnya ke dada Ardi.

“Kalau kamu memang peduli, tanda tangan.”

Ardi memegang pulpen. Tangan yang biasanya stabil kini gemetar.

Tinta menggores kertas.

ARDI NUGRAHA.

Begitu tanda tangan selesai, perawat langsung berlari masuk membawa kertas persetujuan.

Pintu ruang operasi menutup, menciptakan suara klik yang terdengar seperti palu vonis.

LIMA BELAS MENIT KEMUDIAN

Lorong itu hening kecuali suara hujan di luar.

Raka duduk di kursi tunggu, kepalanya bersandar ke dinding. Ia basah tetapi tidak peduli.

Ardi berjalan mondar-mandir, seperti binatang yang dikurung. Bukan karena cemas pada bayi—tapi karena kehilangan kontrol.

“Kalau Anggi sadar,” Raka bersuara pelan, “aku yang akan berada di sampingnya.”

Ardi berhenti berjalan. “Kamu pikir dia akan memilihmu?”

Raka menatap kosong ke lantai. “Aku tidak peduli dipilih atau tidak.”

Kemudian ia menatap Ardi dengan mata berkaca-kaca.

“Aku cuma ingin dia hidup.”

Hening.

Untuk pertama kalinya, Ardi kehilangan kata-kata.

Pintu ruang operasi terbuka.

Dokter keluar dengan sarung tangan berdarah.

Raka langsung berdiri. “Dok, bagaimana Anggi?!”

Dokter menghela napas berat. “Kami berhasil menghentikan perdarahan. Ibu stabil. Tapi…”

“Tapi apa?” suara Raka tercekat.

Dokter menatap mereka dengan tatapan tak mampu menyembunyikan kepedihan.

“Bayi lahir dalam kondisi sangat lemah. Kami sudah lakukan resusitasi, tapi…”

Perawat lewat sambil membawa inkubator kecil melewati mereka—bayi mungil dengan selang oksigen, tubuhnya sangat kecil, matanya tidak bergerak.

Anggi tidak melihat.

Raka menutup mulutnya, menahan tangis.

Ardi memandang bayi itu—bukan dengan rasa kasih, tapi keterkejutan.

“Dia… laki-laki atau perempuan?” suara Ardi hampir tidak terdengar.

Dokter menjawab pelan.

“Perempuan.”

Raka menyentuh inkubator dengan telapak tangan, suaranya pecah.

“Hai… kamu kuat, ya…”

Inkubator dibawa ke NICU.

Bayi itu tidak menangis.

Tidak mengeluarkan suara.

Dokter menatap mereka lagi.

“Sekarang waktunya kalian memutuskan sesuatu.”

Ardi dan Raka menegang.

“Jika bayi tidak merespons dalam beberapa jam ke depan, kami harus memilih tindakan terakhir.”

“Apa… maksud dokter?” Raka hampir berbisik.

Dokter menarik napas panjang.

“Melepas alat bantu.”

Dunia berhenti.

Raka seperti dipukul dari dalam.

Ardi membeku.

Dokter menambahkan perlahan, seakan kalimat itu berat keluar dari mulutnya:

“Kami butuh salah satu dari kalian… untuk menandatangani surat keputusan hidup atau mati.”

Lampu lorong berkedip.

Raka menatap Ardi.

Ardi menatap ruang NICU.

Dan dari balik kaca, bayi kecil itu terbaring diam—di antara hidup dan mati.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Luka di Ujung Senja   Bab 7

    "DI MANA ANAKKU?!”Jeritan itu menggema di seluruh lorong rumah sakit.Anggi terbangun dari koma dengan napas terengah, tubuhnya lemah, selang oksigen menghalangi geraknya. Namun tatapan matanya tajam—penuh kepanikan liar. Ia mencoba bangkit dari ranjang, tapi rasa sakit di perut akibat operasi membuatnya meringis.Perawat menahan bahunya.“Ibu belum boleh bangun, jahitannya baru—”“Aku mau anakku! Sekarang!”Pintu kamar terbuka. Raka masuk tergesa.“Anggi, kamu bangun… puji Tuhan.” Ia mendekat, hendak memegang tangan Anggi.Namun Anggi menepisnya dengan sisa tenaga.“Mana anakku, Raka? Aku dengar alarm NICU barusan. Kenapa kamu tidak ada di sana?!”Pertanyaan itu menghantam dada Raka seperti pisau. Ia menunduk, tak sanggup menatap Anggi.“Bayi kita… sedang kritis.”Anggi terdiam sejenak. Dunia seolah membeku. Tubuhnya menjadi dingin—dingin yang menusuk jantung.“Aku harus ke sana.” Ia mencoba bangun lagi.Raka menahan. “Anggi, kamu baru sadar. Kamu masih—”“AKU IBU NYA!” Anggi berter

  • Luka di Ujung Senja   Bab 6

    Bip.Bip.Bip.Lalu… sunyi.Hanya suara mesin ventilator yang mendorong napas untuk bayi mungil di inkubator. Ruang NICU dingin seperti ruang antara dunia dan kematian.Raka berdiri tepat di depan kaca transparan, menatap tubuh kecil itu. Tubuh bayi perempuan yang belum pernah sekalipun merasakan pelukan ibunya.Tiba-tiba alarm berbunyi keras.“Detak jantung turun!”Dua perawat berlari masuk, mendorong dokter yang menyusul dari belakang. Raka terlonjak, napasnya tercekat.“Dok?! Apa yang terjadi?!”“Bayi mengalami henti napas sesaat!”Raka memukul kaca, putus asa. “Lakukan sesuatu! Tolong selamatkan dia!”Ardi baru muncul di pintu NICU, wajahnya kaget melihat keributan. Ia melangkah mendekat, tapi tubuhnya seakan memberat.Raka ingin berlari masuk, tapi perawat menahan dadanya.“Tidak boleh masuk. Harap tunggu di luar.”Raka meronta. “Itu anakku!”Ardi menahan lengan Raka. “Bukan. Itu anak Anggi.”Suara itu mematikannya.Mata Raka menyala penuh amarah.“Kalau kamu tidak peduli, mundur

