ВойтиBip.
Bip. Bip— BIP BIP BIP!!! Alarm monitor detak jantung bayi memekik dari balik pintu ruang tindakan. Suaranya tajam, menusuk, seakan menyayat udara penuh ketegangan. “Tekanan darah ibu turun!” teriak dokter dari dalam. Raka terpaku. Tubuhnya kaku seperti batu. Yang bisa ia lakukan hanya menatap pintu putih itu, berharap Anggi mendengarnya dari balik dinding besi. Bertahan, Anggi. Tolong bertahan. Ardi berdiri di ujung lorong rumah sakit, basah oleh hujan dan kemarahan. Tatapannya terfokus pada lampu “EMERGENCY SURGERY” yang terus berkedip. Raka tak tahan lagi. “Apa kamu puas sekarang?” suaranya serak. “Jika sesuatu terjadi pada Anggi atau bayinya… itu salahmu.” Ardi tidak menoleh. “Aku tidak memintanya lari.” Raka maju dan mendorong Ardi sampai punggungnya membentur dinding. “Kamu tidak pernah memberi dia pilihan!” Perawat muncul terburu-buru dari ruang tindakan. “Siapa keluarga pasien Anggi Pramesti?” Raka dan Ardi menjawab bersamaan: “Aku!” Perawat menatap keduanya, bingung. “Kami butuh persetujuan operasi caesar darurat. Kondisi ibu dan bayi kritis.” Raka langsung mengangguk. “Aku tanda tangan!” Ardi memotong dengan suara dingin. “Tidak. Aku ayah biologis. Aku yang tanda tangan.” “Anak itu dalam kandungan Anggi, bukan kamu!” seru Raka. Ardi menatap Raka seolah ingin menghancurkannya. “Secara hukum, yang punya hak adalah aku.” Perawat menatap mereka—waktu terus berjalan. “Kalau tidak ada yang tanda tangan dalam satu menit, nyawa ibu dan bayi terancam.” Detak jam terdengar seperti bom. Raka mengambil pulpen dari meja dan menuliskan namanya dengan cepat. Tapi sebelum pulpen menyentuh kertas— SNATCH. Ardi merebut formulir itu, merobeknya di tengah. DUARRR—kertas itu terbelah dua. Raka membeku. “Kamu gila?!” Ardi menahan napas, rahangnya mengeras. “Kalau aku tanda tangan, aku punya hak atas anak itu. Kalau kamu, kamu akan membesarkannya tanpa aku tahu di mana dia.” Raka mengepalkan tangan. “Ardi, ini soal nyawa! Bukan soal hak!” “Segala sesuatu yang menyangkut anakku adalah urusanku.” “Kamu tidak layak disebut ayah!” Ardi balas menatap Raka dengan sorot tajam. “Aku tidak akan membiarkan Anggi mengambil anakku dariku.” Raka menubruk Ardi. Mereka saling dorong, hampir memukul—hingga suara perawat memecah keadaan: “DETEK JANTUNG JANIN TURUN!!” Semua berhenti seketika. Waktu membeku. Perawat menatap mereka dengan mata panik. “Tolong… pilih sekarang. Tinggal detik.” Raka memejamkan mata, dadanya naik turun cepat. Anggi pernah bilang sesuatu saat malam ia meninggalkan rumah: “Aku akan melahirkan anak ini dengan damai.” Damai. Ardi menatap formulir yang sudah setengah robek. Ia meremas rambutnya frustasi, rahangnya mengunci. “Tandatangan sekarang,” Raka berkata pelan tetapi tajam. “Aku tanda tangan,” Ardi akhirnya bersuara, dingin. “Dengan syarat: setelah dia lahir, bayi itu ikut aku.” Raka mendekat, wajahnya gelap. “Ini bukan transaksi.” Ardi menatap mata Raka. “Dari awal semuanya transaksi.” Perawat menjerit lagi dari dalam: “Kami kehilangan detak jantung janin! Kami butuh persetujuan operasi… SEKARANG!” Raka ingin menghantam wajah Ardi, tapi ini bukan waktu untuk ego. Raka mengambil kertas baru, mendorongnya ke dada Ardi. “Kalau kamu memang peduli, tanda tangan.” Ardi memegang pulpen. Tangan yang biasanya stabil kini gemetar. Tinta menggores kertas. ARDI NUGRAHA. Begitu tanda tangan selesai, perawat langsung berlari masuk membawa kertas persetujuan. Pintu ruang operasi menutup, menciptakan suara klik yang terdengar seperti palu vonis. LIMA BELAS MENIT KEMUDIAN Lorong itu hening kecuali suara hujan di luar. Raka duduk di kursi tunggu, kepalanya bersandar ke dinding. Ia basah tetapi tidak peduli. Ardi berjalan mondar-mandir, seperti binatang yang dikurung. Bukan karena cemas pada bayi—tapi karena kehilangan kontrol. “Kalau Anggi sadar,” Raka bersuara pelan, “aku yang akan berada di sampingnya.” Ardi berhenti berjalan. “Kamu pikir dia akan