Sepulang dari bekerja, Danang melajukan kendaraan menuju rumah orang tuanya. Niat hatinya sudah mantap, ingin menyelesaikan hubungan dengan Firna. Apapun yang terjadi. Meski harus melawan kedua orang yang sangat ia hormati.
Danang sudah bertekad, akan melindungi Rasti apapun yang terjadi.
Di tengah perjalanan, bahgan bakar kendaraannya hampir habis. Lelaki itumampir ke tempat pengisian bahan bakar yang ada di pinggir jalan yang ia lalui. Di saat bersamaan, hasrat untuk buang air tidak terbendung lagi. Dengan cepat ia berlari mencari toilet. Dan saat menemukannya, Danang tanpa hati-hati melepas celana, hingga ponselnya terjatuh ke dalam ember yang berisi air. Saat ia mencoba menghidupkannya, benda pipih itu ternyata rusak.
“Tak mengapa, aku nanti akan pulang cepat agar Rasti tidak khawatir,” gumamnya seorang diri.
Selesai melakukan segala kegiatan di tempat itu, Danang kembali meneru
“Aku belum mandi. Karena dari tadi sibuk mengompres Bunda. Kalau keluar belum mandi, aku tidak nyaman.” Yasmin berkata dengan kepala menunduk.“Baiklah. Kamu mandi dulu, ya? Pak Dhe menunggu di ruang tamu.”“Tapi aku tidak bisa ambil baju di lemari. Itu sebabnya juga aku belum mandi.”Danang menghembuskan napas pelan, sebelum akhirnya berkata, “Ayo, kita ambil. Bajunya ada di lemari mana?” tanyanya kemudian.“Ada di kamarku. Bunda juga tidur di sana, katanya biar tidak ingat Ayah.”Dilema. Itu yang Danang rasakan. Di satu sisi, ingin rasanya segera pergi meninggalkan rumah orang tuanya. Akan tetapi, di sisi lain, hati nuraninya tidak tega, membiarkan anggota keluarga dalam keadaan sakit.“Baiklah, ayo kita ambil,” kata Danang lagi. Mereka lalu berjalan beriringan menuju sebuah kamar denga
Part 21"Pak Dhe, bolehkah aku meminta sesuatu?" tanya Yasmin saat kami sudah di dalam mobil hendak pulang."Apa?" tanya Danang yang masih fokus di balik kemudi."Aku ingin duduk di teman kota. Sudah lama aku tidak ke sana. Aku ingin naik motor kecil dan juga beli gulali," jawab Yasmin jujur."Kamu ingin sekali ke sana?" tanya Danang memastikan."Iya. Dulu Ayah sering mengajakku ke sana. Aku sudsh tidak pernah ke sana lagi karena Bunda sangat sedih. Kalau aku mengajak ke sana, pasti akan bilang, takut menangis ingat Ayah." Jawaban dari Yasmin membuat Danang memalingkan wajahnya. Ia melihat seorang anak kecil yang malang, yang harus kehilangan ayahnya sejak usia kecil. Hatinya tentu sedih. Namun, bila diminta menggantikan sosok Adrian, Danang merasa itu tidak adil baginya."Nanti main sama Pak Dhe, sampai Yasmin puas," ujar Danang saat keduanya t
"Yasmin tidur, Nang?" tanya Wening saat melihat anak lelaki sulungnya masuk membopong tubuh Yasmin."Iya. Kenyang dan capek sepertinya,""Tidurkan di kamar Ibu. Biar Firna bisa istirahat. Dan gak ketularan sakit bundanya."Danang menurut dengan perintah sang ibu. Ia lalu kembali ke mobil untuk mengambil makanan yang ia beli."Duh, Firna, kamu kenapa sakit seperti ini? Kamu kenapa tidak sembuh-sembuh? Ibu jadi sangat khawatir. Takut terjadi yang tidak-tidak lagi. Sudah kehilangan Adrian, masa kamu seperti ini sih, Nak?" Suara Wening terdengar telinga Danang dari dalam kamar Yasmin.Ayah Nadine dan Raline memegang ponsel yang sudah mati. Ia kini berada di kamarnya. Seharian ia belum menghubungi Rasti. Dan kini, saat benar-benar butuh, benda itu tidak bisa digunakan. Ingin rasanya segera pulang. Namun, melihat keadaan Wening yang berjalan tertatih, membuatnya merasa tidak tega
Danang menghitung setiap detik yang bergerak pada jarum jam yang ada di dinding. Hujan lebat membuatnya tidak bisa keluar untuk membawa gawai yang mati ke tempat servis. Ditambah lagi, keadaan inu dan Firna yang sakit.Mengingat Firna yang sakit, Danang bangun dengan niat ingin melihat keadaan istri keduanya itu.Bagaimanapun, ia harus memantau keadaan Firna.Ketika sampai di kamar, wanita itu tengah berusaha untuk meraih gelas yang ada di atas nakas, hingga akhirnya, benda tersebut malah jatuh dan pecah, menimbulkan suara keras."Jangan beranjak tetap di sana," ucap Danang, lalu gegas pergi untuk mengambil alat kebersihan guna membersihkan serpihan kaca gelas."Minumlah!" ucap Danang seraya mengulurkan gelas yang sudah ia bawa lagu dari dapur.Dengan ragu, dan tangan bergetar, Firna menerima benda itu. Namun, Danang dengan cepat mencegah. Karena takut, gelas