  • Luka di Ujung Senja   Bab 5

    Bip. Bip. Bip— BIP BIP BIP!!! Alarm monitor detak jantung bayi memekik dari balik pintu ruang tindakan. Suaranya tajam, menusuk, seakan menyayat udara penuh ketegangan. “Tekanan darah ibu turun!” teriak dokter dari dalam. Raka terpaku. Tubuhnya kaku seperti batu. Yang bisa ia lakukan hanya menatap pintu putih itu, berharap Anggi mendengarnya dari balik dinding besi. Bertahan, Anggi. Tolong bertahan. Ardi berdiri di ujung lorong rumah sakit, basah oleh hujan dan kemarahan. Tatapannya terfokus pada lampu “EMERGENCY SURGERY” yang terus berkedip. Raka tak tahan lagi. “Apa kamu puas sekarang?” suaranya serak. “Jika sesuatu terjadi pada Anggi atau bayinya… itu salahmu.” Ardi tidak menoleh. “Aku tidak memintanya lari.” Raka maju dan mendorong Ardi sampai punggungnya membentur dinding. “Kamu tidak pernah memberi dia pilihan!” Perawat muncul terburu-buru dari ruang tindakan. “Siapa keluarga pasien Anggi Pramesti?” Raka dan Ardi menjawab bersamaan: “Aku!” Perawat menatap keduan

  • Luka di Ujung Senja   Bab 4

    Air ketuban mengalir membasahi kaki Anggi. Di tengah hujan, lampu neon dari klub memantulkan warna merah seperti darah yang tersebar di atas trotoar. Tubuh Anggi gemetar hebat, tangan meremas lengan Raka seperti pegangan terakhir sebelum dunia runtuh. “Rak… tolong… sakit…” Suaranya lirih, terputus-putus. Raka langsung menunduk, wajahnya pucat. “Anggi, ini terlalu cepat. Kamu baru tujuh bulan…” Anggi menahan napas. Gelombang nyeri mencengkram bagian bawah perutnya, memaksa tubuhnya membungkuk. “Aku nggak siap… Rak… bayinya terlalu kecil.” Raka mengangkat Anggi, setengah memeluk, setengah menopang. Nafasnya terburu-buru, panik namun berusaha tenang. “Aku bawa kamu ke rumah sakit sekarang.” Anggi menggeleng lemah. “Uangku… kita nggak punya biaya…” “Aku nggak peduli soal biaya!” Raka hampir membentak. “Yang penting kamu dan bayinya selamat.” Raka menggendong Anggi menuju motor, hujan semakin deras seperti menertawakan keadaan mereka. Tetapi tepat saat ia hendak menghidupkan mes

  • Luka di Ujung Senja   Bab 3

    Hujan semakin deras ketika pintu mobil hitam itu terbuka. Ardi melangkah keluar—jas mahal, rambut rapi, aroma parfum mahal yang dulu Anggi hafal. Cahaya lampu parkiran memantulkan wajah yang pernah ia cintai selama tujuh tahun. Wajah yang kini terasa seperti mimpi buruk. Raka berdiri refleks di depan Anggi, melindungi. “Pergi,” suara Ardi datar. “Ini urusan kami berdua.” “Urusan kalian?” Raka mendengus. “Dua bulan dia berjuang sendirian. Di mana kamu waktu itu?” Ardi menatap Raka tajam, tapi kemudian pandangannya beralih ke perut Anggi yang membesar. “Kamu benar-benar akan kabur membesarkan anakku dengan laki-laki lain?” Nada suaranya merendahkan. “Kalian pikir aku tidak mencari kalian?” Anggi tertawa hambar. “Kau mencari, atau keluargamu takut skandal?” Ardi terdiam. Sebuah jawaban yang tidak terucap sudah cukup menjadi bukti. “Anggi masuk mobil,” perintah Ardi. “Kita bicara di tempat lain.” “Aku tidak ikut denganmu.” Anggi menggeleng. Tangannya mengepal di sisi tubuh. “

  • Luka di Ujung Senja   Bab 2

    "Tunggu!” Suara itu menghentikan langkah Anggi seperti rem mendadak di tengah jalan tol. Ia menoleh pelan—setengah berharap itu hanya halusinasi akibat lapar dan putus asa. Tapi bukan. Sosok itu berdiri di bawah lampu neon merah klub, membuat wajahnya terlihat separuh gelap, separuh muram. Rambutnya sedikit basah karena gerimis. Napasnya terengah seakan sudah berlari jauh hanya untuk mengejar Anggi. Raka. Sahabat SMA yang dulu selalu membela Anggi dari segala ejekan temannya Orang yang pergi ke kota besar mengejar mimpi. Orang yang Anggi kira tak akan pernah ia temui lagi. Dan sekarang, berdiri di depan sebuah klub malam. Di saat Anggi hampir masuk ke tempat yang bisa mengubah hidupnya selamanya. “Kamu ngapain di sini?” suara Anggi patah. Raka mendekat, matanya turun ke perut Anggi yang sudah membuncit. Ia terdiam beberapa detik, seolah mencoba memproses kenyataan yang terpampang jelas. “Kamu hamil?”tanya Raka Anggi menelan ludah yang terasa seperti pecahan

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status