memilihmu?” Raka menatap kosong ke lantai. “Aku tidak peduli dipilih atau tidak.” Kemudian ia menatap Ardi dengan mata berkaca-kaca. “Aku cuma ingin dia hidup.” Hening. Untuk pertama kalinya, Ardi kehilangan kata-kata. Pintu ruang operasi terbuka. Dokter keluar dengan sarung tangan berdarah. Raka langsung berdiri. “Dok, bagaimana Anggi?!” Dokter menghela napas berat. “Kami berhasil menghentikan perdarahan. Ibu stabil. Tapi…” “Tapi apa?” suara Raka tercekat. Dokter menatap mereka dengan tatapan tak mampu menyembunyikan kepedihan. “Bayi lahir dalam kondisi sangat lemah. Kami sudah lakukan resusitasi, tapi…” Perawat lewat sambil membawa inkubator kecil melewati mereka—bayi mungil dengan selang oksigen, tubuhnya sangat kecil, matanya tidak bergerak. Anggi tidak melihat. Raka menutup mulutnya, menahan tangis. Ardi memandang bayi itu—bukan dengan rasa kasih, tapi keterkejutan. “Dia… laki-laki atau perempuan?” suara Ardi hampir tidak terdengar. Dokter menjawab pelan. “Perempuan.” Raka menyentuh inkubator dengan telapak tangan, suaranya pecah. “Hai… kamu kuat, ya…” Inkubator dibawa ke NICU. Bayi itu tidak menangis. Tidak mengeluarkan suara. Dokter menatap mereka lagi. “Sekarang waktunya kalian memutuskan sesuatu.” Ardi dan Raka menegang. “Jika bayi tidak merespons dalam beberapa jam ke depan, kami harus memilih tindakan terakhir.” “Apa… maksud dokter?” Raka hampir berbisik. Dokter menarik napas panjang. “Melepas alat bantu.” Dunia berhenti. Raka seperti dipukul dari dalam. Ardi membeku. Dokter menambahkan perlahan, seakan kalimat itu berat keluar dari mulutnya: “Kami butuh salah satu dari kalian… untuk menandatangani surat keputusan hidup atau mati.” Lampu lorong berkedip. Raka menatap Ardi. Ardi menatap ruang NICU. Dan dari balik kaca, bayi kecil itu terbaring diam—di antara hidup dan mati.Pernikahan tidak mengubah ritme hidup secara drastis. Tidak ada bulan madu panjang, tidak ada rumah baru yang langsung terasa sempurna. Anggi tetap bangun pagi untuk menyiapkan Rafa, tetap mengecek email kantor sebelum matahari benar-benar naik. Rendra tetap menyesap kopi dengan kebiasaan lamanya, hanya kini ada dua cangkir di meja. Yang berubah adalah kesadaran: mereka tidak lagi berjalan sejajar tanpa ikatan. Kini langkah mereka saling terkait. Dan keterikatan itu, pelan-pelan, menguji batas. Suatu sore, Anggi pulang lebih lambat dari biasanya. Rapat molor, klien meminta revisi mendadak. Ketika ia sampai rumah, Rafa sudah tertidur. Rendra menunggunya di ruang tamu, lampu temaram. “Kamu belum makan,” kata Rendra. “Aku nggak lapar,” jawab Anggi sambil melepas sepatu. Nada suaranya datar. Terlalu datar. Rendra memperhatikannya. “Kamu capek.” Anggi mengangguk, tapi tidak duduk. Ia mondar-mandir kecil, lalu berhenti. “Ren… aku takut kehilangan diriku lagi.” Kalimat itu jatuh ti
Enam bulan setelah promosi itu, hidup Anggi terasa penuh. Terlalu penuh, jika ia jujur pada dirinya sendiri. Pagi dimulai lebih awal, malam berakhir lebih larut. Ada rapat yang tak bisa ditunda, ada tugas sekolah Rafa yang harus diperiksa, ada kontrol dokter yang menuntut perhatian penuh. Di sela-selanya, ada Rendra—hadir tanpa meminta, membantu tanpa menghitung. Anggi mulai belajar satu hal yang dulu ia anggap kelemahan: meminta bantuan. Namun ada satu keputusan yang terus ia tunda. Pernikahan. Bukan karena Rendra mendesak. Justru karena ia tidak pernah mendesak sama sekali. Dan diam itu membuat Anggi harus berhadapan dengan suaranya sendiri. Suatu malam, saat hujan turun tipis, Anggi berkata tiba-tiba, “Rendra… kamu pernah ingin menikah lagi?” Pertanyaan itu menggantung di ruang tamu kecil mereka. Rendra menatap Anggi, tidak terkejut. “Pernah. Tapi bukan karena status. Karena ingin pulang ke orang yang sama.” Anggi menunduk. “Aku takut.” “Apa yang paling kamu takutkan?” tan
