Share

Rencana

MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#8

POV Rani.

Aku mencharger ponsel yang sudah habis baterai . Sebab disepanjang perjalanan baterai ponsel tidak mendapat colokkan, sehingga saat baru sampai di kampung ini ponselku lowbate dan baru sempat menchargernya pagi ini.

"Rani .... " Paman mendekat saat aku duduk di kursi ruang tamu, sembari menatap layar ponsel.

"Iya, paman," sahutku. Kulirik di depan layar terpampang beberapa kali panggilan tak terjawab dari mas Mande melalui aplikasi hijau. Pun, banyak juga chat yang masuk beruntun dari keluarga itu. Tidak hanya Mas Mande saja, tapi juga Manisah dan ibu mertua.

Kuletakkan ponsel ke samping colokkan yang kabelnya bisa ditarik karena panjang.

"Rani, paman mau ngomong sesuatu," ujar paman.

"Mau ngomong apa, paman?" tanyaku.

"Mungkin kamu tidak tau, bapakmu banyak sekali berjasa di dalam hidup paman. Terlebih, saat kedua orang tua kami meninggal. Bapakmu lah yang membuat paman bisa bangkit dan memberi semangat agar paman tidak hancur karena kehilangan. Paman hampir frustasi, namun bapakmu selalu membuat paman semangat lagi," ujar Paman. Aku belum mengerti arah pembicaraannya.

"Lalu, paman?" tanyaku.

"Paman ingin merawat bapakmu, dan membalas semua jasanya diusia sejanya ini," lanjut paman.

"Tapi, paman. Bapakku pikun," ujarku sedikit ragu.

"Paman akan menyewa orang untuk membantu merawat bapakmu, sekarang kamu bisa merintis usaha menggunakan uang warisan dari bapakmu. Paman juga kasihan sama kamu, kamu mempunyai anak kecil yang harus kamu perhatikan. Fokuslah pada dirimu sekarang, paman akan menjaga bapakmu," ujar paman.

Semalam aku menceritakan permasalahan dengan mas Mande pada paman, kami berbicara panjang lebar hingga larut. Mungkin, paman merasa iba dengan kehidupanku selama membina rumah tangga yang tak pernah dibuat bahagia.

"Apa paman yakin, tapi .... "

"Sudah! Paman akan pastikan kalau bapakmu aman di sini. Kamu juga masih bisa kesini kan lain waktu," ujar paman.

"Lagian paman tidak punya siapa-siapa lagi di rumah ini, kamu tau sendirikan? Kalau paman tidak mempunyai istri. Alias bujang lapuk," ujar paman.

"Kenapa paman tidak menikah?" tanyaku.

"Semua ini soal jodoh, banyak yang menawarkan diri tapi paman tidak tertarik," ucap paman menerawang.

"Hari ini orang yang ingin membeli kebunmu akan datang. Beliau akan membayarnya dengan cek," ujar paman.

"Tapi aku tidak terima cek paman, aku ingin uangnya di transfer saja melalui mbanking," sahutku dengan tegas. Karena, cek sekarang bisa saja dipalsukan.

"Kalau begitu paman akan coba bicara dengan orang tersebut nanti di telepon," ujar paman dan aku mengangguk.

______________________________

Aku bertemu dengan calon pembeli, di dampingi oleh paman. Sesuai permintaanku ia menyanggupi untuk membayar via transfer. Sebab, diam-diam tanpa sepengetahuan mas Mande aku membuat mbanking dengan kartu ATM pribadiku. Mas Mande tidak pernah tau karena dia tak perduli apapun terhadapku.

Setelah berbincang lebih jauh dan berdiskusi akhirnya kami sama-sama deal. Namun, si pembeli tidak bisa mengirimkan melalui via mbanking sebab jumlah yang akan di transfer terlalu banyak. Akan tetapi, ia sudah menyuruh istrinya untuk membayar melalui bank secara langsung.

Kami menunggu hampir satu jam, tak lama kemudian muncul notif kalau saldoku bertambah lima ratus juta. Aku terperangah beberapa saat seakan tak mempercayai ini semua.

"Apa bisa di tanda tangani sekarang suratnya?" tanya si pembeli tersebut membuyarkan kebengonganku.

"I-iya." Sahutku dan langsung memberikan tanda tangan di surat jual beli yang sudah disiapkan oleh paman. Aku juga memberikan surat kebun kelapa yang diwariskan bapak kepada orang tersebut.

Akhirnya semuanya beres, rasa penasaran dan pertanyaanku selama ini sudah terjawab tuntas. Waktunya aku akan kembali ke kota dan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku dari mas Mande.

______________________________

"Paman, aku pamit!" ucapku sembari bersalaman, aku juga meninggalkan bapak di tanah kelahirannya. Karena, paman sangat memaksa agar bapak tinggal saja untuk menemaninya.

