Share

Bab4

MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#4

POV Mande.

"Sudahlah Mande, jangan disergah! Biarkan saja dia pergi. Ibu yakin, kalau dia gak akan bisa bertahan di luaran sana. Paling sebentar lagi dia akan berbalik dan kembali," ucap ibu saat aku berusaha menahan Rani. 

Kupikir dengan caraku mengancam dan tidak memberinya uang sepeserpun akan membuat niatnya urung meninggalkan rumah ini. Tapi, ternyata Rani begitu keras kepala. Ia tetap pada pilihannya untuk pergi dari sini dan memilih membawa bapaknya yang pikun itu.

"Iya mas. Yang jelas dia itu udah gak punya apa-apa. Perhiasan saja tidak punya kan, untuk digadaikan. Heh! Palingan juga bentar lagi nangis-nangis minta maaf dan ngemis agar kita mau terima dia lagi. Kalau dia datang kembali jangan pernah dibukakan pintu," timpal Manisah dengan cengirannya yang nyinyir.

"Kamu dan ibu benar, mana mungkin Rani akan sampai pulang ke kampung dengan keadaan tangan kosong. Apalagi harus naik bis, memangnya dia sanggup beli tiket." Aku tersenyum miring ada, kuharap Rani akan segera kembali.

________________________

Hari sudah menjelang siang, namun tak sedikitpun terlihat batang hidung Rani. Tidak mungkin kan, dia nekat pulang ke kampung. Apalagi dia membutuhkan uang untuk biaya makan sehari-hari, tipe wanita lemah seperti Rani tidak mungkin bisa senekat ini. Aku yakin, sebentar lagi dia akan menelpon untuk minta jemput di jalanan. Saat itulah aku akan memaksanya untuk mengirim bapaknya pulang sendirian.

"Rumah terasa lebih tenang ya, sekarang." Ibu menghirup nafas dalam lalu menghembuskannya dengan pelan.

"Iya. Gak pusing lagi sama kelakuan tua bang-ka yang pikun itu. Untung aja wanita itu bo-doh! Mau-maunya dia pergi tanpa membawa uang sepeserpun!" Manisah tersandar di sofa, mereka tertawa getir secara bersama. Menganggap remeh-temeh kepergian Rani.

"Heh! Namanya juga wanita kampung, pasti otaknya lemot kalau berpikir. Palingan ntar juga balik karena gak punya ongkos, uang selembar yang ada di dompetnya pun, pasrah aja pas ibu rampas. Dasar lemah!" ujar ibu, ah ... Apa perduliku soal itu. Lagian, aku sudah berusaha memberikan Rani dua pilihan tapi tetap saja dia lebih memilih bapaknya yang tak berguna itu.

"Untung saja aku pintar, aku bisa mengelabui Rani sehingga ia mau setuju kalau semua aset kekayaan menjadi atas namaku." Aku menghela napas pelan lalu menghembuskan dengan tenang. Tak ada yang perlu dipikirkan, mau Rani pergi ataupun jadi gelandangan sekalipun aku tidak perduli.

Tring!

Sebuah pesan masuk ke gawaiku, ternyata itu pihak dari BPJS. Ya, aku menunggak membayarnya karena kelupaan, sebab belakangan ini keadaan toko benar-benar sedang laris-manis.

Mungkin aku akan segera membayarnya, agar tak membengkak. Akan tetapi, seingatku semua kartu penting dipegang oleh Rani termasuk BPKB mobil dan STNK. Karena, biasanya setelah aku sampai di rumah maka semua surat harus Rani yang pegang, itu pintanya.

Pun, termasuk surat rumah dan surat toko.

Ah ... Kenapa aku melupakan hal sepenting itu, apalagi Rani sudah lama pergi. Pantas saja ia tak kembali, apa dia membawa semua surat-surat penting yang ia simpan selama ini?

Ibu dan Manisah terus tertawa gelak, sementara aku seketika termenung. Si-al! Aku merasa ditipu oleh Rani, apa jangan-jangan dia sudah kabur dengan semua surat-surat penting itu. Lalu, bagaimana jika aku ingin menggadaikan atau menjual salah satu aset kepunyaan kami.