Keberanian yang tenang itu tidak datang sebagai sesuatu yang selalu terasa kuat. Kadang ia hadir justru sebagai kelelahan yang diterima, bukan dilawan. Anggi belajar itu pelan-pelan, setelah operasi Rafa, setelah malam-malam panjang di rumah sakit berubah menjadi rutinitas kontrol dan obat-obatan kecil yang harus diminum tepat waktu. Hidup tidak kembali “normal”. Ia menjadi versi baru dari normal—lebih rapuh, tapi juga lebih jujur. Rafa kembali ke sekolah dengan jadwal terbatas. Ia tidak boleh terlalu capek, tidak boleh ikut olahraga berat. Anak itu menerima semua larangan dengan kedewasaan yang membuat Anggi sering menoleh diam-diam, menahan rasa bersalah. Suatu sore, Rafa pulang dengan wajah murung. “Teman-teman latihan bola,” katanya pelan. “Aku cuma nonton.” Anggi jongkok di depannya. “Kamu sedih?” Rafa mengangguk. “Sedikit. Tapi aku juga senang… soalnya aku masih ada.” Kalimat itu membuat napas Anggi tersendat. “Ibu minta maaf,” ucapnya lirih, refleks lama yang masih ters
Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Anggi menerima kabar yang membuatnya terdiam lama di depan layar ponsel. Pesan singkat dari nomor rumah sakit. “Ibu Anggi, mohon datang. Ini tentang Rafa.” Jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia berlari—tanpa sempat berpikir. Di rumah sakit, dokter menjelaskan dengan suara tenang namun tegas: Rafa mengalami kelainan jantung bawaan yang baru terdeteksi. Tidak langsung berbahaya, tapi perlu pemantauan ketat. Mungkin operasi di masa depan. Anggi mendengarkan dengan kepala berdenyut. Kata-kata dokter seperti gema jauh. Yang ia lihat hanya Rafa terbaring di ranjang kecil, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum saat melihat ibunya. “Bu, aku nggak apa-apa,” kata Rafa lirih. Kalimat itu mematahkan sesuatu di dalam diri Anggi. Ia mengangguk, menggenggam tangan anaknya erat-erat. “Iya. Ibu di sini.” Malam itu, Anggi duduk sendirian di koridor rumah sakit. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang terlalu lama ia kenal. K
Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Anggi menerima kabar yang membuatnya terdiam lama di depan layar ponsel. Pesan singkat dari nomor rumah sakit. “Ibu Anggi, mohon datang. Ini tentang Rafa.” Jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia berlari—tanpa sempat berpikir. Di rumah sakit, dokter menjelaskan dengan suara tenang namun tegas: Rafa mengalami kelainan jantung bawaan yang baru terdeteksi. Tidak langsung berbahaya, tapi perlu pemantauan ketat. Mungkin operasi di masa depan. Anggi mendengarkan dengan kepala berdenyut. Kata-kata dokter seperti gema jauh. Yang ia lihat hanya Rafa terbaring di ranjang kecil, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum saat melihat ibunya. “Bu, aku nggak apa-apa,” kata Rafa lirih. Kalimat itu mematahkan sesuatu di dalam diri Anggi. Ia mengangguk, menggenggam tangan anaknya erat-erat. “Iya. Ibu di sini.” Malam itu, Anggi duduk sendirian di koridor rumah sakit. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang terlalu lama ia kenal. Ke
Anggi mulai merasakan perubahan pada dirinya sendiri. Bukan perubahan besar yang bisa ditunjuk dengan jari, melainkan pergeseran halus di dalam dada. Ia lebih sering tertawa—bukan karena terhibur, tapi karena merasa aman. Ia mulai bercerita tanpa merasa harus menyensor setiap kalimat. Dan yang paling mengejutkan: ia tidak lagi merasa bersalah ketika bahagia. Namun justru di titik itulah ketakutan lama menyelinap. Suatu malam, setelah Rafa tertidur, Anggi duduk di meja makan sambil menatap secangkir teh yang sudah dingin. Rendra baru saja pulang setelah mengantar mereka makan malam. Tidak ada yang salah dengan malam itu—dan itulah yang membuat Anggi gelisah. “Kamu kenapa?” tanya Rendra sebelum pamit, seolah membaca raut wajahnya. “Tidak apa-apa,” jawab Anggi refleks. Kebohongan kecil itu menggantung di udara. Setelah pintu tertutup, Anggi memejamkan mata. Ia mengenali perasaan ini. Ketika semuanya mulai terasa baik, otaknya mencari ancaman. Seolah kebahagiaan selalu harus dibayar