Sebelum itu aku bertanya lagi." Paman, apakah paman tidak merasa repot jika harus mengurus bapak?" tanyaku.

"Tidak! Kapan lagi paman bisa membalas jasanya kalau tidak sekarang," ujar Paman.

"Paman, aku percayakan semuanya pada paman. Rani dan Khalila pamit pulang ya, paman," ucapku sembari menitikkan air mata. Setelah lama merawat bapak ini pertama kalinya kami berpisah kembali.

"Pak, Rani akan sering mengunjungi bapak. Rani pamit ya, pak. Bapak jaga kesehatan dan jangan merepotkan paman," ucapku sembari memeluk bapak. Kulihat bapak juga menangis, meskipun ia tak mengerti apa yang sedang ia tangiskan.

[Kemana kamu, Rani? Kenapa kamu tidak ada di rumah bapakmu?] Hari ini pun aku masih mendapatkan pertanyaan yang sama dari mas Mande. Apa mereka tidak bosan, meskipun telepon dan pesan mereka sudah kuabaikan.

Aku tergelitik, tangan ini tergerak untuk membalas.

[Untuk apalagi kamu mencariku? Bukannya kamu sendiri yang sudah mengusir aku dan anakmu dari rumah yang sudah kita bangun bersama. Apalagi urusanmu denganku, sehingga kamu mencariku sampai ke kampung halamanku?!] tanyaku penuh penekanan.

[Aku masih suamimu, dan aku berhak atas anakku,] balasnya membuat aku tersenyum miring dan menghela nafas sesak.

[Suami macam apa yang tega mengusir anak dan istrinya dari rumah,] cercaku.

[Itu karena kebo-dohanmu sendiri,] balasnya membuatku geram.

[Jika aku istri yang bo-doh, lantas untuk apa lagi kamu mencariku? Dan, kamu tidak perlu tahu aku sedang berada di mana sekarang.]

[Apa kamu membawa surat-surat penting bersamamu?] tanyanya.

[Memangnya kenapa kalau aku membawanya? Bukannya kamu sudah mendapatkan rumah, dan aku yang mendapatkan suratnya. Bukankah kita impas!] 

[Kamu licik, Rani!] Balasnya.

[Kamu yang licik, Mas. Kamu selalu menindasku, meremehkanku. Sekarang, kamu baru tau kan, siapa aku?] tanyaku.

[Apa kamu sudah lelah mencariku, mas? Cari saja terus, kalau kamu menemukanku pasti aku sudah dalam keadaan berbeda.]

[Kamu itu gak punya apa-apa untuk dibanggakan? Jadi, jangan bermimpi untuk melawanku. Aku punya uang yang bisa membeli harga dirimu.] cih! Aku berdecih membaca kesombongannya.

____________________________________

Setelah melewati perjalanan yang panjang akhirnya aku sampai ke rumah bapak. Sebab, surat rumah dan surat-surat yang lain masih kutinggal di sini, karena aku tak bisa membawanya saat pergi ke kampung tanah kelahiran bapak. Takut hilang.

Baru saja aku sampai Bu Titin langsung mengejarku.

"Ya Allah, Neng Rani. Untung saja kamu baru pulang sekarang," ujar Bu Titin menyambangiku.

"Memangnya ada apa, Bu Titin?" tanyaku sembari memutar anak kunci di lubang pintu.

"Itu lo, mertua dan suamimu ngamuk nyariin kamu," tutur Bu Titin.

"Hampir aja mereka dobrak pintu rumah bapakmu, untuk dicekal oleh para warga dan pak RT. Kalau tidak pintu rumah kalian bisa hancur."

"Ha? Separah itu, Bu?" tanyaku.

"Iya, Neng."

"Tapi syukurlah, mereka nggak masuk ke dalam. Makasih banyak ya, Bu Titin," ucapku mengelus dada lega.

"Sama-sama Neng," sahutnya.

__________________________

Aku mengamati kembali surat perjanjian yang kubuat dengan mas Mande. Kalau tidak salah seingatku, aku mempunyai satu lagi kertas kosong dengan materai sepuluh ribu yang juga sudah di tanda tangani mas Mande. Aku harap kertas itu terbawa bersama surat rumah dan surat perjanjian.

Kubuka lembaran kertas itu, dan ternyata memang ada ditumpukkan paling akhir. Aku sengaja mempersiapkan semua ini untuk berjaga-jaga saja, dan ... Kali ini aku akan membuat sesuatu yang lebih mengejutkan.

"Tunggu mas, akan kupindahkan hak kuasa rumah dan semua aset milik kita menjadi namaku." Aku tersenyum getir kala membayangkannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status