"Bu, seingatku surat-surat penting semua disimpan oleh Rani," ujarku membuyarkan lamunan.

"Apa?" Ibu terkejut, yang tadinya beliau nampak bahagia berubah jadi bermuram durja.

"Cepat cari. Ibu yakin tadi dia nggak bawa apa-apa, pasti masih ada di dalam kamar," ujar ibu berlari disusul dengan Manisah.

Kami sibuk menggeledah seisi kamar, sampai lemari bajupun habis berserakkan. Namun, tak ada satupun terlihat benda berharga kecuali buku nikah milikku yang tertinggal di bawah tumpukkan baju.

"Hah! Apa Rani membawanya, licik juga gadis kampung itu." Ibu berkacak pinggang, dadanya kembang kempis menahan emosi.

"Pantas saja dia oke-oke saja saat diusir, rupanya dia sudah merencanakan sesuatu. Kamu sih, kenapa surat-surat penting diserahkan semua padanya, sampai-sampai kita kecolongan seperti ini," ujar ibu menyalahkanku.

"Coba kamu kirim pesan sekarang, tanya apa dia sudah berada di kampung atau tidak," titah ibu dan aku menurutinya.

Berjam-jam aku menunggu balasan dari Rani namun tak kunjung juga muncul namanya di layar ponsel. Bahkan, dibaca saja tidak! Huh! Kenapa dia begitu menyebalkan.

"Kenapa tadi tidak kamu periksa kopernya, mas?" tanya Manisah.

"Ibu sudah mengawasinya saat dia berkemas pakaian, tidak ada selembar surat pun yang dia masukkan ke dalam koper. Ibu sangat yakin, itu," ujar ibu.

"Terus, kenapa barang-barang berharga itu bisa tidak ada, Bu? Aku yakin, Rani yang membawanya," sahutku.

"Ya. Pasti dia yang membawanya. Tapi, bagaiamana caranya dia membawa surat-surat itu sehingga kita tidak mengetahuinya. Di mana dia menyisipkannya?" Ibu bertanya heran, entahlah! Aku juga bingung?

___________________________

Setelah agak sore barulah pesanku centang biru dua. Rani sudah membacanya namun ia tak membalas, beraninya dia mengabaikan pesanku. Bahkan, ia tak membalas satu pesan pun. Heh! Sombong sekali.

"Sombong sekali dia, Bu. Pesanku saja tidak dibalas." Aku berdecak kesal, ingin sekali membanting ponsel tapi masih sayang.

"Dasar wanita kampungan tidak tahu diri! Telpon saja, dia. Biar ibu maki-maki sekalian," titah ibu karena geram.

Aku pun menelpon nomor Rani, beberapa kali sambungan telepon tidak terjawab. Apa dia sengaja? Apa dia ingin mempermainkan kami.

Setelah beberapa kali mencoba akhirnya ada yang mengangkat. Namun, hening dari seberang sana. Kupakai suara luar agar kami semua bisa mendengar.

"Heh, Rani! Di mana kamu menyimpan surat-surat penting itu, ha?! Dasar pencuri, maling. Kalau kamu tidak mengembalikan surat-surat itu maka kami akan melaporkan kamu kepolisi karena telah merampas hak milik anakku. Dasar wanita tidak tahu diri, tidak tahu diuntung, kampungan. Sudah dipungut sampai hidup enak tapi gak tahu disyukur!" Ibu berteriak keras, mengomel di depan telepon. Namun, tetap saja tidak ada jawaban dari seberang sana. Dada ibu semakin bergemuruh karena Rani hanya mendiamkan kami.

Sesaat kemudian terdengar krasak-krusuk dari seberang telepon. Lalu ....

"Dasar orang gila!" Suara bapak mertua terdengar mengejek. Kemudian sambungan telepon pun mati.

"Hah! Orang gila! Kurang ajar!" Ibu semakin naik pitam mendengar kakek-kakek pikun itu berujar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status