Demi apapun juga, Rasti merasa marah sekali dengan mertua perempuannya. Ia tidak menyangka kalau problem yang dialami dirinya dan sang suami akan diadukan pada anaknya yang masih kecil. "Tidak benar, Sayang. Papa hanya diminta ikut menjaga Yasmin karena dia masih sangat kecil," ujar Rasti menenangkan hati putri sulungnya. 'Rupanya Bu Wening memang menginginkan aku untuk bertindak lebih jauh lagi,' ucap Rasti dalam hati. "Mama, Raline juga pernah dengar, kalau Yasmin katanya mau panggil Papa, Papa juga. Atau Ayah. Apa dia anaknya Papa?" Si bungsu Raline ikut bertanya. Rasti merengkuh kedua putrinya ke dalam pelukan. Hatinya sangat sakit. Namun, untuk sementara waktu, tidak bisa berbuat apapun selain menunggu Danang pulang dan mendengar keputusan darinya akan hubungan pernikahannya dengan Firna. * Tiga malam sudah, Danang tidak pulang. Selama itu ju
"Iya, Mas, ini aku. Istri yang menunggumu selama tiga hari di rumah dan kamu tidak kunjung memberikan kabar. Maaf, bila aku harus mencarimu ke mari. Mengacaukan kebahagiaan kalian barangkali. Karena aku hanya ingin memastikan, suamiku baik-baik saja. Jadi, aku dan anak-anak tidak perlu cemas. Dan syukurlah, kamu terlihat bahagia dan baik-baik saja di sini," jawab Rasti tegas, menutupi segala pilu dalam hati."Ras, maaf, hape-ku rusak. Aku tidak sempat ke tempat servis karena Ibu dan Firna sakit dan mereka tidak ada yang menjaga. Yasmin sendirian tidak ada yang mengurus. Bapak pergi ke luar kita belum pulang. Aku sampai kerja dari rumah. Maksudku, dari sini. Maksudku, Ibu yang sakit keras, Firna sakit juga. Jadi, Ibu tidak ada yang menjaga. Aku menjaga Ibu." Penjelasan Danang terdengar berbelit."Jadi, siapa yang kamu jaga sebenarnya, Mas? Ibu, Yasmin, atau Firna?" tanya Rasti penuh selidik.Danang tidak bisa menjawab. Ta
Sebelum melanjutkan bicara, Rasti menarik napas panjang."Pertanyaan yang selanjutnya. Ibu ...," ujarnya dengan suara bergetar.Sedih yang berusaha ia tahan, kini tak lagi bisa disembunyikan. "Aku tahu, aku dianggap tidak pantas menjadi menantu di keluarga ini, karena aku tidak memiliki suatu apapun. Atau lebih tepatnya, aku tidak tahu, orang tuaku meninggalkan apa saja untukku karena aku terlalu terpuruk meratapi nasib saat itu. Aku terlalu bodoh percaya begitu saja apa. yang dikatakan orang-orang yang mengaku sebagai penolong." Berkata demikian, Rasti melirik Danang. Namun, beberapa detik kemudian, pandangannya beralih pada Wening kembali. "Akan tetapi, kedua anakku, mereka adalah darah daging Mas Danang. Mereka punya perasaan dan usia mereka masih sangat kecil. Pantaskah apabila Ibu sebagai nenek mereka mengatakan hal yang menyakitkan? Hingga akhirnya, Ibu memberikan pilihan, apakah mereka menerima pernikahan ayahnya atau kami harus hidup
Sampai di rumahnya, Rasti segera menenggak sebotol air dingin yang ia ambil dari kulkas. Meskipun ia sadar, air itu tidak mampu untuk meredam gejolak panas dalam hati, tapi setidaknya, tenggorokannya yang kering telah tersiram.Duduk di sofa depan televisi, Rasti menimbang-nimbang langkah yang akan diambil. Jika seblumnya, ia telah memutuskan untuk mengubur keinginan mengungkap masa lalu orang tuanya dalam-dalam, tidak dengan saat ini. Wanita itu memiliki tekad untuk menuntaskan semuanya.Rasti melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas siang. Ia lalu bergegas bangkit lagi, untuk menuju sebuah tempat. Teringat akan ucapan sang suami yang mengatakan tidak bisa pergi ke kantor.Dengan mengendarai motor matic kesayangan, Rasti kembali menembus jalan raya yang padat. Setelah setangah jam lebih berkendara, sampailah ia pada showroom mobil yang kepemilikannya tengah ia ragukan.Dengan melenggang sa